Senin, 25 Februari 2013

Jepang Harus Mengakui Kejahatan Perangnya di Asia Pasifik

Sejarah Kelam Praktek Perbudakan Seksual Tentara Jepang di Indonesia

Penulis : Hendrajit
Direktur Eksekutif Global Future Institute

Berdasarkan berbagai studi sejarawan mengenai praktek perbudakan seksual atau Ianfu di beberapa negara eks jajahan Jepang di Asia, ada sekitar 200 ribu perempuan muda yang dipaksa menjadi pekerja seks atau yang kemudian dikenal sebagai Jugun Ianfu. Para perempuan muda ini berasal dari Indonesia, Cina, Taiwan, Filipina dan Korea.
Merujuk pada sebuah berita dari AFP, pada 1993, sebenarnya pemerintah Jepang, melalui jurubicaranya waktu itu, Yohei Kono, telah meminta maaf kepada para korban (Survivors) Jugun Ianfu dan mengakui keterlibatan Jepang sehingga menyebabkan penderitaan lahir dan batin terhadap para korban Ianfu tersebut (In a landmark 1993 statement, then chief Japanese government spokesman Yohei Kono apologized to former comfort women and acknowledged Japan’s involvement in causing their suffering).

Namun anehnya pada 2007, Perdana Menteri Shinzo Abe justru menyangkal keterlibatan Jepang dalam mendukung dan mendorong praktek perbudakan seksual tentara Jepang tersebut, dan bahkan mengatakan tak ada satu bukti pun yang menunjukkan bahwa Jepang secara langsung mendukung adanya perbukan seksual tentara Jepang.

Perdana Menteri Shinzo Abe boleh saja membantah keterlibatan pemerintah Jepang dalam mendukung praktek perbudakan seksual Jepang pada masa sebelum dan saat berlangsungnya Perang Dunia II. Namun dari berbagai sumber pustaka terkait penelitian seputar Jugun Ianfu, setidaknya diperkirakan 100 ribu sampai 400 ribu perempuan muda dipaksa untuk melayani “hasrat seksual” tentara Jepang sebelum dan saat berlangsungnya Perang Dunia II. Khususnya di negara-negara jajahan Jepang di kawasan Asia Pasifik, termasuk Indonesia.

Sekadar ilustrasi dalam kasus Indonesia, menarik informasi terbaru yang dilaporkan oleh Eka Hindra, research associate Global Future Institute dan peneliti independen tentang praktek perbudakan seksual yang berlangsung di Indonesia antara 1942-1945. Menurut informasi Eka, berdasarkan penelusuran arsip sementara di kota Solo, Jawa Tengah, terdapat 150 perempuan yang telah dijadikan Ianfu di dua Ianjo yang diberi nama Fuji Ryokan dan Chiyoda Ryokan , di daerah Gladak. Bahkan secara khusus, Eka sempat mewawancarai Ianfu dari Karang Pandan, bernama Kasinem pada 2008-2011. Dugaan sementara , salah satu dari 150 Ianfu dengan nama Jepang Yako.

Tentu saja ini baru sepenggal kisah tragis perempuan Indonesia yang telah direndahkan martabat dan harga dirinya akibat praktek perbudakan seksual tentara Jepang di Indonesia.

Temuan Eka dari arsip di Solo bisa dinilai cukup kredibel mengingat reputasi dan rekam jejaknya yang begitu intensif sebagai peneliti maupun advokator Ianfu Indonesia sejak 1999. Kisah Mardiyem asal Yogyakarta dan Suharti di Blitar, merupakan penemuannya yang telah membuka mata dunia. Eka juga sempat bertemu dengan saksi sejarah 67 tahun Silam bernama Sri Sukanti, survivor Ianfu dari Salatiga.

Sukanti mengisahkan sejarah kelam hidupnya dalam suka cita. Ia terlahir sebagai anak ke-11 dari 12 bersaudara dari seorang Wedana bernama Soedirman dan Ibunya, Sutijah, yang berasal dari kalangan rakyat biasa. Kisahnya dimulai pada pertengahan tahun 1945. "Di suatu siang sekitar pukul 11 datanglah dua orang Jepang berpakaian dinas tentara lengkap dengan samurai terselip dipinggangnya, ditemani Lurah desa Gundi bernama Djudi. Lurah ini menunjukkan kepada kedua tentara Jepang kalau Wedana Soedirman memiliki anak gadis cantik jelita". Singkat cerita, Sukanti bersaksi bahwa tentara Jepang yang membawanya itu bernama Ogawa. Malam pertama di sana, saya dimandikan, keramasi, dibedaki dan disalini baju oleh Ogawa persis seperti boneka", kenangnya terpukul.

Untuk kisah selengkapnya, artikel Eka Hindra bisa diakses di (http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=7974&type=9#.UO5PDqxP1kg).

Dalam seminar yang kami adakan pada Oktober 2010 lalu di Jakarta, Sri Sukanti kami hadirkan sebagai salah seorang saksi hidup korban Ianfu. Kehadiran Ibu Sri Sukanti di hadapan peserta seminar sehari tentang Jugun Ianfu, Romusha dan Sejarah Kelam Militerisme di Indonesia Senin 25 Oktober lalu, sempat mengejutkan sekitar 65 orang peserta seminar yang hadir di Hotel Santika, Slipi, Jakarta. Kesaksiannya yang singkat namun penuh emosi tersebut membuktikan betapa kekejaman penjajahan Jepang di Indonesia pada 1942-1945, utamanya lewat kebijakan paksa bagi para perempuan Indonesia untuk menjadi budak seks tentara Jepang memang nyata adanya.

Dalam presentasinya di depan peserta seminar yang diselenggarakan oleh Global Future Institute tersebut, Sukanti berkata: “Selama menjadi Ianfu, saya diperlakukan seperti binatang oleh tentara Jepang. Saya diperlakukan seperti kuda. Setelah merdeka hingga sekarang saya sangat sedih karena tidak pernah ada perhatian dan solidaritas dari masyarakat maupun negara kepada saya yang telah menjadi korban kekejaman tentara Jepang.

Setelah Jepang pergi, saya menikah. Suami saya seorang tukang batu. Dari perkawinan itu saya tidak dikaruniai anak. Mungkin karena waktu menjadi Ianfu saya disuntik oleh tentara Jepang. Kalo tidak salah 16 kali saya disuntik. Dan kalo saya inget suntikan itu sedih saya. Sakit sekali. Pokoknya saya ini merasa hancur.

Yang diinginkan Sukanti, Rosa, Kasinem, dan Icih, sebenarnya sederhana saja. Permintaan maaf dari Pemerintah Jepang. Rehabilitasi reputasi dan nama baiknya bahwa mereka bukan “Perempuan Nakal” melainkan PSK paksa akibat sistem militerisme tentara Jepang dengan sengaja dan sadar memang memobilisasi dan memaksa para perempuan di negara koloni Jepang untuk jadi Wanita pemuas seks tentara-tentara Jepang.

Rehabilitasi reputasi dan nama baiknya bahwa mereka bukan “Perempuan Nakal” melainkan PSK paksa akibat sistem militerisme tentara Jepang dengan sengaja dan sadar memang memobilisasi dan memaksa para perempuan di negara koloni Jepang untuk jadi Wanita pemuas seks tentara-tentara Jepang.

Temuan Terbaru dari Maluku Barat Daya

Sekadar mengingatkan kembali terhadap temuan terkini Eka Hindra, berdasarkan hasil penelitiannya pada 25 Juli sampai 24 Agustus 2012 terkait kejahatan perang Jepang di Indonesia 1942-1945, di Tanimbar dan sekitarnya(Pulau Selaru) serta Pulau Babar (Maluku Barat Daya), telah ditemukan dua orang mama yang berhasil terindentifikasi sebagai “Ianfu” yang bernama Rofina Batfian usia 84 tahun dari Desa Sangliat Krawain dan Aloysia Ratuain 84 tahun dari Desa Wowonda.

Selain kedua mama tersebut, juga direkomendasikan dua nama lain yang sudah terindentifikasi sebagai korban kekerasan seksual Badak Hitam(tentara Indonesia yang berasal dari Sumatera dan Jawa yang pernah ditugaskan di Tanimbar pada 1948). Mereka bernama Mama Rosa Delima Fenanlampir 78 tahun dari Desa Kabiarat(yang sudah dalam keadaan sakit stroke dan tidak bisa berjalan lagi) dan Martha Laratmase 74 tahun dari Desa Lauran mengalami kekerasan seksual (perkosaan) setelah mendapat hipnotis dari mereka. Demikian laporan terbaru dari Eka Hindra.(Untuk rincian lebih lengkap silahkan baca The Global Review Quarterly Edisi kedua, terbitan 2 Januari 2013, halaman 112-114).

Temuan Wartawati Belanda Hilde Janssen

Dari hasil studi seorang wartawati Belanda yang gigih Hilde Janssen dan fotografer Jan Banning kala berkeliling Indonesia untuk bertemu para mantan "jugun ianfu yang masih hidup (survivors), terungkap betapa kejahatan perang Jepang yang satu ini, memang nyata adanya. Temuan mereka berdua ini kemudian didokumentasikan dalam sebuah buku bertajuk Schaamte en Onschuld. Het verdrongen oorlogsverleden van troostmeisjes in Indonesië" oleh Hilde Janssen dan Jan Banning.

Rosa, perempuan asal Maluku Selatan kelahiaran 1929, Pada zama perang Rosa sengaja dihamili oleh pacarnya karena pacarnya ingin menikahi dia ketimbang gadis lain yang dijodohkan kepadanya. Kepala kampung yang telah mengatur perjodohan bagi pacar Rosa tersebut, kemudian mengirim Rosa ke sebuah rumah bordil Jepang di kota. Disana Rosa dipaksa melayani serdadu Jepang sementara ia telah hamil beberapa bulan. Pada saat akhir kehamilannya, ia pulang ke kampung dimana bayinya kemudian meninggal tidak lama setelah dilahirkan. Pacarnya membatalkan penikahannya yang diurus oleh orang tuanya, dan menikahi Rosa.Hal ini memulihkan kehormatan Rosa. Setelah perang berakhir seluruh kampung bungkam mengenai hal ini. "Ini rahasia kami. orang kampung sangat menyayangi saya, karena mereka tahu saya dipaksa Kami belum pernah menceritakan sesuatupun kepada anak-anak kami. Terlalu memalukan bagi saya."

Ini baru sebagian dari kisah.

Kasinem, perempuan asal Karanganyar, Jawa Tengah, kelahiran 1931, lain lagi kisahnya.

Pada usia 13 tahun Kasinem dipanggil kepala kampung dan dipaksa masuk prostitusi oleh tentara Jepang di sebuah bordil militer di Solo. Dia menerima nama Jepang Kanaku dan harus melayani tiga atau empat lelaki setiap hari. "Saya diberi seperangkat baju lengkap, bedak, lipstik, sisir rambut, sabun, sikat gigi, pasta gigi,dan sebuah handuk. Mereka memanggilsaya "Jeng," walaupun saya hanya anak petani. Saya merasa terhormat atas panggilan itu, tetapi uga risih karena tidak pas. Dan saya sangat rindu untuk pulang. Saya masih kecil. Saya nggak mau. Saya takutkepadapara lelaki itu tapi saya nggak berani berteriak ataupun menangis secara terbuka, meskipun airmata keluar terus". Setelah tiga bulan dia diperbolehkan pulang "sebentar" dan tak pernah kembali ke rumah bordil. Beberapa tahun kemudian diapun akhirnya menikah, membangun sebuah rumah tangga dan melahirkan enam orang anak.

Icih, perempuan asli Sukabumi-Jawa Barat, kelahiran 1926, sungguh tragis nian nasibnya. Setelah suami pertamanya ditembak mati, Icih dikurung ditangisi Jepang dan selama tiga tahun hampir setiap hari diperkosa dan dipukuli oleh komandan tangsi dan seorang tentara lainnya. Pada awalnya dia masih diperbolehkan berjalan-jalan keliling tangsi dibawah pengawasan, kemudian dia dikurung secara permanen. Sering disiksa dan sebagai hukuman tidak diberi makan. Setelah perang dia pulang ke rumah dalam keadaan sangat kurus dan sakit. "Saya diobatin oleh Ibuku, digosok sama obat kampung dari dedaunan, pakai apu, daun jawerkotok, saya digosok dan dipijit. Jalan sendiri tidak bisa, manggil nama sendiri tidak bisa". Icih baru menikah kembali delapan tahun kemudian setelah perang. "Suamiku tahun saya sisa Jepang, alhamdulillah ibadah saja, dia bilang yang sudah-sudah biarkan saja".

Setelah beberapa tahun pernikahan itu berakhir, sama seperti sepuluh pernikahan berikutnya.Icih tidak pernah bisa mengandung. Perkosaan-perkosaan itu tetap menghantuinya. "Rasanya seperti langit jatuhin bumi, sakit sekali. Badanku tidak akan bisa lupa".

Jugun Ianfu, Kejahatan Terorganisir ala Fasisme Jepang

Dari berbagai studi dan penelitian seputar Jugun Ianfu ini, memang sulit dibantah bahwa Tentara Fasis Jepang memang mendukung serta melindungi praktek perbudakan seksual ini lewat sistem dan metode yang diterapkan dengan melibatkan Polisi Militer Jepang Kemp pei tai dan para kolaboratornya di negara-negara eks jajahan Jepang. Mulai dari penculikan, penahanan, hingga penyiksaan fisik. Bahkan bisa dibilang sebagai “pemerkosaan massal yang terorganisir” (organized mass raped). Bahkan data yang terdokumentasi melalui the amazon.com jumlah korban pemerkosaan massal tersebut berjumlah 10 juta orang. Mereka para korban tersebut tewas tanpa direhabilitasi nama dan reputasinya.

Temuan terkini yang tak kalah tragis, kembali dilaporkan oleh Eka Hindra.

Di Desa Emplawas di Kepulauan Babar, Maluku Tenggara Raya, pada Oktober 1944 terjadi pembantaian brutal terhadap 710 penduduk sipil oleh militer Jepang. Ternyata pada waktu itu desa Emplawas merupakan penghasil tembakau yang besar dengan panen yang cukup besar sekitar 6000 kg per tahunnya.

Militer Jepang diwakili oleh Shinohara melakukan tindak kekerasan untuk menguasai tembakau. Hal ini memicu kemarahan penduduk. Sehingga timbul aksi balas dendam dan berakhir dengan pembantaian hamper seluruh penduduk desa.

Sebelum dibantai dengan kejam, 25 perempuan muda termasuk Dominggas, dipisahkan dari penduduk untuk dijadikan Ianfu. Ada 2 Ianjo didirikan di pulau Babar. Saya sendiri datang menyaksikan sisa-sisa tengkorak penduduk yang dibantai di kali Tiwi, dan berjumpa dengan Mama Domingas dalam keadaan kesehatan yang rapuh.

Kisah pembantaian yang brutal dan mengerikan di Emplawas sampai detik ini tidak diketahui publik Indonesia. Kasus ini pernah diangkat media Soeloeh Ra’jat pada 1947 dan Tempo pada 1986. Sejak itu kisah yang nun jauh di Tenggara Raya ini terkubur zaman.

Para korban Jugun Ianfu sekarang kalau masih hidupnya, usianya paling tidak sudah mencapai 80 tahun. Yang menjadi kekhawatiran kita semua, khususnya Global Future Institute, mereka para korban Ianfu (survivors) yang tersisa, pada akhirnya pun akan meninggal tanpa mendengar permintaan maaf resmi dari pemerintah Jepang, maupun kompensasi bagi para survivors maupun bagi para anggota keluarganya, dari pemerintah Jepang.

Dosa dan kejahatan perang tentara fasisme Jepang di Indonesia dan negara-negara kawasan Asia Pasifik, memang bisa dimaafkan. Namun pelajaran pahit dan sejarah kelam kebiadaban dan kejahatan perang yang dilakukan Jepang secara terorganisir pada saat menjelang dan saat berlangsungnya Perang Dunia II, rasa-rasanya tak mungkin akan kita lupakan sepanjang massa.

Indonesia boleh saja memperoleh keuntungan-keuntungan ekonomis melalui kerjasama erat dengan pemerintah Jepang. Namun Indonesia tidak boleh memperjualbelikan kesengsaraan dan penderitaan dari para leluhur dan nenek moyang bangsa Indonesia sendiri, yaitu kesengsaraan dan penderitaan para perempuan Indonesia yang telah dipaksa oleh pemerintah fasisme Jepang untuk menjadi “Budak Seksual” para serdadu Jepang di Indonesia.

Pada kesadaran ini, kita sebagai anak bangsa, kadang sampai pada sebuah pikiran, bahwa kemajuan dan keberhasilan bangsa Jepang saat ini, sejatinya bertumpu pada derita dan kesengsaraan para leluhur dan nenek moyang bangsa kita. Khususnya para perempuan Indonesia korban Jugun Ianfu.

Karena itu, Global Future Institute mendukung sepenuhnya seruan dari para peserta The 11th Asian Solidarity Conference for the issue of Military Sexual Slavery by Japan di Taipei Taiwan 8-11 Desember 2012, yang juga disetujui oleh Eka Hindra sebagai perwakilan Indonesia yang hadir pada konferensi tersebut, agar kepada setiap negara korban Ianfu (Indonesia, Timor Leste, Filipina, Cina, Korea Utara, Korea Selatan, Taiwan dan Belanda), membuat tulisan soal Perbudakan seksual militer Jepang di negara bersangkutan untuk dicetak menjadi buku. Untuk mengabadikan sejarah Hitam Bangsa Jepang saat Perang Dunia II di negara-negara eks jajahannya di Asia Pasifik, khususnya Indonesia.

-------------------------

Saran Rujukan Pustaka:


  ● The Global Review   

0 komentar:

Posting Komentar

Form Kritik & Saran

Nama

Email *

Pesan *