Sabtu, 08 Juni 2013

Bersatunya Muslimin pada Perang Salib: Damaskus 1147-1154 (1)




Oleh: Alwi Alatas
SEBAGAIMANA pernah dijelaskan dalam beberapa rtikel sebelumnya, kaum Muslimin mengalami kekalahan yang menyakitkan pada masa Perang Salib I (1096-1099). Salah satu penyebab utamanya adalah karena perpecahan di dalam tubuh kaum Muslimin. Perpecahan itu terjadi di banyak lini. Para ulama berpecah belah disebabkan perbedaan mazhab, sebagaimana diterangkan secara detail dalam buku Misteri Masa Kelam Umat Islam. Para penguasa pun berpecah belah hebat. Para emir berusaha mempertahankan kekuasaan masing-masing dan merasa enggan untuk menyatukan langkah dalam membangun peradaban dan melayani masyarakat. Dalam situasi seperti inilah Pasukan Salib datang ke Suriah dan Palestina dan menaklukkan sebagian wilayah itu, termasuk al-Quds.
Setelah Pasukan Salib berhasil menguasai al-Quds dan beberapa wilayah Muslim lainnya, para pemimpin Muslim di wilayah itu masih tetap bermusuhan satu sama lain. Bahkan ada di antara mereka yang bekerja sama dengan orang-orang Frank (Pasukan Salib) dalam menghadapi saudara Muslimnya. Sementara pada saat yang sama, orang-orang Frank cenderung bersatu, terutama saat berhadapan dengan kekuatan Islam. Hal ini menyebabkan orang-orang Frank itu berhasil menguasai sebagian wilayah Suriah-Palestina untuk waktu yang cukup lama.
Angin Perubahan
Keadaan ini mulai berubah pada saat terjadinya Perang Salib II (1147-1148). Pada masa ini, kaum Muslimin mulai berusaha menyatukan langkah mereka dan bekerja sama, sementara kekuatan salib justru mulai mengalami perpecahan. Rupanya para ulama dan pemimpin Islam di wilayah ini pada akhirnya mampu merespons tantangan yang mereka hadapi dengan baik. Dan ketika kaum Muslimin mulai menyatukan shaf, Allah menjadikan keadaan musuh justru berkebalikan dari itu. Situasi ini kemudian membawa kaum Muslimin pada kemenangan-kemenangan yang besar dalam menghadapi kekuatan salib, sehingga mereka berhasil membebaskan al-Quds 40 tahun kemudian.
Perang Salib II dipicu oleh jatuhnya kota Edessa (al-Ruha) ke tangan kaum Muslimin pada tahun 1144. Ketika itu yang memimpin penaklukkan Edessa adalah Imaduddin Zanki (1085-1146), pemimpin terkuat di Suriah ketika itu. Imaduddin Zanki mati terbunuh 2 tahun kemudian. Posisinya di Suriah digantikan oleh anaknya, Nuruddin Mahmud bin Zanki (1118-1174), seorang sultan yang soleh yang nantinya memberi perubahan besar di Suriah dan sekitarnya.
Jatuhnya Edessa menimbulkan kemarahan Eropa. Paus kemudian menyerukan dilakukannya Perang Salib II. Maka digalanglah kekuatan dan dihimpunlah pasukan dalam jumlah besar untuk berangkat ke Suriah dalam rangka membalas kekalahan di Edessa. Pasukan Salib II lebih banyak dan lebih hebat dibandingkan pasukan pada Perang Salib I. Pada Perang Salib I tidak ada raja yang menyertainya, hanya ada pangeran. Namun pada Perang Salib II ada dua raja yang memimpin pasukan, yaitu Raja Conrad III (1093-1152) dari Jerman dan Raja Louis VII (1120-1180) dari Perancis. Walaupun pasukan yang berangkat ini lebih dahsyat, tapi situasi yang mereka hadapi tidak lagi sama sebagaimana sebelumnya.
Dalam Perang Salib II ini Pasukan Salib mengalami beberapa perpecahan. Perpecahan itu tidak dalam bentuk konflik terbuka, tetapi dampaknya sangat serius.
Berikut ini perpecahan-perpecahan yang terjadi di kubu Pasukan Salib.
1. Perpecahan orang-orang Frank dengan Byzantium

Pada Perang Salib I, orang-orang Frank (Eropa Barat) bekerja sama dengan Byzantium (Eropa Timur) dalam serangan ke wilayah Muslim. Di antara kedua pihak ini memang menyimpan perasaan saling tidak suka antara lain karena perbedaan keyakinan di antara mereka, yang satu Katholik dan yang lainnya Kristen Orthodoks. Namun, mereka berusaha menjaga hubungan demi menghadapi musuh yang sama, yaitu kaum Muslimin. Pada Perang Salib I, pihak Byzantium-lah yang mengundang orang-orang Frank untuk membantu mereka masuk ke Asia Minor (kini Turki) dan Suriah. Namun, pada akhirnya ketegangan di antara kedua belah pihak ini semakin sulit untuk didamaikan, terutama pada masa-masa selepas Perang Salib I.
Pada Perang Salib II, Kaisar Byzantium sama sekali tidak mengharapkan datangnya gelombang Pasukan Salib yang baru. Ia belajar dari pengalaman kaisar sebelumnya bahwa kehadiran orang-orang Frank di Suriah-Palestina hanya menimbulkan masalah baru bagi mereka.
Byzantium memang membantu menyeberangkan orang-orang Frank pada Perang Salib II dari Konstantinopel ke wilayah Asia Minor. Namun, belakangan diduga Kaisar Byzantium secara diam-diam telah memberikan informasi kepada orang-orang Turki Saljuk di Asia Minor tentang perjalanan Pasukan Salib ini. Keadaan berikutnya memang sangat tidak menguntungkan bagi Pasukan Salib. Mereka menjadi bulan-bulanan pasukan Turki Saljuk, sehingga pada saat mereka berhasil tiba di Antioch (Antakya) yang terletak di perbatasan Suriah dan Asia Minor, jumlah pasukan mereka sudah menyusut jauh.
2. Perpecahan orang-orang Frank di Utara (Antioch-Edessa) dan Selatan (Palestina)

Pada masa Perang Salib II ini juga mulai terjadi perpecahan di antara para pemimpin Frank yang berada di Utara dan Selatan Kerajaan Latin, kerajaan yang mereka tubuhkan setelah penaklukkan al-Quds. Para pemimpin Frank di Utara, dalam hal ini Antioch dan sisa-sisa wilayah Edessa, ingin agar Pasukan Salib yang baru datang ke Suriah membantu mereka merebut kembali Edessa dan menghadapi pasukan Nuruddin Zanki yang merupakan kekuatan Muslim paling menonjol di Suriah. Namun, para pemimpin Frank di Selatan justru berkeinginan untuk menaklukkan Damaskus. Itulah sebabnya, ketika akhirnya sikap terakhir inilah yang diambil, para pemimpin Frank di Utara tidak mau ikut berpartisipasi.*/bersambung
Penulis adalah kandidat doktor bidang Sejarah di IIUM yang juga penulis buku “Nuruddin Zanki dan Perang Salib


Red: Cholis Akbar




Hidayatullah.com

0 komentar:

Posting Komentar

Form Kritik & Saran

Nama

Email *

Pesan *