Sabtu, 23 Agustus 2014

Q&A: Benarkah Yahudi itu Beda Dengan Zionis?


Penulis : Dina Y Sulaeman, mahasiswa Program Doktor Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran


Benarkah Yahudi itu Beda Dengan Zionis? Selama ini, dalam tulisan-tulisan saya, saya jawab ‘ya’. Buktinya, ada orang-orang Yahudi yang menolak Israel dan Zionisme, misalnya para Rabi Yahudi yang tergabung dalam Neturei Karta.

Tapi, sejak saya baca buku Gilad Atzmon (The Wandering Who), berteman dengannya di facebook dan mengikuti blognya, saya mendapatkan pemahaman yang lain. Inti pemikiran Atzmon adalah: konflik di Palestina justru sebenarnya berakar dari ideologi rasisme Yahudi. Mengapa perdamaian sulit sekali tercapai hingga kini? Karena memang world-view-nya orang Yahudi yang merasa lebih mulia dari ras lain (apapun itu, tidak hanya Arab), sehingga menyulitkan negosiasi dan rekonsiliasi.

Pemikiran Atzmon ini mendapat penentangan dari sesama Yahudi (mereka berkeras, harusnya sebut yang salah itu ‘Zionis’, tidak ada kaitan dengan ‘keyahudian’), dan bahkan dari sebagian aktivis Palestina sendiri, misalnya Ali Abunimah. Abunimah mengecam Atzmon karena menggunakan the J-word (blak-blakan menyebut ‘Yahudi’, ini dianggap ‘tidak sopan’ karena ‘akan menyinggung saudara-saudara kita kaum Yahudi’). Abunimah bahkan menggalang petisi untuk ‘mengingkari’ (disavow) Atzmon. Tapi, banyak juga akademisi dan aktivis pro-Palestina (baik itu Yahudi, Arab, maupun orang-orang Barat) yang menyetujui pemikirannya. Professor Marc Elis, seorang teologis Yahudi, bahkan menyebut Atzmon sebagai ‘nabi baru’ karena memberikan pencerahan kepada orang Yahudi.

Buku Atzmon sendiri sangat filosofis, tapi relatif mudah dicerna (terutama kalau setidaknya Anda pernah belajar sedikit filsafat); hanya saja, saya kesulitan mengungkapkan kembali dalam bahasa Indonesia. Tapi ini ada wawancara Atzmon dengan Alimuddin Usmani, yang relatif lebih mudah saya terjemahkan, yang bisa merangkum apa sebenarnya yang dipikirkan Atzmon:

Alimuddin Usmani: Setelah Operasi “Cast lead” pada tahun 2009 dan “Pillar of Defence” pada tahun 2012, tentara Israel kembali meluncurkan operasi “Protective Edge” pada bulan Juli 2014 terhadap Gaza. Apa tujuan dari operasi militer skala besar ini berulang?

Gilad Atzmon: Sangat penting untuk dicatat bahwa Israel belum pernah memenangkan satu pertempuran militer pun sejak tahun 1973. Benar, mereka telah membunuh banyak orang Arab, tetapi tidak berhasil mencapai salah satu tujuan militernya..

Dominasi militer Israel telah ditopang oleh kekuatan pencegahan (deterrence). Melalui perang ini, mereka ingin memaksa orang Arab untuk menghindari konflik dengan mengancam bahwa mereka (warga Arab) bisa kehilangan segalanya. Minggu ini, telah terbukti bahwa trik ini tidak akan bekerja lagi. Perlawanan Palestina telah bangkit kembali. Israel tidak dapat memecahkan masalahnya dengan cara militer. Situasi ini menimbulkan keputusasaan Israel. Mereka mulai menyadari bahwa mereka terjebak dalam kebuntuan politik, ideologi dan budaya. Israel tidak dapat menciptakan resolusi [penyelesaian konflik]. Tidak ada prospek masa depan bagi Negara Yahudi.

Selanjutnya, kebohongan terang-terangan Yahudi ‘kiri’ [istilah untuk Yahudi berhaluan Marxist] yang menyatakan bahwa [sumber] masalah adalah ‘pendudukan/penjajahan’ telah terungkap minggu ini. Kita menyaksikan warga Arab Israel [orang Arab yang jadi warga Israel] dikejar-kejar oleh orang-orang Yahudi. Seperti kita ketahui, kelompok sayap kanan telah menyeru agar dilakukan pengusiran massal terhadap semua orang Arab dari wilayah Israel; dan seruan ini semakin populer dalam Israel. Seruan brutal ini benar-benar konsisten dengan budaya dan ideologi supremasi Yahudi. Semua Yahudi, baik itu Zionis dan anti-Zionis, senang untuk beraktivitas di tengah lingkungan khusus Yahudi. Tapi bisakah Israel melepaskan diri dari Palestina? Inilah yang dijanjikan oleh pihak sayap kanan dalam koalisi [pemerintahan Israel].

Kembali ke pertanyaan Anda; karena militer tidak dapat memberikan jawaban dan politisi tidak dapat menghasilkan jalan keluar, militer digunakan sebagai brigade pemadam kebakaran. Ini memberikan kemenangan jangka pendek. IDF hanya mengulur waktu, tidak bisa meraih kemenangan karena tujuan militer mereka pun bahkan tidak dapat diartikulasikan. IDF menghujani Gaza dengan rudal, membunuh apa pun yang diduga berbahaya (termasuk anak-anak, orang tua dan wanita). Tapi seiring berjalannya waktu, opsi militer menyusut dan sampai batas tertentu, tidak bisa dipakai lagi.

Teoritisi militer Jerman, Carl von Clausewitz mengatakan pada abad ke-19 bahwa “perang adalah kelanjutan politik dengan cara lain.” Dalam kasus Israel, apa yang kita lihat malah kebalikan dari ide Clausewitz: politik Israel adalah kelanjutan dari kebutuhan Yahudi untuk berkonflik.

Alimuddin Usmani: Penulis koran Haaretz, Gideon Levy, menulis bahwa Israel tidak menginginkan perdamaian dan bahwa ‘rejeksionisme’ (penolakan) tertanam dalam keyakinan yang paling primer orang Israel. Pada tingkat terdalam [di benak mereka] terdapat konsep bahwa tanah ini diperuntukkan untuk orang-orang Yahudi saja. Apa pendapat Anda tentang ini?

Gilad Atzmon: Saya senang melihat bahwa semakin banyak orang, termasuk lawan bebuyutan saya sekarang setuju dengan saya, bahwa ada sesuatu yang sangat mengganggu dalam budaya dan identitas politik Yahudi. Haaretz menulis sebuah editorial beberapa hari lalu yang menyatakan bahwa “Israel harus menjalani revolusi budaya”. Lawan paling keras saya orang Palestina, Ali Abunimah, yang baru-baru ini mengecam saya untuk berfokus pada budaya Yahudi, tampaknya juga telah mengadopsi filosofi saya. Dia sekarang menunjuk rasisme mengerikan yang melekat dalam budaya dan politik Yahudi.

Dan sekarang, setelah memuji diri sendiri, saya menjawab pertanyaan Anda. Dalam bahasa Ibrani, kata ‘Shalom’ tidak berarti perdamaian, harmoni, atau rekonsiliasi. Namun artinya ‘keamanan bagi orang-orang Yahudi’. Dengan kata lain, Israel tidak memiliki kata yang tepat untuk ‘damai’ atau ‘rekonsiliasi’. Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa Israel bukanlah mitra dalam perdamaian. Israel bahkan tidak dapat merenungkan konsep ‘damai’ itu.

Setelah kita sadar akan kondisi pasca-politik di mana kita hidup, filsafat dan pemikiran esensialis adalah alat analisis penting untuk memahami lanskap manusia di sekitar kita. Dan sekarang, silakan tanyakan pada diri sendiri, [wahai] Anda yang telah menjadi musuh bebuyutan dari pemikiran esensialis dan filosofis dalam akademisi dan politik. Hal ini, jelas, Yahudi ‘kiri’ lah yang berusaha begitu keras untuk mencegah kita dari berpikir tentang Yahudi dalam terminologi kategoris.
[selanjutnya, bisa dibaca wawancara selengkapnya di sini]


Penjelasan dari saya:
Jadi, selama ini yang jargon yang dipakai oleh orang-orang Yahudi ‘pro-perdamaian’ adalah: “Sumber masalah adalah pada Zionisme, pada penjajahan Israel di Palestina. Yahudi itu sebenarnya baik kok, yang salah itu mereka yang menjajah di Palestina.”

Nah, Atzmon menggugat pendapat seperti ini. Menurutnya (yang secara panjang lebar diargumentasikan dalam bukunya), justru ideologi anti-Gentile (anti-non-Yahudi) yang tertanam kuat dalam diri orang Yahudi dimanapun berada yang menjadi sumber masalah. Karena itu, perjuangan Atzmon ada di titik ini. Dia menulis buku, blog, diwawancarai media, keliling berbagai negara, untuk menggugah kesadaran orang-orang Yahudi, bahwa mereka memiliki kesalahan ideologis yang sangat inheren. Perdamaian di Palestina tidak akan terjadi jika cara berpikir anti-Gentile orang Yahudi ini belum hilang.

Seperti dikatakan Atzmon dalam kesempatan lain:

[Saya] men-decoding budaya Yahudi dan mendekonstruksi kekuatan (power) Yahudi. Berdasarkan hal itu, saya berupaya memahami apa yang menyebabkan Yahudi-Israel tidak bisa menerima –bahkan sekedar mempertimbangkan- kemungkinan bahwa negara mereka [dapat] menjadi negara untuk [semua] warganya [termasuk Arab]. Saya ingin memahami, misalnya, mengapa Yahudi di Barat adalah yang terdepan memperjuangkan kebijakan pro-imigran, tetapi negara Yahudi mereka [Israel] justru yang memiliki aparat anti-imigran yang paling ganas. Pertanyaan ini sangat krusial. Tidak seperti blogger Palestina, Ali Abunimah yang meyakini bahwa memahami budaya tidak relevan dengan realitas dan proses politik, saya percaya bahwa memahami budaya adalah kunci terpenting untuk memahami, adakah kemungkinan untuk hidup berdampingan di wilayah itu [Palestina].

Selain itu, Atzmon juga mengkritisi sebagian aktivis Palestina yang justru terkooptasi dalam kekuatan Yahudi. Adalah realitas mengejutkan, sebagian besar LSM Palestina justru dibiayai Open Society (milik George Soros). LSM-LSM ini justru berperan ‘membelokkan’ arah perjuangan pembebasan Palestina. Selengkapnya bisa dibaca di sini. Open Society Soros berperan dalam menyebarluaskan ide-ide LGBT (lesbian, gay, biseksual, transgender) dengan tujuan ‘mengalahkan’ kaum muslimin melalui cara-cara marjinalisasi politik dan identitas politik (baca tulisan Atzmon di sini).

Semoga catatan singkat ini bisa memberi manfaat untuk penstudi HI, Kajian Timteng, dan pemerhati masalah Palestina.


sumber : http://www.theglobal-review.com/

0 komentar:

Posting Komentar

Form Kritik & Saran

Nama

Email *

Pesan *