Selasa, 31 Maret 2015

ISIS Bukan Ancaman Sesungguhnya Bagi Indonesia

ANALISIS
Penulis : Hendrajit dan M Arief Pranoto, Peneliti Senior Geopolitik Global Future Institute

16 WNI yang hilang di Turki bagaimana perkembangan terkini? Apa sudah ada titik terang. Yang membuat saya terganggu belum-belum sudah disangkut-pautkan dengan kemungkinan mereka bergabung dengan ISIS. Untuk itu, izinkanlah penulis menurunkan kembali tulisan lawas tentang ISIS hasil olahan bersama Hendrajit dan M Arief Pranoto beberapa waktu lalu.

Semoga hilangnya 16 WNI kita adalah non politis, sehingga tidak melebar menjadi isu ancaman ISIS, sehingga jadi bahan permainan politik berbagai kelompok yang berkepentingan.

=====================================

Memahami Konteks ISIS Yang Lahir dari Rahim al Qaeda

1. Sebagai isu pengganti dari skenario Al Qaeda yang sudah tutup buku di Irak sejak 2012. Beberapa kajian menginformasikan bahwa al-Qaeda dan afiliasinya hadir di berbagai negara dengan sebutan berbeda.

2. Di Afghanistan namanya “Taliban”, Di Yaman dijuluki “al-Qaeda in Arabian Peninsula”, di Libya bernama “Ansar al-Sharia”, di Nigeria stigmanya “Boko Haram”, di Aljazair bernama “al-Qaeda in Islamic Maghreb”, di Syria disebut “Jabhat al-Nusra”, di Somalia istilahnya “al-Shabab”, sementara di Indonesia? Mereka menyebut diri sebagai Mujahidin Indonesia Timur (MIT). Belakangan yang sekarang populer dengan sebutan ISIS. Dan agaknya, mereka juga tengah membidani ‘kelompok radikal’ di India dan Cina. Entah apa namanya.

3. Mereka itu, entah Boko Haram, atau MIT, al Shabab, Jabhat al Nusra, Ansar al Sharia, bahkan ISIS itu sendiri, sejatinya merupakan ranting atau anak-anak yang lahir dari “rahim” al Qaeda. Dan kini, afiliasi terpopuler adalah ISIS(Islamic State in Iraq and al Syam).

4. Berarti, kemunculan ISIS ditujukan untuk menciptakan kesan bahwa umat Islam itu pada umumnya fanatik, radikal, tidak berprikemanusiaan, tidak toleran, dan suka berperang maupun membenarkan tindak kekerasan terhadap warga masyarakat yang berkeyakinan lain.

5. Maka itu, bisalah ditarik kesimpulan keberadaan ISIS merupakan false flag operation alias operasi bendera palsu.

6. Seolah-olah bekerja sama (Islam) sebagai kawan, padahal bekerja untuk kepentingan musuh. Semacam deception atau taktik pengelabuan. Biar kelompok Islam tertentu beranggapan, seakan-akan tengah melakukan misi suci agama menghadapi para adidaya anti Islam, tetapi prakteknya, justru gerakan mereka dalam kendali dan pengawasan agen intelijen seperti CIA, MI-6, Mossad, dan lainnya.

7. Pada gilirannya, gerakan kelompok ini justru merupakan kontra produktif bagi citra Islam itu sendiri. Tersirat tujuannya, agar kaum muslim terstigma sebagai golongan keras kepala, tidak berperikemanusiaan, suka berperang, dll yang tidak mencerminkan layaknya akhlak ajaran Islam.

Skenario Amerika Serikat dan Dunia Barat Untuk Memojokkan Islam

1. Ada beberapa indikasi yang menunjukkan bahwa gejala kemunculan ISIS dan organ-organ sejenisnya seperti kami uraikan di awal tulisan ini, secara skematik memang dirancang oleh para penyusun kebijakan strategis keamanan nasional di Washington.

2. Sebagai landasan pihak AS dan sekutu-sekutu baratnya untuk membangun citra radikalisme Islam, maka rujukan yang paling pas adalah buku karya pakar politik AS Dr Samuel Huntington, “The Clash of Civilization and The Remaking of World Order.” Inti dari pikiran Huntington dalam bukunya ini: “Bahwa konflik antara Islam dan Barat merupakan konflik sebenarnya!” Sedangkan konflik antara kapitalis dan marxis sifatnya cuma sesaat dan dangkal. Dari 32-an konflik-konflik di dunia pada tahun 2000-an, dua pertiganya ialah antara Islam dengan Non Islam. Sayangnya, Huntington gagal membuktikan secara detail dan rinci sebab akibat dan kenapa konflik tersebut bisa sampai terjadi.

3. Bagi saya, hal tersebut tidak mengherankan. Karena memang itulah tujuan Huntington menerbitkan buku tersebut, yaitu membentuk Opini dan tebar isu bahwa skenario “Barat verus Islam” itu merupakan sebuah kebenaran.

4. Dalam bukunya yang lain, “Who Are We? The Challenges to America's National Identity” (2004), Huntington malah semakin tegas lagi. bahwa musuh Barat pasca perang dingin adalah Islam. Meskipun ada embel-embel 'militan' sebagai tambahan, namun di berbagai penjelasan, definisi Islam Militan melebar kemana-mana mengaburkan makna sesungguhnya. Akhirnya, dengan berakhirnya Perang Dingin, Islam (militan) benar-benar menggantikan posisi Soviet (komunis) sebagai musuh utama AS dan sekutu.

5. Dari kedua karya Huntington, yang mana dirinya sejak awal merupakan corong dan pembentuk opini publik yang membawa pesan sponsor dari Pentagon dan think-thank-nya yang bernama Rand Corporation, maka kita sudah bisa menerka kemana arah tujuan dengan dimunculkannya mencuatnya isu ISIS di Indonesia, dan negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim pada umumnya.

6. Mencuatnya isu ISIS, selain untuk menstigma kebangkitan radikalisme Islam di Indonesia dan negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim, pada saat yang sama akan memicu konflik internal antar berbagai mahzab di kalangan kelompok-kelompok Islam, yang selama ini hidup berdampingan secara damai dan harmonis.

Bagaimana Asal-Muasal ISIS Terbentuk?

1. Pernah dengar yang namanya Strategi Sarang Lebah? Mari kita telisik fakta-fakta berikut ini, dan setelah itu silahkan bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian menyimpulkan sendiri. Adalah mantan karyawan National Security Agency (NSA) milik Amerika Serikat, Edward Snowdeen mengungkapkan bahwa intelijen Inggris (MI6), Amerika Serikat(CIA) dan Israel (Mossad) bekerjasama membentuk gerilyawan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) atau Islamic State (IS).

2. Mengutip berita yang dilansir situs globalresearch.ca, Jumat 1 Agustus 2014, Snowdeen mengatakan badan intelijen dari ketiga negara ini menciptakan sebuah organisasi teroris yang mampu menarik semua ekstrimis dunia ke satu tempat. Mereka menggunakan strategi yang disebut Sarang Lebah.

3. Dokumen NSA menunjukan implementasi strategi Sarang Lebah untuk melindungi entitas Zionis dengan menciptakan slogan-slogan agama dan Islam.

4. Data tersebut juga mengungkapkan bahwa pemimpin ISIS Abu Bakar Al Baghdadi pernah mengikuti pelatihan militer intensif selama satu tahun di tangan Mossad, selain program dalam theologi dan seni berbicara.

5. Maka tak salah lagi, bergulirnya isu keberadaan ISIS (IS) sejatinya merupakan reinkarnasi dari keberadaan kelompok teroris jadi-jadian kreasi CIA semacam Al-Qaeda seperti di era kepresidenan Bush 2000-2008.
6. Amerika Serikat, Inggris dan Israel berkeinginan penerapan strategi Sarang Lebah bisa menjaring kelompok-kelompok Islam radikal agar berkumpul di satu tempat yang sama. Sehingga mudah dikendalikan dan dijinakkan melalui kerangka operasi intelijen yang dilancarkan ketiga negara tersebut yang kerap dikenal dengan sebutan False Flag Operation (Operasi Bendera Palsu).

7. Dalam False Flag Operation ini, kelompok-kelompok Islam beranggapan bahwa mereka sedang menjalankan misi suci keagamaannya secara independen dan bertujuan untuk menghadapi negara-negara adidaya yang mereka pandang anti Islam.

8. Namun pada prakteknya, gerakan mereka sepenuhnya berada dalam kendali dan pengawasan dari agen-agen intelijen MI6-CIA-Mossad; sehingga gerakan kelompok-kelompok Islam radikal tersebut justru kontra produktif bagi citra dan kredibilitas kelompok-kelompok Islam yang bersangkutan, bahkan membawa citra buruk bagi umat Islam pada umumnya.

ISIS Merupakan Bagian dari Munculnya Kelompok Perlawanan di Irak Pasca Invasi Militer AS 2003

1. Jika kita cermati asal mula berdirinya ISIS, hakekatnya merupakan konsekwensi logis dari merebaknya kelompok-kelompok perlawanan bersenjata di Irak pasca kejatuhan Presiden Irak Saddam Hussein. Maupun merebaknya kelompok-kelompok perlawanan bersenjata yang bermaksud mendongkel pemerintahan Bashar al Assad.

2. Kondisi obyektif di Irak pasca invasi militer AS 2003, pemerintahan Saddam Hussein memang berhasil ditumbangkan dan AS, dengan dalih Irak memiliki senjata pemusnah massal dan mendukung kelompok-kelompok yang terkait dengan kegiatan-kegiatan terorisme. Singkat cerita, AS berhasil menaklukkan Irak dengan cepat secara militer.

3. Namun celakanya, pemerintahan George W Bush tidak mempunyai rencana strategis yang jelas untuk membangun sistem politik Irak pasca Saddam. Sehingga kebijakan-kebijakan strategis yang dibuatnya malah menjadi blunder.
4. Dalam realitas politik Irak, Saddam merupakan bagian dari golongan minoritas Sunni (sekitar 20 persen dari populasi) yang kemudian berkuasa atas mayoritas penduduk Irak bermahzab Syiah yang merupakan 63 persen dari penduduk Irak.
5. Alhasil, kemudian memicu pemberontakan dari kelompok Sunni yang tersisa di Irak, yang pada perkembangannya juga mendapat dukungan penuh dari jaringan kader-kader Partai Ba’ath baik sipil maupun eksponen militernya.
6. Pada tataran inilah, salah satu kelompok pemberontakan tersebut adalah yang dipimpin oleh Abu Bakar al Baghdadi. Maka sejak 2006, terjadilah perang saudara antara Irak bagian Utara yang umumnya warga masyarakatnya menganut Islam Sunni, dan Irak bagian Selatan yang warga masyarakatnya menganut Syiah.
7. Pada Perkembangannya kemudian, kelompok Abu Bakar al Baghdadi yang kemudian mengembangkan lingkup gerakannya ke Suriah, dan menggabungkan diri sebagai bagian integral kelompok-kelompok perlawanan berbendera Islam yang bermaksud menggulingkan Presiden Bashar al Assad.
8. Dengan kata lain, gerakan yang dipimpin Abu Bakar al Baghdadi, pada hakekatnya telah memanfaatkan situasi obyektif yang berkembang di dalam negeri Irak maupun Suriah, yang kemudian kelompok al Baghdadi ini dikenal dengan sebutan ISIS.
9. Jadi, ISIS yang dikembangkan oleh al Baghdadi, telah menjadikan kelompok yang dipimpinnya sebagai bagian integral dari berbagai kelompok perlawanan bersenjata di Irak maupun Suriah, seraya menarik simpati dan dukungan umat Islam sedunia pada umumnya, sebagai kelompok perlawanan berbendera Islam baik di Irak maupun Suriah.

ISIS Bukan Merupakan Ancaman Bagi Indonesia

1. Dengan mencermati asal mula dan alasan mengapa ISIS muncul di Irak dan Suriah, maka kita di Indonesia harus memandang keberadaan ISIS di Indonesia sebagai sesuatu yang tidak relevan. Sehingga kita harus menafikan dan mengabaikan keberadaanya di Indonesia.

2. Learning point yang bisa kita tarik dari peran dan keberadaan ISIS di Irak dan Suriah, maka kemunculan ISIS harus kita baca semata-mata sebagai produk dari konflik lokal yang terjadi baik di Irak maupun Suriah. Meskipun pada perkembanganya ISIS mengklaim dirinya mendapat simpati dan dukungan dunia Islam pada umumnya.

3. Selain itu, ada sebuah paradoks yang harus kita baca secara kritis dan jeli terkait kiprah ISIS di Irak maupun Suriah. Di Irak, ISIS merupakan bagian integral dari kelompok-kelompok perlawanan Sunni terhadap pemerintahan Syiah yang kenyataannya didukung oleh pemerintah AS. Namun sebaliknya di Suriah, ISIS merupakan bagian integral dari kelompok perlawanan bersenjata yang bertujuan menggulingkan Presiden Assad yang justru mendapat bantuan secara terbuka dari Amerika dan NATO.

4. Dengan begitu, meskipun ISIS telah mengklaim keberadaannya sebagai kelompok Islam yang menganut paham Sunni, namun mengingat cita-citanya untuk menyatukan seluruh dunia dalam satu pemerintahan Islam berdasarkan Khilafah Islamiyah melewati batas-batas negara bangsa, rasa-rasanya tidak mungkin mendapat dukungan yang meluas dan mengakar di Indonesia. Meskipun secara faktual tradisi Islam Sunni di Indonesia adalah yang terbesar, namun paham seperti yang dianut oleh ISIS sama sekali tidak mengakar dan meluas di Indonesia.

5. Karena kehidupan umat Islam telah berjalan cukup damai dan harmonis meskipun terdapat berbagai mahzab dan paham keislaman di Indonesia, bahkan sejak awal penyebaran Islam di tanah air berabad-abad yang lalu.

6.. Sehubungan dengan hal tersebut, berbagai kalangan yang membesar-besarkan kemunculan ISIS di Indonesia sebagai sebuah ancaman yang cukup serius dan nyata, kiranya sama sekali tidak beralasan. Kecuali jika terkandung maksud untuk menggunakan tebar isu kehadiran ISIS untuk memicu antagonisme maupun konflik antar berbagai mahzab dan paham keislaman di Indonesia, sehingga terjadi perpepcahan antar umat beragama di Indonesia. Khususnya antar umat Islam di tanah air.

7. Dan kalaupun keberadaan dan peran ISIS di Indonesia memang nyata-nyata memang terjadi sebagai embrio menguatnya radikalisme kelompok-kelompok Islam, maka yang patut dipersalahkan adalah komunitas intelijen Indonesia yang telah gagal dalam mendeteksi dan memprediksi kemunculan kelompok-kelompok Islam radikal semacam ISIS atau organ-organ lain yang sejenis dengan itu.

Demikian sekadar beberapa catatan singkat kami berdua. Kalau ada kekurangan ataupun kesalahan, sepenuhnya tanggungjawab penulis.



Sumber : http://www.theglobal-review.com

Read more »

Menebar Gelora Antipenjajahan!


Penulis : M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)

Menelusuri masa lalu bukanlah hal tabu, karena selain dianjurkan oleh leluhur dalam slogan: “Jas Merah”, jangan melupakan sejarah kata Bung Karno (BK), maka membaca tempo dulu juga tak berarti tenggelam dalam romantisme baik masa keemasan atau kebangkrutan semata --- bukan! Tidak pula mengenang potret ‘kejadulan’ ataupun antik fisik sebagaimana marak di berbagai komunitas hobi, sekali lagi: BUKAN!

Membaca zaman lampau bermakna belajar tentang substansi dan hikmah atas sebuah realitas yang terjadi, kenapa? Jawabannya: History repeat itself. Sejarah niscaya berulang, hanya aktor dan kemasan kerapkali tidak sama sesuai keadaan.  

Dalam memetik hikmah serta substansi, memang tergantung kualitas kejelian dan kecermatan orang, kelompok, dan bangsa dalam mengurai ‘mengapa terjadi’ --- bukan sekedar melihat ‘apa yang terjadi’ oleh sebab nantinya dijadikan rujukan melangkah kedepan agar kita, dia, kami, atau mereka, dll tidak seperti anekdot kerbau terperosok (dalam sehari) di lobang yang sama. 

Nah, catatan sederhana ini ingin mengulas sedikit esensi maupun hikmah yang mutlak dipetik oleh diri, keluarga, kelompok bahkan bangsa serta negara atas Konferensi Asia Afrika (KAA) tahun 1955 di Bandung.

Saya mencoba menerangkan sekilas hikmah KAA, tanpa setitikpun niat menggurui siapapun terutama para pakar dan pihak-pihak berkompeten. Artinya jika terdapat pandangan atau pendapat berbeda, anggaplah itu kewajaran yang perlu analisa, atau didiskusikan secara lebih dalam tanpa perlu adanya syak wasangka, atau saling mencurigai, dan sebagainya karena hakikat hal-hal yang saya sampaikan demi kebaikan bersama, terutama dalam rangka tegak dan bangkitnya kembali nusantara, Indonesia Jaya.

Tak dapat dipungkiri, bahwa nilai sebuah kejayaan baik negara, individu, golongan, maupun warga dan bangsa yang hidup di dalamnya memiliki kriteria, ukuran, ataupun parameter-parameter tersendiri. Tak bisa tidak. Menjadi kelaziman bila kriteria kejayaan sebuah negara adalah peradaban, sedangkan parameter kejayaan individu diukur melalui moral. Meski kini berkembang stigma sosial bahwa ukuran kejayaan (kesuksesan) individu dilihat dari harta, takhta dan wanita --- itu syah-syah saja, namun penulis menilai bahwa stigma tersebut selain hanya ‘bunga-bunga dunia’ juga dapat disinyalir sebagai ujud pendangkalan konsep atas nilai kejayaan semula. 

Ada beberapa aspek pendorong (driving force) yang dapat memunculkan baik peradaban maupun moral itu sendiri selaku ukuran atau parameter kejayaan negara, individu, kelompok, dan sebagainya bisa diurai sebagai berikut:
Pertama adalah faktor keyakinan (confidence). Pertanyaannya sederhana, “Bagaimana negara atau individu akan maju dan meraih kejayaannya jika dalam keseharian tak punya keyakinan dan rasa percaya diri?” Entah hal-hal apa saja. Kita hampir tak memiliki keyakinan terutama jika ditinjau dari elemen dinamis daripada Ketahanan Nasional yang meliputi aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan (ipoleksosbudhankam) atau pancagatra.

Dalam hal ideologi misalnya, kita terombang-ambing ombak globalisasi sehingga ‘pasrah’ kemudian mengakomodir bahkan menelan bulat-bulat demokrasi ala Barat dan nilai-nilai asing yang belum terbukti keampuhannya pada perjalanan bangsa ini. Inilah ‘jalan pintas’ segenap anak bangsa yang dikira bisa cepat meraih masa kejayaan namun praktiknya justru kian menggiring bangsa ini pada keterpurukan, mengapa? Intinya: “Tidak punya keyakinan terhadap pakem dan pola sendiri guna meraih kejayaannya”

Nilai-nilai asing semacam liberalisme, HAM, dll akhirnya menjadi ‘senjata sakti’ setiap komunitas guna memaksakan kehendaknya di muka umum meskipun tata caranya menabrak etika, moral bahkan melanggar kepentingan bersama. Kebebasan yang bertanggung jawab dalam Demokrasi Pancasila malah dianggap riak belaka, seakan-akan di atas namun secara hakiki menjadi mainan arus besar (Demokrasi ala Barat). Kenapa semua itu terjadi? Lagi-lagi: “Karena kita tidak memiliki keyakinan atau rasa percaya baik selaku diri dan bangsa!”

Di bidang ekonomi apalagi, sangat-sangat parah. Konstitusi negara pasal 33 UUD 1945 telah tertulis jelas melalui prinsip-prinsip ekonomi kerakyatan, antara lain:

(1) perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan; (2) cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; dan (3) bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Akan tetapi dalam praktik dari waktu ke waktu, orde demi orde justru ruh kerakyatan kian menjauh dari substansi ekonomi pasal 33 dimaksud. Revrisond Baswir, Kepala Pusat Kajian Ekonomi Kerakyatan UGM (Subversi Neokolonialisme, 2009) mensinyalir, bahwa perjalanan perekonomian Indonesia selama 64 tahun ini justru lebih tepat disebut sebagai sebuah proses transisi dari kolonialisme menuju neokolonialisme. Proses transisi itulah antara lain yang menjelaskan semakin terperosok perekonomian Indonesia ke dalam penyelenggaraan agenda-agenda ekonomi neoliberalisme (neolib) dalam beberapa waktu belakangan ini.

Pada satu pihak, kita seperti tidak rela kekayaan bangsa ini dijarah oleh bangsa luar atas nama investasi asing, structural adjusment policy (SAP), IPO dan lain-lain, karena aset-aset negara lepas satu persatu dan dikuasai swasta (asing). Namun di pihak lain, berbagai undang-undang (UU), Keppres, dll yang terbit di era kini malah pro atas mekanisme neokolonialisme tadi. Sebuah ironi realitas di depan mata. Agaknya kondisi semacam itu menggerus pula aspek-aspek kehidupan lain sehingga melemahkan Ketahanan Nasional kita.

Maka titik awal pergerakan dan perjuangan untuk kebangkitan bangsa seyogyanya adalah: “Hilangkan perasaan minder, hapus rendah diri dan musnahkan rasa tidak percaya diri baik sebagai individu maupun bangsa!” Tak bisa tidak. Bahwa rasa minder (inferior) merupakan akar dari segala akar yang menyebabkan bangsa kita terpuruk di mata global.

Ketika tidak memiliki rasa percaya diri maka dengan mudah pihak asing mengalihkan perhatian, menyesatkan, menjerumuskan, dll sebab bangsa ini seperti tidak memiliki pijakan akan keyakinan. Kita gamang, minder, ragu-ragu, dsb. Akibatnya, selama ini para elit dan segenap bangsa cuma gaduh di tataran hilir dengan aneka wacana serta ‘isue-isue ciptaan’ melalui beragam media, lalu elit dan pengambil kebijakan larut dalam skema asing, membiarkan, bahkan celakanya ---- tidak sedikit para elit dan perumus kebijakan justru sadar serta terlibat pada kerancuan pengelolaan berbangsa dan tata bernegara.

Ditebar isue korupsi misalnya, lalu kita heboh sendiri di dalamnya. Dibentuk KPK-lah, atau didirikan Non Government Organization (NGO) antirasuah sebagai “kaki”-nya KPK, dibuat UU PPATK, dsb. Inilah salah satu ujud dari kebijakan negara cq pemerintah namun tidak berbasis anatomi masalah serta potensi ancaman kedepan. Pertanyaannya, “Siapa paling diuntungkan atas kerancuan situasi seperti ini, manakala bapak-bapak khawatir melakukan transaksi dan takut menyimpan uangnya dalam jumlah besar di dalam negeri sendiri?”

Ya, tentu pihak luar negeri yang diuntungkan. Mungkin bank-bank Swiss, mungkin bank di Solomon, Fiji, dll dan sangat mungkin ialah Singapura karena ribuan triliun rupiah milik orang Indonesia terbukti ada (disimpan) disana. Ini sekedar salah satu contoh nyata.

Saya berasumsi, inilah keadaan rancu hasil cipta kondisi oleh asing melalui wacana dan isue yang niscaya (tujuannya) akan menelorkan kebijakan-kebijakan negara cq pemerintah yang salah arah dan hasilnya: “Tidak jelas,” mengapa? Kebijakan kok malah menguntungkan pihak asing? Jujur harus dijawab, “Dengan terbitnya UU PPATK, negara mana diuntungkan?”

Faktor kedua adalah kebodohan berkala. Tak boleh dielak, faktor ini menjadi subur di Bumi Pertiwi akibat modus pencitraan yang menjadi pilar utama model politik pasca reformasi, seperti multi partai misalnya, atau one man one vote, otonomi daerah, dan lainnya. Petruk disulap jadi raja, penjahat dirias pun bisa duduk sebagai pejabat. Akibatnya korupsi marak lalu dipropagandakan (digebyarkan) oleh media seolah-olah sebagai persoalan utama bangsa ini. Inilah ujud penyesatan, wong korupsi di Indonesia diciptakan oleh sistem politik pasca reformasi.

Asumsi Global Future Institute (GFI), Jakarta, pimpinan Hendrajit, bahwa model dan sistem politik semacam ini yang berkuasa justru pemilik modal serta para donator kampanye yang meremot pagelaran politik di balik layar. Dengan kata lain, bila ‘jago’-nya jadi, mereka akan menyetir kebijakan! Bagaimana si petruk tidak korupsi?

Sumber lain pembodohan berkala ini ialah modus pencitraan sebagaimana diulas sekilas di muka. Betapa kebohongan dianggap nilai yang dimaklumi bersama, sehingga kedustaan menjadi-jadi. Artinya apa, sekali si sosok berbohong kepada publik maka akan disusul oleh kebohongan-kebohongan lain untuk menutupinya. Inilah yang kini tengah berlangsung masif di republik tercinta ini. Sikap plin-plan bahkan munafik justru dipelihara oleh sistem ---- kegilaan, popularitas murahan menjadi ‘makanan’ sehari-hari di tengah masyarakat. Dan sudah barang tentu, hampir tidak ada lagi keteladanan para elit dan pimpinan publik untuk rakyatnya.

Secara politik, sumber dari segala sumber kebodohan berkala adalah sistem politik dan ekonomi yang abai terhadap konstitusi dan local wisdom leluhur, kenapa sistemnya malah merujuk model ala Barat, baik one man one vote, otonomi daerah, dan sebagainya pada ranah politik maupun model ekonomi neolib dalam praktik ekonomi, dan lain-lain. Sedang secara individu, kebodohan berkala bermula dari sikap plin-plan atau munafik. Pagi kedelai sore tempe!

Akhirnya dapat diterka, bahwa maraknya fenomena berkala atas pembodohan di tengah-tengah rakyat, kini terjadi kecenderungan bahwa sistem yang digunakan cuma menyenangkan segelintir elit serta hanya mengenyangkan kelompok kecil. Sadarkah kita? 

Faktor ketiga adalah bangsa pengekor. Betapa banyak anak bangsa bahkan intelektualnya merasa malu menjadi warga Indonesia, minder atas ke-Indonesiannya, entah kenapa sikap ini tumbuh subur. Mereka justru bangga dengan bangsa lain serta mengunggulkan negara asing yang akar budaya dan nilainya tak sama, bahkan bertolak belakang. Lagi-lagi, Revrisond mengendus bahwa telah terlembaganya sistem “cuci otak” yang bercorak neolib dan anti ekonomi kerakyatan pada hampir semua jenjang pendidikan di Indonesia. Luar biasa. 

Mungkin ini adalah akumulasi atas kedua faktor di atas, baik rasa tidak percaya diri sebagai diri dan bangsa maupun sikap plin-plan yang overload, seakan-akan menjadi epidemi di negeri ini. BK menyebut fenomena ini dengan istilah “blandis,” salah satu jenis komprador yang sikap dan perilakunya lebih mempercayai rujukan asing daripada rujukan bangsa sendiri. Inilah golongan pengekor yang kelak dan pasti akan menerkam rakyatnya sendiri dengan berbagai alasan dan justifikasi.

Manakala GFI, Jakarta, dalam Jurnal ke 7 mengambil tema: “Revitalisasi Spirit KAA Bandung,” maknanya tak lain ialah “Cermin Diri.” Artinya, agar segenap tumpah darah Indonesia harus melakukan intropeksi berjamah, berkaca secara massal, terutama kaum elit politik dan para perumus kebijakan negeri ini. Dengan kata lain, betapa bangsa dan segenap pimpinannya kita tempo doeloe di awal berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) telah mampu menjadi epicentrum dalam menebar sikap anti-imperialisme dan menggerakkan negara-negara berkembang lain untuk bangkit melawan kolonialisme serta mencermati model-model neokolonialisme yang kelak berubah ujud, maka refleksinya kini: “Bagaimana kiprah para elit dan pengambil kebijakan di era sekarang?”

Penjajahan dengan segala macam bentuknya adalah biang kemiskinan siapapun dan sampai kapanpun bagi negara manapun di muka bumi, karena inti kolonialisme adalah mencaplok ekonomi sebuah bangsa. Ini cuplikan pidato BK dalam forum KAA di Bandung dulu:

“Saya tegaskan kepada anda semua, kolonialisme belumlah mati. Dan, saya meminta kepada Anda jangan pernah berpikir bahwa kolonialisme hanya seperti bentuk dan caranya yang lama, cara yang kita semua dari Indonesia dan dari kawasan-kawasan lain di Asia dan Afrika telah mengenalinya. Kolonialisme juga telah berganti baju dengan cara yang lebih modern, dalam bentuk kontrol ekonomi, kontrol intelektual, dan kontrol langsung secara fisik melalui segelintir elemen kecil namun terasing dari dalam suatu negeri. Elemen itu jauh lebih licin namun bisa mengubah dirinya ke dalam berbagai bentuk.”

Ya, dalam perspektif hegemoni superpower terutama di mata Presiden Richard Nixon (1969-1974), Indonesia adalah target kolonialisme Amerika semenjak dulu. Cuplikan tulisan Charlie Illingworth, penulis Amerika, mungkin bisa dijadikan salah satu referensinya:

“Presiden AS Richard Nixon menginginkan kekayaan alam Indonesia diperas sampai kering. Indonesia, ibarat sebuah real estate terbesar di dunia, tak boleh jatuh ke tangan Uni Soviet atau Cina.”

Menurut BK, cengkeraman struktur ekonomi kolonial dapat disimak berdasarkan tiga ciri: (1) Indonesia diposisikan sebagai pemasok bahan mentah bagi negara-negara industri maju; (2) Indonesia diposisikan sebagai pasar bagi barang-barang jadi yang dihasilkan oleh negara-negara industri maju; dan (3) Indonesia diposisikan sebagai pasar untuk memutar kelebihan kapital yang diakumulasi oleh negara-negara industri maju tersebut.

Tatkala sekarang Indonesia menjumpai keterpurukan dalam hal peradaban dan moral sebagaimana diurai di muka tadi ---akibat tiga faktor pendorong (driving force) di atas--- maka pertanyaan yang timbul, “Bukankah hal-hal tersebut adalah bagian dari neokolonialisme dalam bentuk kontrol ekonomi, kontrol intelektual dan kontrol fisik secara langsung oleh asing melalui segelitir elit dan kompradornya, sebagaimana isyarat BK?”

Sekali lagi, pertanyaan pamungkas pada catatan ini: “Mengapa semua itu terjadi di Bumi Pertiwi?” Jawabannya simpel, kita tidak mau berkaca pada kejadian yang lalu-lalu maupun masa akan datang, tetapi cenderung mengutamakan kepentingan sejenak (politik praktis)!

Terimakasih

Sumber : http://www.theglobal-review.com

Read more »

Peran Strategis Indonesia di Balik Terselenggaranya Konferensi Asia-Afrika


Penulis : Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)

Indonesia Pemrakarsa KAA

Jika kita menelisik kembali sejarah singkat Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung pada 18 hingga 24 April 1955, peran yang dimainkan Indonesia cukup besar sejak tahap perencanaan hingga konferensi berskala internasional tersebut terselenggara dengan sukses dan gilang gemilang. Sejak Bung Hatta, selaku Wakil Presiden merangkap Perdana Menteri RI mengeluarkan kebijakan politik luar negeri yang Bebas dan Aktif pada 1948, maka sejak saat itu Indonesia punya haluan yang jelas dan tegas dalam ikut mewarnai perkembangan dunia internasional dan bebas dari kendali dan arahan negara-negara adidaya seperti Amerika Serikat, pada satu pihak, dan Uni Soviet dan Republik Rakyat Cina, pada pihak lain, dua kutub bertentangan yang terlibat dalam Perang Dingin ketika itu.

Dengan demikian, Politik Luar Negeri RI yang Bebas dan Aktif, berarti bangsa Indonesia tidak memihak pada salah satu blok  dari dua kutub yang sedang bertikaia dalam Perang Dingin ketika itu, seraya pada saat yang ssama bangsa Indonesia berhak bersahabat dengan negara manapun asal tanpa ada unsur ikatan tertentu.
Bebas juga bisa diartikan bahwa bangsa Indonesia mempunyai cara sendiri dalam menanggapi masalah internasional yang sedang terjadi. Selain itu,  Aktif berarti bahwa bangsa Indonesia secara aktif ikut mengusahakan terwujudnya perdamaian dunia. Aktif berarti mengandung unsur “kreativitas”, yang tumbuh bebas dari arahan ataupun tekanan-tekanan dari pihak asing.  
Hal ini semakin diperkuat oleh Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo dalam keterangannya di depan Sidang DPRS pada 25 Agustus 1953, yang  menegaskan bahwa semenjak berdirinya Republik Indonesia, negara kita menjalankan politik luar negeri yang Bebas dan Aktif, berdasarkan kepentingan rakyat menuju ke arah perdamaian dunia. Selanjutnya Ali Sastroamidjojo menambahkan: “Sesungguhnya politik Bebas dan Aktif itu adalah politik yang biasa untuk tiap-tiap negara yang ingin menegakkan kedaulatannya.”
Frase “Politik Bebas dan Aktif berdasarkan kepentingan rakyat menuju ke arah perdamaian dunia”, nampaknya dijabarkan secara sungguh-sungguh oleh Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo yang kemudian bermuara pada terselenggaranya KAA pada April 1955. Namun, ada baiknya kita telisik sejenak peristiwa bersejarah pada April 1954, sekitar setahun sebelum berlangsungnya Konferensi AA.
Sebagaimana penuturan Pak Ali Sastroamidjojo, Perdana Menteri RI ketika KAA berlangsung dalam bukunya Tonggak-Tonggak di Perjalananku, pada awal 1954 ketika sedang genting-gentingnya ketegangan di Indo Cina, Ali Sastro menerima surat dari Perdana Menteri Sri Langka Sir John Kotelawala, yang bermaksud mengundang Perdana Menteri Indonesia untuk turut serta di dalam suatu konferensi antara Lima Perdana Mentteri, yaitu Sri Langka, Birma, India, Indonesia dan Pakistan, yang akan diadakan di Colombo dalam bulan April 1954.

Konferensi itu menurut surat John Kotelawala akan bersifat informil. Bagi Ali Sastro, meski dipandang aneh karena menggunakan istilah pertemuan informil, namun  undangan Sir Kotelawala dipandang sebagai kesempatan baik untuk dipergunakan sebagai suatu forum guna mengemukakan apa yang sudah lama menjadi pikiran pemerintah Indonesia, sebagaimana tertuang dalam keterangan Pemerintah di depan Sidang DPRS  25 Agustus 1953:
“Kerjasama dalam golongan Negara-Negara Asia-Arab (Afrika) kami pandang penting benar, karena kami yakin, bahwa kerjasama erat antara Negara-Negara tersebut tentulah memperkuat usaha ke arah tercapainya perdamaian dunia yang kekal. Kerjasama antara Negara-Negara Asia-Afrika tersebut adalah sesuai benar dengan aturan-aturan PBB yang mengenai kerjasama kedaerahan (Regional Arrrangements).
Selain dari itu Negra-Negara itu pada umumnya memang mempunyai pendirian yang sama dalam beberapa soal di lapangan internasional, jadi mempunyai dasar sama (Common Ground) untuk mengadakan golongan yang khusus. Dari sebab itu, kerjasama tersebut akan kamu lanjutkan dan pererat.”
Demikian arah kebijakan strategis Politik Luar Negeri RI yang Bebas dan Aktif mulai dijabarkan secara lebih imajinatif di era pemerintahan Ali Sastroamidjojo.
Maka Perdana Menteri Ali Sastro kemudian melihat adanya momentum pertemuan Colombo untuk menjabarkan sebuah format yang lebih pas dan efektif dalam rangka mempererat kerjasama antara negara-negara Asia-Afrika. Dalam benak Ali Sastro, pertemuan 5 Perdana Menteri di Colombo itu, bisa menjadi sarana bagi Indonesia untuk secara aktif memprakarsai diselenggarakannya Konferensi Negara-negara Asia-Afrika, untuk mewujudkan politik pemerintah tentang kerjasama di bidang politik internasional dengan negara-negara tersebut.
Setelah mempertimbangkan hal tersebut, Perdana Menteri Ali Sastro menerima undangan Perdana Menteri Sri Langka Sir John Kotelawala. Jika kita membuka kembali beberapa dokumen lama terkait persiapan pemerintah Indonesia untuk menghadairi Konferensi di Colombo tersebut, terungkap bahwa gagasan untuk memprakrsai pertemuan Asia-Afrika berdasarkan model KAA, sudah ada di benak Perdana Menteri Ali Sastro maupun Menteri Luar Negeri Mr Sunarjo.
Sesaat sebelum delegasi RI yang dipimpin Perdana Menteri Ali Sastro berangkat ke pertemuan Colombo pada 26 April 1954, Perdana Menteri Ali Sastro mengeluarkan pernyataan sebagai berikut:

“Saya mengusulkan untuk membicarakan kemungkinan mengadakan suatu konferensi yang lebih luas antara negara-negara Asia-Afrika dan mudah-mudahan usul saya itu akan berhasil. Saya pergi ke Konferensi Colombo dengan penuh harapan, karena kalau pada permulaannya dunia tidak memberi arti kepada Konferensi Colombo ini, maka  sekarrang dengan adanya perkembangan di dunia internasional, rupa-rupanya suara kita dari Colombo akan mendapat perhatian juga. Dalam pada itu saya dapat menerangkan dengan tegas, bahwa saya pergi ke Colombo dengan membawa pegangan teguh bagi Indonesia, yaitu politik luar negeri bebas yang aktif dan bersandarkan atas kepentingan rakyat.”
Jelaslah sudah bahwa Politik Luar Negeri RI yang Bebas dan Aktif merupakan dasar satu-satunya yang secara konkrit bisa dijadikan landasan untuk bermain catur politik di dalam konferensi itu. Kira-kira begitulah ada dalam benak Perdana Menteri Ali Sastro dan para anggota delegasi RI pada Konferensi Colombo.   
Adapun Delegasi RI yang dipimpin oleh Ali Sasto terdiri dari: Mr Achamd Subardjo sebagai penasehat, Ir Juanda (Direktur Biro Perancangan Nasional), juga sebagai penasehat, JD de Fretes, Kuasa Usaha ad interim kita di Colombo, dan M. Maramis, sebagai anggota. Sedangkan selain Indonesia, dari India hadir Perdana Menteri Jawaharlal Nehru, Perdana Menteri Pakistan Mohammad Ali, dan Perdana Menteri Birma U Nu.  
Sesuai dengan tema sentral konferensi yang membahas perang dingin, hampir semua negara peserta umumnya fokus pada soal Indo Cina dan peran Konferensi Jenewa yang merupakan kelanjutan dari perkembangan perang dingin di Asia. Dan pentingnya Isu Indo Cina bagi negara-negara Asia untuk dijadikan agenda utama pembahasa di Konferensi Colombo.
Perdana Menteri Ali Sastro dalam ketika mendapat giliran berpidato mengangkat satu tema yang kita pandang sebagai sebuah terobosan baru, dengan memberi perspektif baru dari konflik di Indo Cina, yaitu bahaya timbulnya kembali lagi kolonialisme dalam bentuk yang lama maupun yang baru.
“Dimanakah kita bangsa-bangsa Asia berdiri sekarang? Apakah kita akan mau diseret di dalam persengketaan ini yang sebetulnya dilakukan untuk merebut kekuasaan? Kita sekarang sudah sungguh-sungguh berada di persimpangan jalan sejarah umat manusia.”
 
Lontaran pertanyaan strategis Perdana Menteri Ali Sasto inilah, kemudian Indonesia mengusulkan diadakannya suatu konferensi lain yang berskala lebih luas, atas dasar pertimbangan bahwa masalah-masalah Asia tidak dihadapi oleh bangsa-bangsa Asia saja, melainkan juga bangsa-bangsa Afrika juga.
Sambutan para peserta Konferensi Colombo memang disambut baik namun tidak cukup antusias. Mungkin gagasan Perdana Menteri Ali dipandang terlalu utopis dan ambisius. Perdana Menteri Nehru, misalnya, memang setuju dengan usulan Indonesia, namun Nehru meramalkan bahwa di dalam pelaksanaannya gagasan tersebut banyak kesulitan akan dihadapi. Sebab tentulah ada bahaya bahwa akan terdapat banyak perbedaan pendapat antara negara-negara peserta, sehingga akan sangat sukar untuk mencapai persetujuan tentang hal-hal yang akan dibicarakan. Belum lagi, negara-negara manakah yang akan diundang menghadiri konferensi yang demikian itu. Apakah negara-negara Afrika yang masih dijajah akan diundang juga?
Atau terkait dengan konflik di Indo Cina, pemerintah manakah yang akan diundang, dari Viet minh atau dari Vietnam?  Maka itu, Nehru meski mendukung gagasan Ali Sastro dan delegasi RI, namun menggarisbawahi perlunya persiapan diadakan pada tingkat resmi. Sambutan dari para perdana menteri lain, meski tidak begitu terperinci, umumnya setuju usulan Indonesia, namun tidak begitu antusias.
Akhirnya, atas saran Nehru, konferensi menyetujui untuk memberikan dukungan moril sepenuhnya kepada Indonesia atas prakarsanya tentang KAA itu. Maka di dalam pasal 14 Komunike terakhir disebutkan: Para Perdana Menteri membicarakan tentang baiknya mengadakan suatu konferensi negara-negara Afro-Asia dan menyokong usul supaya Perdana Menteri Indonesia mungkin dapat menjajaki kemungkinan diadakannya konferensi demikian itu.

Pernyataan tersebut dengan terang-benderang menggambarkan pendirian keempat Perdana Menteri tentang usul saya itu. Susunan kalimat didalam bahasa diplomatik ini bermaksud mengatakan bahwa sebetulnya keempat Perdana Menteri tidak yakin konferensi Afro-Asia yang diusulkan oleh Indonesia akan bisa diselenggarakan.
Dalam tafsiran Ali Sastro ketika itu, rumusan pernyataan tersebut sejatinya hanya untuk tidak menyinggung perasaan hati pihak Indonesia sebagai pengusul. Sehingga mereka menyokong gagasan Indonesia, namun menyerahkan kepada Indonesia untuk menyelidiki lebih dulu sampai berapa jauh ada kemungkinan untuk mengadakan konferensi tersebut.
Nampaknya keempat Perdana Menteri tidak begitu yakin Indonesia akan sanggup untuk mewujudkan gagasan yang diajukan oleh Perdana Menteri Ali Sastro. Mengingat pada era 1950-an kondisi perekonomian Indonesia belum cukup sehat. Sedangkan situasi keamanan dipandang belum cukup tentram dan stabil. Kalau dipikir-pikir, wajar juga keraguan mereka tersebut mengingat KAA boleh dibilang merupakan konferensi berskala internasional yang cukup besar.

KAA Sebagai Embrio “Kekuatan Ketiga"

Begitupun, Konferensi Colombo merupakan landasan yang dijadikan Indonesia sebagai titik awal persiapan KAA. Setelah Indonesia ditetapkan sebagai Tuan Rumah KAA, maka kemudian diputuskan agar sebelum KAA diselenggarakan, perlu diadakan pertemuan persiapan di Bogor pada 28-31 Desember 1954.
Konferensi ini dihadiri oleh wakil dari lima negara yang hadir pada Konferensi Colombo sebelumnya, dan dalam pertemuan ini disepakati beberapa hal sebagai berikut:
a) KAA diselenggarakan di Bandung pada tanggal 18-24 April 1955.
b) Menetapkan kelima negara peserta Konferensi Bogor sebagai negara-negara sponsor.
c) Menetapkan 25 negara Asia-Afrika yang akan diundang.
d) Menentukan empat tujuan pokok KAA berikut ini:
-   Memajukan kerja sama antar bangsa Asia-Afrika demi kepentingan bersama
-   Membahas dan meninjau persoalan ekonomi, sosial, dan budaya
-   Membahas dan berusaha mencari penyelesaian masalah kedaulatan nasionalisme, rasialisme, dan kolonialisme

Begitulah. Yang semula gagasan Indonesia dianggap utopis dan terlalu muluk, akhinya KAA bisa diselenggarakan pada 18 April hingga 24 April 1955, di Bandung, Jawa Barat. Konferensi ini dihadiri oleh 23 negara Asia  dan 6 negara Afrika.
Dari Asia adalah Indonesia, India, Burma, Pakistan, Sri Lanka, Cina, Jepang, Vietnam Utara, Vietnam Selatan, Laos, Kamboja, Thailand, Filipina, Nepal, Afganistan, Iran, Irak, Yordania, Turki, Syria, Saudi Arabia dan Yaman. Adapun negara–negara dari benua Afrika adalah Mesir, Ethiopia, Libya, Sudan, Liberia dan Pantai Emas (sekarang Ghana).
Akhirnya penyelenggaraan KAA berjalan sukses sesuai harapan Indonesia, dan Bung Karno pada umumnya. KAA menjadi pusat perhatian dunia saat itu. Indonesia pun tidak lepas dari perhatian dunia karena menjadi tuan rumah.
Konferensi Asia Afrika menghasilkan beberapa keputusan penting. Beberapa keputusan penting tersebut sebagai berikut :
a)  Memajukan kerja sama antarbangsa di kawasan Asia dan Afrika dalam bidang sosial, ekonomi, dan kebudayaan
b) Menyerukan kemerdekaan Aljazair, Tunisia, dan Maroko dari penjajahan Prancis
c) Menuntut pengembalian Irian Barat (sekarang Papua) ke Perda Indonesia dari Aden kepada  Yaman
d) Menentang diskriminasi dan kolonialisme
e) Ikut aktif dalam mengusahakan dan memelihara perdamaian dunia Selain beberapa keputusan penting tersebut. Konferensi Asia Afrika juga mencetuskan Dasasila Bandung atau disebut juga "Bandung Declaration".

Kolonialisme-Imperialisme Perekat Persatuan Peserta KAA

Segi menarik yang perlu kami paparkan di sini adalah, keberhasilan Indonesia untuk mengakomodikasikan seluruh agenda strategis negara-negara peserta KAA, sehingga kekhawatiran Nehru pada Konferensi Colombo terhadap kemungkinan jalan buntu mencapai kesepakatan, ternyata tidak terjadi sama sekali.
Apa yang menjadi perekat antar negara-negara KAA? Rupanya ada beberapa hal yang menjadi perekat sehingga tercipta ikatan yang solid antar negara-negara peserta KAA:
a) Persamaan nasib dan sejarah, yaitu bangsa-bangsa di Asia-Afrika terutama pernah mengalami penjajahan.
b) Kesadaran untuk memperoleh kemerdekaan.
c) Kecemasan akan persaingan Blok Barat dan Blok Timur.
d) Perubahan politik pada tahun 1950-an, yaitu berakhirnya Perang Korea (1953). Akibat Perang Korea, semenanjung terbagi menjadi dua negara, yaitu Korea Utara dan Korea Selatan. Peristiwa ini semakin menambah ketegangan dunia dikarenakan adanya intervensi dari blok yang bersaing.
e) PBB sudah ada forum konsultasi dan dialog antarnegara yang baru merdeka, tetapi di luar PBB belum ada forum yang menjembatani dialog antarnegara tersebut.
f) Persamaan masalah sebagai negara yang masih terbelakang dan berkembang.

Adapun penyelenggaraan KAA mempunyai tujuan berikut:
1. Mengembangkan saling pengertian dan kerja sama antarbangsa Asia-Afrika dan meningkatkan persahabatan.
2. Membicarakan dan mengatasi masalah-masalah sosial, ekonomi, dan kebudayaan.
3. Menaruh perhatian secara intensif terhadap  masalah khusus terkait dengan kedaulatan, kolonialisme, dan Imperialisme.
4. Memerhatikan posisi dan partisipasi Asia-Afrika dan bangsa-bangsa dalam dunia Internasional.

KAA Sebagai Langkah Lanjut Menuju Konferensi Gerakan Non-Blok

Dengan keberhasilan memprakarsai dan menyelenggarakan KAA pada 18-24 April 1955, maka Indonesia tercatat dalam sejarah sebagai negara yang memprakarsai Gagasan terbentuknya “Kekuatan Ketiga” sehingga bebas dari pengaruh dan tekanan baik blok barat maupun blok timur. Sehingga tidak bisa dikatakan sebagai negara-negara yang masuk dalam orbit Amerika ataupun Uni Soviet dan Cina.
Prakarsa Indonesia beserta keempat negara lainnya sebagai the Sponsoring Countries, tidak saja menempatkan Indonesia maupun Bung Karno sebagai kekuatan utama yang memelopori perjuangan kemerdekaan negara-negara Asia-Afrika yang masih terjajah, juga mempunyai saham yang kuat untuk memelopori terbentuknya Gerakan Negara-Negara Non-Blok pada skala lintas kawasan, 6 tahun ke kemudian di Beograd, Jugoslavia.
Sebab KAA selain memainkan peran penting alam upaya menciptakan perdamaian dunia dan mengakhiri penjajahan di seluruh dunia secara damai, khususnya di Asia dan Afrika, pada saat sama memberi inspirasi terhadap terbentuknya “kekuatan ketiga” yang tidak berpihak ke blok barat maupun timur, sehingga mendorong lahirnya Gerakan Nonblok yang didasari tujuan untuk meredakan ketegangan dunia yang dipicu oleh konflik antara kutub AS dan Sekutu-sekutu baratnya yang berhaluan Kapitalis/Liberal, versus kutub Uni Soviet dan Cina yang berhaluan komunis.  
Bedannya, kalau dalam KAA Bung Karno menawarkan tema anti kolonialisme dan imperialisme sebagai dasar persatuan negara-negara peserta KAA, maka dalam Konferensi Non Blok 1961, Bung Karno dan Indonesia menawarkan tema baru: Aspirasi Negara-Negara Berkembang dalam berhadapan dengan Negara-Negara maju. Yang tidak lagi perhadapan antara kutub barat versus timur, melainkan antara Utara dan Selatan.



Sumber : http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=17194&type=4#.VRorvo4RS60

Read more »

Kompleks Misil Antipesawat Rusia Akan Masuki Pasar Asia

Kompleks Misil Antipesawat Rusia Akan Masuki Pasar Asia
Palma merupakan alternatif solusi efektif untuk melindungi perbatasan. Press photo.

Daftar negara yang akan mendapatkan kompleks artileri misil pertahanan udara Rusia Palash (Palma) akan segera bertambah panjang. Berdasarkan keterangan Sergei Ignatov, Direktur Hubungan Ekonomi Eksternal Nudelman KBtochmash, mereka tengah mempertimbangkan kemungkinan untuk memasok sistem pertahanan udara Palma dan Sosna (Pinus) ke negara-negara di Timur Tengah, Asia, dan Amerika Latin.
"Kami tak hanya siap menyediakan sistem misil antipesawat Sosna yang baru, tapi kami juga bisa memperbaharui sistem Strela-10 yang telah dipasok sebelumnya. Modernisasi 500 buah sistem Sterla-10 itu dapat dilakukan baik di Rusia atau di negara pemilik," kata Ignatov pada TASS. Menurut Ignatov, Uni Emirat Arab, Mesir, dan Algeria telah menyatakan ketertarikannya akan sistem misil terbaru ini.

"Senjata" untuk Negara Berkembang

Prinsip utama desain kompleks Sosna adalah sistem misil pertahanan udara jarak pendek yang memiliki performa tinggi dengan biaya rendah. Kompleks ini lebih mudah digunakan dan harganya lebih murah dibanding kompetitor utamanya, sistem misil antipesawat Pantsir-S. Namun, Sosna memiliki karakteristik tempur yang sebanding dengan Pantsir-S.

Kompleks Sosna akan menyelesaikan uji coba negara pada pertengahan 2015. Foto: Press photo.

Sosna pertama kali tampil di publik pada 2013. Menurut pihak pengembang, komplek tersebut didesain untuk melindungi unit militer dan beroperasi di seluruh operasi tempur, termasuk dalam pergerakan di darat, untuk menangkal serangan udara, sekaligus mengintai posisi musuh. Sistem ini dapat bekerja kapan saja, bahkan di tengah kabut dan di kala hujan, serta tak gentar menghadapi senjata elektronik aktif.
Sosna dapat mencapai target berjarak sepuluh kilometer dan pada ketinggian lima kilometer menggunakan roket antipesawat ringan Sosna-R yang memiliki kecepatan hingga 900 meter per detik.

Kompleks ini akan menyelesaikan uji coba negara pada pertengahan 2015. Pihak pengembang juga mempertimbangkan kemungkinan untuk memodifikasi sistem agar dapat diangkut oleh pesawat tempur Rusia.
Meski Sosna belum digunakan oleh tentara Rusia, kompleks ini telah memiliki prospek cerah di pasar mancanegara. Sosna dibuat berdasarkan kompleks Sterla-10 yang dimodernisasi secara mendalam dan menyeluruh. Pemimpin Redaksi Jurnal Vestnik PVO Said Aminor menjelaskan, Sterla-10 sendiri saat ini telah beroperasi di 20 negara di seluruh dunia, dan memiliki pangsa pasar domestik dan mancanegara yang cukup luas.

Di Darat dan di Laut

Kompleks artileri roket berbasis kapal Palma merupakan alternatif solusi efektif untuk melindungi perbatasan. Kompleks ini mampu menangkis serangan rudal jelajah musuh saat mendekat, ketika misil antipesawat sudah tak berdaya.
Menurut Ignatov, berkat desain yang fleksibel, kompleks ini dapat ditempatkan di kapal, ditugaskan untuk mengamankan pelabuhan, serta melindungi aset-aset strategis.
Untuk menghancurkan musuh berjarak empat kilometer dan di ketinggian tiga kilometer, kompleks Palma menggunakan dua senjata antipesawat AO-18KD. Senapan berlaras enam kaliber 30 mm dapat menembakkan lima ribu peluru per menit (total sepuluh ribu peluru per menit).
Optoelektronik adalah suatu aplikasi perangkat elektronik yang berfungsi mendeteksi dan mengontrol sumber cahaya atau dapat juga dikatakan sebagai peralatan pengubah dari tenaga listrik ke optik atau sebaliknya.
Untuk mencari dan melacak target, Palma dapat diintegrasikan dengan sistem radar kapal. Untuk itu, Palma memiliki stasiun kontrol optoelektronik sendiri, yang dapat mendeteksi dan secara otomatis mengikuti sebuah target 'pesawat' pada jangkauan hingga 30 kilometer. Ia juga dapat menangkap dan menembak rudal jelajah yang berjarak sepuluh hingga 12 kilometer. 

Sistem misil Palma menggunakan rudal presisi Sosna-R, sama seperti sistem pertahanan udara jarak pendek berbasis darat Sosna.
Namun, berbeda dengan 'saudara'-nya yang belum seratus persen siap, Palma telah dipasok ke negara lain (Proyek Rusia 11661 Gepard (Cheetah) yang dikirim ke Vietnam, telah dilengkapi dengan sistem ini), serta sudah bergabung dalam perbendaharaan senjata Angkatan Laut Rusia. Kelak, kompleks ini akan dipasang pada proyek kapal fregat terbaru Rusia, Proyek 22350
.


Sumber : RBTH Indonesia

Read more »

Senin, 30 Maret 2015

Rusia Gelar Latihan Militer Akbar di Siberia

Rusia Gelar Latihan Militer Akbar di Siberia

Kementerian Pertahanan Rusia mengatakan, pihaknya telah memulai latihan militer skala besar di wilayah Siberia, di timur negara mereka. Foto: Sputnik
MOSKOW - Kementerian Pertahanan Rusia mengatakan, pihaknya telah memulai latihan militer skala besar di wilayah Siberia, di timur negara mereka. Latihan ini berfokus pada penguatan pertahanan terhadap serangan udara.

Latihan itu, menurut layanan pers kementerian tersebut, seperti dikutip Sputnik pada Senin (30/3/2015), dilakukan di sebuah wilayah khusus di timur Negeri Beruang Merah itu. "Latihan berlangsung di lapangan tembak khusus di wilayah Primorye dan Buryatia," bunyi laporan layanan pers tersebut.

"Para prajurit akan ditugaskan untuk menembak sekitar 50 sasaran yang telah disiapkan. Untuk melakukan tugasnya, pasukan kami telah dilengkapi sederetan persenjataan, mulai senjata jangkauan pendek seperti Osa, Tor dan Strela-10, sistem anti-pesawat dan senjata lainnya," imbuhnya.

Layanan pers itu juga mengatakan, pihaknya juga akan menggunakan latihan ini untuk menguji beberapa sistem pertahanan udara baru mereka. "Kami juga menguji sistem pertahanan udara jarak jauh, Triumf dan Favorit," tambahnya,

Dalam latihan tersebut, lanjutnya, prajurit Rusia akan ditugaskan untuk melumpuhkan beberapa rudal, mulai dari ukuran kecil hingga besar. Simulasi serangan udara juga akan dilakukan dalam latihan itu.

Namun, layanan pers enggan memberikan detail lebih lanjut mengenai jumlah personel yang akan terlibat dalam latihan perang tersebut, dan jumlah unit persenjataan yang akan dipakai.

Sumber : SINDO

Read more »

Siap Konfrontasi dengan Rusia, 30 Jet Tempur Inggris Bermanuver

Siap Konfrontasi dengan Rusia 30 Jet Tempur Inggris Bermanuver
Inggris pamer kekuatan sebagai bukti mereka siap konfrontasi dengan Rusia. | (Reuters)

LONDON - Lebih dari 30 pesawat jet tempur Angkatan Udara Inggris bermanuver dalam latihan militer besar-besaran. Sumber-sumber militer Inggris mengkonfirmasi, bahwa latihan militer besar-besaran itu untuk menegaskan bahwa Inggris siap konfrontasi dengan Rusia.

”Rusia telah pasti digambarkan sebagai latar belakang dari latihan ini,” kata seorang pejabat di korps Angkatan Udara Inggis kepada The Sunday Express. Media itu mengutip sumber lain di jajaran militer Inggris, bahwa latihan militer puluhan pesawat jet tempur itu untuk menunjukkan kepada Presiden Rusia, Vladimir Putin, bahwa Inggris siap konfrontasi dengan Rusia.

Dalam latihan itu, pesawat-pesawat jet Tornado melakukan serangan dari Norwegia. Kemudian dicegat tim pesawat jet tempur Typhoon dari beberapa lokasi di Timur Laut Inggris dan Skotlandia.

”Karena komitmen kami untuk terus beroperasi di luar negeri, ini adalah pertama kalinya kami telah memiliki spektrum penuh terkait kemampuan kami,” kata seorang komandan militer Inggris, Andy Coe, seperti dilansir Russia Today, Senin (30/3/2015).

Manuver besar-besaran pesawat jet tempur Inggris ini digelar setelah Rusia bekali-kali mengerahkan pesawat pembom Rusia, Tu-95 di dekat wilayah udara lepas pantai Cornwall. Rusia mengklaim operasi pesawat pembom mereka tidak pernah masuk ke langit Inggris. Rusia juga membela diri, bahwa operasi pesawat pembom mereka berada di wilayah udara internasional.

Menteri Luar Negeri Philip Hammond telah menganggap Rusia bertindak kurang ajar. ”Pesatnya laju Rusia dalam usaha untuk memodernisasi kekuatannya, dan dikombinasikan dengan sikap militer Rusia yang semakin agresif, telah memicu perhatian yang signifikan,” ujarnya beberapa waktu lalu. ”Rusia memiliki potensi untuk menimbulkan ancaman terbesar bagi keamanan kami.”


Sumber : SINDO

Read more »

Armata Berpotensi Jadi Robot


armata-tracked-armored-platform.siDunia masih menunggu platform lapis baja baru Rusia, Armata. Sebuah kendaraan berat generasi anyar yang dilaporkan telah menggabungkan semua perkembangan dan inovasi besar dekade terakhir dalam desain pertempuran kendaraan dan konstruksi. Kendaraan ini juga memiliki ruang untuk dikembangkan menjadi sepenuhnya kendaraan robot.
Menara tank dikendalikan dari jauh dan dipersenjatai dengan meriam merek baru smoothbore 2A82-1M 125 mm. Daya gempur moncongnya lebih besar dari salah satu meriam yang dianggap terbaik dunia yakni Rheinmetall 120 mm yang saat ini disandang Leopard 2 Jerman.
armata
Senjata 125 mm memiliki 15-20 persen akurasi lebih  baik dan dispersi sudut tembakan yang telah meningkat 1,7 kali.
Tank Armata mungkin juga dilengkapi dengan meriam 152 mm yang akan menjadi senjata paling ampuh dari tank tempur utama yang telah ada.
Menara tank juga akan membawa senjata sub-kaliber 30 mm untuk menangani berbagai sasaran, termasuk target udara terbang rendah, seperti pesawat dan helikopter serangan.
Sebuah senapan mesin berat 12,5 mm dilaporkan mampu membidik proyektil yang melesat, seperti rudal anti-tank. Kendaraan ini mampu menetralisir tembakan yang mendekat dengan kecepatan hingga 3.000 meter per detik.
Awak tank dengan aman akan berada dalam sebuah kapsul lapis baja multi-layer terpisah dari ruang amunisi. Kendaraan ini sepenuhnya terkomputerisasi dan hanya membutuhkan dua prajurit untuk mengoperasikannya. Masing-masing juga dapat menyebarkan sistem senjata tank.
Penargetan tank dilaporkan dilakukan dengan antena aktif bertahap array dan berbagai macam sensor lainnya.

Platform Armata diduga memiliki transmisi listrik sepenuhnya mekanik, didukung oleh mesin diesel 1.200 HP yang menjadikannya lebih efisien dan jadwal pemeliharaan dan perbaikan yang lebih panjang. Dalam cetak biru tersebut, kendaraan lapis baja Armata memiliki potensi untuk berkembang menjadi kendaraan pertempuran sepenuhnya robot. Menurut perkiraan awal, 2.300 unit diperlukan untuk tentara Rusia.


Sumber: Russia Today : Jejaktapak

Read more »

Jet Tempur Israel Ikut Gabung Serang Yaman

F-15I-take-off-smoke-706x469

Israel diam-diam juga ikut bergabung dengan koalisi pimpinan Arab Saudi untuk menggmpur kelompok Houthi di Yaman. Ini adalah pertama dalam sejarah negara Zionis tersebut bergabung dengan negara-negara Arab dalam satu barisan.
“Ini pertama kalinya pasukan Zionis bergabung dengan koalisi negara Arab,” ujar Sekretaris Jenderal Partai Politik Al-Haq, yaman, Hassa Zayd dalam akun jejaring sosial Facebook, seperti dilansir Global Search, Minggu 29 Maret 2015.
Menurutnya Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu sudah memerintahkan langsung Angkatan Udara Israel mengerahkan jet-jet tempur mereka buat mendukung serangan Saudi ke Yaman. Jumat lalu sedikitnya 15 orang tewas di Sanaa dalam serangan udara itu.
Stasiun televisi al-Massira melaporkan serangan udara Saudi itu menargetkan rakyat sipil Yaman yang sedang berbelanja di pasar.
Liga Arab kemarin menyatakan siap membentuk koalisi militer buat menyerang Yaman yang kini dikuasai pemberontak Houthi beraliran Syiah.
Negara-negara Arab itu juga menyerukan pemberontak Houthi untuk segera mundur dari Sanaa dan sejumlah institusi pemerintah serta menyerahkan senjata mereka kepada otoritas yang berwenang.




Sumber : Jejaktapak

Read more »

Dan Rusia pun Ajarai Vietnam Membuat Rudal

viet-nam-che-tao-linh-kien-ten-lua-vac-vai-igla
Personil Missile Institute memperkenalkan block tipe 9P516 SAM Igla (photo : KienThuc)

Staf ahli dari Missile Institute of Science and Technology Military, Vietnam, berhasil merancang blok elektronik jenis 9P516. Rangkaian elektronik ini merupakan komponen utama dari struktur peluncur rudal Igla 9P516, bagian pelepasan dan penembakan rudal dalam pertempuran.
Menurut Kolonel Do Tuan Cuong, Kepala Teknis Aplikasi rudal, timnya telah menguasai teknologi dan manufaktur elektronik standar teknis luar negeri yang dipindahkan ke pabrik dalam negeri untuk merakit strukturnya secara keseluruhan.
Personil Missile Institute memperkenalkan block tipe 9P516 SAM Igla (photo : KienThuc)

Personil Missile Institute memperkenalkan block tipe 9P516 SAM Igla (photo : KienThuc)
Peneliti telah menyelesaikan dokumentasi desain dan perakitan bahan elektroniknya sesuai dengan kondisi teknisi dan keterampilan pekerja Vietnam.
Berdasarkan teknologi yang digunakan, para ilmuwan juga mempelajari perbaikan (improvements) dari blok elektronik tipe 9P516. Hasilnya, 2/4 blok papan elektronik telah diterjemahkan sepenuhnya (dihasilkan dari bahan dan komponen dalam negeri), diuji kemampuan dan bekerja dengan baik sesuai dengan tabel struktur peluncur; 2 tabel lainnya sedang dipelajari di bawah arahan negara asing, dan perkembangan hasilnya memuaskan.
Pembelajaran desain Igla, suksesnya fabrikasi blok elektronik tipe 9P516, menjadi langkah yang signifikan bagi Vietnam, untuk membantu menguasai teknologinya, membuat sumber bahan dan komponen, mengurangi ketergantungan pada ahli asing, memberikan kontribusi untuk meningkatkan kualitas jaminan teknis dan kemampuan militer Vietnam. (KienThuc). JKGR

Read more »

Pesawat Tempur T-50 Golden Eagle Latihan Solo Aerobatik


Pesawat T-50i Golden Eagle melakukan manuver pada latihan solo aerobatic di Lanud Iswahjudi. (pen-Lanud Iswahjudi)

Peringatan HUT ke-69 TNI Angkatan Udara tinggal beberapa hari lagi, Lanud Iswahjudi sebagai sebagai pangkalan operasinal yang mengawaki alutsista pesawat tempur, mulai mempersiapkan diri dengan melaksanakan latihan aerobatic dengan menggunakan pesawat tempur T-50 Golden Eagle, Jumat (27/3/15).

Latihan Fly pass tunggal yang dilaksanakan oleh Komandan Skadron Udara 15 Letkol Pnb Marda Sarjono bersama Mayor Pnb Gultom, disaksikan langsung oleh Waasops Kasau Marsekal Pertama TNI Yuyu Sutisna, S.E., didampingi Komandan Lanud Iswahjudi Marsekal Pertama TNI Donny Ermawan T., M.D.S., di main apron Lanud Iswahjudi.

Selain menyaksikan aerobatic pesawat T-50i Gaolden Eagle, Waasops Kasau juga memberikan arahan sekaligus memastikan kesiapan Lanud Iswahjudi dalam mendukung perayaan HUT ke-69 TNI Angkatan Udara yang akan dilaksanakan di Lanud Halim Perdana Kusuma, Jakarta.

Kapen Lanud Iswahjudi
Wahyudi, S.Sos.
Mayor Sus
  

Sumber: Poskota   

Read more »

Pesawat TNI Sudah Siap Angkut WNI dari Yaman


Hercules TNI AU

Kondisi Yaman yang semakin genting membuat pemerintah berencana mengevakuasi WNI dari negeri itu. Pesawat TNI pun sudah disiapkan untuk melakukan perjalanan dan membawa TNI pulang.

"Ini baru rencana, tapi kami sudah siapkan," kata Kapuspen TNI Mayjen Fuad Basya, Senin (30/3/2015).

Menurut Fuad, pesawat itu berangkat bila sudah ada perintah. Saat ini TNI sudah menyiapkan segalanya.

"Semua untuk proses evakuasi," tegas Fuad.

Diketahui 20 lebih WNI ditahan oleh otoritas setempat di Yaman. Meski pihak Kemenlu RI sudah memastikan penahanan tak terkait milisi Al-Houthi, namun Menko Polhukam Tedjo Edhy Purdijatno menyatakan, pemerintah siap menjemput semua WNI di sana.

"Kita akan memulangkan mereka semua, sedang diproses oleh KBRI, semuanya akan dipulangkan. TNI sudah menyiapkan pesawat dan tergantung nanti permintaannya seperti apa," ujar Tedjo di Bandara Internasional Halim Perdana Kusuma, Jakarta Timur, Minggu (29/3).(bar/ndr)
 

  Sumber : detik 
 

Read more »

Form Kritik & Saran

Nama

Email *

Pesan *