Selasa, 31 Maret 2015

ISIS Bukan Ancaman Sesungguhnya Bagi Indonesia

ANALISIS
Penulis : Hendrajit dan M Arief Pranoto, Peneliti Senior Geopolitik Global Future Institute

16 WNI yang hilang di Turki bagaimana perkembangan terkini? Apa sudah ada titik terang. Yang membuat saya terganggu belum-belum sudah disangkut-pautkan dengan kemungkinan mereka bergabung dengan ISIS. Untuk itu, izinkanlah penulis menurunkan kembali tulisan lawas tentang ISIS hasil olahan bersama Hendrajit dan M Arief Pranoto beberapa waktu lalu.

Semoga hilangnya 16 WNI kita adalah non politis, sehingga tidak melebar menjadi isu ancaman ISIS, sehingga jadi bahan permainan politik berbagai kelompok yang berkepentingan.

=====================================

Memahami Konteks ISIS Yang Lahir dari Rahim al Qaeda

1. Sebagai isu pengganti dari skenario Al Qaeda yang sudah tutup buku di Irak sejak 2012. Beberapa kajian menginformasikan bahwa al-Qaeda dan afiliasinya hadir di berbagai negara dengan sebutan berbeda.

2. Di Afghanistan namanya “Taliban”, Di Yaman dijuluki “al-Qaeda in Arabian Peninsula”, di Libya bernama “Ansar al-Sharia”, di Nigeria stigmanya “Boko Haram”, di Aljazair bernama “al-Qaeda in Islamic Maghreb”, di Syria disebut “Jabhat al-Nusra”, di Somalia istilahnya “al-Shabab”, sementara di Indonesia? Mereka menyebut diri sebagai Mujahidin Indonesia Timur (MIT). Belakangan yang sekarang populer dengan sebutan ISIS. Dan agaknya, mereka juga tengah membidani ‘kelompok radikal’ di India dan Cina. Entah apa namanya.

3. Mereka itu, entah Boko Haram, atau MIT, al Shabab, Jabhat al Nusra, Ansar al Sharia, bahkan ISIS itu sendiri, sejatinya merupakan ranting atau anak-anak yang lahir dari “rahim” al Qaeda. Dan kini, afiliasi terpopuler adalah ISIS(Islamic State in Iraq and al Syam).

4. Berarti, kemunculan ISIS ditujukan untuk menciptakan kesan bahwa umat Islam itu pada umumnya fanatik, radikal, tidak berprikemanusiaan, tidak toleran, dan suka berperang maupun membenarkan tindak kekerasan terhadap warga masyarakat yang berkeyakinan lain.

5. Maka itu, bisalah ditarik kesimpulan keberadaan ISIS merupakan false flag operation alias operasi bendera palsu.

6. Seolah-olah bekerja sama (Islam) sebagai kawan, padahal bekerja untuk kepentingan musuh. Semacam deception atau taktik pengelabuan. Biar kelompok Islam tertentu beranggapan, seakan-akan tengah melakukan misi suci agama menghadapi para adidaya anti Islam, tetapi prakteknya, justru gerakan mereka dalam kendali dan pengawasan agen intelijen seperti CIA, MI-6, Mossad, dan lainnya.

7. Pada gilirannya, gerakan kelompok ini justru merupakan kontra produktif bagi citra Islam itu sendiri. Tersirat tujuannya, agar kaum muslim terstigma sebagai golongan keras kepala, tidak berperikemanusiaan, suka berperang, dll yang tidak mencerminkan layaknya akhlak ajaran Islam.

Skenario Amerika Serikat dan Dunia Barat Untuk Memojokkan Islam

1. Ada beberapa indikasi yang menunjukkan bahwa gejala kemunculan ISIS dan organ-organ sejenisnya seperti kami uraikan di awal tulisan ini, secara skematik memang dirancang oleh para penyusun kebijakan strategis keamanan nasional di Washington.

2. Sebagai landasan pihak AS dan sekutu-sekutu baratnya untuk membangun citra radikalisme Islam, maka rujukan yang paling pas adalah buku karya pakar politik AS Dr Samuel Huntington, “The Clash of Civilization and The Remaking of World Order.” Inti dari pikiran Huntington dalam bukunya ini: “Bahwa konflik antara Islam dan Barat merupakan konflik sebenarnya!” Sedangkan konflik antara kapitalis dan marxis sifatnya cuma sesaat dan dangkal. Dari 32-an konflik-konflik di dunia pada tahun 2000-an, dua pertiganya ialah antara Islam dengan Non Islam. Sayangnya, Huntington gagal membuktikan secara detail dan rinci sebab akibat dan kenapa konflik tersebut bisa sampai terjadi.

3. Bagi saya, hal tersebut tidak mengherankan. Karena memang itulah tujuan Huntington menerbitkan buku tersebut, yaitu membentuk Opini dan tebar isu bahwa skenario “Barat verus Islam” itu merupakan sebuah kebenaran.

4. Dalam bukunya yang lain, “Who Are We? The Challenges to America's National Identity” (2004), Huntington malah semakin tegas lagi. bahwa musuh Barat pasca perang dingin adalah Islam. Meskipun ada embel-embel 'militan' sebagai tambahan, namun di berbagai penjelasan, definisi Islam Militan melebar kemana-mana mengaburkan makna sesungguhnya. Akhirnya, dengan berakhirnya Perang Dingin, Islam (militan) benar-benar menggantikan posisi Soviet (komunis) sebagai musuh utama AS dan sekutu.

5. Dari kedua karya Huntington, yang mana dirinya sejak awal merupakan corong dan pembentuk opini publik yang membawa pesan sponsor dari Pentagon dan think-thank-nya yang bernama Rand Corporation, maka kita sudah bisa menerka kemana arah tujuan dengan dimunculkannya mencuatnya isu ISIS di Indonesia, dan negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim pada umumnya.

6. Mencuatnya isu ISIS, selain untuk menstigma kebangkitan radikalisme Islam di Indonesia dan negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim, pada saat yang sama akan memicu konflik internal antar berbagai mahzab di kalangan kelompok-kelompok Islam, yang selama ini hidup berdampingan secara damai dan harmonis.

Bagaimana Asal-Muasal ISIS Terbentuk?

1. Pernah dengar yang namanya Strategi Sarang Lebah? Mari kita telisik fakta-fakta berikut ini, dan setelah itu silahkan bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian menyimpulkan sendiri. Adalah mantan karyawan National Security Agency (NSA) milik Amerika Serikat, Edward Snowdeen mengungkapkan bahwa intelijen Inggris (MI6), Amerika Serikat(CIA) dan Israel (Mossad) bekerjasama membentuk gerilyawan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) atau Islamic State (IS).

2. Mengutip berita yang dilansir situs globalresearch.ca, Jumat 1 Agustus 2014, Snowdeen mengatakan badan intelijen dari ketiga negara ini menciptakan sebuah organisasi teroris yang mampu menarik semua ekstrimis dunia ke satu tempat. Mereka menggunakan strategi yang disebut Sarang Lebah.

3. Dokumen NSA menunjukan implementasi strategi Sarang Lebah untuk melindungi entitas Zionis dengan menciptakan slogan-slogan agama dan Islam.

4. Data tersebut juga mengungkapkan bahwa pemimpin ISIS Abu Bakar Al Baghdadi pernah mengikuti pelatihan militer intensif selama satu tahun di tangan Mossad, selain program dalam theologi dan seni berbicara.

5. Maka tak salah lagi, bergulirnya isu keberadaan ISIS (IS) sejatinya merupakan reinkarnasi dari keberadaan kelompok teroris jadi-jadian kreasi CIA semacam Al-Qaeda seperti di era kepresidenan Bush 2000-2008.
6. Amerika Serikat, Inggris dan Israel berkeinginan penerapan strategi Sarang Lebah bisa menjaring kelompok-kelompok Islam radikal agar berkumpul di satu tempat yang sama. Sehingga mudah dikendalikan dan dijinakkan melalui kerangka operasi intelijen yang dilancarkan ketiga negara tersebut yang kerap dikenal dengan sebutan False Flag Operation (Operasi Bendera Palsu).

7. Dalam False Flag Operation ini, kelompok-kelompok Islam beranggapan bahwa mereka sedang menjalankan misi suci keagamaannya secara independen dan bertujuan untuk menghadapi negara-negara adidaya yang mereka pandang anti Islam.

8. Namun pada prakteknya, gerakan mereka sepenuhnya berada dalam kendali dan pengawasan dari agen-agen intelijen MI6-CIA-Mossad; sehingga gerakan kelompok-kelompok Islam radikal tersebut justru kontra produktif bagi citra dan kredibilitas kelompok-kelompok Islam yang bersangkutan, bahkan membawa citra buruk bagi umat Islam pada umumnya.

ISIS Merupakan Bagian dari Munculnya Kelompok Perlawanan di Irak Pasca Invasi Militer AS 2003

1. Jika kita cermati asal mula berdirinya ISIS, hakekatnya merupakan konsekwensi logis dari merebaknya kelompok-kelompok perlawanan bersenjata di Irak pasca kejatuhan Presiden Irak Saddam Hussein. Maupun merebaknya kelompok-kelompok perlawanan bersenjata yang bermaksud mendongkel pemerintahan Bashar al Assad.

2. Kondisi obyektif di Irak pasca invasi militer AS 2003, pemerintahan Saddam Hussein memang berhasil ditumbangkan dan AS, dengan dalih Irak memiliki senjata pemusnah massal dan mendukung kelompok-kelompok yang terkait dengan kegiatan-kegiatan terorisme. Singkat cerita, AS berhasil menaklukkan Irak dengan cepat secara militer.

3. Namun celakanya, pemerintahan George W Bush tidak mempunyai rencana strategis yang jelas untuk membangun sistem politik Irak pasca Saddam. Sehingga kebijakan-kebijakan strategis yang dibuatnya malah menjadi blunder.
4. Dalam realitas politik Irak, Saddam merupakan bagian dari golongan minoritas Sunni (sekitar 20 persen dari populasi) yang kemudian berkuasa atas mayoritas penduduk Irak bermahzab Syiah yang merupakan 63 persen dari penduduk Irak.
5. Alhasil, kemudian memicu pemberontakan dari kelompok Sunni yang tersisa di Irak, yang pada perkembangannya juga mendapat dukungan penuh dari jaringan kader-kader Partai Ba’ath baik sipil maupun eksponen militernya.
6. Pada tataran inilah, salah satu kelompok pemberontakan tersebut adalah yang dipimpin oleh Abu Bakar al Baghdadi. Maka sejak 2006, terjadilah perang saudara antara Irak bagian Utara yang umumnya warga masyarakatnya menganut Islam Sunni, dan Irak bagian Selatan yang warga masyarakatnya menganut Syiah.
7. Pada Perkembangannya kemudian, kelompok Abu Bakar al Baghdadi yang kemudian mengembangkan lingkup gerakannya ke Suriah, dan menggabungkan diri sebagai bagian integral kelompok-kelompok perlawanan berbendera Islam yang bermaksud menggulingkan Presiden Bashar al Assad.
8. Dengan kata lain, gerakan yang dipimpin Abu Bakar al Baghdadi, pada hakekatnya telah memanfaatkan situasi obyektif yang berkembang di dalam negeri Irak maupun Suriah, yang kemudian kelompok al Baghdadi ini dikenal dengan sebutan ISIS.
9. Jadi, ISIS yang dikembangkan oleh al Baghdadi, telah menjadikan kelompok yang dipimpinnya sebagai bagian integral dari berbagai kelompok perlawanan bersenjata di Irak maupun Suriah, seraya menarik simpati dan dukungan umat Islam sedunia pada umumnya, sebagai kelompok perlawanan berbendera Islam baik di Irak maupun Suriah.

ISIS Bukan Merupakan Ancaman Bagi Indonesia

1. Dengan mencermati asal mula dan alasan mengapa ISIS muncul di Irak dan Suriah, maka kita di Indonesia harus memandang keberadaan ISIS di Indonesia sebagai sesuatu yang tidak relevan. Sehingga kita harus menafikan dan mengabaikan keberadaanya di Indonesia.

2. Learning point yang bisa kita tarik dari peran dan keberadaan ISIS di Irak dan Suriah, maka kemunculan ISIS harus kita baca semata-mata sebagai produk dari konflik lokal yang terjadi baik di Irak maupun Suriah. Meskipun pada perkembanganya ISIS mengklaim dirinya mendapat simpati dan dukungan dunia Islam pada umumnya.

3. Selain itu, ada sebuah paradoks yang harus kita baca secara kritis dan jeli terkait kiprah ISIS di Irak maupun Suriah. Di Irak, ISIS merupakan bagian integral dari kelompok-kelompok perlawanan Sunni terhadap pemerintahan Syiah yang kenyataannya didukung oleh pemerintah AS. Namun sebaliknya di Suriah, ISIS merupakan bagian integral dari kelompok perlawanan bersenjata yang bertujuan menggulingkan Presiden Assad yang justru mendapat bantuan secara terbuka dari Amerika dan NATO.

4. Dengan begitu, meskipun ISIS telah mengklaim keberadaannya sebagai kelompok Islam yang menganut paham Sunni, namun mengingat cita-citanya untuk menyatukan seluruh dunia dalam satu pemerintahan Islam berdasarkan Khilafah Islamiyah melewati batas-batas negara bangsa, rasa-rasanya tidak mungkin mendapat dukungan yang meluas dan mengakar di Indonesia. Meskipun secara faktual tradisi Islam Sunni di Indonesia adalah yang terbesar, namun paham seperti yang dianut oleh ISIS sama sekali tidak mengakar dan meluas di Indonesia.

5. Karena kehidupan umat Islam telah berjalan cukup damai dan harmonis meskipun terdapat berbagai mahzab dan paham keislaman di Indonesia, bahkan sejak awal penyebaran Islam di tanah air berabad-abad yang lalu.

6.. Sehubungan dengan hal tersebut, berbagai kalangan yang membesar-besarkan kemunculan ISIS di Indonesia sebagai sebuah ancaman yang cukup serius dan nyata, kiranya sama sekali tidak beralasan. Kecuali jika terkandung maksud untuk menggunakan tebar isu kehadiran ISIS untuk memicu antagonisme maupun konflik antar berbagai mahzab dan paham keislaman di Indonesia, sehingga terjadi perpepcahan antar umat beragama di Indonesia. Khususnya antar umat Islam di tanah air.

7. Dan kalaupun keberadaan dan peran ISIS di Indonesia memang nyata-nyata memang terjadi sebagai embrio menguatnya radikalisme kelompok-kelompok Islam, maka yang patut dipersalahkan adalah komunitas intelijen Indonesia yang telah gagal dalam mendeteksi dan memprediksi kemunculan kelompok-kelompok Islam radikal semacam ISIS atau organ-organ lain yang sejenis dengan itu.

Demikian sekadar beberapa catatan singkat kami berdua. Kalau ada kekurangan ataupun kesalahan, sepenuhnya tanggungjawab penulis.



Sumber : http://www.theglobal-review.com

0 komentar:

Posting Komentar

Form Kritik & Saran

Nama

Email *

Pesan *