Jumat, 22 Mei 2015

Rusia Bersiap Diri Hadapi Perang Hibrida dengan Barat

Rusia Bersiap Diri Hadapi Perang Hibrida dengan Barat
National Defence Management Centre (NDMC) didirikan pada tahun 2014. Foto: Alexey Nikolsky / RIA Novosti


Istilah 'ancaman hibrida' mencakup berbagai situasi dan intensi permusuhan, semacam perang siber, skenario konflik asimetris berintensitas rendah, terorisme global, pembajakan, migrasi ilegal, korupsi, konflik etnik dan agama, tantangan demografis, kejahatan transnasional yang terorganisir, masalah globalisasi, serta proliferasi senjata penghancur masal.

Demikian disampaikan Direktur Information Center for International Security di Moscow State Linguistic University Alexander Bartosh saat berbicara dalam diskusi "Perang Hibrida Abad ke-21" yang digelar Januari lalu di Military University dan melibatkan perwakilan dari lembaga penegak hukum dan departemen lain.
Militer Rusia telah lama mengkhawatirkan munculnya ancaman semacam itu. Menteri Pertahanan Sergey Shoigu kemudian membentuk sistem pertahanan baru yang memberi perhatian serius pada masalah ini dan kementerian merancang program komprehensif untuk melawan ancaman eksternal.

Ciptakan Konflik Berdarah Lewat Metode Lunak

Pada pertengahan Oktober 2014, layanan pers Kementerian Pertahanan Rusia mempublikasikan tulisan Sergey Shoigu mengenai potensi terciptanya konflik antara Rusia dengan NATO dan ancaman eksternal lain. "Saat ini, tak ada satu pun ketegangan di dunia yang tak melibatkan militer AS. Mereka menggunakan dalih promosi demokrasi di wilayah-wilayah tertentu untuk menciptakan kekacauan dan konflik berdarah, seperti di Irak, Libya, Afganistan, dan kini Suriah. Bahkan pasukan bersenjata AS juga turut berperan di balik tragedi di Ukraina," tulis Shoigu.

Klik untuk memperbesarkan infografis
AS dan NATO kemudian menuduh Rusia meletuskan perang hibrida di Ukraina dan Krimea. Dalam Konferensi Antarparlemen Uni Eropa terkait Kebijakan Luar Negeri dan Masalah Keamanan Bersama yang digelar di Riga pada 5 Maret lalu, Wakil Kepala NATO Alexander Vershbow mendeklarasikan kesiapan NATO untuk menghadapi 'perang hibrida' melawan Rusia. Menurut Vershbow, respon NATO dan Uni Eropa terkait ancaman semacam itu harus menyertakan instrumen "keras dan lunak" sekaligus.

Perang hibrida digunakan untuk menyebut serangkaian serangan infromasi yang mungkin berlangsung selama lima sampai sepuluh tahun. Pada tahap ini, kekuatan oposisi dibentuk di negara yang diserang dengan memanfaatkan kalangan anak muda yang mendukung nilai-nilai Barat. Kemudian, tekanan eksternal diberikan melalui instrumen ekonomi. Itulah cara mempersiapkan "revolusi warna" dan pergantian rezim. Penggunaan metode militer diminimalisir dan dilakukan dalam bentuk serangan jarak jauh tanpa melibatkan pasukan darat.

Perang yang Sempurna

Pengembangan strategi perang baru ini merupakan pencapaian dalam sejarah umat manusia, karena kini strategi perang disusun oleh politisi dan ekonom, bukan oleh kalangan militer. Negara yang memanfaatkan strategi perang hibrida memiliki risiko kekalahan yang kecil, bahkan tak akan menghadapi kerugian finansial, karena hal tersebut ditanggung oleh negara yang diserang. Mereka perlu menjaga kehadiran para tentara untuk menghindari protes sosial, seperti yang terjadi pada Perang Vietnam.



"Jika kita mempertimbangkan tiga aspek yang berperan dalam perang hibrida: ekonomi, informasi, dan militer—Rusia telah siap menghadapi dua di antaranya," kata pakar militer independen, kolonel purnawirawan Mikhail Timoshenko pada RBTH.
"Sulit untuk menekan kita secara ekonomi karena kita sudah pernah bertahan pada periode Soviet, ketika blokade dilakukan jauh lebih kuat dari saat ini. Secara militer, Rusia juga telah mengadaptasi situasi modern dan mampu menghadapi tantangan di wilayah sekitar perbatasan. Senjata nuklir dan sistem persenjataan modern masih efektif untuk digunakan. Titik kelemahan kita dalam perang hibrida terletak pada segi informasi. Kita tertinggal dari segi informasi sejak masa Uni Soviet. Selain itu, kesulitan bahasa juga menjadi tantangan tersendiri. Seluruh dunia berbicara dalam bahasa Inggris, dan kini semakin sedikit negara yang masih mempertahankan bahasa Rusia. Barat yang direpresentasikan oleh NATO jelas mendapat keuntungan dari hal ini. Tapi, bidang informasi biasanya bergantung pada ekonomi, sehingga keamanan situasi di Rusia akan bergantung pada kesuksesan pembangunan ekonomi."

Salah satu kunci Rusia menghadapi perang hibrida adalah kehadiran lembaga Pusat Manajemen Pertahanan Nasional (National Defense Management Center) yang didirikan pada 2014. Lembaga tersebut merupakan alat baru yang digunakan untuk memantau, menganalisis, serta merespon semua ancaman keamanan nasional secara efisien. Untuk ancaman militer, pemimpin negara dan semua cabang pemerintah dapat saling berkoordinasi dengan militer dan lembaga keamanan lain melalui wadah Pusat Manajemen Pertahanan Nasional.
Perangkat lunak yang dimiliki oleh lembaga tersebut dapat menstimulasi pencarian solusi untuk menghadapi berbagai situasi kritis, menghubungkan mereka dengan keamanan dan menentukan apakah hal tersebut ancaman bagi Rusia.




Sumber : RBTH Indonesia

0 komentar:

Posting Komentar

Form Kritik & Saran

Nama

Email *

Pesan *