Ilustrasi oleh Konstantin Maler. |
Dalam proyek bernilai seratus miliar dolar AS ini, Tiongkok melibatkan negara-negara berkembang yang membutuhkan pinjaman untuk memacu perekonomian mereka, serta negara industri yang giat mencari penawaran yang menguntungkan.
Amerika, di satu sisi, menolak bergabung dengan struktur keuangan global yang dipimpin Tiongkok, dan hal tersebut sudah diperhitungkan. Ini menunjukan logika pendekatan menang-kalah yang dianut oleh AS terkait meningkatnya popularitas global Tiongkok, sekaligus mengindikasikan keengganan AS mengendurkan cengkramannya pada pasar keuangan global.
Pertanyaannya, bagaimana dampak kehadiran bank raksasa ini terhadap posisi dan perspektif Rusia? Sejauh ini, Moskow masih belum mengajukan diri untuk bergabung dengan Asian Infrastructure Investment Bank. Apakah keputusan tersebut bijak, atau tidak?
Perang sanksi, masalah politik yang memengaruhi situasi keuangan global, serta upaya AS untuk meningkatkan kekayaannya dengan menciptakan kesepakatan dagang yang komprehensif dengan Uni Eropa dengan mengorbankan para pebisnis dan pembayar pajak Eropa, semua itu telah menggerogoti kredibilitas insitusi keuangan internasional yang ada, seperti Bank Dunia dan IMF (International Monetary Funds/Dana Moneter Internasional).
Kongres AS juga mengambil langkah yang tak bijak dengan mencegah Tiongkok dan negara-negara berkembang lain yang hendak melebarkan sayap di IMF. Hal tersebut mengakibatkan munculnya reaksi keras, dan tanpa diduga menciptakan dukungan kuat bagi Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) yang diusung Beijing.
Konsensus Washington merupakan resolusi yang dikemas untuk
mereformasi negara dunia ketiga, dengan memanfaatkan kehadiran lembaga
keuangan yang berbasis di Washington seperti Dana Moneter Internasional,
Bank Dunia, dan Departemen Keuangan AS.
Namun, gagasan untuk bergabung dengan bank Tiongkok telah memicu
rentetan kecaman dari Amerika Serikat, menciptakan perpecahan dalam
aliansi trans-Atlantik, dan meningkatkan harapan sekaligus ketakutan
akan rusaknya Konsensus Washington.
Asian Infrastructure Investment Bank didesain secara khusus untuk memberi pendanaan bagi pembangunan jalan, proyek rel kereta dan sumber energi, serta menjadi alternatif dari Bank Dunia dan lembaga keuangan lain milik AS. Bank ini juga akan bersaing dengan lembaga pemberi pinjaman dana serupa dari Jepang, Asian Development Bank (ADB), yang saat ini merupakan pemberi pinjaman dana utama bagi negara-negara di Asia.
Untuk menghindari tuduhan mengambil pendekatan yang tak adil dengan meminjamkan uang tanpa memberi transparansi, Tiongkok berjanji akan mempertimbangkan opini semua pihak yang bergabung dengan proyek mereka tersebut, bahkan memberi hak veto bagi peserta.
Langkah cerdas Beijing ini menciptakan kebingungan di antara para sekutu AS yang setia. Akhirnya, beberapa dari mereka memecah barisan dan memutuskan untuk bergabung dengan Tiongkok. Inggris, Jerman, Prancis, dan Italia mengajukan diri untuk bergabung dengan bank raksasa Tiongkok tersebut, langkah yang dapat dikatakan sebagai "pembelotan" dan membuat Washington geram, jelas untuk alasan yang masuk akal. Namun, terdapat beragam intepretasi mengenai langkah "berbalik arah" yang dilakukan oleh para negara-negara Eropa ini.
Saat ini, pasar uang didominasi oleh dua lembaga keuangan raksasa, Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional. Keduanya muncul sebagai produk sistem Bretton Woods pada 1944, yang menyebabkan terciptanya supremasi dolar Amerika sebagai satu-satunya mata uang yang digunakan dalam struktur keuangan global. Posisi AS ini tak pernah diganggu gugat, hingga belakangan ini hierarki kekuatan ekonomi dunia mulai mulai berubah dan menciptakan perang mata uang.
Kata orang, uang bicara, dan sepertinya tak lama lagi uang akan mulai bicara dalam aksen Tiongkok.
Sumber : RBTH Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar