Pesawat Su-35 Super Flanker, yang diincar oleh AU Indonesia, tentu saja lebih canggih. Sukhoi mengklasifikasikannya sebagai pesawat generasi ke-4++, yang berada tepat di bawah pesawat siluman generasi kelima. Foto: Sukhoi.org |
Angkatan Udara Indonesia hendak mengganti pesawat tempur F-5 buatan AS yang sudah usang dengan pesawat tempur terbaru Rusia Su-35
Super Flanker. Namun, pemerintah Indonesia belum bisa mengambil langkah
pasti karena AS juga menawarkan jet F-16 dan jet F-18 mereka pada AU
Indonesia.
Saat ini, armada pesawat tempur Indonesia terdiri dari
pesawat AS F-16 dan pesawat Rusia Su-27 dan Su-30. Fakta bahwa pesawat
AS bersekutu dengan pesawat Rusia di militer Indonesia adalah hal yang
menarik. “Indonesia mengincar pesawat Rusia karena mereka memang membutuhkannya,” tulis Defense Industry Daily (DID).
Pesawat tempur AU Indonesia, yakni 12 buah F-16A/B dan 16 buah F-5E/F,
menghadapi masalah perawatan karena AS memberlakukan embargo terhadap
Indonesia.
Embargo tersebut diberikan setelah Australia mulai
campur tangan dalam konflik Timor Timur, dan AS menuduh Indonesia
melakukan pelanggaran hak asasi manusia.
Untuk mengatasi masalah akibat embargo AS, pada 2003
Indonesia menandatangani kontrak senilai 192 juta dolar AS dengan Rusia
untuk memasok pesawat tempur multiperan Sukhoi melalui Rosoboronexport.
Kehadiran pesawat tempur Rusia membuat Indonesia memiliki kapabilitas
tempur yang setara dengan para tetangganya, termasuk Tiongkok dan
Australia.
Empat tahun kemudian, dalam pameran aviasi MAKS 2007 di
Moskow, Indonesia dan Rusia menandatangani kontrak lanjutan senilai 300
juta dolar AS untuk pasokan Sukhoi Flankers. Menariknya, kala itu
Indonesia tetap membeli perangkat militer Rusia meski Indonesia telah
memiliki kerja sama tertutup dengan Washington. “Itu membuktikan,
bahwa pembelian tersebut tak merefleksikan orientasi geopolitik
Indonesia. Itu murni disebabkan oleh ketertarikan Indonesia terhadap
pesawat Sukhoi,” kata pengamat hubungan internasional Martin Sieff dari UPI.
Berdasarkan informasi dari DID, baik Su-27 SK maupun Su-30
milik Indonesia yang saat ini masih beroperasi, sama-sama memiliki
kombinasi karakter Sukhoi Flanker terkait jangkauan jarak yang jauh,
muatan besar, dan kinerja udara yang dapat mengimbangi semua pesawat
tempur Amerika kecuali F-22A Raptor. Dengan kapabilitas tersebut, serta
kebijakan Rusia yang tidak pernah mencampur-adukan situasi politik
dengan penjualan senjata, mendorong Indonesia untuk berbalik pada Rusia
dan menjadikan Rusia sebagai pemasok senjata.
Infografis Perbandingan Spesifikasi Teknis Su-35S dan F-22 |
Kedatangan Sukhoi telah menggenapkan keganjilan di panggung
Asia Pasifik. Pilot Australia, yang menyatakan diri tergabung dalam
pasukan canggih dengan menerbangkan F-18 Hornets, kini harus berhadapan
dengan Flanker yang lebih unggul hampir di semua aspek. Menurut
keterangan Air Power Australia, “Akusisi pesawat tempur Rusia Sukhoi
Su-27SK dan Su-30MK oleh negara-negara yang ada di wilayah kami
menunjukan bahwa F/A-18A/B/F telah ketinggalan jaman berbagai aspek
kunci.”
Lompatan Teknologi Maju
Pesawat Su-35 Super Flanker, yang diincar oleh AU Indonesia,
tentu saja lebih canggih. Sukhoi mengklasifikasikannya sebagai pesawat
generasi ke-4++, yang berada tepat di bawah pesawat siluman generasi
kelima. Dibandingkan dengan F-16 dan F-18, yang berbasis teknologi tahun
1970-an, Su-35 baru saja masuk dalam perbendaharaan senjata AU Rusia.
Tiongkok juga telah menandatangani kontrak senilai miliaran dolar untuk
memperoleh 24 buah Super Flanker dan para pilot Tiongkok telah datang ke Rusia untuk menjalani pelatihan.
Berdasarkan informasi dari Air Force Technology, Su-35 memiliki
kemampuan manuver yang tinggi (+9g) dengan sudut penyerangan tinggi,
dan dilengkapi dengan sistem senjata canggih yang membuat pesawat ini
memiliki kemampuan tempur yang luar biasa. Kecepatan maksimum pesawat
ini mencapai 2.390 kilometer per jam atau Mach 2,25.
Majalah tersebut menyebutkan bahwa Su-35 mampu mengangkut
sejumlah misil udara-ke-udara, udara-ke-permukaan, dan misil antikapal.
Pesawat juga dapat dipersenjatai dengan beragam bom terarah, dan
sensornya mampu mendeteksi serta melacak hingga 30 target udara dengan
radar cross section (RCS) dalam radius 400 kilometer menggunakan moda
lacak-dan-pindai.
Dalam laporan Aviation Week
dari Paris Air Show 2013, pakar aviasi legendaris Bill Sweetman
menuliskan bahwa kelincahan yang dipamerkan oleh Sukhoi Su-35 berakar
dari konsep Rusia yang mementingkan jangkauan pendek serta pertempuran
udara berkecepatan rendah.
“Pesawat ini dilengkapi dengan tiga sumbu dorong vektor
(three-axis thrust-vectoring) dan memiliki kontrol penerbangan dan
tenaga pendorong yang terintegrasi seluruhnya, menampilkan manuver yang
tak tertandingi oleh pesawat tempur manapun,” tulis Sweetman.
Sweetman juga mengutip pilot kepala penguji Sukhoi Sergey Bogdan, “Sebagian
besar pesawat tempur yang kami miliki saat ini memiliki dorongan
vektor. Su-30MKI dan MKM dapat memamerkan manuver tersebut. Hal yang
membedakan pesawat ini adalah ia memiliki lebih banyak dorongan, jadi
saat menampilkan manuver, ia dapat tetap berdiri kokoh, dan setelah
pembakaran dimulai, pesawat dapat mempertahankan penerbangan hingga
120-140 kilometer per jam.”
Penekanan “kemampuan manuver super” berlawanan dengan doktrin
pertempuran udara Barat, yang lebih menekankan kecepatan tinggi,
menghindari “peleburan” lamban dan taktik hemat energi. Namun menurut
Bogdan, kemampuan manuver super merupakan aspek yang sangat penting.
“Pertempuran udara klasik dimulai pada kecepatan tinggi,
namun jika Anda melewatkan tembakan pertama, dan kemungkinanannya besar
karena ada manuver untuk menghindari misil, pertempuran akan berlangsung
lebih lama,” kata Bogdan. “Setelah bermanuver, pesawat akan
berada di kecepatan rendah, namun kedua pesawat akan berada di posisi di
mana mereka tak bisa menembak. Kemampuan manuver super membuat pesawat
dapat berbalik dalam tiga detik dan kembali menembak.”
Terkait hemat energi, Bogdan mencatat, “Teori pertempuran
udara selalu berevolusi. Pada 1940-an dan 1950-an, prioritas utama
adalah ketinggian, lalu kecepatan, kemudian manuver, dan persenjataan.
Lalu pada generasi ketiga dan keempat, urutannya berubah menjadi
kecepatan, ketinggian, baru manuver. Kemampuan manuver super
ditambahkan. Itu ibarat pisau di saku tentara.”
Meski tak memiliki kemampuan siluman, pesawat Su-35 bisa
'menghilang', tak terlihat di radar musuh, pada beberapa kondisi
tertentu. Sweetman menjelaskan, perubahan kecepatan yang berlangsung
acak dapat membuat merusak radar. Manuver tersebut sangat berguna bagi
Su-35S karena pilot dapat menerbangkan pesawat ke segala arah.
Pembuktian di Masa Depan
Australia berencana membeli 72 buah pesawat tempur siluman F-35
pada akhir dekade ini, sehingga Indonesia harus mengambil langkah
penyeimbang. Pesawat Rusia T-50 mungkin merupakan kandidat paling ideal,
namun untuk sementara Su-35 dapat dijadikan pertahanan dalam menghadapi
ancaman F-35.
Dave Majumdar dari National Interest menyebutkan
bahwa AU Amerika—yang paham betul mengenai F-35—pecaya bahwa Su-35
dapat menjadi ancaman serius bagi jet terbaru Amerika. F-35 dibuat
sebagai pesawat penyerang dan tak memiliki kapabilitas kecepatan atau
ketinggian seperti Su-35 atau F-22. “Kemampuan pesawat Sukhoi untuk terbang tinggi dan cepat merupakan masalah utama yang kami hadapi, termasuk untuk F-35,” terang pihak militer Amerika.
Menurut Majumdar, sebagai pesawat tempur superior Su-35
memiliki kombinasi kemampuan terbang tinggi dan kecepatannya yang luar
biasa.
“Su-35 dapat meluncurkan senjata dari kecepatan
supersoniknya, yakni sekitar Mach 1,5 pada ketinggian lebih dari 45 ribu
kaki. Sementara F-35 secara umum akan beroperasi pada ketinggian 30
ribu kaki dengan kecepatan sekitar Mach 0,9.”
Sergey Ptichkin dari Rossiyskaya Gazeta menyebutkan, Su-35S hampir identik dengan T-50 dalam aspek perlengkapan elektronik, sistem kontrol, dan persenjataan. “Sehingga,
semua pilot yang mampu mengendalikan Su-35 dapat dengan mudah
mengendalikan pesawat tempur klasik generasi kelima berteknologi
siluman, T-50,” kata Ptichkin.
Dengan belajar mengendalikan Su-35, pilot Indonesia kelak telah
siap saat harus menerbangkan pesawat siluman generasi kelima pada
dekade mendatang.
Latihan Bersama Pilot Andal
Pada Oktober 2013, India setuju untuk melatih AU Indonesia
dalam mengoperasikan armada pesawat tempur Sukhoi. Berdasarkan
kesepakatan ini, yang disetujui saat kunjungan Menteri Pertahanan India
ke Jakarta, India dan Indonesia akan bekerja sama dalam bidang
pelatihan, bantuan teknis, serta pasokan suku cadang.
Di masa lalu, Indonesia memiliki kesepakatan dengan Tiongkok
untuk melatih pilot mereka dan menyediakan dukungan teknis untuk armada
Flanker-nya. Namun, Indonesia kini berbalik arah pada India, karena
melihat AU India ialah mentor ideal. AU India memiliki reputasi dunia
sebagai pasukan tempur unggul setelah mengalahkan pasukan Amerika dalam
sejumlah latihan udara Cope India. Selain itu, dalam tiga perang pada
tahun 1965, 1971, dan 1999, India berhasil mengalahkan pasukan Pakistan.
Dengan kata lain, dukungan tersedia dengan mudah di wilayah
Asia, jika Indonesia memutuskan untuk memperbesar armada Flanker-nya.
Tak Ada Ikatan
Argumen yang paling mendukung bagi Indonesia untuk membeli
pesawat Rusia adalah, tak seperti negara adidaya lain, Moskow tak pernah
memberi embargo akibat sebuah konflik. Selain itu, tindakan menjual
senjata untuk sebuah negara namun kemudian menghentikan pasokan pada
saat perang ibarat "menusuk dari belakang". Embargo AS pada krisis Timor
Timur jelas ditujukan demi keuntungan Australia. Pada konflik
Indonesia-Australia di masa depan, hasilnya mungkin tak akan berbeda
jauh. Pemimpin politik Indonesia harus mempertimbangkan masak-masak saat
mereka hendak mengambil keputusan untuk membeli pesawat tempur.
Sumber : RBTH Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar