Analisis |
Penulis : Hendrajit, Pengkaji Geopolitik dan Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI) | |
Kita harus bedakan Cina Republik Kita dan Rakyat Cina. Pertumbuhan kekuatan ekonomi dan keuangan dari para taipan seberang laut (Overseas China) yang
berkiblat pada Kapitalisme berbasis Korporasi, pada perkembangannya
telah menjadi negara dalam negara. Dan berpotensi merusak kerjasama
strategis RI-RRC maupun berbagai format baru kerjasama internasional
RI-RRC-Rusia-India untuk menciptakan konfigurasi dan keseimbangan
kekuatan baru di Asia Tenggara.
| |
Yang
krusial sejak dulu sampai sekarang,adalah ulah para taipan seberang
laut alias overseas China atau Huaqiu. Sedangkan dengan RRC, sebagai
negara bangsa,apalagi sejak 1949 Mao Ze Dong ambil alih dri Chang Kai
Shek, yang kemudian tergusur ke Taiwan, negeri kita dengan RRC bukan
saja akrab, bahkan telah menjalin aliansi strategis dan satu haluan
dalam melawan Kapitalisme dan Imperialisme Amerika Serikat dan beberapa
negara Eropa Barat.
Titik
bedanya hanya, RRC meyakini bahwa untuk memerangi kapitalisme,
imperialisme maupun feodalisme berskala global, hanya bisa efektif
melalui Partai Komunis Cina. Sedangkan Indonesia, meyakini bahwa
revolusi kita punya cara tersendiri yang khas. Yang mana komunisme dan
Partai Komunis sama sekali tidak boleh memonopoli isme dan arah
kebijakan strategis pemerintah Indonesia. Dan seperti halnya terbukti
melalui sejarah, RRC setuju-setuju saja, karena mereka percaya pada
integritas Presiden pertama RI Sukarno. Selain atas dasar pertimbangan
bahwa RRC cukup realistis untuk tidak mendikte atau memaksakan
kehendaknya pada Sukarno yang bias-bisa nantinya malah bumerang bagi
mereka.
Namun
berbeda halnya dengan para taipan sebrang laut alias overseas China
inii, sejak era Sukarno ke era Suharto dan ke era reformasi hingga
sekarang, memang penuh komplikasi. Dan pada perkembangannnya bisa
mengancam perekonomian dan bahkan keamanan nasional kita ke depan. Salah
satu yang paling krusial, bisa menyabotase hubungan bilateral RI-RRC
yang di era pemerintahan Jokowi-JK ini sepertinya mengarah ke hubungan
yang lebih erat dan strategis.
Buku
karya Sterling Seagrave, wartawan Inggris, yang nulis buku membongkar
sepak terjang para taipan di Asia Pasifik.bertajuk, Lord of the Ring.
Sekarang sudah diterjemahkan dalam bahasa Infonesia : Sepak Terjang Para
Taipan, kiranya amat membantu mengungkap betapa mengguritanya pengaruh
para Taipan seberang laut ini.Di buku itu, terungkap geneologi atau
asal-usul beberapa taipan mulai dari Robert Kwok sampai Liem Soe Liong.
Maupun beberapa taipan yang sudah menacapkan kuku-kuku pengaruh
kekuasaannya di beberapa negara seperti Singapura, Thailand, Malaysia,
Filipina dan Indonesia.
Meskipun
sejak era Deng Xio Ping pada 1979, para Taipan seberang laut ini mulai
diundang masuk ke Cina untuk berinvestasi melalui skema Special Economic
Zone di 14 kota di Provinsi Cina Selatan, namun tidak otomatis RRC dan
para Taipan ini sudah menyatu dan bersenyawa dengan skema Kapitalisme
Negara RRC. Karena bagaimanapun juga, para Taipan yang menganut
Kapitalisme berbasis Korporasi ini, dalam pragmatism ekonominya masih
tetap menjalin aliansi strategis dengan para kapitalis global yang dari
Amerika Serikat dan Eropa Barat yang kebetuian juga kapitalismenya
berbasis korporasi.
Segi
lain yang tak kalah penting, meskipun para Taipan seberang laut ini
tumpuan kekuatannya semata sebagai orang-orang yang bermodal kuat dan
berskala global, namun pada perkembangannya para Taipan tersebut telah
menjelma menjadi Konsorsium Politik. Bukan sekadar klan ekonomi,
keuangan maupun bisnis. Sehingga praktis para taipan tersebut telah
menjadi negara dalam negara, dengan bertumpu pada skema Kapitalisme
berbasis Korporasi.
Kapitalisme
Berbasis Korporasi inilah yang justru lebih mengeratkan hubungan para
taipan lintas negara tersebut dengan para kapitals global di Amerika
maupun Eropa Barat, ketimbang RRC. Karena RRC sama sekali menentang
skema Kapitalisme berbasis Korporasi, dan lebih bertumpu pada
Kapitalisme negara. Dimana Negara adalah subyek Ekonomi-Politik,
Sosial-Budaya, dan Pertahanan–Keamanan. Sehingga RRC dalam visi dan
misinya, sama sekali tidak dimungkinkan untuk jadi obyekatau boneka
para pelaku ekonomi asing, termasuk para Taipan Seberang laut
sekalipun.
Dengan
keadaan macam itu, maka dalam politik luar negerinya Indonesia akan
selalu terkendala untuk menjalankan Politik Luar Negeri yang Bebas dan
Aktif, apalagi untuk menghidupkan kembali peran kepeloporannya seperti
ketika menyeponsori terselenggaranya Konferensi Asia-Afrika di Bandung
pada 1955 maupun Konferensi Tingkat Tinggi Gerakan Non Blok di Beograd
pada 1961. Khusus dalam KAA Bandung 1955 yang telah berhasil
menghasilkan the Bandung Spirit atau DASA SILA BANDUNG, sejarah
membuktikan bahwa Indonesia dan RRC telah bahu-membahu bekerjasama
sehingga berhasil tercipta solidaritas bangsa-bangsa di kawasan
Asia-Pasifik yang dipersatukan oleh ikatan bersama untuk melawan dan
memerangi Imperialisme dan Kolonialisme dalam segala bentuk dan
manifestasinya.
Dengan
diilhami oleh dua peristiwa bersejarah tersebut, barang tentu para
penentu kebijakan strategis luar negeri RI maupun para Pemangku
Kepentingan Kebijakan Luar Negeri RI pada umumnya, berharap untuk
membangun kembali aliansi strategis RI-RRC atas dasar the Bandung Spirit
dan Gerakan Non Blok. Yang pada intinya, menjalin kembali aliansi
strategis dengan RRC dan Rusia, untuk membangun konfigurasi dan
keseimbangan kekuatan baru, khususnya di kawasan Asia Tenggara, dan
ASEAN pada umumnya.
Namun
dalam upaya terjalinya kembali aliansi strategis RI-RRC dengan diilhami
oleh DASA SILA BANDUNG 1955 maupun Gerakan Non Blok, pada prakteknya
akan terkenda oleh kepentingan Para Taipan yang memosisikan dirinya
sebagai pemain perantara antara dua kutub kekuatan global tersebut.
Para Taipan seberang laut yang sejatinya merupakan sekutu alamiah dari
para kapitalis global Amerika Serikat dan Eropa Barat yang sama-sama
berbasis Corporate Capitalism atau Kapitalisme berbasis Korporasi, sangat berpotensi untuk menggagalkan suatu aliansi strategis RI-RRC yang diilhami oleh the Bandung Spirit 1955 dan Non Blok 1961.
Padahal,
melalui skema kerjasama Indonesia dengan RRC maupun skema kerjasama
RI-Rusia yang mencoba menyelaraskan kerjasama strategis RRC-Rusia
melalui Shanghai Cooperation Organization (SCO) maupun BRICS
(Brazil, Rusia, India, Cina dan Afrika Selatan), sebuah model kerjasama
multilateral yang merupakan kombinasi harmonis antara negara-negara
berkembang seperti India dan Brazil maupun yang menyusul kemudian Afrika
Selatan, dengan dua negara adikuasai RRC dan Rusia, kiranya Indonesia
sangat berpotensi untuk memainkan peran strategis dengan didasari skema
SCO dan BRICS, untuk secara bersama-sama menggalang suatu kerjasama
internasional membendung Visi dan Misi AS dan Uni Eropa sebagai Kutub
Tunggal alias Unipolar.
Maka
dari itu, kemungkinan para Taipan seberang laut untuk menyabotase
politik luar negeri RI yang bertujuan untuk membangun konfigurasi dan
kekuatan keseimbangan baru di kawasan Asia Pasifik, utamanya Asia
Tenggara, kiranya perlu dicermati dan diwaspadai. Mengingat potensinya
untuk lebih condong bermain dan bekerja mewakili skema kapitalisme
global Amerika Serikat dan Uni Eropa, dibandingkan mendukung skema
alternatif Indonesia merangkul RRC dan Rusia dengan merujuk pada model
SCO dan BRICS.
Menjabarkan Politik Luar Negeri Bebas-Aktif Sesuai Tantangan Zaman
Politik
Luar Negeri Bebas dan Aktif sebagaimana dimaksud dalam tulisan ini
adalah, Bebas. Dalam pengertian bahwa Indonesia tidak memihak pada
kekuatan-kekuatan yang pada dasarnya tidak sesuai dengan kepribadian
bangsa sebagaimana dicerminkan dalam Pancasila. Aktif. Artinya di dalam
menjalankan kebijaksanaan luar negerinya, Indonesia tidak bersifat
pasif-reaktif atas kejadian-kejadian internasionalnya, melainkan
bersifat aktif, dalam menjabarkan tantangan global dan nasional yang
kita hadapi sekarang. Juga dapat didefinisikan: “berkebebasan politik
untuk menentukan dan menyatakan pendapat sendiri, terhadap tiap-tiap
persoalan internasional sesuai dengan nilainya masing-masing tanpa
apriori memihak kepada suatu blok.
Juga
bisa diartikan Bebas dalam artian tidak terikat oleh suatu ideologi
atau oleh suatu politik negara asing atau oleh blok negara-negara
tertentu, atau negara-negara adikuasa (super power). Aktif
artinya dengan sumbangan realistis secara giat mengembangkan kebebasan
persahabatan dan kerjasama internasional dengan menghormati kedaulatan
negara lain.
Wakil
Presiden pertama RI Mohammad Hatta, yang mencetuskan untuk
pertama-kalinya konsepsi Politik Luar Negeri Bebas Aktif pada 1948, di
tengah polarisasi dua kekuataan global yang ketat bersaing yakni Blok
Barat dan Blok Timur. Dalam Perang Dingin (1947-1991), ketika itu Barat
dikuasai Amerika Serikat (AS) sedang Timur oleh Uni Soviet.
Gagasan
Bung Hatta tentang bebas aktif bukanlah dimaksud agar Indonesia mau
cari amanya saja atau cari selamat, bukan asal tidak di kiri atau tak ke
kanan, atau netral tidak memihak siapapun, tetapi semata-mata lebih
ditujukan pada menjabarkan kepemilikan jati diri atas prinsip, watak dan
warna politik Indonesia itu tersendiri. Dengan kata lain, Politik Luar
Negeri Bebas dan Aktif harus diabdikan untuk melayani apa yang menjadi
hajat sesunguhnya masyarakat Indonesia. Dalam konteks zaman kala itu,
yaitu kemerdekaan Indonesia lepas dari belenggu Belanda.
Dalam
konteks zaman sekarang yang sejatinya komunitas internasional sedang
dihadapkan pada suatu skema Kutub Tunggal alias Unipolar yang dimotori
oleh AS dan Uni Eropa, maka para pemangku kepentingan kebijakan luar
negeri RI sudah saatnya menjabarkan konsepsi Politik Luar Negeri Bebas
dan Aktif atas dasar dengan didasari gagasan untuk membendung dan
menetralisasikan skema Uni Polar AS dan Uni Eropa tersebut.
Dan
di atas itu semua, melalui watak politik bebas aktif sejatinya
terkandung misi dan komitmen seluruh elemen bangsa untuk menghapus
segala bentuk imperialisme dan kolonialisme baik berupa penjajahan fisik
negara atas negara lain, maupun dalam wujud penjajahan lain dalam
kemasan baru atau model baru yang coba mereka lestarikan di muka bumi.
Berdasarkan
kerangka pemikiran tersebut di atas, saya serukan kepada Kementerian
Luar Negeri maupun para pemangku kepentingan kebijakan luar negeri RI
pada umumnya, agar tetap menjaga netralitas ASEAN sehingga tidak condong
ke salah satu kutub. Pertemuan tingkat tinggi tahunan seperti ASEAN
Summit dengan AS, Rusia, RRC maupun India, kiranya harus tetap
dipertahankan dalam skala yang seimbang sehingga tidak condong ke salah
satu kutub.
Jika
kita menelisik sejarah kelahirannya, ASEAN sejatinya telah berhasil
menciptakan stabilitas politik regional di kawasan Asia Tenggara, yang
itu berarti bahwa ASEAN, khususnya dengan peran kepeloporan dan
kepemimpinan Indonesia sebagai negara terbesar di ASEAN, telah berhasil
membendung Proxy War antar kutub yang terlibat dalam perang
dingin kala itu yaitu AS. Uni Soviet dan RRC, sehingga ASEAN berhasil
terhindar sebagai medan perebutan pengaruh ketiga negara adikuasa
tersebut.
Karena
itu, saya sangat khawatir ketika terbetik kabar bahwa ada beberapa
kalangan di Washington, yang mencoba memaksa dan mendikte Presiden Joko
Widodo pada ASEAN-US Summit beberapa waktu yang lalu, agar ASEAN Summit
yang melibatkan RRC, Rusia dan India, cukup diadakan minimal dua tahun
sekali, atau kalau bisa, dihilangkan sama sekali.
Jika
hal ini benar, dan pemerintahan Jokowi-JK menyetujui desakan beberapa
kalangan strategis di Washington, maka tak pelak lagi hal itu akan
meruntuhkan netralitas ASEAN yang berhasil dipertahankan sejak awal
berdirinya pada 1967 hingga sekarang. Sehingga pada perkembangannya
nanti akan menggiring ASEAN ke dalam orbit AS dan Uni Eropa. Sehingga
upaya pemerintahan Jokowi-JK untuk memelopori terciptanya konfigurasi
dan kekuatan keseimbangan baru di kawasan Asia Tenggara melalui skema kerjasama multilateral dengan RRC, Rusia dan India, akan gagal total.
Karena
dengan begitu berarti AS, telah memaksakan kehendaknya pada
negara-negara yang tergabung dalam ASEAN, untuk berkiblat pada satu
orbit saja, yaitu AS dan Uni Eropa. Seraya menafikan terciptanya suatu
format kerjasama internasional baru bersama RRC, Rusia dan India, dalam
membendung ambisi Unipolar AS dan Eropa Barat.
Pada tataran ini, kita harus mewaspadai peran para Taipan seberang laut yang nampaknya sekarang memainkan posisi sebagai Buffer Zone
(Daerah Penyangga) antara kepentingan AS versus RRC, namun pada
prakteknya memainkan peran sebagai saluran tidak resmi dari kepentingan
para kapitalis global AS dan Uni Eropa yang diikat oleh kepentingan
bersama melestarikan Kapitalisme berbasis Korporasi
Sumber : http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=18912&type=4#.VzXldFLgyKE
|