Jumat, 13 Mei 2016

Misteri Tanah Punt: Apakah Ada Hubungan Antara Firaun Mesir dengan Suku di Bengkulu?



patung-sphinx-dan-piramida-giza-di-mesir
Peradaban Mesir Purba pernah dipimpin seorang Fir’aun Perempuan yang hidup antara tahun 1479 SM – 1458 SM bernama “Ratu Hatshepsut” (kadang-kadang dieja Hatchepsut yang berarti Perempuan Bangsawan Paling Terkemuka).
Ratu Hatshepsut adalah firaun kelima dari Dinasti ke-18 di Mesir kuno. Sedangkan gelar Fir’aun adalah gelar yang dalam diskusi dunia modern digunakan untuk seluruh penguasa Mesir kuno dari semua periode.
DRatu Firaun Hatshepsutahulu, gelar ini mulai digunakan untuk penguasa yang merupakan pemimpin keagamaan dan politik kesatuan Mesir kuno, namun hanya dipakai selama Kerajaan Baru, secara spesifik, selama pertengahan dinasti kedelapanbelas.
Para Egiptologis umumnya menganggap Ratu Hatshepsut sebagai salah seorang firaun perempuan yang paling berhasil di Mesir, yang memerintah lebih lama daripada perempuan penguasa manapun dalam sebuah dinasti bumiputra.
Ratu Hatshepsut
Ratu Hatshepsut dipercayai pernah memerintah sebagai salah seorang penguasa dari sekitar 1479 hingga 1458 SM (Tahun 7 hingga 21 dari Thutmose III).
Ia dianggap sebagai ratu penguasa yang paling awal dikenal dalam sejarah dan perempuan kedua yang diketahui naik takhta sebagai “Raja Mesir Hulu dan Hilir” setelah Ratu Sobekneferu dari Dinasti ke-12.
Makamnya terus dicari para arkeologi, hingga pada 27 Juni 2007 lalu, akhirnya sebuah mumi dalam makam berkode “KV60” di Lembah Para Raja akhirnya diidentifikasikan sebagai Ratu Hatshepsut.
Mumi Ratu Hatshepsut
Mumi Ratu Hatshepsut
Ratu Hatshepsut adalah putri dari Firaun ketiga dinasti ke-18 Mesir, yaitu Thutmose-I (kadang-kadang dibaca sebagai Thothmes, Thutmosis atau Tuthmosis I) berawal pada tahun 1506 SM atau 1526 SM menurut kronologi Mesir muda atau tua.
Thutmose-I naik takhta setelah kematian raja sebelumnya, yaitu Raja Amenhotep-I.
Salah satu peninggalan Ratu Hatshepsut yang sangat terkenal adalah bangunan yang bernama Mortuary Temple of Hatshepsut atau Kuil Hatshepsut.
Yang menarik dari Kuil Hatshepsut adalah, terdapatnya gambar-gambar mural dan relief yang bercerita tentang Land of Punt atau dalam bahasa Indonesia adalah Tanah Punt atau Negeri Punt, atau kadang disebut Bangsa Punt, yakni satu daerah yang memiliki ciri kehidupan yang mirip masyarakat di wilayah Nusantara yang kini bernama Indonesia.
https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/4/42/SFEC_AEH_-ThebesNecropolis-2010-Hatshepsut-023.jpg/640px-SFEC_AEH_-ThebesNecropolis-2010-Hatshepsut-023.jpg
Mortuary Temple of Hatshepsut (Kuil Hatshepsut) (pict: wikimedia).
Ekspedisi ke Negeri Punt
Informasi mengenai ekspedisi perdagangan dinasti bumiputra Fir’aun dengan negeri bernama Negeri Punt atau Tanah Punt, telah ditemukan dalam catatan-catatan Mesir. Akan tetapi, letak pastinya masih belum diketahui.
Ekspedisi itu diperkirakan dilakukan pada  sekitar tahun 1480 Sebelum Masehi. Walau dipimpin oleh seorang wanita yaitu Ratu Hatshepsut, namun ekspedisi ini merupakan kunci indikator kepemimpinan dan keterampilan dalam memotivasi dan mengatur masyarakat Mesir dikala itu.
Kapal bercadik firaun mesir menuju ke negeri Punt
Mural dari Kuil Hatshepsut memperlihatkan kapal bercadik yang melakukan ekspedisi menuju ke Negeri Punt.
Rupanya selama bertahun-tahun dinasti Firaun dibawah kepemimpinan Ratu Hatshepsut telah berurusan dengan peradaban menengah dibawah mereka.
Semua itu dilakukan untuk dapat memperoleh komoditas perdagangan mereka dari “wilayah timur” dan selatan melalui Laut Merah, dan rute perdagangan langsung yang jauh ke arah timur.
Utusan dari Fir’aun ini menggunakan kapal besar bercadik yang menurut peneliti semacam tongkang pada masa kini sebagai pengangkut barang, ke wilayah timur menuju The Land of Punt atau ke Negeri Punt.
Diperkirakan, para utusan dalam ekspedisi itu ingin bertemu dengan peradaban dari timur untuk melakukan transaksi perdagangan secara langsung, karena untuk menghindari para perantara, dan bisa jadi pastinya barang berharga.
Relief yang digambar ulang memperlihatkan perahu cadik dalam Ekspedisi ke wilayah timur enuju ke Negeri Punt (Land of Punt) oleh dinasti Fir'aun dibawah pimpinan Ratu Hatshepsut.
Relief yang digambar ulang dari mural di Kuil Hatshepsut memperlihatkan perahu cadik dalam ekspedisi ke wilayah timur menuju ke Negeri Punt (Land of Punt) oleh dinasti Fir’aun dibawah pimpinan Ratu Hatshepsut.
Selain itu, kapal besar bercadik itu juga diyakini oleh para peneliti untuk mengangkut batu-batu besar ‘obelisk’ dari tambang batu yang mereka dapat dari arah timur.
Teknologi pengangkutan oleh kapal bercadik ini juga diyakini peneliti sebagai alat transportasi untuk mengangkut material-material untuk membangun piramida.
Kebutuhan untuk mengangkut batu-batu besar hingga 70 ton dari tambang yang letaknya sangat jauh menuju ke situs piramida sangat diperlukan orang Mesir ketika membangun piramida.
Ini berarti bahwa teknologi dan aplikasi untuk dapat membangun tipe kapal ini telah berusia sekitar 1000 tahun pada saat Hatshepsut membangun armada lautnya.
Letak “Negeri Punt” Masih Misterius
https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/c/c7/NC_Punt.jpg
Kemungkinan lokasi Punt masih misteri, kemungkinan di sekitar Laut Merah dan rute perjalanan besar melalui darat dan laut (wikimedia).
Perjalanan ekspedisi yang dilakukan utusan dari dinasti Fir’aun menurut relief ke wilayah timur masih menuai misteri.
Begitu pula dengan kisah keberadaan Negeri Punt yang dikunjungi dinasti Fir’aun yang terdapat dalam relief Kuil Hatshepsut selama ribuan tahun, juga masih menjadi misteri.
Banyak analisis juga masih berargumen tentang keberadaan dimana pastinya negeri Punt berada.
Kebanyakan ahli meyakini bahwa Punt terletak di sebelah tenggara Mesir, kemungkinan di Tanduk Afrika seperti di Somalia, Ethiopia dan Sudan. Ada pula ahli yang menunjuk Arabia sebagai Punt.
Negeri Punt, juga dijuluki Pwenet, atau Pwene oleh bangsa Mesir Kuno, adalah mitra dagang Mesir Kuno yang memproduksi dan mengekspor emas, damar aromatik, dalbergia melanoxylon, eboni, gading, budak, dan binatang liar.
Menurut sejarawan abad pertama, Titus Flavius Josephus (37 – c. 100), ia menulis:
Phut adalah pendiri Libya, dan penduduknya disebut Phutites (Phoutes), yang penamaannya berasal dari dirinya sendiri. Ada juga sebuah sungai di negara Moor yang menyandang nama Phut, yang mana dari hal itu adalah bahwa kita dapat melihat bagian terbesar dari yang historiographers Yunani sebutkan, bahwa sungai dan negara berbatasan dengan sebutan Phut (Phoute)”
Sedangkan menurut sejarawan Persia Muhammad ibn Jarir al-Tabari atau dikenal dengan At-Tabari (sekitar tahun 915) menceritakan tradisi bahwa istri Put bernama Bakht, adalah putri dari Batawil bin Tiras.
Istri penguasa Punt (tengah, menggunakan ikat kepala) dari monumen Deir el-Bahri.
Tampak istri penguasa Negeri Punt (tengah) menggunakan ikat kepala dari relief Kuil Hatshepsut di monumen Deir el-Bahri.
Dalam Kitab Perjanjian Lama, Nabi Nuh memilik tiga putra yaitu Ham, Sem dan Yafet. Dalam peristiwa banjir besar hanya satu anak Nabi Nuh yag selamat, yaitu Ham.
Sedangkan Phut atau Put adalah anak ketiga dari Ham, yaitu salah satu anak Nabi Nuh. Dialah yang menurunkan bangsa-bangsa di dunia.
Mummy-ratu-Hatshepsut
Mumi Ratu Hatshepsut
Di dalam Alkitab Tabel Bangsa-Bangsa, nama Put (atau Phut) juga digunakan dalam Alkitab bagi orang-orang atau bangsa yang dikatakan sebagai keturunan dari Ham yang biasanya berada di daerah Libya Kuno.
Dalam Kitab Perjanjian Lama, khususnya dalam Kitab Kejadian, Put adalah salah satu dari tiga putra Nuh yang selamat dari bencana air bah yang membinasakan seluruh bumi bersama-sama saudara-saudara laki-lakinya: Sem dan Yafet.
Tapi hubungan dari keturunan ini kadang-kadang juga dikaitkan dengan suatu wilayah yang disebut sebagai “Tanah Punt” (the Land of Punt) yang telah dikenal dari sejarah Mesir Kuno.
Negeri Punt dan kemiripan dengan budaya Nusantara
Namun berdasarkan penelitian mutahir, ciri kehidupan “Tanah Punt” ternyata sangat mirip dengan budaya Masyarakat Nusantara, terutama di sekitar Pantai Barat Sumatera di bagian selatan, yang kini wilayahnya adalah sekitar provinsi Bengkulu.
Ada beberapa kemiripan hubungan dari budaya Negeri Punt dan budaya di Bengkulu, terutama oleh suku Enggano, diantaranya adalah:
1. Rumah Bangsa Punt mirip rumah Suku Enggano di Bengkulu
Dari beberapa manuskrip dan relief di Kuil Hatshepsut Mesir, digambarkan rumah Bangsa Punt yang mirip seperti rumah-rumah tradisional suku Enggano yang berada di Pulau Enggano di barat Pulau Sumatera bagian selatan, yang pada saat ini masuk ke dalam wilayah Provinsi Bengkulu.
Rumah suku Enggano ini berbentuk seperti kubah dengan lantai datar yang berupa lingkaran. Rumah ini adalah jenis rumah panggung, yang berada lebih dari satu meter dari atas tanah karena disanggah oleh beberapa balok kayu sebagai pondasinya.
Materi dinding dan atap rumah menjadi satu, terdiri dari dedaunan mirip rumbia dan dibentuk seperti kubah. Rumah tradisional ini hanya memiliki satu pintu berupa lubang yang dibuat pada dinding bagian bawah lengkap dengan tangganya yang terbuat dari kayu dan menuju ke bawah.
Bentuk rumah tradisional yang sangat khas dari suku Enggano yang berada di Pulau Enggano ini tergambar di dalam mural dan relief pada Kuil Hatshepsut di era dinasti Firaun dibawah kepemimpinan Ratu Hatshepsut di Mesir, sebagai rumah Bangsa Punt (lihat gambar dibawah ini).
Rumah Bangsa Punt pada mural di Kuil Mesir
Rumah Bangsa Punt pada mural di Kuil Ratu Hatshepsut
rumah punt dan enggano bengkulu
Persamaan antara rumah Bangsa Punt pada mural di Kuil Ratu Hatshepsut (kiri) dengan rumah khas Suku Enggano di Pulau Enggano, Provinsi Bengkulu (kanan).
2. Hiasan Kepala
Masih dari beberapa mural dan relief Kuil Hatshepsut di Mesir, terlihat beberapa sosok yang memakai berupa hiasan di kepala atau ikat kepala yang digambarkan dalam kuil tersebut sebagai Bangsa Punt.
Tak hanya bentuk rumah tradisional, namun ternyata ikat kepala yang tergambar sebagai Bangsa Punt pada mural di kuil yang dibangun dinasti Firaun pada era Ratu Hatshepsut itu  juga tampak mirip seperti ikat kepala tradisional ciri khas dari Suku Enggano di Pulau Enggano, Provinsi Bengkulu (lihat gambar dibawah ini).
Hiasan ikat kepala bangsa Punt mirip ikat kepala Bangsa Enggano
Hiasan ikat kepala bangsa Punt pada mural di Kuil Ratu Hatshepsut.
hiasan kepala punt dan enggano bengkulu
Persamaan antara hiasan kepala atau ikat kepala Bangsa Punt pada mural di Kuil Ratu Hatshepsut (kiri) dengan hiasan kepala atau ikat kepala ciri khas Suku Enggano di Pulau Enggano, Provinsi Bengkulu (kanan).
Ikat kepala Bangsa Punt (kiri) dan ikat kepala suku Enggano (kanan)
Persamaan antara hiasan kepala atau ikat kepala Bangsa Punt pada mural di Kuil Ratu Hatshepsut (kiri) dengan hiasan kepala atau ikat kepala ciri khas Suku Enggano di Pulau Enggano, Provinsi Bengkulu (kanan).
3. Kebiasaan membawa pisau di pinggang dari jenis pisau yang mirip
Dari beberapa mural dan relief di Kuil Hatshepsut Mesir, juga terlihat sosok-sosok Bangsa Punt yang terlihat terbiasa membawa pisau tradisional yang diselipkan di pinggang.
Pisau tradisional oleh bangsa Punt dalam mural itu ternyata juga mirip seperti pisau tradisional yang digunakan pada pakaian adat di Provinsi Bengkulu (lihat gambar dibawah ini).
pisau tradisional punt dan enggano bengkulu
Persamaan antara pisau tradisional Bangsa Punt pada mural di Kuil Ratu Hatshepsut (kiri) dengan pisau tradisional ciri khas Suku Enggano di Pulau Enggano, Provinsi Bengkulu (kanan).
4. Beberapa kosa-kasa Suku Rejang Bengkulu mirip kosa kata bahasa Mesir Kuno
Dari literatur Mesir Kuno, beberapa kosa-kata bangsa Mesir Kuno memiliki kemiripan dengan kosa-kata bahasa suku Rejang di Bengkulu. Berikut beberapa diantaranya dalam tabel dibawah ini.
bahasa put punt dan rejang bengkulu
Selain bersumber dari relief Kuil Hatshepsut, ada beberapa argumen lain yang memberi bukti lokasi Tanah Punt berada di sekitar Pantai Timur Sumatera Bagian Selatan, yaitu:
  • Lokasi di timur yang jauh dari Mesir. Tampak lokasi Pulau Enggano yang berada jauh di timur dari wilayah Mesir, yang mana pada kala itu Bangsa Mesir menggunakan kapal bercadik dalam ekspedisinya.
peta dunia jalur mesir ke indonesia
  • Terdapat situs-situs purbakala di Sumatera bagian selatan. Di daerah Sumatera Bagian Selatan, banyak ditemukan situs-situs purbakala yang berusia ribuan tahun, diantaranya : Situs Besemah di Sumatra Selatan (berusia 4.500 tahun) dan situs Gua Harimau di Sumatra Selatan (berusia 4.840 tahun).
Penduduk Pulau Enggano
Pulau Enggano berada sekitar 100 km disebelah barat daya dari Pulau Sumatra, atau berada disebelah barat dari Provinsi Bengkulu dan termasuk wilayah provinsi tersebut.
Panjang pulau ini sekitar 35 km dengan lebar sekitar 16 km, dengan area seluas 402.6 km². Ketinggian daratannya sekitar 100 meter diatas permukaan laut dengan daratan tertinggi berada pada 281 meter diatas permukaan laut.
peta pulau enggano mapPenduduk asli Pulau Enggano adalah Suku Enggano, yang terbagi menjadi lima “puak asli” (penduduk setempat menyebutnya suku). Semuanya berbahasa sama, bahasa Enggano.
Suku atau Puak Kauno yang mulai menempati tempat ini pada zaman Belanda (sekitar tahun 1934).
Selain Suku Kauno, terdapat Suku Banten (pendatang), dan empat suku lainnya. Suku Enggano memakai Bahasa Enggano dalam percakapan sehari hari.
Sebagian dari mereka percaya bahwa mereka adalah bagian dari keturunan suku Batak-Nias di kepulauan Sumatra. Suku yang hanya dapat ditemui di Indonesia ini memakai bahasa Enggano – (eno).
Sebagian besar penduduk pulau Enggano merupakan masyarakat yang religius. Lebih dari 96 % penduduk menganut agama Islam aliran Sunni & Kristen mazhab Protestan, dan sisanya masih animisme.
ikat kepala suku Enggano 
Mereka beraktifitas sebagai nelayan dan petani (coklat dan lada) dan dari hasil panennya dijual ke Bengkulu. Kota terbesar di pulau Enggano ada tiga buah, yaitu Barhau, Kabuwe dan Kayaapu. Pada sensus tahun 1989, pulau ini memiliki 1420 jiwa.
Angka ini bertambah, pada tahun 1994 menjadi 1635 jiwa yang mana sebanyak 64% adalah Suku Enggano atau dalam bahas Inggris disebut sebagai Engganese people.
Catatan terakhir, penduduk Pulau Enggano berjumlah sekitar 1.600 orang. Ada enam desa di Pulau Enggano yang semuanya telah terhubung oleh jalanan, yaitu Desa Kahayapu, Kaana, Malakoni, Apoho, Meok dan Banjarsari. Di pulau Enggano terdapat 5 buah Sekolah Dasar Negeri (SDN) yang terletak di desa Apoho, Banjar Sari, Ka’ana, Meok dan Kayaapu.
Penamaan “Enggano” berasal dari bahasa Portugis yang berarti “salah” atau dalam bahasa Inggris ‘mistake’. Pada 5 Juni 1596, Cornelis de Houtman mempublikasikan pulau ini, namun waktu itu ia tak sempat sampai ke daratannya. Baru pada tahun 1771, Charles Miller sukses merapat dan berhasil naik ke daratan pulau itu dan berjumpa dengan suku aslinya.
Referensi:
  • Ian Shaw & Paul Nicholson, The Dictionary of Ancient Egypt, British Museum Press, London. 1995, p.231.
  • Shaw & Nicholson, hal.231.
Pustaka:
Hubungan Firaun dengan Suku di Bengkulu-indonesia banner

Sumber : https://indocropcircles.wordpress.com

0 komentar:

Posting Komentar

Form Kritik & Saran

Nama

Email *

Pesan *