Penulis : M Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institute (GFI) | |
Masih
ingat tesis Pepe Escobar, wartawan senior Asia Times? “Politik praktis
itu bukanlah yang tersurat melainkan apa yang tersirat” (2007). Artinya,
tampilan skenario politik yang muncul di panggung hegemoni, seringkali
tak mencerminkan sesuatu yang riil dan sebenarnya. Ya, bahwa hidden agenda
yang menjadi tujuan pokok suatu pagelaran (politik), justru sering
menyamar sebagai “penumpang gelap”. Dengan demikian, membaca hal-hal
yang tersirat tidak sekedar daya pikir kritis (out of the box), tetapi juga bagaimana analisis insight
(menyelam) terhadap fenomena di permukaan. Artinya, selain kejelian
mengolah fakta-fakta yang berserak, memahami anatomi, dan tak boleh
dilupakan ialah mencermati masa lalu serta latar belakang dari fenomena
dimaksud.
| |
Fenomena Islamic State in Irak and Syam (ISIS)
memang telah banyak dikaji berbagai pengamat dan para pakar. Tak ada
yang salah dalam kajian mereka, hampir semua analisis mendekati
‘kebenaran’ sebab berbasis data-data. Ada yang menyimpulkan sebagai
lanjutan isue al Qaeda karena ‘lakon teroris’-nya (Osama bin Laden)
telah tewas; atau ia merupakan upaya lain pihak Barat dalam
menghancurkan Islam, dan banyak lagi lainnya. Akan tetapi skema dan
benang merah modusnya terlihat lestari dalam kiprah ISIS, yakni selain
adu domba sesama umat Islam, juga menampilkan perilaku yang bukan
Islam!
Pada catatan singkat dan tak ilmiah kali ini, saya ingin sedikit mengkaji ISIS dari perspektif Erezt Israel (Negara Israel Raya) yang banyak dilupakan orang. Inilah ambisius bangsa yahudi, sekaligus dapat dibilang sebagai syahwat politik yang belum terlampiaskan di planet bumi. Betapa tidak, selama ini mereka menolak batas-batas wilayah yang telah ditentukan pada awal berdirinya Israel (1948). Hingga kini, ia menginginkan wilayah seperti teritorial Raja Salomo (Nabi Sulaiman) tempo doeloe yang membentang antara Pantai Barat Syam (Lebanon dan Syria) hingga ke tepi sungai Eufrat (Kawasan Barat Iraq). Pantaslah bila judulnya Islamic State in Irak and Syam, jadi bukan cuma Syria yang diincarnya, tetapi Negeri Syam (http://id.wikipedia.org/wiki/Syam) yang meliputi Lebanon, Irak, Palestina, Jordania, dan lainnya. Bukankah ‘dunia internasional’ mengakui wilayah Israel hanya seluas sekarang ini? Deklarasi ISIS dikemukakan juru bicaranya yakni Syaikh Abu Muhammad Al Adnani Asy Syami pada 29 Juni 2014, dimana ISIS memiliki wilayah meliputi Irak dan wilayah Syam dengan mengangkat Syaikh Ibrahim bin Awad al-Husaini al-Baghdadi (lebih dikenal Abubakar al-Baghdadi) sebagai Khalifah. Misi al Baghdadi ialah memperluas wilayah ISIS dari mulai Allepo di Suriah sampai ke Propinsi Diyala, Irak Timur. Melalui sayap medianya Al Furqon, al-Baghdadi mengingatkan bahwa umat Islam yang tertindas di Cina, India, Palestina, Somalia, Jazirah Arab, Kaukasus, Syam, Mesir, Irak, Indonesia, Afghanistan, Philipina, Iran, Pakistan, Tunisia, Libya, Aljazair dan Maroko perlu segera dibantu. Baghdadi bersumpah untuk ‘memberi pertolongan dan membalas’ secara setimpal atas penindasan terhadap umat Islam tersebut. Terkuaknya Simon Illiot ---nama asli Abubakar al Baghdadi--- sebagai agen Mossard (badan intelijen Israel) selaku “ikon”-nya ISIS, kemungkinan besar dirancang agar ia menjadi figur semacam Osama. Illiot atau al Baghdadi memang memiliki fabrikasi dan modus radikalisme gaya baru yakni ‘potong kepala sesama umat Islam’. Jika diperbandingkan melalui permisalan, seandainya al Qaeda itu industri atau pabrik, produk unggulannya adalah terorisme. Maka ISIS selaku pabrik menghasilkan produk unggulan yang dijadikan “ciri” yaitu radikalisme potong kepala manusia, sebagaimana sering mereka tayangkan di berbagai media (sosial). Inilah yang kini terjadi. Akhirnya kembali pada perspektif tulisan ini, pertanyaannya sederhana, khususnya saya tujukan kepada umat Islam di berbagai mazhab, “Apakah kalian mau digiring serta terjerumus oleh isue untuk mendirikan Negara Israel Raya?”
www.theglobal-review.com
|
0 komentar:
Posting Komentar