Keberadaan militer Kremlin di Suriah untuk mendukung sekutunya, Presiden Bashar al-Assad, untuk memerangi teroris dan ekstremis membuat ketegangan Amerika Serikat (AS) dan Rusia memanas. AS menilai dukungan militer Rusia terhadap rezim Assad membuat situasi lebih buruk.
Pemerintah AS kini skeptis dengan niat Presiden Vladimir Putin yang benar-benar mengirim personel militernya ke Suriah. Putin telah menyerukan pembentukan koalisi internasional untuk memerangi terorisme dan ekstremisme di Suriah.
Kementerian Luar Negeri Rusia kemarin mengakui bahwa sejumlah penasihat militer Rusia memang dikerahkan di Suriah. Tapi, tugas mereka hanya untuk menyarankan rezim Assad dalam melawan ekstrimis.
Namun, Departemen Luar Negeri AS tidak percaya dengan dalih Rusia. ”Rusia bukan anggota koalisi yang melawan ISIS, dan apa yang kita katakan adalah bahwa dukungan mereka terhadap rezim Assad telah benar-benar membuat ISIS tumbuh di wilayah Suriah dan membuat situasi lebih buruk,” kata juru bicara Departemen Luar Negeri AS, John Kirby, seperti dikutip Business Insider, Kamis (10/9/2015).
”Jika mereka ingin membantu melawan ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah), cara untuk melakukannya adalah dengan menghentikan mempersenjatai dan membantu dan mendukung Bashar al-Assad,” lanjut Kirby.
Sebuah laporan menyebut drone dan pesawat tempur Rusia melakukan operasi pengintaian terhadap pemberontak Suriah non-ISIS di wilayah Suriah utara. Kendaraan lapis baja pengangkut personel militer dan pasukan berbahasa Rusia juga disebut terlibat pertempuran di Suriah.
Selama ini, Assad menganggap semua pemberontak adalah teroris dan ekstremis. Hal itu membuat AS kesal karena mereka mendukung pemberontak moderat Suriah.
Menurut laporan Reuters, Rusia juga telah mendirikan sebuah menara pengontrol lalu lintas udara dan membangun unit rumah untuk 1.000 personel militer di Latakia, Suriah barat. Dua kapal tangki dan pesawat tambahan Rusia juga telah tiba di Suriah.
”Assad telah kehilangan wilayah yang signifikan selama beberapa bulan terakhir; Putin tidak akan mentolerir kejatuhannya,” kata ahli geopolitik, Ian Bremmer, yang merupakan presiden Eurasia Group, kepada Business Insider melalui email. (mas)Pasukan Rusia Muncul di Suriah, AS Tertekan Tekanan ini muncul paska pengakuan Rusia yang mengatakan telah mengirimkan penasihat, tentara, dan alat-alat militer ke Suriah. (Istimewa) ☆
Pemerintah Amerika Serikat (AS) mendapat tekanan kuat untuk mengubah kebijakan di Suriah. Tekanan ini muncul paska pengakuan Rusia yang mengatakan telah mengirimkan penasihat, tentara, dan alat-alat militer ke Suriah.
Sejauh ini Presiden AS Barack Obama memang belum memiliki rencana memperluas strategi militernya di Suriah. Ini dikarenakan dirinya masih belum memliki strategi yang jelas untuk bisa menanggulangi krisis di Suriah khusunya paska kehadiran ISIS di negara tersebut.
Menurut Bruce Hoffman seorang pakar terorisme di Georgetown University, seperti dilansir Tampa Bat Times pada Kamis (10/9/2015), apa yang dilakukan pemerintahan Obama di Suriah selama ini tidak menghasilkan apapun. Serangan udara yang ditujukan untuk mengalahkan ISIS, dalam pandangan Hoffman nyatanya tidak memberikan efek sebesar yang diharapakan.
"Hampir segala sesuatu yang telah dilakukan dalam satu tahun terakhir di Suriah adalah strategi yang tidak penting. Kita memang telah berhasil menewaskan beberapa pemimpin ISIS, tapi apa yang terjadi adalah kelompok itu terus berkembang setiap harinya, terus menerus meneror warga setempat, dan memperbanyak budak," kata Hoffman.
Selain gagal mengalahkan ISIS, strategi militer AS di Suriah yang pada awalnya ditujukan untuk membantu pemberontak Suriah melengserkan Presiden Bashar al-Assad pun juga tidak menghasilkan apapun. Saat ini Assad masih memimpin Suriah, bahkan pengaruhnya semakin kuat di negara tersebut. (esn)AS Minta Rusia Tarik Mundur Pasukan dari Suriah Kerry memperingatkan kehadiran pasukan Rusia bisa memperburuk situasi di negara tersebut. (Reuters) ☆
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) meminta Rusia untuk menarik mundur pasukan dan alat-alat militer mereka dari Suriah. Kerry memperingatkan kehadiran pasukan Rusia bisa memperburuk situasi di negara tersebut.
Juru bicara Departemen Luar Negeri AS, John Kirby mengatakan, Kerry telah melakukan kontak dengan Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov mengenai hal ini. Kerry, lanjut Kirby, menjelaskan segala kemungkinan yang terjadi kepada Lavrov, jika Rusia tidak segera menarik mundur pasukan mereka dari Suriah.
"Kerry telah memperingatkan Lavrov, bahwa apa yang telah mereka lakukan di Suriah justru dapat memanaskan situasi, dan semakin mengintensifkan perang saudara yang terjadi di sana," kata Kirby dalam sebuah pernyataan.
"Kerry juga menegaskan keprihatinan kami tentang laporan kegiatan militer Rusia di Suriah dan kami menegaskan pandangan kami. Jika semua laporan itu benar, itu dapat menyebabkan kekerasan yang lebih besar dan ketidakstabilan di Suriah," sambungnya, seperti dilansir IB Times pada Kamis (10/9/2015).
Sejauh ini Rusia baru mengakui bahwa mereka telah mengirimkan penasihat dan alat-alat militer ke Suriah, dan ini sudah terjadi dalam setahun terakhir. Namun, Rusia belum memberikan pernyataan terkait laporan adanya pembangunan pangkalan militer dan pengiriman tentara dalam jumlah cukup besar ke Suriah. (esn)AS Ingin Gulingkan Assad sebelum Ada Pemberontak Pendiri WikiLeaks, Julian Assange, menyatakan AS ingin gulingkan rezim Suriah sebelum muncul pemberontakan 2011. (RT) ☆
Pendiri situs anti-kerahasiaan WikiLeaks, Julian Assange, mengungkap buku barunya, ”The WikiLeaks Files” yang membahas soal “Kerajaan Amerika Serikat (AS)”. Dalam buku itu, Assange mengungkap bahwa AS berencana menggulingkan rezim Presiden Suriah Bashar al-Assad sebelum muncul pemberontak tahun 20011.
Bos WikiLeaks mengungkap rencana AS pada rezim Suriah itu dalam program ”Go Underground” di stasiun televisi Russia Today. Menurutnya, AS mulai melirik Suriah sejak 2006.
Bocoran itu dia peroleh dari bocoran kabel diplomatik dari Duta Besar AS di Damaskus pada saat itu, William Roebuck. Dokumen mengungkap bahwa diplomat AS itu mulai membicarakan hal-hal terkait rencana penggulingan Pemerintah Assad di Suriah.
“Rencana itu menggunakan sejumlah faktor yang berbeda untuk menciptakan paranoid di Pemerintah Suriah; untuk mendorong reaksi berlebihan, untuk membuatnya takut akan adanya kudeta,” kata Assange, yang dilansir Kamis (10/9/2015).
“Sehingga dalam teori itu (AS) mengatakan; 'Kami memiliki masalah dengan ekstremis Islam yang menyeberangi perbatasan dengan Irak, dan kami mengambil tindakan terhadap mereka untuk mengambil informasi ini dan membuat Pemerintah Suriah terlihat lemah, fakta bahwa itu berurusan dengan ekstremis Islam sama sekali’,” lanjut Assange.
Assange melanjutkan, rencana AS itu mencakup upaya untuk mendorong ketegangan sektarian antara Syiah dan Sunni. Assange menekankan bahwa bocoran kabel diplomatik AS itu “cukup memprihatinkan”.
Untuk memahami apa yang terjadi di sekitar Suriah, lanjut dia, salah satunya harus melihat adanya sekutu regional. ”Sebagian dari masalah di Suriah adalah bahwa Anda mendapati sejumlah sekutu AS di sekitar, terutama Saudi dan Qatar, yang menyalurkan senjata,” ujarnya.
“Turki juga (adalah) aktor yang sangat serius. (Mereka) masing-masing memiliki ambisi hegemonik mereka sendiri di wilayah tersebut. Israel juga, tidak diragukan lagi, jika Suriah cukup stabil, mungkin negara itu dapat menjaga wilayah Golan selamanya, atau bahkan memajukan wilayah itu. Jadi Anda mendapati sejumlah pemain di sekitar Suriah.”
Pemerintah AS belum merespons soal bocoran dari pendiri WikiLeaks tersebut. Namun, AS pernah diketahui berambisi menggulingkan rezim Assad. Salah satunya dengan isu penggunaaan senjata kimia oleh pasukan Suriah. Tapi, ambisi AS saat itu digagalkan Rusia yang membela sekutunya, Suriah. (mas)Ikut Campur di Suriah, Rusia Bikin Gaduh Pertemuan PBB Keberadaan militer Rusia di Suriah menimbulkan kekhawatiran negara-negara Barat (Asbarez) ☆
Campur tangan militer Rusia dalam konflik Suriah membuat kegaduhan jelang pertemuan tahunan Majelis Umum PBB. Pasalnya, Rusia tidak memberi penjelasan terkait kemunculan militernya di Suriah. Kemunculan Rusia ini dinilai bisa menggagalkan Barat dalam membangun nilai tawar saat sejumlah negara kuat duduk bersama membahas krisis di Suriah.
Pertemuan Majelis Umum PBB dipercepat pada bulan ini setelah Presiden Rusia Vladimir Putin menyambangi Amerika Serikat (AS), pertama kalinya dalam delapan tahun terakhir, guna berbicara di sidang tahunan Majelis Umum PBB.
Selain itu, dalam beberapa minggu terakhir, Moskow telah mengirimkan sinyal untuk melakukan pertemuan dengan Presiden AS, Barack Obama di New York. Meski begitu, pihak Gedung Putih tidak mengetahui soal rencana pertemuan tersebut.
"Ini semua tentang Majelis Umum. Jika ada sesuatu yang baru dan nyata dalam dialog antara Rusia dan AS, maka kami akan memiliki situasi yang baru," ujar seorang diplomat seperti dikutip dari Reuters, Kamis (10/9/2015).
Sementara seorang pengamat menilai, Moskow akan menampilkan Presiden Putin sebagai seorang penjaga perdamaian dan mitra yang sangat diperlukan Washington dalam menyelesaikan krisis internasional, persis seperti saat krisis melanda Ukraina.
"Rusia akan memberikan tekanan, mereka akan menekan. Mereka ingin pihak lain mempertimbangkan lebih serius tawaran mereka (tentang koalisi anti ISIS). Atau membuat mereka takut jika Moskow akan menggunakan pasukannya untuk tujuan lain," ujar seorang analis pertahanan Pavel Felgenhauer.
Sebelumnya, Washington menyatakan keprihatinannya atas pembangunan pangkalan militer Rusia di Suriah dan memberikan tekanan kepada sejumlah negara untuk tidak mengizinkan Rusia menggunakan ruang udara mereka. AS khawatir, pesawat-pesawat Rusia membawa persenjataan ke Suriah.
Tindakan AS ini pun menuai kecaman dari Kremlin. Mereka menilai apa yang dilakukan oleh Washington adalah sebuah bentuk apa yang mereka sebut dengan isitilah kekerasan internasional. Mereka pun berulang kali mengelak saat ditanya mengenai kehadiran militer mereka di Suriah.
"Pertama kami dituduh memberikan senjata kepada rezim berdarah yang menganiaya aktivis demokrasi. Sekarang tuduhan baru (terkait laporan keberadaan militer Rusia). Kita seharusnya memerangi terorisme. Itu sampah yang sebenarnya," ujar juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia, Maria Zakharova. (esn)NATO Sayangkan Kebijakan Rusia Soal Suriah Sekertaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg (Reuters) ☆
Kebijakan Rusia yang mengirimkan penasihat dan alat-alat militer ke Suriah kembali mendapat tentangan. Setelah Amerika Serikat (AS), kali ini NATO yang menyayangkan kebijakan yang diambil Rusia itu.
"Langkah tersebut tidak akan memberikan kontribusi untuk memecahkan konflik," ujar Sekertaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg dalam sebuah pernyataan, sepeti dilansir Al Jazeera pada Kamis (10/9/2015).
Stoltenberg menuturkan, harusnya Rusia berusaha untuk mencari solusi diplomatik dalam membantu menyelesaikan konflik di Suriah, dan bukannya mengirimkan penasihat militer dan tentara ke negara tersebut.
"Saya pikir sangat penting saat ini untuk mendukung semua upaya untuk menemukan solusi politik untuk konflik di Suriah. Kami memberikan dukungan penuh bagi setiap upaya yang coba diambil di PBB," sambungnya.
Sebelumnya, Menteri Luar Negeri AS John Kerry melalui sambungan telepon telah meminta kepada Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov untuk menarik mundur penasihat dan alat-alat militer mereka dari Suriah. Menuru Kerry, kehadiran pasukan Rusia bisa memperburuk situasi di negara tersebut. (esn)Disebut Kirim Tentara ke Suriah, Rusia: No Comment Juru bicara Kremlin Dmitry Peskov hanya mengatakan, Rusia hanya akan memberikan bantuan dan dukungan yang diperlukan sesuai dengan permintaan Presiden Suriah Bashar al-Assad. (Istimewa) ☆
Rusia enggan memberikan komentar mengenai kabar bahwa mereka telah mengirimkan tentara ke Suriah, dan beperang bersama dengan pasukan pemerintah Suriah. Kabar mengenai keberadaan tentara Rusia di Suriah dihembuskan oleh pihak intelijen Libanon.
Juru bicara Kremlin Dmitry Peskov hanya mengatakan, ISIS adalah ancaman nyata di Suriah, dan Rusia akan memberikan bantuan dan dukungan yang diperlukan sesuai dengan permintaan Presiden Suriah Bashar al-Assad.
"Ancaman yang datang dari ISIS adalah ancaman yang jelas, dan satu-satunya kekuatan yang mampu menolak itu adalah angkatan bersenjata Suriah," ucap Peskov, seperti dilansir Reuters pada Kamis (10/9/2015).
"Saya sekali lagi juga akan mengulangi posisi kami dan Suriah adalah mitra lama, dan kami juga mengulangi seruan agar Suriah dibawah pimpinan Assad dilibatkan dalam upaya internasional untuk memerangi kelompok radikal di negara tersebut," sambungnya.
Dirinya juga menuturkan bahwa Presiden Rusia Vladimir Putin akan berbicara tentang Suriah dan ISIS ketika memberikan pidato pada pertemuan tahunan Majelis Umum PBB di New York, yang rencananya digelar akhir bulan ini. (esn)
sindonews