Penulis : M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI) | |
Menelusuri
masa lalu bukanlah hal tabu, karena selain dianjurkan oleh leluhur
dalam slogan: “Jas Merah”, jangan melupakan sejarah kata Bung Karno
(BK), maka membaca tempo dulu juga tak berarti tenggelam dalam
romantisme baik masa keemasan atau kebangkrutan semata --- bukan! Tidak
pula mengenang potret ‘kejadulan’ ataupun antik fisik sebagaimana marak
di berbagai komunitas hobi, sekali lagi: BUKAN!
| |
Membaca zaman lampau bermakna belajar tentang substansi dan hikmah atas sebuah realitas yang terjadi, kenapa? Jawabannya: History repeat itself. Sejarah niscaya berulang, hanya aktor dan kemasan kerapkali tidak sama sesuai keadaan.
Dalam memetik hikmah serta substansi, memang tergantung kualitas kejelian dan kecermatan orang, kelompok, dan bangsa dalam mengurai ‘mengapa terjadi’ --- bukan sekedar melihat ‘apa yang terjadi’ oleh sebab nantinya dijadikan rujukan melangkah kedepan agar kita, dia, kami, atau mereka, dll tidak seperti anekdot kerbau terperosok (dalam sehari) di lobang yang sama. Nah, catatan sederhana ini ingin mengulas sedikit esensi maupun hikmah yang mutlak dipetik oleh diri, keluarga, kelompok bahkan bangsa serta negara atas Konferensi Asia Afrika (KAA) tahun 1955 di Bandung. Saya mencoba menerangkan sekilas hikmah KAA, tanpa setitikpun niat menggurui siapapun terutama para pakar dan pihak-pihak berkompeten. Artinya jika terdapat pandangan atau pendapat berbeda, anggaplah itu kewajaran yang perlu analisa, atau didiskusikan secara lebih dalam tanpa perlu adanya syak wasangka, atau saling mencurigai, dan sebagainya karena hakikat hal-hal yang saya sampaikan demi kebaikan bersama, terutama dalam rangka tegak dan bangkitnya kembali nusantara, Indonesia Jaya. Tak dapat dipungkiri, bahwa nilai sebuah kejayaan baik negara, individu, golongan, maupun warga dan bangsa yang hidup di dalamnya memiliki kriteria, ukuran, ataupun parameter-parameter tersendiri. Tak bisa tidak. Menjadi kelaziman bila kriteria kejayaan sebuah negara adalah peradaban, sedangkan parameter kejayaan individu diukur melalui moral. Meski kini berkembang stigma sosial bahwa ukuran kejayaan (kesuksesan) individu dilihat dari harta, takhta dan wanita --- itu syah-syah saja, namun penulis menilai bahwa stigma tersebut selain hanya ‘bunga-bunga dunia’ juga dapat disinyalir sebagai ujud pendangkalan konsep atas nilai kejayaan semula. Ada beberapa aspek pendorong (driving force) yang dapat memunculkan baik peradaban maupun moral itu sendiri selaku ukuran atau parameter kejayaan negara, individu, kelompok, dan sebagainya bisa diurai sebagai berikut:
Pertama adalah faktor keyakinan (confidence).
Pertanyaannya sederhana, “Bagaimana negara atau individu akan maju dan
meraih kejayaannya jika dalam keseharian tak punya keyakinan dan rasa
percaya diri?” Entah hal-hal apa saja. Kita hampir tak memiliki
keyakinan terutama jika ditinjau dari elemen dinamis daripada Ketahanan
Nasional yang meliputi aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya,
pertahanan dan keamanan (ipoleksosbudhankam) atau pancagatra.
Dalam hal ideologi misalnya, kita terombang-ambing ombak globalisasi sehingga ‘pasrah’ kemudian mengakomodir bahkan menelan bulat-bulat demokrasi ala Barat dan nilai-nilai asing yang belum terbukti keampuhannya pada perjalanan bangsa ini. Inilah ‘jalan pintas’ segenap anak bangsa yang dikira bisa cepat meraih masa kejayaan namun praktiknya justru kian menggiring bangsa ini pada keterpurukan, mengapa? Intinya: “Tidak punya keyakinan terhadap pakem dan pola sendiri guna meraih kejayaannya” Nilai-nilai asing semacam liberalisme, HAM, dll akhirnya menjadi ‘senjata sakti’ setiap komunitas guna memaksakan kehendaknya di muka umum meskipun tata caranya menabrak etika, moral bahkan melanggar kepentingan bersama. Kebebasan yang bertanggung jawab dalam Demokrasi Pancasila malah dianggap riak belaka, seakan-akan di atas namun secara hakiki menjadi mainan arus besar (Demokrasi ala Barat). Kenapa semua itu terjadi? Lagi-lagi: “Karena kita tidak memiliki keyakinan atau rasa percaya baik selaku diri dan bangsa!” Di bidang ekonomi apalagi, sangat-sangat parah. Konstitusi negara pasal 33 UUD 1945 telah tertulis jelas melalui prinsip-prinsip ekonomi kerakyatan, antara lain: (1) perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan; (2) cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; dan (3) bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Akan tetapi dalam praktik dari waktu ke waktu, orde demi orde justru ruh kerakyatan kian menjauh dari substansi ekonomi pasal 33 dimaksud. Revrisond Baswir, Kepala Pusat Kajian Ekonomi Kerakyatan UGM (Subversi Neokolonialisme, 2009) mensinyalir, bahwa perjalanan perekonomian Indonesia selama 64 tahun ini justru lebih tepat disebut sebagai sebuah proses transisi dari kolonialisme menuju neokolonialisme. Proses transisi itulah antara lain yang menjelaskan semakin terperosok perekonomian Indonesia ke dalam penyelenggaraan agenda-agenda ekonomi neoliberalisme (neolib) dalam beberapa waktu belakangan ini. Pada satu pihak, kita seperti tidak rela kekayaan bangsa ini dijarah oleh bangsa luar atas nama investasi asing, structural adjusment policy (SAP), IPO dan lain-lain, karena aset-aset negara lepas satu persatu dan dikuasai swasta (asing). Namun di pihak lain, berbagai undang-undang (UU), Keppres, dll yang terbit di era kini malah pro atas mekanisme neokolonialisme tadi. Sebuah ironi realitas di depan mata. Agaknya kondisi semacam itu menggerus pula aspek-aspek kehidupan lain sehingga melemahkan Ketahanan Nasional kita. Maka titik awal pergerakan dan perjuangan untuk kebangkitan bangsa seyogyanya adalah: “Hilangkan perasaan minder, hapus rendah diri dan musnahkan rasa tidak percaya diri baik sebagai individu maupun bangsa!” Tak bisa tidak. Bahwa rasa minder (inferior) merupakan akar dari segala akar yang menyebabkan bangsa kita terpuruk di mata global. Ketika tidak memiliki rasa percaya diri maka dengan mudah pihak asing mengalihkan perhatian, menyesatkan, menjerumuskan, dll sebab bangsa ini seperti tidak memiliki pijakan akan keyakinan. Kita gamang, minder, ragu-ragu, dsb. Akibatnya, selama ini para elit dan segenap bangsa cuma gaduh di tataran hilir dengan aneka wacana serta ‘isue-isue ciptaan’ melalui beragam media, lalu elit dan pengambil kebijakan larut dalam skema asing, membiarkan, bahkan celakanya ---- tidak sedikit para elit dan perumus kebijakan justru sadar serta terlibat pada kerancuan pengelolaan berbangsa dan tata bernegara. Ditebar isue korupsi misalnya, lalu kita heboh sendiri di dalamnya. Dibentuk KPK-lah, atau didirikan Non Government Organization (NGO) antirasuah sebagai “kaki”-nya KPK, dibuat UU PPATK, dsb. Inilah salah satu ujud dari kebijakan negara cq pemerintah namun tidak berbasis anatomi masalah serta potensi ancaman kedepan. Pertanyaannya, “Siapa paling diuntungkan atas kerancuan situasi seperti ini, manakala bapak-bapak khawatir melakukan transaksi dan takut menyimpan uangnya dalam jumlah besar di dalam negeri sendiri?” Ya, tentu pihak luar negeri yang diuntungkan. Mungkin bank-bank Swiss, mungkin bank di Solomon, Fiji, dll dan sangat mungkin ialah Singapura karena ribuan triliun rupiah milik orang Indonesia terbukti ada (disimpan) disana. Ini sekedar salah satu contoh nyata. Saya berasumsi, inilah keadaan rancu hasil cipta kondisi oleh asing melalui wacana dan isue yang niscaya (tujuannya) akan menelorkan kebijakan-kebijakan negara cq pemerintah yang salah arah dan hasilnya: “Tidak jelas,” mengapa? Kebijakan kok malah menguntungkan pihak asing? Jujur harus dijawab, “Dengan terbitnya UU PPATK, negara mana diuntungkan?” Faktor kedua adalah kebodohan berkala. Tak boleh dielak, faktor ini menjadi subur di Bumi Pertiwi akibat modus pencitraan yang menjadi pilar utama model politik pasca reformasi, seperti multi partai misalnya, atau one man one vote, otonomi daerah, dan lainnya. Petruk disulap jadi raja, penjahat dirias pun bisa duduk sebagai pejabat. Akibatnya korupsi marak lalu dipropagandakan (digebyarkan) oleh media seolah-olah sebagai persoalan utama bangsa ini. Inilah ujud penyesatan, wong korupsi di Indonesia diciptakan oleh sistem politik pasca reformasi. Asumsi Global Future Institute (GFI), Jakarta, pimpinan Hendrajit, bahwa model dan sistem politik semacam ini yang berkuasa justru pemilik modal serta para donator kampanye yang meremot pagelaran politik di balik layar. Dengan kata lain, bila ‘jago’-nya jadi, mereka akan menyetir kebijakan! Bagaimana si petruk tidak korupsi? Sumber lain pembodohan berkala ini ialah modus pencitraan sebagaimana diulas sekilas di muka. Betapa kebohongan dianggap nilai yang dimaklumi bersama, sehingga kedustaan menjadi-jadi. Artinya apa, sekali si sosok berbohong kepada publik maka akan disusul oleh kebohongan-kebohongan lain untuk menutupinya. Inilah yang kini tengah berlangsung masif di republik tercinta ini. Sikap plin-plan bahkan munafik justru dipelihara oleh sistem ---- kegilaan, popularitas murahan menjadi ‘makanan’ sehari-hari di tengah masyarakat. Dan sudah barang tentu, hampir tidak ada lagi keteladanan para elit dan pimpinan publik untuk rakyatnya. Secara politik, sumber dari segala sumber kebodohan berkala adalah sistem politik dan ekonomi yang abai terhadap konstitusi dan local wisdom leluhur, kenapa sistemnya malah merujuk model ala Barat, baik one man one vote, otonomi daerah, dan sebagainya pada ranah politik maupun model ekonomi neolib dalam praktik ekonomi, dan lain-lain. Sedang secara individu, kebodohan berkala bermula dari sikap plin-plan atau munafik. Pagi kedelai sore tempe! Akhirnya dapat diterka, bahwa maraknya fenomena berkala atas pembodohan di tengah-tengah rakyat, kini terjadi kecenderungan bahwa sistem yang digunakan cuma menyenangkan segelintir elit serta hanya mengenyangkan kelompok kecil. Sadarkah kita? Faktor ketiga adalah bangsa pengekor. Betapa banyak anak bangsa bahkan intelektualnya merasa malu menjadi warga Indonesia, minder atas ke-Indonesiannya, entah kenapa sikap ini tumbuh subur. Mereka justru bangga dengan bangsa lain serta mengunggulkan negara asing yang akar budaya dan nilainya tak sama, bahkan bertolak belakang. Lagi-lagi, Revrisond mengendus bahwa telah terlembaganya sistem “cuci otak” yang bercorak neolib dan anti ekonomi kerakyatan pada hampir semua jenjang pendidikan di Indonesia. Luar biasa. Mungkin ini adalah akumulasi atas kedua faktor di atas, baik rasa tidak percaya diri sebagai diri dan bangsa maupun sikap plin-plan yang overload, seakan-akan menjadi epidemi di negeri ini. BK menyebut fenomena ini dengan istilah “blandis,” salah satu jenis komprador yang sikap dan perilakunya lebih mempercayai rujukan asing daripada rujukan bangsa sendiri. Inilah golongan pengekor yang kelak dan pasti akan menerkam rakyatnya sendiri dengan berbagai alasan dan justifikasi. Manakala GFI, Jakarta, dalam Jurnal ke 7 mengambil tema: “Revitalisasi Spirit KAA Bandung,” maknanya tak lain ialah “Cermin Diri.” Artinya, agar segenap tumpah darah Indonesia harus melakukan intropeksi berjamah, berkaca secara massal, terutama kaum elit politik dan para perumus kebijakan negeri ini. Dengan kata lain, betapa bangsa dan segenap pimpinannya kita tempo doeloe di awal berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) telah mampu menjadi epicentrum dalam menebar sikap anti-imperialisme dan menggerakkan negara-negara berkembang lain untuk bangkit melawan kolonialisme serta mencermati model-model neokolonialisme yang kelak berubah ujud, maka refleksinya kini: “Bagaimana kiprah para elit dan pengambil kebijakan di era sekarang?” Penjajahan dengan segala macam bentuknya adalah biang kemiskinan siapapun dan sampai kapanpun bagi negara manapun di muka bumi, karena inti kolonialisme adalah mencaplok ekonomi sebuah bangsa. Ini cuplikan pidato BK dalam forum KAA di Bandung dulu: “Saya tegaskan kepada anda semua, kolonialisme belumlah mati. Dan, saya meminta kepada Anda jangan pernah berpikir bahwa kolonialisme hanya seperti bentuk dan caranya yang lama, cara yang kita semua dari Indonesia dan dari kawasan-kawasan lain di Asia dan Afrika telah mengenalinya. Kolonialisme juga telah berganti baju dengan cara yang lebih modern, dalam bentuk kontrol ekonomi, kontrol intelektual, dan kontrol langsung secara fisik melalui segelintir elemen kecil namun terasing dari dalam suatu negeri. Elemen itu jauh lebih licin namun bisa mengubah dirinya ke dalam berbagai bentuk.” Ya, dalam perspektif hegemoni superpower terutama di mata Presiden Richard Nixon (1969-1974), Indonesia adalah target kolonialisme Amerika semenjak dulu. Cuplikan tulisan Charlie Illingworth, penulis Amerika, mungkin bisa dijadikan salah satu referensinya: “Presiden AS Richard Nixon menginginkan kekayaan alam Indonesia diperas sampai kering. Indonesia, ibarat sebuah real estate terbesar di dunia, tak boleh jatuh ke tangan Uni Soviet atau Cina.” Menurut BK, cengkeraman struktur ekonomi kolonial dapat disimak berdasarkan tiga ciri: (1) Indonesia diposisikan sebagai pemasok bahan mentah bagi negara-negara industri maju; (2) Indonesia diposisikan sebagai pasar bagi barang-barang jadi yang dihasilkan oleh negara-negara industri maju; dan (3) Indonesia diposisikan sebagai pasar untuk memutar kelebihan kapital yang diakumulasi oleh negara-negara industri maju tersebut. Tatkala sekarang Indonesia menjumpai keterpurukan dalam hal peradaban dan moral sebagaimana diurai di muka tadi ---akibat tiga faktor pendorong (driving force) di atas--- maka pertanyaan yang timbul, “Bukankah hal-hal tersebut adalah bagian dari neokolonialisme dalam bentuk kontrol ekonomi, kontrol intelektual dan kontrol fisik secara langsung oleh asing melalui segelitir elit dan kompradornya, sebagaimana isyarat BK?” Sekali lagi, pertanyaan pamungkas pada catatan ini: “Mengapa semua itu terjadi di Bumi Pertiwi?” Jawabannya simpel, kita tidak mau berkaca pada kejadian yang lalu-lalu maupun masa akan datang, tetapi cenderung mengutamakan kepentingan sejenak (politik praktis)! Terimakasih
Sumber : http://www.theglobal-review.com
|
0 komentar:
Posting Komentar