Penulis : Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI) | |
Indonesia Pemrakarsa KAA
Jika kita menelisik kembali sejarah singkat Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung pada 18 hingga 24 April 1955, peran yang dimainkan Indonesia cukup besar sejak tahap perencanaan hingga konferensi berskala internasional tersebut terselenggara dengan sukses dan gilang gemilang. Sejak Bung Hatta, selaku Wakil Presiden merangkap Perdana Menteri RI mengeluarkan kebijakan politik luar negeri yang Bebas dan Aktif pada 1948, maka sejak saat itu Indonesia punya haluan yang jelas dan tegas dalam ikut mewarnai perkembangan dunia internasional dan bebas dari kendali dan arahan negara-negara adidaya seperti Amerika Serikat, pada satu pihak, dan Uni Soviet dan Republik Rakyat Cina, pada pihak lain, dua kutub bertentangan yang terlibat dalam Perang Dingin ketika itu. | |
Dengan
demikian, Politik Luar Negeri RI yang Bebas dan Aktif, berarti bangsa
Indonesia tidak memihak pada salah satu blok dari dua kutub yang sedang
bertikaia dalam Perang Dingin ketika itu, seraya pada saat yang ssama
bangsa Indonesia berhak bersahabat dengan negara manapun asal tanpa ada
unsur ikatan tertentu.
Bebas
juga bisa diartikan bahwa bangsa Indonesia mempunyai cara sendiri dalam
menanggapi masalah internasional yang sedang terjadi. Selain itu,
Aktif berarti bahwa bangsa Indonesia secara aktif ikut mengusahakan
terwujudnya perdamaian dunia. Aktif berarti mengandung unsur
“kreativitas”, yang tumbuh bebas dari arahan ataupun tekanan-tekanan
dari pihak asing.
Hal
ini semakin diperkuat oleh Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo dalam
keterangannya di depan Sidang DPRS pada 25 Agustus 1953, yang
menegaskan bahwa semenjak berdirinya Republik Indonesia, negara kita
menjalankan politik luar negeri yang Bebas dan Aktif, berdasarkan
kepentingan rakyat menuju ke arah perdamaian dunia. Selanjutnya Ali
Sastroamidjojo menambahkan: “Sesungguhnya politik Bebas dan Aktif itu
adalah politik yang biasa untuk tiap-tiap negara yang ingin menegakkan
kedaulatannya.”
Frase
“Politik Bebas dan Aktif berdasarkan kepentingan rakyat menuju ke arah
perdamaian dunia”, nampaknya dijabarkan secara sungguh-sungguh oleh
Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo yang kemudian bermuara pada
terselenggaranya KAA pada April 1955. Namun, ada baiknya kita telisik
sejenak peristiwa bersejarah pada April 1954, sekitar setahun sebelum
berlangsungnya Konferensi AA.
Sebagaimana
penuturan Pak Ali Sastroamidjojo, Perdana Menteri RI ketika KAA
berlangsung dalam bukunya Tonggak-Tonggak di Perjalananku, pada awal
1954 ketika sedang genting-gentingnya ketegangan di Indo Cina, Ali
Sastro menerima surat dari Perdana Menteri Sri Langka Sir John
Kotelawala, yang bermaksud mengundang Perdana Menteri Indonesia untuk
turut serta di dalam suatu konferensi antara Lima Perdana Mentteri,
yaitu Sri Langka, Birma, India, Indonesia dan Pakistan, yang akan
diadakan di Colombo dalam bulan April 1954.
Konferensi
itu menurut surat John Kotelawala akan bersifat informil. Bagi Ali
Sastro, meski dipandang aneh karena menggunakan istilah pertemuan
informil, namun undangan Sir Kotelawala dipandang sebagai kesempatan
baik untuk dipergunakan sebagai suatu forum guna mengemukakan apa yang
sudah lama menjadi pikiran pemerintah Indonesia, sebagaimana tertuang
dalam keterangan Pemerintah di depan Sidang DPRS 25 Agustus 1953:
“Kerjasama dalam golongan Negara-Negara Asia-Arab (Afrika) kami pandang penting benar, karena kami yakin, bahwa kerjasama erat antara Negara-Negara tersebut tentulah memperkuat usaha ke arah tercapainya perdamaian dunia yang kekal. Kerjasama antara Negara-Negara Asia-Afrika tersebut adalah sesuai benar dengan aturan-aturan PBB yang mengenai kerjasama kedaerahan (Regional Arrrangements).
Selain
dari itu Negra-Negara itu pada umumnya memang mempunyai pendirian yang
sama dalam beberapa soal di lapangan internasional, jadi mempunyai dasar
sama (Common Ground) untuk mengadakan golongan yang khusus. Dari sebab itu, kerjasama tersebut akan kamu lanjutkan dan pererat.”
Demikian
arah kebijakan strategis Politik Luar Negeri RI yang Bebas dan Aktif
mulai dijabarkan secara lebih imajinatif di era pemerintahan Ali
Sastroamidjojo.
Maka
Perdana Menteri Ali Sastro kemudian melihat adanya momentum pertemuan
Colombo untuk menjabarkan sebuah format yang lebih pas dan efektif dalam
rangka mempererat kerjasama antara negara-negara Asia-Afrika. Dalam
benak Ali Sastro, pertemuan 5 Perdana Menteri di Colombo itu, bisa
menjadi sarana bagi Indonesia untuk secara aktif memprakarsai
diselenggarakannya Konferensi Negara-negara Asia-Afrika, untuk
mewujudkan politik pemerintah tentang kerjasama di bidang politik
internasional dengan negara-negara tersebut.
Setelah
mempertimbangkan hal tersebut, Perdana Menteri Ali Sastro menerima
undangan Perdana Menteri Sri Langka Sir John Kotelawala. Jika kita
membuka kembali beberapa dokumen lama terkait persiapan pemerintah
Indonesia untuk menghadairi Konferensi di Colombo tersebut, terungkap
bahwa gagasan untuk memprakrsai pertemuan Asia-Afrika berdasarkan model
KAA, sudah ada di benak Perdana Menteri Ali Sastro maupun Menteri Luar
Negeri Mr Sunarjo.
Sesaat
sebelum delegasi RI yang dipimpin Perdana Menteri Ali Sastro berangkat
ke pertemuan Colombo pada 26 April 1954, Perdana Menteri Ali Sastro
mengeluarkan pernyataan sebagai berikut:
“Saya mengusulkan untuk membicarakan kemungkinan mengadakan suatu konferensi yang lebih luas antara negara-negara Asia-Afrika dan mudah-mudahan usul saya itu akan berhasil. Saya pergi ke Konferensi Colombo dengan penuh harapan, karena kalau pada permulaannya dunia tidak memberi arti kepada Konferensi Colombo ini, maka sekarrang dengan adanya perkembangan di dunia internasional, rupa-rupanya suara kita dari Colombo akan mendapat perhatian juga. Dalam pada itu saya dapat menerangkan dengan tegas, bahwa saya pergi ke Colombo dengan membawa pegangan teguh bagi Indonesia, yaitu politik luar negeri bebas yang aktif dan bersandarkan atas kepentingan rakyat.”
Jelaslah
sudah bahwa Politik Luar Negeri RI yang Bebas dan Aktif merupakan dasar
satu-satunya yang secara konkrit bisa dijadikan landasan untuk bermain
catur politik di dalam konferensi itu. Kira-kira begitulah ada dalam
benak Perdana Menteri Ali Sastro dan para anggota delegasi RI pada
Konferensi Colombo.
Adapun
Delegasi RI yang dipimpin oleh Ali Sasto terdiri dari: Mr Achamd
Subardjo sebagai penasehat, Ir Juanda (Direktur Biro Perancangan
Nasional), juga sebagai penasehat, JD de Fretes, Kuasa Usaha ad interim
kita di Colombo, dan M. Maramis, sebagai anggota. Sedangkan selain
Indonesia, dari India hadir Perdana Menteri Jawaharlal Nehru, Perdana
Menteri Pakistan Mohammad Ali, dan Perdana Menteri Birma U Nu.
Sesuai
dengan tema sentral konferensi yang membahas perang dingin, hampir
semua negara peserta umumnya fokus pada soal Indo Cina dan peran
Konferensi Jenewa yang merupakan kelanjutan dari perkembangan perang
dingin di Asia. Dan pentingnya Isu Indo Cina bagi negara-negara Asia
untuk dijadikan agenda utama pembahasa di Konferensi Colombo.
Perdana
Menteri Ali Sastro dalam ketika mendapat giliran berpidato mengangkat
satu tema yang kita pandang sebagai sebuah terobosan baru, dengan
memberi perspektif baru dari konflik di Indo Cina, yaitu bahaya
timbulnya kembali lagi kolonialisme dalam bentuk yang lama maupun yang
baru.
“Dimanakah
kita bangsa-bangsa Asia berdiri sekarang? Apakah kita akan mau diseret
di dalam persengketaan ini yang sebetulnya dilakukan untuk merebut
kekuasaan? Kita sekarang sudah sungguh-sungguh berada di persimpangan
jalan sejarah umat manusia.”
Lontaran pertanyaan strategis Perdana Menteri Ali Sasto inilah, kemudian Indonesia mengusulkan diadakannya suatu konferensi lain yang berskala lebih luas, atas dasar pertimbangan bahwa masalah-masalah Asia tidak dihadapi oleh bangsa-bangsa Asia saja, melainkan juga bangsa-bangsa Afrika juga.
Sambutan
para peserta Konferensi Colombo memang disambut baik namun tidak cukup
antusias. Mungkin gagasan Perdana Menteri Ali dipandang terlalu utopis
dan ambisius. Perdana Menteri Nehru, misalnya, memang setuju dengan
usulan Indonesia, namun Nehru meramalkan bahwa di dalam pelaksanaannya
gagasan tersebut banyak kesulitan akan dihadapi. Sebab tentulah ada
bahaya bahwa akan terdapat banyak perbedaan pendapat antara
negara-negara peserta, sehingga akan sangat sukar untuk mencapai
persetujuan tentang hal-hal yang akan dibicarakan. Belum lagi,
negara-negara manakah yang akan diundang menghadiri konferensi yang
demikian itu. Apakah negara-negara Afrika yang masih dijajah akan
diundang juga?
Atau
terkait dengan konflik di Indo Cina, pemerintah manakah yang akan
diundang, dari Viet minh atau dari Vietnam? Maka itu, Nehru meski
mendukung gagasan Ali Sastro dan delegasi RI, namun menggarisbawahi
perlunya persiapan diadakan pada tingkat resmi. Sambutan dari para
perdana menteri lain, meski tidak begitu terperinci, umumnya setuju
usulan Indonesia, namun tidak begitu antusias.
Akhirnya,
atas saran Nehru, konferensi menyetujui untuk memberikan dukungan moril
sepenuhnya kepada Indonesia atas prakarsanya tentang KAA itu. Maka di
dalam pasal 14 Komunike terakhir disebutkan: Para Perdana Menteri
membicarakan tentang baiknya mengadakan suatu konferensi negara-negara
Afro-Asia dan menyokong usul supaya Perdana Menteri Indonesia mungkin
dapat menjajaki kemungkinan diadakannya konferensi demikian itu.
Pernyataan
tersebut dengan terang-benderang menggambarkan pendirian keempat
Perdana Menteri tentang usul saya itu. Susunan kalimat didalam bahasa
diplomatik ini bermaksud mengatakan bahwa sebetulnya keempat Perdana
Menteri tidak yakin konferensi Afro-Asia yang diusulkan oleh Indonesia
akan bisa diselenggarakan.
Dalam
tafsiran Ali Sastro ketika itu, rumusan pernyataan tersebut sejatinya
hanya untuk tidak menyinggung perasaan hati pihak Indonesia sebagai
pengusul. Sehingga mereka menyokong gagasan Indonesia, namun menyerahkan
kepada Indonesia untuk menyelidiki lebih dulu sampai berapa jauh ada
kemungkinan untuk mengadakan konferensi tersebut.
Nampaknya
keempat Perdana Menteri tidak begitu yakin Indonesia akan sanggup untuk
mewujudkan gagasan yang diajukan oleh Perdana Menteri Ali Sastro.
Mengingat pada era 1950-an kondisi perekonomian Indonesia belum cukup
sehat. Sedangkan situasi keamanan dipandang belum cukup tentram dan
stabil. Kalau dipikir-pikir, wajar juga keraguan mereka tersebut
mengingat KAA boleh dibilang merupakan konferensi berskala internasional
yang cukup besar.
KAA Sebagai Embrio “Kekuatan Ketiga"
Begitupun,
Konferensi Colombo merupakan landasan yang dijadikan Indonesia sebagai
titik awal persiapan KAA. Setelah Indonesia ditetapkan sebagai Tuan
Rumah KAA, maka kemudian diputuskan agar sebelum KAA diselenggarakan,
perlu diadakan pertemuan persiapan di Bogor pada 28-31 Desember 1954.
Konferensi
ini dihadiri oleh wakil dari lima negara yang hadir pada Konferensi
Colombo sebelumnya, dan dalam pertemuan ini disepakati beberapa hal
sebagai berikut:
a) KAA diselenggarakan di Bandung pada tanggal 18-24 April 1955. b) Menetapkan kelima negara peserta Konferensi Bogor sebagai negara-negara sponsor. c) Menetapkan 25 negara Asia-Afrika yang akan diundang. d) Menentukan empat tujuan pokok KAA berikut ini: - Memajukan kerja sama antar bangsa Asia-Afrika demi kepentingan bersama - Membahas dan meninjau persoalan ekonomi, sosial, dan budaya - Membahas dan berusaha mencari penyelesaian masalah kedaulatan nasionalisme, rasialisme, dan kolonialisme Begitulah. Yang semula gagasan Indonesia dianggap utopis dan terlalu muluk, akhinya KAA bisa diselenggarakan pada 18 April hingga 24 April 1955, di Bandung, Jawa Barat. Konferensi ini dihadiri oleh 23 negara Asia dan 6 negara Afrika.
Dari
Asia adalah Indonesia, India, Burma, Pakistan, Sri Lanka, Cina, Jepang,
Vietnam Utara, Vietnam Selatan, Laos, Kamboja, Thailand, Filipina,
Nepal, Afganistan, Iran, Irak, Yordania, Turki, Syria, Saudi Arabia dan
Yaman. Adapun negara–negara dari benua Afrika adalah Mesir, Ethiopia,
Libya, Sudan, Liberia dan Pantai Emas (sekarang Ghana).
Akhirnya
penyelenggaraan KAA berjalan sukses sesuai harapan Indonesia, dan Bung
Karno pada umumnya. KAA menjadi pusat perhatian dunia saat itu.
Indonesia pun tidak lepas dari perhatian dunia karena menjadi tuan
rumah.
Konferensi Asia Afrika menghasilkan beberapa keputusan penting. Beberapa keputusan penting tersebut sebagai berikut :
a) Memajukan kerja sama antarbangsa di kawasan Asia dan Afrika dalam bidang sosial, ekonomi, dan kebudayaan b) Menyerukan kemerdekaan Aljazair, Tunisia, dan Maroko dari penjajahan Prancis c) Menuntut pengembalian Irian Barat (sekarang Papua) ke Perda Indonesia dari Aden kepada Yaman d) Menentang diskriminasi dan kolonialisme e) Ikut aktif dalam mengusahakan dan memelihara perdamaian dunia Selain beberapa keputusan penting tersebut. Konferensi Asia Afrika juga mencetuskan Dasasila Bandung atau disebut juga "Bandung Declaration". Kolonialisme-Imperialisme Perekat Persatuan Peserta KAA Segi menarik yang perlu kami paparkan di sini adalah, keberhasilan Indonesia untuk mengakomodikasikan seluruh agenda strategis negara-negara peserta KAA, sehingga kekhawatiran Nehru pada Konferensi Colombo terhadap kemungkinan jalan buntu mencapai kesepakatan, ternyata tidak terjadi sama sekali.
Apa
yang menjadi perekat antar negara-negara KAA? Rupanya ada beberapa hal
yang menjadi perekat sehingga tercipta ikatan yang solid antar
negara-negara peserta KAA:
a) Persamaan nasib dan sejarah, yaitu bangsa-bangsa di Asia-Afrika terutama pernah mengalami penjajahan. b) Kesadaran untuk memperoleh kemerdekaan. c) Kecemasan akan persaingan Blok Barat dan Blok Timur. d) Perubahan politik pada tahun 1950-an, yaitu berakhirnya Perang Korea (1953). Akibat Perang Korea, semenanjung terbagi menjadi dua negara, yaitu Korea Utara dan Korea Selatan. Peristiwa ini semakin menambah ketegangan dunia dikarenakan adanya intervensi dari blok yang bersaing. e) PBB sudah ada forum konsultasi dan dialog antarnegara yang baru merdeka, tetapi di luar PBB belum ada forum yang menjembatani dialog antarnegara tersebut. f) Persamaan masalah sebagai negara yang masih terbelakang dan berkembang. Adapun penyelenggaraan KAA mempunyai tujuan berikut: 1. Mengembangkan saling pengertian dan kerja sama antarbangsa Asia-Afrika dan meningkatkan persahabatan. 2. Membicarakan dan mengatasi masalah-masalah sosial, ekonomi, dan kebudayaan. 3. Menaruh perhatian secara intensif terhadap masalah khusus terkait dengan kedaulatan, kolonialisme, dan Imperialisme. 4. Memerhatikan posisi dan partisipasi Asia-Afrika dan bangsa-bangsa dalam dunia Internasional. KAA Sebagai Langkah Lanjut Menuju Konferensi Gerakan Non-Blok Dengan keberhasilan memprakarsai dan menyelenggarakan KAA pada 18-24 April 1955, maka Indonesia tercatat dalam sejarah sebagai negara yang memprakarsai Gagasan terbentuknya “Kekuatan Ketiga” sehingga bebas dari pengaruh dan tekanan baik blok barat maupun blok timur. Sehingga tidak bisa dikatakan sebagai negara-negara yang masuk dalam orbit Amerika ataupun Uni Soviet dan Cina.
Prakarsa Indonesia beserta keempat negara lainnya sebagai the Sponsoring Countries,
tidak saja menempatkan Indonesia maupun Bung Karno sebagai kekuatan
utama yang memelopori perjuangan kemerdekaan negara-negara Asia-Afrika
yang masih terjajah, juga mempunyai saham yang kuat untuk memelopori
terbentuknya Gerakan Negara-Negara Non-Blok pada skala lintas kawasan, 6
tahun ke kemudian di Beograd, Jugoslavia.
Sebab
KAA selain memainkan peran penting alam upaya menciptakan perdamaian
dunia dan mengakhiri penjajahan di seluruh dunia secara damai, khususnya
di Asia dan Afrika, pada saat sama memberi inspirasi terhadap
terbentuknya “kekuatan ketiga” yang tidak berpihak ke blok barat maupun
timur, sehingga mendorong lahirnya Gerakan Nonblok yang didasari tujuan
untuk meredakan ketegangan dunia yang dipicu oleh konflik antara kutub
AS dan Sekutu-sekutu baratnya yang berhaluan Kapitalis/Liberal, versus
kutub Uni Soviet dan Cina yang berhaluan komunis.
Bedannya,
kalau dalam KAA Bung Karno menawarkan tema anti kolonialisme dan
imperialisme sebagai dasar persatuan negara-negara peserta KAA, maka
dalam Konferensi Non Blok 1961, Bung Karno dan Indonesia menawarkan tema
baru: Aspirasi Negara-Negara Berkembang dalam berhadapan dengan
Negara-Negara maju. Yang tidak lagi perhadapan antara kutub barat versus
timur, melainkan antara Utara dan Selatan.
Sumber : http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=17194&type=4#.VRorvo4RS60
|
0 komentar:
Posting Komentar