Selasa, 22 Oktober 2013

Pemimpin non-Muslim, dilema umat Islam Indonesia..


Sistem demokrasi yang dianut negeri kita sangat membuka peluang munculnya sosok pemimpin yang berbeda keyakinan dengan mayoritas masyarakat didaerah yang dipimpinnya. Sekalipun misalnya rakyat berkehendak memilih pemimpin yang sama agamanya, namun pemeluk agama lain tetap punya kesempatan melalui pencalonan satu paket antara pejabat dan wakilnya, lalu sang wakil bisa naik menjadi 'komandan' ketika si pemimpin berhenti dari jabatannya. Ini misalnya terjadi di Solo ketika Jokowi mengundurkan diri karena terpilih menjadi gubernur Jakarta, lalu wakilnya yang Katolik otomatis naik menjadi walikota Solo, menyelesaikan periode masa jabatan sampai waktu pemilihan kepala daerah berikutnya. Pemimpin non-Muslim juga bisa menjadi Gubernur, Bupati atau Walikota di daerah mayoritas Muslim, ketika dalam pencalonan, suara umat Islam harus terpecah untuk memilih beberapa calon Muslim yang mengajukan diri. Ini misalnya terjadi di Kalimantan Barat yang berhasil menjadikan seorang non-Muslim menjadi Gubernur di wilayah propinsi yang penduduk Muslimnya lebih dari 50% tersebut. Dalam sistem demokrasi, pertimbangan untuk memilih pemimpin diserahkan kepada masing-masing individu, bagaimanapun subjektif dan 'bodoh'nya pertimbangan mereka. Ini bukan hanya berlaku di Indonesia saja tapi juga bagi semua negara. 

Seseorang bisa saja memilih atau tidak memilih pemimpinnya karena alasan agama, suku, gender, atau bahkan untuk alasan yang sangat sepele, misalnya karena suka yang berhidung mancung, memilih yang lebih ganteng atau cantik, suka dengan calon yang berkelakuan seperti pelawak, atau bahkan menjatuhkan pilihan karena menghitung kancing baju. Demokrasi juga membuka peluang bagi maling, koruptor, rasis, boss gangster atau mafia, sepanjang belum terbukti bersalah melalui keputusan pengadilan, untuk memegang jabatan. Di Belanda ada penganut rasisme Geerts Wilders yang berhasil mendudukkan 9 anggota partainya di parlemen, di Australia ada rasis lain, Pauline Hanson, yang membentuk One Nation Party yang lumayan laku dan bolak-balik terpilih menjadi anggota parlemen. Sistem ini juga membuat misalnya di Bali kecil kemungkinan terpilihnya Gubernur selain orang Hindu, dan di Sumatera Barat susah bagi yang bukan 'urang awak' naik jadi komandan. Keberhasilan ataupun ketidak-berhasilan seseorang menjadi pemimpin semata-mata ditentukan oleh pilihan rakyatnya, bukan dibatasi oleh peraturan. 

Apa boleh buat, itulah 'harga' yang harus dibayar untuk sistem demokrasi yang kita pakai. 


Makanya saya cukup heran ketika membaca masih ada saja non-Muslim dan didukung segelintir Islam liberal mengeluhkan adanya diskriminasi, dengan alasan tidak banyak orang-orang di kalangan mereka yang menjadi pemimpin di negeri ini. Mereka lalu melontarkan stigma negatif terhadap umat Islam, misalnya dengan mengatakan orang Islam di Indonesia belum terbuka pemikirannya, belum memahami arti demokrasi, kurang berpendidikan, tidak toleran dan kurang memiliki jiwa pluralis. Bahkan seorang 'intelektual muda' kaum liberal yang pernah membuat heboh karena isi twitternya yang mengomentari kudeta militer di Mesir, mengusulkan dalam suatu diskusi : ""Konsekuensi dari demokrasi adalah kesetaraan bagi semua warga negara. Di negara demokrasi, siapapun bisa dipilih dan menjadi pemimpin. Kita harus coba sekali-kali cari pemimpin dari yang non-muslim. Kita harus beri kesempatan sebagai konsekuensi dari demokrasi,". Ini jelas pikiran yang justru mengkhianati nilai-nilai demokrasi, karena telah membatasi keinginan rakyat untuk memilih sesuai aspirasi mereka yang bebas. 

Naiknya seorang pemimpin secara demokratis bukan karena rakyatnya diarahkan untuk memilih dengan cara 'mengintimidasi' seperti itu. Herannya lagi, orang-orang seperti ini malah tidak pernah ribut dengan adanya peraturan yang 'berbau' rasial ketika DPR dan pemerintah menetapkan undang-undang otonomi khusus Papua, yang salah satu pasalnya : Yang dapat dipilih menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur adalah Warga Negara Republik Indonesia dengan syarat-syarat: a. orang asli Papua (Pasal 12). Jadi kalau di daerah lain, tidak terpilihnya seorang menjadi pemimpin karena memang rakyat yang tidak mau, maka di Papua, anda yang bukan penduduk asli akan dihadang oleh peraturan. Anda misalnya orang Jawa yang tinggal di Papua, punya kemampuan dan mencintai tanah Papua melebihi orang Papua sendiri, maka aturan tidak memperbolehkan anda jadi pemimpin disana. Peraturan tersebut sampai sekarang masih berlaku dan sama sekali tidak ada protes dari para 'pengusung demokrasi'. 

Dari sisi ajaran Islam sendiri sudah banyak kajian disampaikan, lengkap dengan dalil-dalilnya. Umumnya para ulama berpendapat umat Islam memang dilarang untuk memilih non-Muslim menjadi pemimpin mereka berdasarkan ayat Al-Qur'an surat Ali Imran 28, An-Nisa 138-139, An-Nisa 144 dan Al-Maidah 57. Maka saya justru lebih tertarik untuk menelaah pendapat ulama yang berseberangan, yaitu memperbolehkan umat Islam dipimpin oleh imam yang non-Muslim. Pendapat ulama yang membuka peluang untuk ini didasari oleh penafsiran mereka tentang ayat-ayat Al-Qur'an tersebut yang mengatakan asbabun nuzul ayatnya, terutama surat Ali Imran 28, diturunkan dalam konteks memilih pemimpin yang ketika itu kebetulan calonnya adalah non-Muslim yang memusuhi umat, jadi bukan semata-mata berupa larangan karena status mereka yang bukan beragama Islam saja. Ulama yang berpendapat seperti ini misalnya Yusuf Qadrawi dan Seorang ulama Al-Azhar Kairo, Syaikh Ahmad Musthofa Al Maraghi. 

Dalam Kitab Tafsir Al-Alusi, Al-Bahrul Muhith dan Ruhul Ma’ani disebutkan asbabun-nuzul (sebab turunnya) ayat ini adalah berikut ini: (1) Menurut satu riwayat, ayat ini turun ditujukan kepada Ubadah bin As-Samit. Ia mempunyai sekutu atau sahabat dari kalangan Yahudi. Ia mau meminta pertolongan kepada mereka dalam rangka menghadapi musuh, maka turunlah ayat ini. (2) Riwayat lain menyebutkan ayat ini turun ditujukan kepada orang-orang Munafik, seperti Abdullah bin Ubay dan teman-temannya yang bersekutu dengan orang-orang Yahudi. (3) Riwayat lain lagi menyebutkan bahwa Al-Hijjaj bin Amr, Ibnu Abil Huqaiq dan Qais bin Zaid dari kalangan Yahudi membisiki sesuatu kepada kelompok Anshor dengan niat yang tidak baik menyangkut agama. Melihat hal itu, Rifa’ah bin Munzir, Abdullah bin Zubair dan Sa’ad bin Khaisamah berkata kepada orang-orang Anshor itu, “Menjauhlah Kalian dari orang-orang Yahudi itu dan berhati-hatilah! Jangan sampai mereka melakukan rencana buruk terhadap agama Kalian.” Tetapi orang-orang Anshor tetap pada pendiriannya, mereka tak bergeming, maka turunlah ayat ini. 

Maraghi mengutip surat Ali Imran 118 yang berbunyi : 

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya. 

lalu merumuskan bahwa non-Muslim yang dilarang untuk memimpin umat Islam adalah apabila mereka memiliki sifat-sifat : 

1. Mereka tidak segan-segan merusakkan dan mencelakakan urusan orang-orang Islam 
2. Mereka menginginkan urusan agama dan urusan dunia orang-orang Islam dalam kesulitan yang besar 
3. Mereka menampakkan kebencian kepada orang-orang Islam melalui mulut mereka yang terang-terangan. 

Jadi sepanjang sifat tersebut tidak dimiliki, maka mereka boleh dipilih untuk memimpin umat Islam. 

Ulama ini kemudian memberikan contoh bahwa dalam sejarah pemerintahan Islam terdapat beberapa kasus Khalifah Islam menunjuk non-Muslim untuk menjadi pejabat penting di pemerintahan. Khalifah Umar sendiri membentuk orang-orang yang mengurusi dewannya dari orang-orang Non-Muslim. Dan para khalifah sesudahnya melakukan hal yang sama. Ketentuan ini dijalankan oleh pemerintahan Bani Abbas dan lain sebagainya dari kalangan Raja-raja Islam. Mereka mempercayakan jabatan-jabatan kenegaraan kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani. Berdasarkan fakta yang terjadi di Indonesia, masalahnya muncul bukan karena pemimpin non-Muslim memiliki sikap permusuhan terhadap umat dan ajaran Islam. 

Bisa saja si pemimpin tersebut sama sekali tidak punya masalah dengan Islam, mereka bekerja berdasarkan konstitusi, selalu mengambil kebijakan yang mementingkan kemaslahatan rakyat, aktif menanggulangi praktek korupsi, berupaya membina ketertiban dan disiplin warga, berusaha meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat, sesuatu tujuan yang tentu saja sejalan dengan nilai-nilai Islam. tapi disisi lain, karena si pemimpin non-Muslim ini memiliki landasan moral yang berbeda, maka dia juga menyatakan misalnya Wakilk Gubernur Jakarta Ahok yang berpendapat :"Saya kira minum bir nggak salah, asal tidak mabok", atau ibu Menteri Kesehatan yang baru-baru ini bikin heboh dengan kebijakannya untuk 'membekali' anak-anak remaja dengan kondom agar tidak tertular virus HIV, barangkali nilai moral si pejabat ini bunyinya :"Daripada berzina dan ketularan AIDS lebih baik berzina tapi tidak ketularan AIDS..". Anda juga bisa membayangkan kalau Hary Tanoesoedibdjo berhasil menjadi pimpiman negara kita, bisa jadi Indonesia akan marak dengan kontes Miss-Miss-an yang ditentang oleh sebagian umat Islam melalui fatwa MUI. Nilai moral yang dipakai pemimpin ini lebih mengedepankan soal keuntungan ekonomi dan bisnis dibandingkan aspirasi umat Islam. 

Mungkin saja kebijakan yang diambil oleh pemimpin non-Muslim sama sekali tidak bertujuan untuk merusak dan menentang ajaran Islam, mereka menetapkannya berdasarkan kepentingan lain yang sebenarnya juga sesuai dengan apa yang diinginkan umat. Peningkatan kegiatan ekonomi, pencegahan masyaratakat dari virus HIV, dll juga akan menjadi tujuan yang diinginkan umat. tapi ketika bentuk kebijakan tersebut harus memilih, maka nilai moral yang dianut oleh si pengambil keputusan sangat menentukan. Disini pasti akan ada pihak yang harus dikorbankan.. 

Catatan sejarah tentang adanya khalifah yang menetapkan non-Muslim menjadi pejabat penting di pemerintahan mereka juga harus kita cermati dengan hati-hati. Dalam pemerintahan kekhalifahan, falsafah negara yang dipakai adalah Islam, nilai-nilai yang dianut negara adalah nilai-nilai yang bersumber dari Al-Qur'an dan sunnah Rasulullah. Sekalipun ada beberapa pejabat non-Muslim yang diangkat, namun mereka tidak akan bisa membuat keputusan yang berbeda dan bertentangan dengan falsafah Islam tersebut. Beda lagi dengan Indonesia. Kita menganut falsafah negara Pancasila. kalau anda pernah mengikuti penataran P4 dimasa Orde Baru dulu, maka anda pasti akan akrab dengan istilah bahwa falsafah negara kita tersebut adalah falsafah yang 'dinamis'. Itu menjadi point penting untuk menggambarkan karakter Pancasila. Istilah 'dinamis' ini bisa jadi kata lain dari suatu falsafah yang bisa 'ditarik ke kiri dan ke kanan'. Bung Karno dulu memperkenalkan istilah Nasakom, yang mengawinkan dua prinsip yang sebenarnya tidak akan pernah akur, yaitu : agama dan komunisme, itu Pancasila juga namanya. Kita mengenal sila pertama : Ketuhanan Yang Maha Esa, dan negeri ini tetap saja menerima ajaran agama dengan konsep ketuhanan yang 'berpotensi' memiliki Tuhan yang lebih dari satu. Pancasila mengusung nilai kemanusiaan lahir dari dasar ketuhanan karena semua sila-sila dari Pancasila dikatakan saling mengisi dan saling melengkapi, namun kaum sekuler 'memasarkan' nilai kemanusiaan dari prinsip sekularisme yang sama sekali tidak bersentuhan sedikitpun dengan soal ketuhanan. Sampai-sampai dalam satu diskusi, seorang penganut paham ini, mungkin karena terdesak, akhirnya mengeluarkan pernyataan bahwa sila pertama Pancasila tersebut seharusnya dihapus dan dicabut dari falsafah negara kita karena bertentangan dengan nilai kemanusiaan universal sesuai pemahaman mereka. Maka sangat riskan bagi umat Islam di Indonesia kalau mereka dipimpin oleh pejabat non-Muslim.. 

Dilema muncul ketika kita harus memilih 2 pasang calon, yang satu non-Muslim tapi diketahui punya kompetensi untuk memimpin, tegas, anti korupsi, jujur dan tidak memihak. Sementara lawannya adalah pasangan Muslim, aktif di organisasi Islam dan diusung oleh partai yang 'berbau' Islam, tapi dikenal bukan orang bersih, dilihat dari gaya hidup dirinya dan keluarganya boleh dicurigai sebagai koruptor, tidak kompeten dan lemah, membiarkan bawahan menyikat uang rakyat. Ini menjadi buah simalakama bagi umat Islam karena pada dasarnya keduanya sama saja isinya, cuma bungkusnya saja yang berbeda. 

Lalu pemimpin mana yang harus dipilih..?? mau dimakan, bapak bakalan tewas, tidak dimakan, ibu yang akan meninggal. Atau anda mau ikut kata orang Minangkabau ini..?? :"Kalau begitu dijual saja pak...".





0 komentar:

Posting Komentar

Form Kritik & Saran

Nama

Email *

Pesan *