Pada awal tahun 60-an, Indonesia menjadi sebuah negara yang disegani oleh negara-negara lain disekelilingnya. Penyebabnya karena Angkatan Udara (kala itu namanya AURI) telah memiliki pesawat jet pembom stategis Tu-16 dan Tu-16 KS. Dapat dikatakan Indonesia saat itu mempunyai kekuatan udara terkuat di bumi bagian selatan.
Sebagai contoh misalnya, beberapa negara besar saja seperti China, India, dan Australia belum mempunyai pesawat pembom strategis atau jet tempur Mach 2, Indonesia sudah mempunyai pesawat pembom Tu-16. Juga pesawat tempur sergap dengan kecepatan Mach-2, seperti Mig-21, Mig-19, Mig-17. Hanya AS yang mempunyai pembom strategis (B-58 Hustler), dan Inggris dengan V bombernya (Vulcan, Victor, serta Valiant), selain Rusia sendiri. Khusus untuk TU-16, selain Indonesia, negara lain yang mengoperasikan adalah Mesir.
Pada era tahun 60-an, Tu-16 adalah pesawat yang paling ditakuti, karena jangkauan terbangnya hingga 7.200 km, kecepatan mencapai 1.050 km per jam, dan ketinggian terbang hingga 12.800 km (39.400 feet). Versi Tu-16 (Badger A) mampu membawa muatan bom seberat 9.000 kg (9 ton), versi Tu-16 KS (Badger B) , selain membawa bom juga mampu membawa dua buah peluru kendali udara permukaan KS-1 (AS-1 Kennel).
Skadron Tu-16 yang terdiri dari 12 pesawat, menjadi kekuatan skadron Udara 41 (pangkalan AU Iswahyudi, Madiun) dan 12 pesawat Tu-16KS masuk menjadi kekuatan Skadron Udara 42, juga di Madiun. Menurut sejarah, AURI bisa memiliki Tu-16 karena upaya gigih Presiden Soekarno yang terus menekan Duta Besar Uni Soviet di Jakarta (Mr. Zhukov), yang kemudian melaporkan kepada Menlu Soviet, Mikoyan. Pada akhirnya diplomasi Presiden Soekarno berhasil dan datanglah kemudian pesawat-pesawat tempur yang sangat canggih di jamannya itu.
Peran Tu-16 dalam Operasi Trikora
Saat Presiden Soekarno mengumandangkan Operasi Trikora, Angkatan Perang Indonesia sedang berada pada “puncak kejayaan”. Angkatan Perang dipersenjatai dari negara blok Timur, tidak hanya AU, tetapi juga AD dan AL. Mendadak AURI berkembang jadi kekuatan terbesar di belahan Selatan. Sehingga ada ungkapan saat itu "AURI, anak lanang Bung Karno." Dimanja karena mempunyai pesawat tempur tercanggih di jamannya.
Dalam operasi Trikora, AURI menyiapkan satu flight Tu-16 di Morotai yang hanya memerlukan 1,5 jam penerbangan dari Madiun. Pada saat perundingan RI-Belanda sedang berlangsung di PBB, para awak Tu-16 yang disiagakan itu terus memonitor hasil perundingan. Perintah Komando Mandala adalah, “Kalau perundingan gagal, langsung bom Biak.” Karena itu para awak terus stand by 24 jam di Morotai. AURI menjadi lebih yakin dan tidak takut dengan Kapal Induk Belanda Karel Dorman, yang menurut perhitungan apabila diserang dengan enam buah peluru kendali KS-1 diyakini akan tenggelam.
Perundingan di PBB berhasil baik, Belanda kemudian melepaskan Irian Barat kepada Indonesia. Semua tidak terlepas karena pengaruh AS, yang terus memantau perkembangan unsur penyerang strategis AU Indonesia dan unsur pertahanan udara yang demikian kuat. Diketahui oleh unsur intelijen udara bahwa AS saat itu terus memata-matai Pangkalan Iswahyudi dengan melibatkan pesawat mata-mata U-2 (Dragon Lady). Setelah Operasi Trikora, kemudian dicanangkan Operasi Dwikora, Kalimantan Utara.
Operasi Penyusupan TU-16 Ke Garis Belakang Lawan
Pada Pertengahan Tahun 1963, dalam operasi Dwikora, AURI mengerahkan tiga Tu-16 versi bomber (Badger A) untuk menyebarkan pamflet di daerah musuh. Satu pesawat menuju ke Serawak, pesawat kedua diterbangkan ke Sandakan dan Kinibalu, Pulau Kalimantan (wilayah Malaysia). Pesawat ketiga ke Australia.
Khusus penerbangan penyusupan ke Australia, Tu-16 dengan penerbang Komodor Udara (terakhir Marsda Purn) Suwondo bukan menyebarkan pamflet, tetapi membawa peralatan militer berupa perasut, alat komunikasi dan makanan kaleng. Skenarionya, barang-barang itu akan didrop di Alice Springs, Australia (tepat di tengah benua), untuk menunjukkan bahwa AURI mampu mencapai jantung benua kangguru itu. “Semacam psywar buat Australia,” ujar Salatun. Di Alice Springs Australia memiliki over the horizon radar system.
Briefing berjalan singkat sejak pukul 23.00. Pada pukul 01.00 WIB, pesawat terbang meninggalkan Madiun menuju ke Australia. Pesawat terbang rendah guna menghindari radar. Sampai berhasil menembus Australia dan menjatuhkan bawaan, semua berjalan aman. Australia yang mempunyai pesawat F-86 Sabre sebagai unsur pertahanan udara (Hanud) tidak ada satupun yang diterbangkan untuk menyergap. Bayangkan apabila TU-16 tadi membawa 9 ton bom, dan jumlah pesawat lebih dari satu, berapa kerusakan dan kehancuran yang akan ditimbulkannya.
Demikian juga peluru kendali anti pesawat Bloodhound Australia yang ditakuti juga “tertidur”. Karena Suwondo melakukan strategi penyusupan dengan berputar agak jauh. Ketika tiba dan mendarat di Madiun matahari sudah agak tinggi. “Sekitar pukul delapan pagi,” kata tail gunnernya. Langkahpsychological warfare TU-16 AURI membuat 'geger' Australia pastinya, sehingga kemudian hari Australia membeli bomber F-111.
Dalam operasi penyusupan ke Sandakan, pesawat TU-16 diterbangkan oleh Sudjijantono bersama Letnan Kolonel Sardjono (almarhum). Mereka berangkat dari Lanud Iswahyudi (Madiun) pada jam 12.00 malam. Pesawat terbang pada ketinggian 11.000 m. Menjelang adzan subuh, pesawat tiba di Sandakan. Lampu-lampu rumah penduduk masih menyala. Pesawat terus turun sampai ketinggian 400 m. Persis di atas target (TOT), ruang bom (bomb bay) dibuka. Pamflet psywar dikeluarkan sebagian.
Usai satu sortie, pesawat berputar, kembali ke lokasi semula. “Ternyata sudah gelap, tidak satupun lampu rumah yang menyala,” kata Sudjijantono. Setelah semua pamflet ditebarkan, mereka kembali ke Iswahyudi dan mendarat dengan selamat pada pukul 08.30 pagi. Artinya, TU-16 diterbangkan lebih dari sepuluh jam penerbangan. Semua pesawat dan crew Tu-16 kembali dengan selamat ke 'home base.'
Pada awal tahun 1964, sebuah TU-16 melakukan penerbangan penyusupan ke Kuala Lumpur, saat pesawat berada di Butterworth (Penang), crew melaporkan bahwa ada dua pesawat penyergap diterbangkan dari Penang. Setelah terjadi kejar-kejaran, TU-16 berhasil mengecoh pesawat tempur Javelin, dan langsung kembali ke Medan.
Pesawat Tu-16 diterbangkan dari Madiun menuju ke Medan lewat selat Malaka, Di Medan selalu disiagakan dua TU-16 selama operasi Dwikora. Satu pesawat terbang dengan rute ke selatan dari Madiun melalui pulau Christmas (kepunyaan Inggris), pulau Cocos, kepulauan Andaman Nikobar, terus ke Medan. Pesawat berikutnya lewat jalur utara melalui selat Makasar, Mindanao, Kalimantan Barat, Kalimantan Utara, Laut Cina selatan, selat Malaka, sebelum akhirnya mendarat di Medan. Ada juga yang nakal, menerobos tanah genting Kra. Walau terkesan “gila-gilaan dan nekat", setiap misi tetap dilaksanakan sesuai dengan perintah Bung Karno, yang juga memerintahkan untuk tidak menembak sembarangan.
Dalam misi berbau pengintaian ini, beberapa operasi udara strategis sempat ketahuan Javelin. Tapi Inggris hanya bertindak seperti guard untuk mengingatkan Tu-16 agar jangan melanggar perbatasan. Yang jelas mereka tidak menginginkan konflik di udara, karena mengetahui TU-16 juga selalu dilengkapi dengan 6-7 pucuk senjata-senjata berat caliber 23 mm Kudelman.
Akhir yang Tragis dari TU-16
Nasib dari pesawat-pesawat dari negara beruang merah tersebut berakhir dengan tragis karena masalah politik. Pada Tahun 1969, dalam setahun paling banyak hanya 12 kali TU-16 diterbangkan. Karena itu kanibalisasi tak terelakkan agar sejumlah pesawat tetap bisa terbang. Akhirnya pada Oktober 1970 dilakukan test flight Tu-16 nomor M-1625 setelah dikanibalisasi. Komandan Wing 003 yang merangkap Komandan Skadron 41 Letkol Pnb Suwandi membawa krunya yaitu Kapten Pnb Rahmat Somadinata (kopilot), dan Kapten Nav Beny Subyanto untuk menerbangkan M-1625. Pada hari itu, M-1625 adalah satu-satunya Tu-16 yang tersisa dan dalam kondisi siap terbang. ItulahFarewell Flight, penerbangan perpisahan yang menyedihkan.
Pada awal tahun 1970, Kasau Marsdya Suwoto Sukendar mengatakan, hanya 15-20% pesawat AURI yang dapat diterbangkan, kapal ALRI hanya 40% karena ketiadaan suku cadang dari Uni Soviet. Tahun 1970, kemudian dikenang sebagai tahun pemusnahan persenjataan Blok Timur. AURI kemudian mengganti dengan pesawat Tempur F-86 Sabre dan T-33 T-Bird.
TNI AU Yang Semakin Cerdik
Dengan berjalannya waktu, TNI AU secara perlahan kembali membangun kekuatan udara setelah hampir mati suri pada tahun 1970-an. Secara Bertahap pesawat-pesawat buatan Amerika Serikat dan Inggris terutama berdatangan melengkapi hanggar TNI AU. Kemudian berdatanganlah pesawat Angkut Hercules, F-27, serta pesawat tempur OV-10, Hawk, F-5E, F-16 dan kini TNI AU dilengkapi selain pesawat buatan Barat juga kembali datang pesawat buatan Rusia (SU-27/30) yang canggih. Yang akan datang pesput Super Tucano dan pesawat tempur ringan T-50 dari Korea, hibah 24 F-16, dan hibah F-5.
TNI AU tidak ingin kembali terjebak mengalami kesulitan apabila di embago oleh negara-negara Barat karena tuduhan HAM, bahkan dahulu ada pesawat tempur TNI AU yang di sandera di luar negeri. Saat penulis masih aktif, sangat terasa sekali sulitnya menghadapi embargo dari negara besar (AS) seperti masa lalu. Bahkan spare part di seluruh dunia tidak diperbolehkan dijual ke Indonesia. Sehingga upaya mendapatkan beberapa suku cadang diperoleh lewat jalur intelijen udara. Nah, kini kalau kembali Indonesia di embargo, ada produk Timur yaitu Sukhoi yang anti embargo.
Demikian sekilas kisah tentang TU-16 yang membuat Indonesia yang baru merdeka 16 tahun demikian kuat bargaining power-nya, ditakuti dan disegani negara tetangga. Kala itu Indonesia tercatat menjadi negara ke empat di dunia yang mengoperasikan pesawat pembom strategis. Kedepan, TNI AU akan semakin percaya diri dan semakin tangguh menjaga kedaulatan negara di udara. Bravo TNI AU yang penulis cintai. Salam untuk para "The Blues" (mirip panggilan club sepak bola, tetapi itulah panggilan kebanggaan perwira TNI AU yang gagah perkasa. Hingga kini penulis masih terus bangga menjadi bagian dari Angkatan Udara. Salam.
Prayitno Ramelan (www.ramalanintelijen.net )
Ilustrasi Gambar : Indonesiaindonesia.com
0 komentar:
Posting Komentar