Gus Dur-Mega Membesarkan Naga, Membelit Garuda
Selain Pemilu 1999, banyak kejadian
istimewa terjadi pada masa BJ. Habibie menjadi Presiden RI. Yang sangat
menonjol adalah persoalan ekonomi, dan kelanjutan dari krisis moneter.
Habibie tidak percaya terhadap konsep pembangunan Widjojo Nitisastro
yang selama Soeharto berkuasa menangani ekonomi Indonesia.
Pada akhir jabatannya, ketika IMF mulai
terasa memaksakan kehendaknya, Soeharto sempat menyadari bahwa selama
ini dia terjebak di dalam kapitalisme dan liberalisme ekonomi yang
bertentangan dengan amanat Konstitusi; dan oleh sebab itu pula
perekonomian Indonesia selalu berpihak kepada yang kuat.
Bukan hal yang luar biasa, kalau di masa
Orde Baru terjadi ketimpangan pendapatan yang sangat besar antara
Kelompok yang Kaya dan yang Miskin. Kelompok kaya didominasi oleh
komunitas ECI yaitu para pengusaha yang menguasai industri dan
perdagangan di hampir semua wilayah Indonesia.
Sedang yang umumnya miskin adalah para
Pribumi yang menjadi buruh, petani dan nelayan, serta pedagang kecil dan
karyawan swasta; para pegawai negeri dan pejabat negara umumnya juga
didominasi oleh Pribumi yang mewakili kelompok menengah.
Masyarakat pun tahu masuknya modal besar
asing sekaligus disertai dengan penguasaan atas sumber-sumber
kemakmuran rakyat, seperti di sektor Migas dan pertambangan umum.
Krisis Moneter
Habibie menolak pikiran-pikiran Widjojonomics dan kawan-kawannya itu; mereka pun dikenal sebagai tokoh-tokoh Mafia Berkeley.
Sekalipun pikiran dan kebijakan Widjojo
dan kawan-kawannya pada awal pembangunan mampu mengantarkan Indonesia ke
masa hiruk-pikuk dan kejayaan pembangunan bersama Soeharto selama 30
tahun.
Akan tetapi tetap saja mereka tidak mampu membawa ekonomi Indonesia untuk take-off;
Si Miskin terlalu banyak sehingga menjadi beban yang terlalu berat bagi
“pesawat pembangunan” Rostow untuk bisa meninggalkan landasan pacu.
Bahkan justru pada saat-saat kritis itu sempat pula terjebak dalam
krisis moneter.
Meskipun begitu, Presiden Habibie dan
orang-orang pilihannya pun tidak mampu menjelaskan secara konseptual
alternatif yang lebih baik, selain menonjolkan pentingnya Indonesia
menguasai teknologi.
Apalagi kehadiran Habibie yang amat
sangat pendek, hanya 17 bulan saja, dengan begitu tidak sempat
membuahkan apa-apa terhadap perekonomian Indonesia.
Habibie dengan Habibienomics-nya
tidak percaya pula kepada para ekonom Universitas Indonesia anak buah
Widjojo. Oleh karenanya dia mengangkat Bambang Subianto, seorang sarjana
Teknik Kimia dari Institut Teknologi Bandung yang memeroleh gelar
doktornya dalam bidang ekonomi di Inggris menjadi Menteri Keuangannya
menggnatikan Fuad Bawazir.
Pada masa BJ. Habibie pula diterbitkan
undang-undang yang mengubah kedudukan Bank Indonesia sebagai Bank
Sentral pemegang Otoritas Moneter bebas dari kekuasaan pemerintah; di
jaman Soeharto selama 30 tahun lebih Bank Sentral berada di bawah
Menteri Keuangan.
Pada kenyataannya, kebijakan Habibie ini
mampu menurunkan kembali nilai Dollar yang sempat naik lima kali lipat
pada Januari 1998 kembali menjadi sekitar 6.000 Rupiah per Dollar pada
bulan September 1999, setahun lebih dari sejak Soeharto mundur.
Gubernur Bank Indonesia, Syahril
Sabirin, yang diangkat Soeharto lalu dipertahankan oleh BJ. Habibie,
serta Bambang, tentu memunyai kontribusi besar dalam mendongkrak nilai
Rupiah ini.
Tak terkecuali juga Tanri Abeng, Menteri
BUMN, yang dikenal dengan sebutan “Menejer 1 milyar Rupiah”, yang konon
gajinya sebulan mencapai 1 milyar Rupiah. Itu sewaktu dia menjadi chief executive officer di PT. Bir Bintang, sebuah perusahahan minuman keras.
Di tangan Tanri, restrukturisasi
terhadap BUMN yang selama ini menjadi beban Negara karena tidak efisien
dan dijadikan sapi perah oleh Rezim Soeharto, mulai menuai keuntungan
dan mampu memasuki bursa saham. Situasi mana sangat kontras dibanding
dengan perkembangan ekonomi rakyat, yang melibatkan usaha-usaha kecil,
menengah dan koperasi.
Pada awalnya mereka bisa bernapas lega
oleh penanganan Adi Sasono, Menteri Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah
dengan kucuran trilyunan Rupiah kredit dana Negara; tetapi ketika
ratusan milyar dana itu hilang tanpa bisa dipertanggungjawabkan, maka
selain sungguh menyedihkan dan memalukan, tentu ada yang salah dalam
pelaksanaannya.
Apalagi sesudah itu, usaha-usaha ekonomi rakyat itu pun tidak mampu berkembang; dan lalu terpuruk lagi sampai kini.
Sungguh prestasi yang luar biasa dari
era BJ. Habibie, ketika nilai Rupiah menaik lagi; hanya jatuh sekitar
2.5 kali lipat dari posisi 2.450 Rupiah sebelum krisis Juni 1997.
Dengan nilai itu, pembayaran kembali
atas hutang asing, baik dalam bunga maupun pokoknya, menjadi lebih
ringan. Itu adalah posisi terbagus harga Dollar dalam Rupiah sejak
krisis moneter 1997; sebab di tangan Gus Dur nilai Rupiah itu jatuh
lagi.
Terlebih-lebih sesudah Syahril Sabirin
dipecat Gus Dur, karena melikwidasi Bank Papan Sejahtera, di mana ada
saham Gus Dur di dalamnya, Rupiah sempat terjerembab lagi; lalu terus nangkring sampai beberapa lama di sekitar 10.000 Rupiah.
Presiden BJ. Habibie juga melanjutkan
penyelesaian terhadap krisis moneter 1997 itu yang berdampak pada
timbulnya Skandal BLBI. Ketika itu Soeharto sudah memulainya dengan
Program Penjaminan Pemerintah terhadap para nasabah bank untuk mengatasi
krisis kepercayaan kepada dunia perbankan itu, pasca dilikwidasinya 16
bank swasta kecil pada 1 November atas saran IMF.
Menyusul itu Gubernur Bank Sentral Syahril Sabirin diangkat menggantikan Sudradjad Djiwandono.
Pada awal Skandal BLBI itu terjadi
pemecatan atas beberapa petinggi Bank Indonesia, karena menyalahgunakan
wewenang dengan mengucurkan dana bantuan likwiditas kepada Bank Danamon,
Bank Harapan Sejahtera, Bank Nusa Internasional dan Bank Nasional;
hampir 20 trilyun Rupiah kerugian Negara yang diakibatkan oleh kesalahan
itu.
Sebagai akibatnya, pada akhir 1997 itu
Soeharto memecat empat orang Direktur Bank Indonesia, yaitu
Hendrobudiyanto, Heru Soepraptomo, Paulus Soetopo Tjokronegoro, dan
Boediono, kesemuanya dari bidang Pengawasan Bank Umum; sedang Djiwandono
sendiri masih dipertahankan.
Baru pada April 1998, yaitu sesudah
kabinet baru terbentuk, semua Direksi Bank Indonesia diganti; dan
Djiwandono pun digantikan Syahril Sabirin.
Bersama dengan 80 orang petugas Bank
Indonesia lainnya, keempat Direktur Bank Indonesia yang dipecat itu
diperiksa oleh Jaksa Agung Marzuki Darusman pada masa Presiden Gus Dur.
Akan tetapi, dari para Direktur Bank
Indonesia itu hanya Hendrobudiyanto, Paulus Soetopo Tjokronegoro dan
Heru Soepraptomo, yang diajukan ke Pengadilan Jakarta Pusat. Tidak
diketahui dengan jelas kenapa dan bagaimana Boediono bisa lepas dari
jerat hukum Jaksa Agung; padahal Boediono pulalah yang mendukung dan
yang sekaligus mengawali pengucuran dana BLBI.
Skandal ini kemudian menjadi skandal
besar yang membuat rakyat Indonesia serasa terjajah kembali. Sesuai
dengan Putusan Mahkamah Agung RI pada 2004, tiga orang tersebut dikenai
hukuman masing-masing dengan denda Rp. 20 juta dan penjara 1.5 tahun.
Sedang Boediono sekarang menjadi Wakil Presiden RI; malahan sebelumnya sempat pula menjadi Gubernur Bank Indonesia.
Selanjutnya dalam rangka Program
Penjaminan Pemerintah itu, dibentuklah BPPN, sebuah Badan Penyelamat
Perbankan Nasional, di mana penyelesaian atas BLBI dialihkan dari Bank
Indonsia ke Pemerintah lewat BPPN.
Tetapi kemelut krisis moneter terus
berlangsung sebelum BPPN bisa bekerja; yaitu dengan pembekuan 7 buah
bank lagi, di samping 7 bank lain yang diambil alih, serta penyehatan
terhadap 40 bank lainnya lagi oleh Fuad Bawazier, Menteri Keuangan
terakhir di zaman Soeharto. Jumlah dana BLBI yang disalurkan pun menjadi
berlipat.
Skandal BLBI ternyata tidak hanya
melibatkan pelaku di dalam negeri, namun juga IMF, lembaga keuangan
internasional yang diminta membantu Indonesia pada saat berlangsungnya
krisis, khususnya karena Indonesia adalah negara penerima hutang dana
internasional.
Sebelumnya, lewat Mar’ie Muhammad dan
Soedrajad Djiwandono, Pemerintah Soeharto sudah meneken kontrak dengan
IMF untuk menangani krisis tersebut pada 30 Oktober 1997. Tetapi
ternyata Soeharto keliru dalam memilih rekan dalam penyembuhan krisis;
sebagai akibatnya Indonesia terjebak dalam kesepakatan Letter of Intent dalam waktu yang cukup panjang.
Kontrak dengan IMF itu adalah the first blow
yang mengantarkan Indonesia ke dalam jebakan-jebakan IMF berikutnya.
Dengan kerjasama itu pemerintah Indonesia wajib menuruti semua kemauan
IMF, seakan-akan itu merupakan kehendak pemerintah Indonesia sendiri.
Indonesia baru bisa melepaskan diri dari
kerjasama lebih lanjut setelah hutangnya dalam kontrak itu dibayar
kembali pada 2008; sekalipun begitu Indonesia tetap tidak bisa
menghindar dari jebakan-jebakan IMF sebelumnya.
Ternyata berbagai kebijakan yang
ditempuh pemerintah Indonesia sesuai dengan “asistensi” pihak IMF itu
keliru besar. Kebijakan yang akhirnya menjerumuskan Negara dan seluruh
rakyat Indonesia itu, dimulai dari campurtangan IMF yang menuai berbagai
macam bencana, dimulai dari penutupan 16 bank swasta nasional
kecil-kecil lewat Surat Keputusan Menteri Keuangan pada 1 November 1997.
Di antara bank-bank mana adalah milik
keluarga Soeharto sendiri. Karena marah kepada Menteri Keuangannya,
serta Gubernur Bank Sentral yang tidak bisa berbuat lain selain menuruti
atasannya itu, Soeharto akhirnya menandatangani sendiri Letter of Intent berikutnya di depan Michael Camdesus, Direktur Eksekutif IMF, di Istana Cendana, rumah kediaman Soeharto, pada 15 Januari 1998.
Surat pernyataan kehendak yang awalnya terdiri dari ratusan butir yang sangat rinci itu menjadi the second blow yang cukup mematikan bagi ekonomi rakyat Indonesia sampai belasan tahun hingga hari ini.
Surat yang direkayasa sedemikian rupa
oleh IMF seakan-akan menjadi keinginan pemerintah Indonesia sendiri itu
berlanjut dengan peninjauan kembali fungsi Bank Indonesia sebagai the lender of the last resort pada masa pemerintahan BJ. Habibie.
Bank Indonesia menjadi Bank Sentral yang
independen dari kekuasaan pemerintah; serta dimunculkannya program
baru, yaitu program penjaminan bagi para nasabah bank-bank oleh
pemerintah Indonesia.
Program itu selanjutnya disusul dengan
pengucuran dana obligasi negara khusus yang disebut Obligasi
Rekapitalisasi, disingkat Obligasi Rekap, atau OR, sebagai hasil kesepakatan dalam Letter of Intent baru yang ditandatangani pada 20 Januari 2000 oleh rezim Gus Dur.
Letter of Intent baru tersebut menjadi the final blow
yang mematikan bagi perekonomian rakyat, bangsa dan Negara Indonesia.
Dana OR itu dimaksud untuk menambah modal perbankan agar mencapai rasio
kecukupan modal, atau capital adequacy ratio, setidaknya 8% pada akhir 2001.
Tahap berikutnya adalah penjualan bank-bank berikut segala asetnya yang semula dimaksudkan untuk menarik kembali dana rekap itu; ternyata aset berupa sampah-sampah itu tidak laku dijual.
Sampai dengan akhir tahun 1998 itu
Habibie bersama-sama IMF melanjutkan program penyehatan perbankan dengan
membentuk skema-skema kesepakatan. Skema kesepakatan itu terutama
bermaksud mengalihkan kewajiban bank menjadi kewajiban pemegang saham
pengendali atau pemilik bank.
Antara lain, melalui Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham perbankan penerima dana BLBI, Master of Settlement and Acquisition Agreement (MSAA); juga Master Refinancing Agreement (MRA) yang kemudian disempurnakan menjadi Master Refinancing and Note Issuance Agreement (MRNIA) terhadap bank-bank penerima dana BLBI yang besar-besar; serta APU, atau Akta Pengakuan Utang.
Adapun MSAA adalah skema yang
diperuntukkan penerima BLBI yang nilai aset-asetnya mencukupi pembayaran
seluruh kewajiban-kewajibannya. Berdasarkan skema ini para obligor
diberi waktu empat tahun untuk menyerahkan aset-asetnya.
Dalam prakteknya, para obligor
memanipulasi nilai asetnya dengan harga yang tinggi, padahal nilai
sesungguhnya tidak cukup untuk membayar kewajibannya. Sedang MRNIA
adalah untuk para obligor yang nilai aset-asetnya tidak mencukupi nilai
kewajibannya, sehingga harus ditambah dengan jaminan aset pribadi;
jangka pelunasan juga untuk waktu empat tahun.
Pada hakekatnya APU adalah revisi dari
MSAA, di mana para obligor harus membuat pernyataan untuk membayar
hutang BLBI yang diterimanya secara tunai dan angsuran dalam waktu yang
disepakati kedua pihak.
Demikian pula Habibie telah memulai menerbitkan klausul Release and Discharge
(R & D) yang akan membebaskan para obligor penerima dana BLBI dari
tuntutan hukum, apabila mereka menyerahkan aset-asetnya sebagai
pembayaran hutangnya.
Pada Februari 1999 Habibie menyepakati
pengalihan tagihan atas dana BLBI dari Bank Indonesia kepada pemerintah,
melalui BPPN, senilai sekitar 145 trilyun Rupiah.
Akan tetapi pada Maret 1999 pemerintah
Habibie terpaksa membekukan lagi 38 bank, sebagian besar di antaranya
justru bank-bank yang sudah memeroleh dana penyelamatan dari BPPN.
Dalam prakteknya, ternyata pengucuran
dana BLBI ratusan trilyun Rupiah itu bukannya memperbaiki kinerja
perbankan dan memulihkan perekonomian nasional, tetapi justru membuat
bank-bank itu tambah bangkrut sehingga harus dibekukan; bahkan sebagian
harus ditutup.
Dana rakyat Indonesia ratusan trilyun
tersebut disimpangkan dan diselewengkan, sehingga sebagian besar, yaitu
sekitar 138 trilyun Rupiah sendiri, masuk ke dalam saku-saku pribadi
para oknum perbankan, pejabat Bank Indonesia dan pemerintah.
Ternyata di luar itu, Bank Indonesia
masih mengucurkan dana tambahan BLBI sebesar 65 trilyun Rupiah. Jumlah
hutang BLBI sebesar 210 trilyun itu dibayar Pemerintah BJ. Habibie
dengan menggunakan SUN, Surat Utang Negara, bersamaan dengan beralihnya
kepemilikan bank-bank itu ke tangan pemerintah; tanpa sadar, bahwa
berbagai aset bank-bank itu pada hakekatnya adalah sampah yang tidak
laku dijual.
Badan Pemeriksa Keuangan Negara, BPK,
sudah sejak tahun 2000 melaporkan kepada DPR tentang adanya penyimpangan
BLBI dan, bahkan disusul dengan mempublikasikannya; akan tetapi sampai
pada jaman Gus Dur, Megawati dan SBY, tidak terlihat adanya keseriusan
untuk menindaklanjuti temuan BPK itu.
Bahkan di era Gus Dur, juga atas tekanan
IMF, masih ada dana lagi yang harus dikucurkan oleh Negara berupa
Obligasi Rekap, atau OR, sebesar 430 trilyun Rupiah; konon dengan maturity-nya sampai tahun 2021. Apabila ditarik, dana OR ini menambah Skandal BLBI menjadi 640 trilyun Rupiah!
National Democratic Institute
Sampai beberapa waktu yang lalu aku
masih sempat bertanya-tanya di dalam hati, kenapa secara tiba-tiba
kawan-kawan dari YLBHI menjauhi aku.
Aku sempat berpikir, apakah karena aku
secara khusus tidak menyampaikan terimakasihku kepada mereka, khususnya
kepada Abang Buyung, Hendardi, Luhut Pangaribuan, Bambang Widjoyanto,
Munir dan Teten Masduki sesudah aku keluar penjara?!
Memang aku sendiri menyesal, mestinya ada pertemuan bersama, semacam syukuran, antara aku dan para lawyers
dan kawan-kawan lain para pembela, para anggota LSM dan pendukungku
lainnya selama aku beperkara melawan Soeharto sejak 1995 sampai aku
keluar penjara pada 1998.
Tetapi sepertinya aku segera menyibukkan
diri dengan urusanku sendiri, menghadapi Pemilu 1999, dan melupakan
perjuangan mereka selama itu dalam membelaku. Itukah yang menjadi sebab?
Atau ada alasan-alasan lain? Alasan politik? Aku mencoba keras
mengingatnya kembali…
Pada Mei 2000, ketika aku mengajukan PK
ke Mahkamah Agung dalam Perkara Jerman; lalu sesudah itu, pada November
2000, ketika membuka kembali sidang dalam Perkara Subversi di PN Jakarta
Selatan, tidak ada pengacara yang menemaniku di pengadilan.
Tapi sebelum itu, sesudah Soeharto
jatuh, dan aku bebas dari Cipinang mereka masih bersamaku. Juga ketika
aku ditangkap aparat Habibie pada November 1998 karena tuduhan makar
bersama Bang Ali, Pak Kemal dan Mas Edi, pada waktu itu Bang Buyung,
Mulia Lubis dan kawan-kawan masih mendampingi kami sebagai Ahli Hukum.
Aku baru merasakan adanya jarak itu pada
1999, ketika aku mulai menyibukkan diri menghadapi Pemilu di bulan
April-Mei-Juni. Apa yang terjadi sepanjang tahun 1999 dan sesudah itu?!
Kejadian apa saja yang muncul yang berakibat kami, aku dengan
kawan-kawan YLBHI khususnya, seakan-akan “pecah”?
Pemilu Juni 1999 dalam dugaanku yang
kuat adalah sebuah proses transisional menuju penguasaan terhadap
Republik ini, yaitu sebagai kelanjutan dari proses penjatuhan Soeharto
oleh khususnya Amerika Serikat dan sekutunya Barat, dan lebih khusus
lagi CIA.
Aku beserta para pemuda dan mahasiswa,
serta sebagian besar rakyat Indonesia, tentu menghendaki sebuah
pergantian menuju sebuah Indonesia Baru yang adil dan makmur, dan yang
masyarakatnya sejahtera, abadi, lahir dan batin, dan yang sejajar dan
terhormat di antara bangsa-bangsa di dunia.
Tentu CIA menginginkan yang lain, yaitu sebuah Indonesia yang tunduk kepada kemauan Barat dengan demokrasi ala
Barat, yaitu demokrasi yang kapitalistis dam neo-liberalis. Jadi, kalau
pikiranku tentang Indonesia Baru yang merdeka dan tidak tunduk kepada
asing, lalu ditentang oleh mereka, adalah wajar saja.
Tetapi siapa di Indonesia yang ikut
mendukung pihak asing itu, dan lalu menjauhiku atau memusuhiku?! Apakah
itu pula alasan banyak orang, terutama kawan-kawan seperjuangan dari
LSM-LSM Indonesia dan para mantan pengacaraku, untuk menjauh dari aku?!
Misi dan konspirasi apa yang sebenarnya
sedang dilakukan mereka di Indonesia ini? Apakah mereka melakukannya
berdasarkan pemahaman sendiri, atau dalam kerangka konspirasi di bawah
kendali Barat; bahwa Indonesia, untuk bisa menjadi negara maju, haruslah
menjadi negara yang kapitalis dan liberalis lebih dulu?!
Ucapan Bang Buyung yang menolak partai-partai gurem,
yaitu partai-partai kecil baru yang kalah dalam Pemilu 1999, sulit bisa
dimengerti. Mestinya dia ikut menyayangkan partai-partai kecil baru
pendobrak statusquo Orde Baru Soeharto tersebut kalah bersaing
dengan partai-partai besar Orde Baru di zaman Soeharto, seperti Golkar,
PPP, dan PDI atau PDIP serta juga pecahan-pecahan mereka.
Memang ada partai-partai baru yang
menang, seperti PKB, PBB, PAN dan PKS; tetapi mereka itu pada masa lalu
adalah hasil koalisi partai-partai Orba juga, yang kemudian pecah pasca
mundurnya Soeharto. Dan sudah pasti mereka bukanlah partai-partai yang
membawa pikiran-pikiran perubahan.
Sedang partai-partai gurem
sebagaimana dimaksud Bang Buyung, seperti PUDI, Partai Masyumi Baru
pimpinan Ridwan Saidi, Partai Nasional Demokrat pimpinan Edwin Sukowati,
Partai Buruh Nasional pimpinan Benny Akbar Fattah, Partai Nasional
Indonesia pimpinan Ibu Soepeni dan Partai Rakyat Demokratik pimpinan
Budiman Sudjatmiko adalah partai-partai baru yang di jaman Soeharto
membawa pikiran-pikiran pembaharuan.
Kami pula yang menyatakan, bahwa Pemilu
1999 tidak absah, karena perhitungan suaranya yang secara manual
diwarnai oleh banyak kecurangan partai-partai besar para pendukung
Soeharto.
Partai-partai besar itu sudah terbiasa
dengan berbagai macam kecurangan Pemilu yang dilakukan Soeharto;
kecurangan-kecurangan dari hasil bantuan ABRI. Partai-partai besar
pemenang Pemilu yang tidak akan mampu membawa pikiran-pikiran pembaruan
itulah yang kembali mewarnai DPR/MPR dan membawa lagi suara Orde Baru,
sebagaimana pula Habibie membawa lasykar Orde Baru-nya.
Itukah partai-partai yang diyakini Bang
Buyung dan kawan-kawannya akan membawa kepada Indonesia Baru?! Berbagai
keanehan itu sedikit-demi sedikit mulai terkuak dan terjawab…
Bagi pihak Barat sendiri mungkin
kemenangan partai-partai pro-Orde Baru atau pro-Reformasi tidak menjadi
soal. Bagi mereka Soeharto sudah jatuh; dan yang penting, siapa pun yang
memimpin Indonesia kemudian “harus tunduk dan mau bekerjasama”.
Mereka pun melakukan seleksi yang ketat;
mereka hanya mau menjalin hubungan dengan kelompok anti-Soeharto yang
mau bekerjasama dengan Barat.
Mereka sudah menyiapkan semuanya; bahkan
di luar kedutaan-kedutaan besar mereka pun sudah ada banyak perusahaan
hasil investasi mereka, yang ikut serta menyebarkan agen-agen mereka
untuk menjaring siapa saja warganegara Indonesia yang pro-Barat.
Di Indonesia ada sejumlah LSM yang bisa
diajak bekerjasama; dari Amerika, Eropa dan Asia pun didatangkan
sejumlah LSM “untuk membantu” Indonesia.
Demikian pullah Menteri Luar Negeri AS Medeleine Albright mengirim the National Democratic Institute, NDI, dan the International Republican Institute,
IRI, untuk memberikan bantuan gratis kepada partai-partai, para
pimpinan dan simpatisannya, pemuda dan mahasiswa, serta para wartawan
Indonesia; kesemuanya demi “membantu” rakyat Indonesia menghadapi Pemilu
1999, yang tidak pernah terjadi pada masa Soeharto berkuasa.
Direktur NDI Indonesia, David Timberman,
aktif menjaring para wartawan, orang-orang partai dan aktivis-aktivis
LSM dengan berbagai kursus gratis untuk “meningkatkan pengetahuan
teknis” mereka dan dalam rangka “mengembangkan” partai dan demokrasi
menghadapi Pemilu pertama pasca Soeharto.
Mereka mengadakan berbagai lokakarya,
antara lain, di Sanur, Bali, dengan menghadirkan pembicara-pembicara
dari negara-negara tetangga.
Mereka membantu pula Kementerian Dalam Negeri dan KPU dari Wakil Pemerintah dengan menerjunkan the International Foundation for Electoral System, IFES; mereka menyiapkan format-format untuk penghitungan suara.
Tambahan bantuan asing juga digelontorkan
untuk LSM-LSM baru seperti Komisi Independen Pemantau Pemilu, KIPP,
pimpinan Mulyana Wira Kusuma dan pemantau-pemantau Pemilu lainnya,
seperti Unfrel, University Network for Free and Fair Election yang
dipimpin Mulia Lubis, yang para anggota relawannya semua adalah
mahasiswa! Dugaanku, para LSM itu sempat berpesta-pora dengan dana-dana
bantuan asing itu.
Aku percaya, pihak Amerika Serikat dan
sekutunya pun “membantu” Habibie agar mengabaikan Keputusan KPU yang
menyatakan Pemilu tidak absah. Bagi mereka, bukankah Habibie hanya
sekedar Presiden Transisi?!
Bahkan Bill Clinton sempat mengirim
Jimmy Carter, mantan Presiden Amerika Serikat, datang ke Jakarta sekedar
untuk menyatakan Pemilu 1999 telah berjalan dengan baik dan demokratis.
Luar biasa! Pemilu 1999 hanyalah sasaran antara Amerika Serikat…
Sasaran berikutnya masih menunggu!
Dalam dugaanku, Habibie dan rezimnya
tidak tahu apa-apa yang sedang “dikerjakan” pihak Barat terhadap
Indonesia dan dirinya. Dia merasa yakin bisa memenangkan Pemilu dan juga
lembaga kepresidenan.
Oleh Baramuli, tokoh Golkar dan Ketua
Dewan Pertimbangan Agung, serta dengan bantuan orang-orang di
kabinetnya, Habibie dilibatkan dalam kasus Bank Bali, kasus dengan nilai
uang yang tidak terlalu besar, hanya sebesar 546 miliar Rupiah.
Dana sebesar itu adalah dana cadangan
Bank Bali, milik Rudy Ramli, di Bank Indonesia yang tidak pernah bisa
dicairkan dalam waktu cukup lama. Seorang broker, Djoko S.
Tjandra, kemudian “mampu” mencairkan dana tersebut dengan imbalan.
Ternyata dana tersebut tidak sampai ke tangan Bank Bali melainkan hilang
entah ke mana.
Diduga dana Bank Bali tersebut digunakan
oleh orang-orang dalam pemerintahan BJ. Habibie untuk pemenangan Pemilu
1999. Price Waterhouse-Cooper membuktikan ada aliran dana sebesar 15
milyar masuk dari Bank Bali ke Bendaharawan Golkar.
Habibie juga membagi-bagikan sejumlah
dana ke sejumlah partai berideologi Islam dalam Pemilu itu; tentulah
dengan harapan agar partai-partai itu memenangi Pemilu dan menjadi
pendukungnya di dalam Sidang Istimewa MPR 1999.
Presiden Habibie juga mengambil 50
milyar Rupiah dari Bulog, Badan Urusan Logistik, meskipun Rahardi
Ramelan, Ketua Bulog itu, terpaksa harus dikorbankan dengan masuk
penjara.
Dari jumlah itu 40 milyar Rupiah
diserahkan kepada Akbar Tanjung bagi kemenangan Golkar; sedang sisanya
diserahkan kepada Jenderal Wiranto untuk merekrut anggota Pasukan
Pengaman Swakarsa, atau Pam Swakarsa, guna mengamankan SI-MPR bulan
Oktober.
Akbar Tanjung sempat diadili di Mahkamah
Agung dalam kaitan dengan dana Pemilu itu, tetapi diloloskan dari
hukuman; katanya sisa uang itu masih ada dan lalu dikembalikan lengkap
kepada Negara.
Memang akhirnya partai-partai itu menang
dalam Pemilu dan mendapat suara di DPR/MPR; tetapi harapan Habibie
menjadi calon Presiden di Sidang Istimewa MPR ternyata gagal.
Sidang Istimewa MPR hasil Pemilu 1999
yang mengawali Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden RI berlangsung pada
Oktober. Sebelumnya, Sidang Istimewa MPR berhasil memilih Akbar Tanjung
dari Golkar menjadi Ketua DPR; dan Amien Rais dari Partai Amanat
Nasional, PN, menjadi Ketua MPR.
Sudah sejak awal tuntutan reformasi,
masyarakat umum menghendaki kedua kedudukan ketua lembaga perwakilan
rakyat itu dipisah, tidak dirangkap sebagaimana terjadi pada masa
kekuasaan Soeharto.
Sudah menjadi kebiasaan di zaman
Soeharto, Sidang Istimewa MPR itu menuntut BJ. Habibie, selaku Presiden,
berpidato menyampaikan pertangggungjawabannya. Di situ BJ. Habibie
gagal, dan pidatonya ditolak MPR, seperti pernah terjadi di masa
Soekarno pada 1967.
BJ. Habibie marah besar kepada para
anggota Tim Suksesnya, antara lain, Adnan Buyung Nasution dan Hariman
Siregar. Juga kemarahan dilontarkan kepada Akbar Tanjung berikut
orang-orang Golkar yang ada di DPR/MPR; tokoh-tokoh partai yang berhasil
dibantunya; serta orang-orang ICMI di dalam kabinetnya.
Sekalipun begitu, pada akhirnya Habibie
terpaksa memutuskan untuk mundur teratur dari pencalonannya sebagai
Presiden RI berikutnya. Kegagalan Habibie tidak terlepas dari
kegagalannya mempertahankan Timor-Timur sebagai bagian dari Indonesia,
dan menyeret Soeharto ke pengadilan; dua fakta utama yang tidak mungkin
diselamatkan oleh Tim Sukses Habibie.
Meskipun begitu, aku melihat adanya
kontroversi di dalam keputusan Sidang MPR yang menolak pidato Habibie
itu: Kalau pertanggungjawabannya itu ditolak, mestinya segala kebijakan
Habibie, termasuk Pemilu 1999 yang dibuatnya pun menjadi tidak absah.
Demikian pula, seandainya Habibie tidak
mundur dari pencalonan, belum tentu dia akan kalah dalam pemilihan
Presiden. Seharusnya, sesuai dengan Pasal 8 UUD-1945, dia berhak
melanjutkan masa kerja Soeharto sampai 2003, sehingga tidak perlu
mundur.
Meskipun begitu, lewat surat, aku
mengucapkan selamat kepada BJ. Habibie atas kerelaannya mundur dari
pencalonan; sambil mengirim copy rancangan penyempurnaan UUD-1945 yang pernah kami, aku dan kawan-kawan PUDI, rancang pada awal 1997.
Abdurrahman Wahid dari PKB, Partai
Kebangkitan Bangsa, memenangi pemilihan Presiden di forum Sidang
Istimewa MPR itu; sebuah proses pemilihan yang sangat kontroversial
pula, karena kemenangan KH. Abdurrahman Wahid itu adalah sebuah
kemenangan yang dipaksakan.
Orang beranggapan bahwa Megawati, yang
tidak mewakili kelompok Islam, serta karena dia seorang wanita, dianggap
tidak layak untuk menjadi pemimpin Negara. Sekalipun PDIP adalah
pemenang tertinggi dalam Pemilu Parlemen 1999 itu, tetapi partai-partai
lain seakan-akan sepakat untuk memboikot Megawati.
Megawati memang sengaja dikalahkan; atau
lebih tepatnya, MPR lebih memilih Gus Dur agar Megawati tidak menang.
Hal itu belum seberapa dibanding dengan proses pemilihan yang diadakan
berikutnya sesudah Gus Dur terpilih, yaitu untuk memilih wakil presiden;
di dalam kesempatan ini Megawati ternyata “boleh maju lagi” sebagai
kandidat Wakil Presiden.
Dalam pemilihan putaran ini Megawati
menang; maka jadilah dia Wakil Presiden mendampingi Gus Dur. Maka
lengkap sudah dimulainya Rezim Oligarki, di mana Negara dipimpin oleh
para ketua partai; sebagaimana orang sudah mencurigai itu sebagai
rencana di balik Pertemuan Ciganjur.
Tentu saja terpilihnya Gus Dur dan
Megawati adalah hasil dari sebuah pemilihan yang aneh dan tidak pada
tempatnya, karena, semestinya, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
dilakukan berpasang-pasangan dalam satu paket, bukan orang-per-orang.
Di zaman Soeharto berkuasa, sekalipun
awalnya Soeharto terpilih menjadi presiden, akan tetapi dia kemudian
memilih wakilnya sendiri. Dengan cara begitu, tidak akan terjadi
“pertentangan” ideologi antara presiden dan wakilnya.
Demikian pula ketika Soekarno dan Hatta
terpilih pada 18 Agustus 1945, mereka adalah pasangan yang disebut
Dwi-Tunggal yang terpilih secara aklamasi, karena tidak ada pasangan
lain yang diajukan. Ketika Bung Hatta mundur pada Desember 1956,
Soekarno pun tidak mengangkat pengganti Hatta, karena hanya Bung Hatta
sajalah pasangannya.
Sedang di dalam Sidang MPR 1999 itu, Gus
Dur dan Megawati bukan sebuah pasangan; mereka berbeda pula ideologi
kepartaiannya. Keadaan pemilihan presiden dan wakil presiden yang
seperti ini, bahkan, dikukuhkan menjadi pasal dalam Konstitusi, yaitu
Pasal 6A UUD-45 hasil Amandemen-III, yang menyatakan bahwa
pasangan-pasangan presiden dan wakil presiden boleh berasal dari
partai-partai politik atau gabungan partai politik.
Tentu saja bibit-bibit keretakan sangat
mungkin bisa terjadi di dalam Lembaga Kepresidenan seperti itu. Model
“koalisi kepresidenan” seperti ini umumnya tidak dikenal di dalam sistem
pemerintahan kepresidenan; sekalipun di Filipina dikenal partnership antara presiden terpilih dengan wakil presiden dari partai lain.
Bahkan, dalam sistim keparlemenan pun,
koalisi di tingkat kepala pemerintah jarang terjadi; melainkan umumnya
di tingkat menteri.
Bagi Negara-negara Barat yang telah
memberi mandat dan menyerahkan segala sesuatunya kepada Amerika Serikat,
BJ. Habibie memang harus mundur. Sedang Gus Dur dan Mega dibiarkan
mengisi kekosongan kepresidenan sementara mereka “menggarap” calon
pengganti yang benar-benar bisa menjadi boneka mereka.
Tidak bisa diabaikan peranan agen-agen
mereka di dalam negeri; kelompok CSIS dan Lippo serta Nasrani pada
umumnya menganggap Gus Dur dengan PKB-nya serta Mega dengan PDIP-nya
adalah tempat berlindung yang nyaman.
Mereka berharap pasangan “pluralis” ini
dapat mewakili mereka. Kekalahan BJ. Habibie di dalam Sidang MPR tidak
terlepas dari kasak-kusuk mereka pula. Mereka tidak antipati terhadap
Golkar, karena mereka pernah bersama dan, bahkan, dibesarkan Soeharto,
melainkan terhadap Habibie; menurut mereka, munculnya ICMI karena
Habibie sangat benci kepada kelompok Nasrani.
Terhadap Gus Dur dan Megawati yang
“lemah” dan mudah “dikerjai” ini, mereka pun punya segudang harapan dan
sekaligus rekayasa yang menanti.
Koalisi Ornop
Partai-partai reformis di KPU gagal
menyelamatkan RI dari partai-partai Orde Baru di dalam MPR, yang tidak
mungkin melaksanakan cita-cita reformasi. Demikian pula halnya kaum
reformis telah gagal mencegah campurtangan Amerika Serikat melakukan
reformasi di Indonesia pasca Soeharto.
Amerika Serikat yang bekerjasama dengan
“agen-agen pro-demokrasi” di Indonesia, serta dengan “bantuan
keuangannya” yang kuat demi “mendemokrasikan” Indonesia telah bekerja
keras untuk mengubah cita-cita Republik Proklamasi-1945 Soekarno-Hatta.
Dalam tahap menjatuhkan Soeharto dan
menggantikannya dengan Habibie mereka telah berhasil; dalam mensukseskan
Pemilu 1999 mereka juga telah berhasil; tahap menggusur Habibie pun
berhasil dengan baik.
Tahap berikutnya, yaitu melakukan
amandemen terhadap UUD-1945, melalui Gus Dur dan Megawati, khususnya
dalam upaya mewujudkan sistem keparlemenan dan mengubah Pasal-33, segera
pula menjadi agenda mereka.
Rupanya tugas orang-orang LSM Indonesia
tidak sekedar membantu penjatuhan Soeharto dan melancarkan pelaksanaan
Pemilu, tetapi terus berlanjut sampai melakukan amandemen terhadap
UUD-1945.
Demikian pula, sampai dengan jatuhnya
Soeharto belum selesai pula tugas Medeleine Albright. Konon tidak kurang
dari 45 juta USD sendiri dikucurkan oleh pemerintahan Bill Clinton
khusus untuk keperluan melakukan amandemen. Sekalipun tidak sadar,
sebagai orang yang paling senior, Bang Buyung dengan YLBHI-nya dengan
sangat mudah bisa mengerahkan LSM-LSM lain dan para tokohnya.
Mereka bergabung dalam Koalisi Ornop
untuk Konstitusi Baru; yaitu dari kelompok Organisasi Non-Pemerintah.
Yang duduk di situ adalah tokoh-tokoh LSM yang tidak asing lagi, seperti
Mulia Lubis, Nursyahbani Kacasungkana, Zumrotin, Emmy Hafilds,
Hendardi, Bambang Widjojanto, Teten Masduki, dan masih banyak lagi tokoh
yang lain.
Ketika sidang-sidang MPR untuk menyusun
amandemen, dimulai pada Oktober 1999, Koalisi LSM ini membangun Pos di
MPR dengan membagi-bagikan selebaran yang berisi pikiran-pikiran yang
bersifat mendukung penyusunan amandemen, serta menyebarluaskan
pesan-pesan kepada masyarakat dan anggota-anggota DPR/MPR khususnya
tentang perlunya amademen itu. Teten Masduki hampir setiap hari terlihat
nongkrong di Pos itu.
Di belakang mereka adalah para tokoh
National Democratic Institute, NDI, yang tidak ada hentinya memberikan
masukan-masukan kepada Koalisi dan Badan Pekerja MPR pimpinan Jacob
Tobing, demi terwujudnya hasil amandemen UUD-1945 sebagaimana “mereka
inginkan”.
Beberapa tokoh NDI yang “ahli dalam
konstitusi”, antara lain, Andrew Ellis, mendapat kamar khusus di gedung
MPR. Mereka memantau serta mengendalikan hasil-hasil yang dicapai dalam
sidang-sidang amandemen tersebut yang diselenggarakan berturut-turut
selama empat tahun itu sampai dengan 2002; dengan dalih “membantu”
sebagai ahli dari hari-ke-hari penyelesaian proses amandemen tersebut.
Jacob Tobing adalah tokoh Golkar yang
lari ke PDIP, dan mantan Ketua PPI, Panitia Pemilihan Indonesia, 1999,
di bawah KPU. Panitia ini bertugas melakukan penghitungan suara dalam
Pemilu 1999.
Kemenangan PDIP dan Partai-partai Orde
Baru serta kekalahan Partai-partai “Gurem” Reformasi adalah akibat
penghitungan secara manual PPI. Jacob “dipilih” sebagai Ketua Badan
Pekerja MPR, karena kemenangan PDIP dalam Pemilu 1999 tersebut; tentulah
dia termasuk salahsatu dari agen NDI dan orang yang dipilih CSIS dan
Lippo.
Juga didirikan Cetro, Center for Electoral Reform,
Pusat Reformasi Pemilu, yang dipimpin oleh Mulia Lubis dan
kawan-kawannya. Sampai hari ini Cetro pun masih berdiri dan bekerja guna
secara rutin memantau, mempertahankan dan sekaligus memelihara sistem
kepartaian, sistem Pemilu serta UUD-1945 hasil amandemen agar terus bisa
dikendalikan oleh Amerika Serikat.
Sekalipun kawan-kawan LSM yang juga
mantan aktivis ini tahu dan sadar betul, bahwa neo-liberalisme yang
sengaja diciptakan lewat Amandemen UUD-1945 tersebut terbukti gagal
membawa rakyat Indonesia kepada kesejahteraan dan cita-cita 1945, tetapi
mereka tidak bergeming.
Bahkan beberapa tokoh Cetro kemudian
ikut duduk di dalam KPU; antara lain, Haidar Gumai, salahsatu Ketua
Cetro sejak 2004, kemudian terpilih menjadi anggota KPU untuk Pemilu
2014!
Menanggapi tuntutan masyarakat untuk
kembali ke UUD-1945 yang Asli untuk melakukan koreksi dan penyempurnaan
ulang tanpa campurtangan asing, Bang Buyung selalu menjawab dengan
mengatakan: “Itu sebuah kemunduran!”
Tetapi dia dan yang lain-lain pun tidak
tahu bagaimana membelokkannya dari penyimpangan terhadap cita-cita
kemerdekaan tersebut. Tidak mungkin, tokoh hukum Tata Negara sekaliber
Adnan Buyung Nasution, tidak bisa membedakan antara Cita-cita 1945
dengan penyimpangan yang terjadi sebagai akibat dari diterapkannya
Amandemen terhadap UUD-1945.
Aku masih ingat pada suatu waktu di
suatu tempat di Jakarta ketika ada “pertemuan” Koalisi, dan aku
bermaksud untuk hadir dalam pertemuan tersebut. Ternyata aku ditolak
masuk, dengan alasan bahwa itu rapat tertutup; dan bahwa aku adalah
“bukan orang LSM”.
Aku mencoba menerangkan dan meminta
tolong Mas Bambang Widjojanto, tetapi dia pun tidak bisa membantu; ada
rahasia apa yang aku tidak boleh tahu?! Padahal aku bersama-sama kawan
dari PUDI adalah kelompok pertama yang menggagas tentang perlunya
perubahan UUD-1945.
Tidak cuma sekedar menggagas, tetapi
kami menyusun perubahan itu, bahkan ketika Soeharto masih berkuasa;
yaitu perubahan yang kami sebut “Penyempurnaan UUD-1945”. Bang Buyung
dan YLBHI tahu pula tentang hal itu. Itu pula sebabnya aku dituduh
melakukan tindakan subversi oleh rezim Soeharto; dan Mas Bambang pula
yang menjadi koordinator pembelaku di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Dugaanku, kawan-kawan Koalisi ini
bekerjasama dengan orang-orang NDI merancang Amandemen UUD-1945; mereka
tidak ingin aku tahu apa yang sedang mereka kerjakan bersama orang-orang
asing itu dan para pimpinan MPR.
Sesudah amandemen oleh MPR selesai pada
tahun 2002, aku baru sadar bahwa pikiran-pikiran perubahan yang kami
buat pada 1997 itu memunyai benang merah perubahan yang sama dengan yang
dibuat oleh MPR 1999 bersama NDI dan Koalisi LSM, tetapi isi
pasal-pasalnya jauh berbeda.
Berbeda,
karena Amandemen terhadap UUD-45 yang “dibuat oleh MPR 1999” itu adalah
untuk kepentingan asing dan kelompok tertentu di dalam negeri; sedang
yang kami buat adalah demi kepentingan Indonesia dan demi menyiapkan
sebuah Indonesia Baru pasca Soeharto.
Sekarang, aku semakin sadar bahwa telah
terjadi konspirasi asing terhadap Indonesia dengan memanfaatkan LSM-LSM
Indonesia. Beberapa tahun kemudian, ketika revolusi Mesir berhasil
menumbangkan Hosni Mubarak, aku baru sadar.
Di Kairo, Mesir, sedang berlangsung
proses pengadilan terhadap 27 tokoh LSM domestik serta 16 warganegara
Amerika Serikat anggota NDI. Mereka dituduh menerima uang dari pihak
asing dan melakukan intervensi terhadap revolusi Mesir; justru pada saat
yang sama Dewan Militer Transisi Mesir bersama-sama dengan parlemen
hasil Pemilu anggota Parlemen 2011 sedang melakukan proses amandemen
terhadap Konstitusi Mesir.
Akhirnya mereka terkena hukuman
rata-rata 5 tahun. Amerika Serikat mengutuk pengadilan itu, sekalipun 15
warganegaranya sudah dibiarkan meninggalkan Mesir, kecuali Robert Becker, yang merasa perlu menunjukkan kesetiakawanannya kepada sebelas warga Mesir yang terhukum.
Bukan
rahasia lagi, banyak orang Indonesia bicara tentang dana Amandemen yang
jumlahnya puluhan juta Dollar yang diterimakan kepada Amien Rais, Ketua
MPR pada waktu Amandemen terhadap UUD-1945 berlangsung. Tentunya kabar
itu bukan sekedar isapan jempol.
Jenderal Kiki Syakhnakri pernah
menyebutkan besarnya bantuan dari Amerika Serikat itu, tetapi berapa
persisnya jumah tersebut serta ke mana saja larinya, sulit untuk
dikonfirmasi.
Seperti halnya dana yang diterimakan
kepada para LSM Indonesia antara 1995 sampai 1998 untuk penjatuhan
Soeharto, dana Amandemen ini juga sangat mungkin disalurkan melalui
USAID dan Kedutaan Besar Amerika Serikat.
Situasi di Mesir itu sangat kontradiktif
dengan pernyataan Hillary Clinton, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat
di bawah Presiden Barack Obama, juga dari Partai Demokrat, dan yang juga
menjadi Ketua NDI, yang memperingatkan agar rakyat Mesir yang sedang
berevolusi perlu berhati-hati terhadap kemungkinan intervensi pihak
luar.
Ternyata intervensi itu datangnya dari
Amerika Serikat sendiri. Intervensi dalam revolusi penjatuhan Soeharto
di Indonesia adalah percobaan yang berhasil untuk dicoba lagi di
negara-negara lain, seperti di Mesir, Yaman, Libia dan sekarang
Syria–dan sebelum itu di Afghanistan dan Iraq–dengan pola-pola yang
sangat mirip, demi kepentingan dan keamanan Amerika Serikat dan
sekutunya.
Intervensi pihak Barat di negara-negara
yang mayoritas penduduknya beragama Islam ini tentu akan terus
berlangsung sampai terpilihnya rezim baru yang pro-Barat.
Sidang Istimewa MPR pada Oktober 1999
itu, selain memilih Presiden dan Wakil Presiden, juga mengagendakan
sidang-sidang lanjutan untuk melakukan amandemen atau perubahan terhadap
UUD-1945. Pada 19 Oktober lahirlah Amandemen-I.
Tetapi, menindaklanjuti pikiran
menghukum Soeharto pada 1998, baik dalam Amandemen-I ini maupun
amandemen-amandemen berikutnya yang berturut-turut lahir di
sidang-sidang MPR tahun-tahun berikutnya hingga Amandemen-IV pada 2002,
tidak satu pun ada pasal
tambahan mengenai ancaman hukuman
terhadap presiden atau mantan presiden, dan pejabat-pejabat tinggi dan
mantan-mantan pejabat tinggi negara, sebagaimana pernah ada di dalam
UUD-1949 dan UUD-1950.
Aku sungguh terkesan dengan pasal tersebut, yang mengatakan:
“Presiden, Wakil Presiden;
Menteri-menteri; Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat;
Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Mahkamah Agung; Jaksa Agung; Ketua,
Wakil Ketua dan anggota Dewan Pengawas Keuangan; Presiden Bank Sirkulasi
dan pegawai-pegawainya; anggota-anggota Majelis Tinggi; serta
pejabat-pejabat lain yang ditunjuk dengan undang-undang; diadili dalam
tingkat pertama dan tertinggi juga oleh Mahkamah Agung, pun sesudah
mereka berhenti, berhubung dengan kejahatan dan pelanggaran pelanggaran
jabatan dan pelanggaran lain yang ditentukan dengan undang-undang dan
yang dilakukan dalam masa pekerjaannya, kecuali ditetapkan lain dengan
undang-undang.”
Aku menyebutnya sebagai Pasal Sapu Jagat.
Betapa tidak?! Dengan pasal tersebut tidak saja pejabat tinggi yang
berbuat salah atau membuat kebijakan salah yang berakibat pada kerugian
Negara atau kesengsaraan rakyat, bahkan mantan pejabat tinggi sekalipun,
bisa diringkus dengan pasal tersebut.
Tidak lagi ada perdebatan soal retroaktif dan non-retroaktif,
pasal tersebut sudah amat jelas menyatakan tentang “berbagai kejahatan
yang dilakukan dalam masa jabatannya”; sekalipun kejahatannya baru
terbongkar kemudian sesudah pensiun.
Dan pasal tersebut sudah ada sejak 1949!
Dan diulang lagi pada 1950! Tentulah para pendekar pendiri Negara ini
pada waktu itu sangat maklum mengenai kemungkinan penyelewengan yang
terjadi di antara para pejabat tinggi Negara; sehingga jauh-jauh hari
pun sudah membangun pagar-pagar hukum untuk mencegahnya.
Seandainya saja pasal itu terkandung
pada UUD-1945, maka berbagai macam kerusakan yang dibuat oleh Orde Baru
dan rezim sesudahnya, seperti korupsi, kolusi dan nepotisme serta
penghamburan berbagai sumberdaya ekonomi lainnya, pasti tidak akan
pernah terjadi.
Tanpa adanya ketentuan seperti di atas,
maka para pejabat tinggi negara itu dengan seenaknya saja menganggap
dirinya tidak akan tersentuh hukum, bahkan tidak juga punya beban dan
tanggungjawab apa pun sesudah pensiun dari jabatannya; padahal mereka
melakukan, sengaja ataupun tidak sengaja, kejahatan yang membikin rakyat
dan Negara sengsara.
Dengan pasal tersebut orang-orang
seperti Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati dan Yudhoyono, atau siapa
saja pejabat tinggi di Republik ini, termasuk orang nomor satu di
Mahkamah Agung sendiri sekalipun, bisa diseret ke Mahkamah Agung untuk
dimintai pertanggungjawabannya; termasuk mereka, sekalipun in absentia!
Sebagai pasal turunannya, tentu bisa
dibuat pula peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk para pejabat
daerah di wilayah-wilayah provinsi dan yang lebih kecil.
Pengadilan untuk mereka tentu pula untuk
tingkat pertama dan tertinggi daerah, yaitu Pengadilan Tinggi atau,
sebut saja, Mahkamah Tinggi. Apabila seluruh provinsi dinyatakan sebagai
wilayah otonom dalam NKRI, maka Mahkamah Tinggi adalah sebutan untuk
pengadilan tertinggi di tingkat daerah.
Keparlemenan
Hanya saja amat disayangkan, bahwa
Amandemen terhadap UUD-1945 tidak menyebut-nyebut tentang otonomi
tingkat provinsi itu, melainkan di tingkat kabupaten.
Konon, di jaman Habibie sudah beredar
persepsi bahwa otonomi yang diberikan kepada sesuatu daerah bisa berubah
menjadi keinginan daerah tersebut untuk melepaskan diri dari NKRI,
seperti terjadi di Irian Jaya dan Provinsi Aceh; karena sebab itu
pulalah, maka otonomi diberikan kepada daerah yang kecil luas
geografisnya, seperti kabupaten dan kota, agar tidak ada kekhawatiran
bagi pemerintah pusat “tidak mampu” menangani tuntutan daerah
“melepaskan diri”.
Tentu saja pikiran orang-orang Habibie
seperti ini salah besar, karena keinginan untuk “melepaskan diri” itu
justru dipicu oleh kebijakan rezim Soeharto yang represif, yang tidak
adil, yang memeras kekayaan daerah dan memiskinkan orang-orang daerah;
apalagi di sana daerah tidak pula tersentuh oleh pembangunan.
Padahal kebijakan otonomi justru
memberikan “kemerdekaan” yang lebih luas bagi daerah untuk menata
daerahnya sendiri sesuai dengan sosial-budaya dan kandungan lokalnya;
serta mengurangi campur tangan pemerintah pusat yang tidak sesuai dengan
budaya setempat.
Pikiran tentang otonomi luas dan penuh
pada provinsi itu bisa dibaca di dalam tulisan-tulisan Bung Hata. Dalam
Pasal 18 UUD-1945 Asli, pikiran otonomi itu bisa dikembangkan sesuai
dengan maksud Bung Hatta, di mana tidak saja otonomi itu hanya dalam hal
politik, tetapi juga sosial-ekonominya.
Dengan pikiran seperti itu, tiap-tiap
provinsi akan bertumbuh dan berkembang sesuai dengan kekayaan alam
daerahnya; tinggal bagaimana mengelolanya oleh sumberdaya manusianya
yang berkwalitas.
Dengan pikiran itu pula, maka
perekonomian Indonesia akan ditopang oleh sekian puluh tonggak-tonggak
perekonomian provinsi di Indonesia; tidak hanya oleh Jakarta atau Jawa
saja. Sehingga tidak pula berisiko oleh berbagai rintangan dan gejolak
perekonomian yang mungkin terjadi, seperti krisis moneter 1997/1998.
Ini yang dalam ilmu teknik disebut dengan multi-degree of freedom; seperti meja berkaki seribu, hanya jatuh setelah 997 kakinya terpotong.
Tiap provinsi merdeka mengembangkan provinsinya sendiri sesuai dengan karakter dan kandungan lokalnya.
Bahkan tiap provinsi berhak memberi nama
provinsinya, seperti Nangroe Aceh Darussalam, sebagai sebutan Provinsi
Aceh; atau Daerah Istimewa Yogyakarta Hadiningrat; atau Nagari
Minangkabau untuk Provinsi Sumatera Barat, sebagai misal.
Mereka bisa pula mengibarkan benderanya
sendiri sebagai simbol provinsi; semisal lambang Rencong Aceh untuk
provinsi Aceh, atau Bintang Kejora untuk Irian Barat. Tetapi Republik
Indonesia tetap adalah sebuah Negara Kesatuan; bukan Negara Serikat.
Karena itu di dalam UUD-1945 perlu
ditambahkan satu pasal lagi, yaitu bahwa para Gubernur sebagai Kepala
Daerah atau Kepala Pemerintahan di tingkat Provinsi adalah juga para
pembantu Presiden RI di bawah koordinasi Menteri Dalam Negeri.
Tentang hal ini aku sudah pernah menulisnya dalam buku terbitan tahun 2001 (Pamungkas; 2001).
Amandemen terhadap UUD-1945 yang awalnya
bermaksud mau mengurangi kekuasaan presiden itu justru menghilangkan
karakter sistem pemerintahan kepresidenan dan superbody MPR-nya.
Padahal, dalam sistem kepresidenan
sebenarnya tidak ada kesalahan berarti memberikan hak prerogatif kepada
seorang presiden sebagaimana tertulis di dalam UUD-45 Asli, yaitu pada
Pasal-13, Pasal-14 dan Pasal-15.
Padahal, kesalahan yang terutama dari
penafsiran UUD-1945 adalah memberikan kekuasaan kepada presiden,
seolah-olah presiden menjadi satu-satunya pemegang kekuasaan untuk
membentuk undang-undang, dan DPR hanya memberikan persetujuan, seperti
ada pada Pasal-5 ayat-1.
Di dalam Amandemen-I 1999 tersebut
Pasal-5 ayat-1 “diperbaiki”, dengan menghilangkan segala hak prerogatif
presiden itu dan memindahkannya menjadi hak-hak DPR. Begitu besarnya
hak-hak DPR tersebut, sebagaimana terlihat pada perubahan
Pasal-pasal-13, Pasal-14 dan Pasal-15 itu, sehingga sistem pemerintahan
pun “berubah” dari sistem kepresidenan menjadi sistem keparlemenan.
Sebagai akibat dari “perubahan” itu,
terbuka kesempatan untuk melakukan praktek-praktek “koalisi-koalisi
politik”, di dalam parlemen maupun di dalam pemerintah, sehingga ruang
gerak presiden menjadi sempit.
Selain itu praktek-praktek koalisi
tersebut tidak umum karena merupakan koalisi semu yang justru bisa
berakibat perpecahan, khususnya, di dalam kabinet. Dibanding dengan
rezim Soeharto, kabinet Soeharto hampir tidak pernah mengalami
perpecahan; lebih solid.
Aku sendiri bersama para anggota PUDI dan pemuda-pemuda pergerakan lainnya sempat membentuk MPRS-Plus, yaitu pada awal sidang-sidang MPR yang diagendakan untuk melakukan amandemen terhadap UUD-1945 itu.
Selain prosesnya yang tidak jelas itu,
kami menilai MPR hasil Pemilu 1999 yang mayoritas dikuasai oleh
partai-partai politik di zaman Soeharto tidak layak menjadi motor bagi
perubahan.
Terlebih-lebih setelah melihat hasil
Amandemen-I 1999 yang cenderung mengubah sistem pemerintahan
kepresidenan menjadi sistem keparlemenan, kami pun beranggapan amandemen
oleh MPR-1999 telah menyimpang dari tujuan gerakan Reformasi 1998.
Ketika MPR bersidang lagi pada 2000 untuk melanjutkan Amandemen-II, MPRS-Plus
pun mengadakan sidang sendiri di Gedung Yayasan Tenaga Kerja Indonesia
untuk menyiapkan sebuah konsep amandemen terhadap UUD-1945 tandingan.
Di situ, bahkan, dilakukan pembagian
keanggotaan MPRS-Plus menjadi Dewan Perwakilan Provinsi sebagai Majelis
Tinggi, dan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai Majelis Rendah; untuk
sekaligus memberi contoh kepada MPR Pimpinan Amien Rais itu, bagaimana
sidang gabungan atau join session sistem MPR Dua Kamar berlangsung.
Sesuai dengan konsep yang kami rancang
pada awal 1997 dalam Rancangan Penyempurnaan UUD-1945, kami memang
merancang MPR yang terdiri dari Dua Kamar, yaitu Dewan Perwakilan
Provinsi sebagai Majelis Tinggi, dan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai
Majelis Rendah.
Di situ MPR adalah sidang gabungan atau join session antara dua kamar tersebut; di situlah MPR tetap menjadi super body di atas kekuasaan lembaga-lembaga tinggi negara lainnya.
Di dalam Amandemen-III dan IV memang
disebutkan adanya dua kamar tersebut, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat atau
DPR dan Dewan Perwakilan Daerah atau DPD; akan tetapi tidak disebutkan
tentang adanya sidang gabungan dua kamar tersebut maupun fungsinya
sebagai super body.
Bahkan selama periode sesudah itu,
2004-2009 dan 2009 sampai sekarang, MPR tidak pernah bersidang
sekalipun; meskipun dalam Pasal-2 tetap disebutkan MPR minimal bersidang
sekali dalam lima tahun.
Juga perlu dijelaskan, kenapa Dewan
Perwakilan Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat yang menyusun MPR Dua
Kamar itu perlu. Di dalam UUD-1945 Asli disebutkan tentang Utusan
Golongan dan Utusan Daerah yang menyusun MPR selain DPR.
Kami menganggap, bahwa konsep Utusan
Golongan itu sulit direalisasikan; kami beranggapan, bahwa di dalam
Utusan Golongan itu ada unsur organisasi kependudukan yang erat
kaitannya dengan unsur kedaerahan.
Oleh karena itu kami beranggapan, Utusan
Golongan perlu dilebur ke dalam DPR dan Utusan Daerah, atau Dewan
Perwakilan Provinsi. Di sini pun kami mengartikan daerah sebagai seluas
provinsi, bukan kabupaten atau kota; yaitu sesuai dengan konsep otonomi.
Selain itu, Dewan Perwakilan Provinsi,
DPP, pun kami beri kedudukan tinggi sebagai Majelis Tinggi, lebih tinggi
daripada Dewan Perwakilan Rakyat, DPR. Dalam pengertian kami, NKRI itu
tersusun oleh daerah-daerah yang secara politis dikenal dengan “Dari
Sabang Sampai Merauke”; itulah pula batas-batas politis NKRI.
Sedang penduduknya, bisa saja pindah ke
mana-mana, bahkan ke luar negeri, tidak akan mengubah status NKRI;
itulah pula sebabnya kenapa “hilangnya” Timor-Timur yang berada di dalam
enclave NKRI sungguh amat disesalkan.
Demikian pula kalau Sabang atau Merauke
hilang, maka NKRI ikut pula hilang. Oleh karena itu Majelis Tinggi yang
menjadi cerminan Dewan Perwakilan Daerah memunyai kedudukan yang lebih
tinggi pula!
Ketika MPRS-Plus mulai
bersidang, beberapa truk pasukan polisi khusus ditempatkan di halaman
Gedung YTKI untuk memonitor kami dan sidang-sidang kami. Mereka
dipersiapkan untuk membubarkan sidang kami sewaktu-waktu ada perintah.
Akan tetapi, perintah pembubaran itu
tidak pernah terjadi sampai sidang-sidang kami selesai. Di situ, kami
mulai menilai, bahwa pemerintahan Gus Dur pun memunyai sifat otoriter.
Pada akhir sidang, MPRS-Plus berhasil melahirkan konsep
penyempurnaan UUD-1945 yang cukup lengkap; lebih lengkap daripada versi
1997, versi pertama yang kami buat.
Konsep Penyempurnaan UUD-1945 versi 2000
itu kami maksudkan untuk memengaruhi sidang-sidang MPR agar
memerhatikan perubahan UUD-1945 sesuai dengan versi MPRS-Plus.
Dalam kenyataannya kemudian, MPR memang
melakukan perubahan seperti “tujuh pilar reformasi total” MPRS-Plus itu;
hanya saja tidak sama betul. Sebagai misal adalah otonomi daerah, yang
seharusnya adalah untuk tingkat provinsi, di atas.
Dan juga dampak otonomi terhadap konsep MPR Dua Kamar; di mana DPP versi MPRS-Plus ikut memunyai kewenangannya pula membentuk undang-undang. Sedang DPD versi MPR 1999 tidak memunyai kewenangan itu.
Calon presiden dan wakil presiden pun
tidak terbatas hanya untuk partai-partai politik dan gabungannya; akan
tetapi dari kelompok-kelompok non-partai politik bisa ikutserta pula
mencalonkan presiden dan wakil presiden, masing-masing sebagai sebuah
pasangan.
MPR bisa melakukan seleksi lebih dulu,
misalnya terhadap ratusan pasangan; lalu menetapkan 10 pasangan untuk
dipilih langsung. Pada hakekatnya masih banyak lagi perbedaan yang lain,
antara Amandemen MPR dan Pikiran-pikiran MPRS-Plus.
Mengadili Soeharto
Kegagalan Habibie, selain lepasnya
Timor-Timur juga karena keengganannya mengadili Soeharto. Keengganan
Habibie itu terlihat pada pernyataannya dalam beberapa kesempatan yang
terucap, antara lain, seperti ini:
“Dalam tempo 19 tahun lebih, saya
mendapatkan pelajaran intensif dari Profesor Soeharto. Kalau itu saya
gunakan untuk kuliah di universitas, itu berarti saya sudah tiga kali
mendapatkan titel doktor…”
Padahal, salahsatu keputusan MPR 1998
adalah mengadili Soeharto sebagai pelanggar tindak pidana korupsi. Di
era Habibie itu pula, Habibie tidak kuasa menentang terbitnya Tap MPR
Nomor XI/1998. Di dalam Tap MPR itu, pada Pasal-4 disebutkan:
“Upaya pemberantasan korupsi, kolusi
dan nepotisme harus dilakukan dengan tegas terhadap siapa pun juga,
baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga dan kroninya maupun
pihak swasta/konglomerat, termasuk mantan Presiden Soeharto, dengan
tetap memerhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak asasi manusia.”
Bahkan, Habibie juga mengeluarkan Inpres
Nomor 30/1998 tentang pengusutan kekayaan Soeharto, serta pembentukan
Tim Khusus Kejaksaan untuk menyelidiki kekayaan Pak Harto di luar
negeri; tetapi kelihatannya Habibie masih bermaksud mengulur-ngulur
waktu.
Proses pemeriksaan terhadap perkara
Soeharto sudah memakan waktu yang cukup lama, terhitung sejak September
1998. Pada awalnya orang tertarik kepada pernyataan Habibie, bahwa Jaksa
Agung bukanlah bagian dari kabinet di bawah presiden.
Dan itu dibuktikannya, ketika ia
menyusun kabinetnya, Jaksa Agung karier hasil pengangkatan Soeharto,
Soedjono Chanafiah Atmonegoro yang menggantikan Jaksa Agung Singgih,
tetap dipertahankannya. Akan tetapi, ketika Soedjono mulai mengutik-utik
soal korupsi Soeharto, Soedjono digantinya dengan Andi Ghalib, kurang
dari sebulan sejak menjadi Presiden; Soedjono dikirimnya menjadi Duta
Besar.
Pada Juni 1999, Menteri Kehakiman Muladi
bersama Jaksa Agung Andi M. Ghalib berangkat ke Swiss dan Austria untuk
menyelidiki kekayaan Soeharto, tetapi tidak menemukan apa-apa di sana.
Majalah TIME pada tahun itu pula
menyebutkan kekayaan Soeharto mencapai USD 15 milyar; sedang menurut
Transparansi Internasional mencapai USD 35 milyar. Soeharto sendiri
tidak mengakui punya kekayaan sepeser pun.
Majalah TIME sempat digugat karena
berita itu di pengadilan, dengan tuntutan membayar ganti rugi 1 trilyun
Rupiah; Majalah TIME yang dibela oleh Pengacara Todung Mulia Lubis
dikalahkan; dan demikian pula bandingnya.
Keputusan MPR 1998 di era Presiden
Habibie itu membuka peluang bagi Presiden Abdurrahman Wahid untuk
membuka kembali pemeriksaan kekayaan Soeharto pada tahun 2000.
Tidak begitu jelas, apakah Gus Dur
bermaksud mencari tahu kekayaan Soeharto untuk dikembalikan kepada
Negara; atau untuk dibagi-bagi di antara pejabat-pejabat tinggi Negara
termasuk dirinya. Ada banyak bukti dan isyu seputar Gus Dur yang
menunjukkan, bahwa Gus Dur ini demen duit.
Ada dua perkara yang dihadapkan kepada
Soeharto: Pertama perkara pidana korupsi atas keuangan Negara; yang ke
dua perkara perdata tentang pengelolaan Soeharto atas yayasan-yayasan
yang didirikannya, khususnya Yayasan Supersemar, yaitu yayasan untuk
memperingati Surat Perintah Sebelas Maret yang diterimanya dari Bung
Karno pada 1966, yang bergerak dalam bidang pemberian beasiswa kepada
murid-murid sekolah dan mahasiswa.
Soeharto menjadi tersangka dengan status
tahanan kota sesudah tidak kurang dari 140 saksi diperiksa. Soeharto
mulai diperiksa lagi pada Februari 2000 dalam kedua perkara itu, yang
bersumber pada penyalahgunaan dana sejumlah yayasan sosial yang
didirikan dengan uang Negara.
Pemeriksaan terhadap Soeharto yang
dimulai oleh Jaksa Agung Soedjono C. Atmonegoro, sempat dihentikan lewat
SP3, Surat Perintah Penghentian Penyidikan, oleh Jaksa Agung Andi M.
Ghalib pada zaman BJ. Habibie menjadi Presiden. Sedang Marzuki Darusman,
Jaksa Agung yang diangkat Presiden Abdurrahman Wahid, mencabut SP3 yang
dterbitkan oleh pendahulunya itu.
Baru pada akhir Agustus 2000 Soeharto
mulai diadili sebagai terdakwa dalam perkara korupsi di sebuah ruang
pengadilan khusus yang ditetapkan untuk itu, agar bisa menampung
sebanyak mungkin anggota masyarakat umum yang mau menyaksikannya; yaitu
ruang Aula Departemen Pertanian di wilayah Ragunan.
Pengadilan yang berjalan selama sebulan
itu dipimpin oleh Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Lalu Mariyun,
sebagai Ketua Majelis Hakim, dengan Jaksa Penuntut Umum Chairul Imam,
Jaksa Muda Pidana Khusus, serta dengan Tim Pembela yang dipimpin oleh
Mohammad Assegaf dan Pengacara Keluarga Soeharto, Juan Felix Tampubolon.
Pengadilan itu berakhir dengan bebasnya
Soeharto. Tim Dokter independen yang dibentuk oleh Kejaksaan Agung untuk
perkara itu menyatakan bahwa Soeharto tidak mungkin bisa dihadirkan;
dia dinyatakan mengalami kerusakan di beberapa bagian jaringan otaknya.
Pada 28 September Majelis Hakim
memutuskan bahwa perkara pidana yang didakwakan kepada Soeharto tidak
bisa diterima, karena dengan kondisi sakit itu pertanggungjawaban atas
perbuatannya tidak bisa dibebankan kepadanya. Kerusakan pada jaringan
otak itu, konon, adalah akibat dari stroke beberapa kali yang dialami Soeharto sebelum dan sesudah mundur pada Mei 1998.
Dalam Perkara Perdata, Majelis Hakim
yang dipimpin oleh Hakim Ketua Wahyono dari Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat tidak menghadirkan Soeharto sebagai pendiri dan sekaligus Ketua
Yayasan, melainkan para pengelolanya; sebagian dari mereka adalah para
Menteri dalam kabinetnya.
Bukti-bukti menunjukkan, bahwa
pengelolaan atas Yayasan itu dianggap baik. Yayasan yang, antara lain,
memberi beasiswa kepada anak-anak sekolah itu terbukti menghasilkan
manfaat besar dalam dunia pendidikan.
Dalam persidangan memang tidak jelas
tentang nasib yayasan-yayasan lain, seperti Yayasan Amal Bakti Pancasila
yang menghimpun dana pendirian masjid-masjid di banyak kampung,
termasuk Masjid Agung At-Tin di samping kompleks Taman Mini Indonesia
Indah.
Sedang Taman Mini Indonesia Indah itu
sendiri didirikan melalui Yayasan Purna Bhakti Pertiwi; juga Yayasan
Harapan Kita yang mendirikan Rumah Sakit Jantung Harapan Kita; dan
Yayasan Dharmais yang mendirikan Rumah Sakit Kanker serta Majalah
Mingguan Gatra.
Juga perlu dicatat adanya Yayasan Dana
Bhakti Kesejahteraan Sosial yang konon menjadi pengelola permainan judi
SDSB, atau Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah.
Yang menarik, beberapa menteri, termasuk
Menteri Sosial, ikut mengelola Yayasan ini, bahkan terjun sekaligus di
dalam penyelenggaraan SDSB. Permainan judi itu berhasil menyedot ratusan
milyar uang masyarakat dari tingkatan yang paling bawah, seperti para
tukang becak, tukang Ojeg dan sopir Angkot, hingga tingkat menengah dan
atas.
Dana hasil perjudian itu, sebagian
dibagikan kembali kepada tokoh-tokoh masyarakat, antara lain, untuk
pembinaan Pemuda dan Olah Raga dan, tentu saja, membeli suara dalam
Pemilu. Karena desakan dari berbagai pihak, permainan judi SDSB itu
dihentikan.
Sebutan SDSB kemudian diabadikan oleh
aktivis Nuku Soleiman menjadi kata-kata seloroh “Soeharto Dalang Segala
Bencana”. Kata seloroh itu sempat ditulis dalam sticker yang membawa Nuku dan duapuluh aktivis lain ke penjara dengan tuduhan menghina Presiden.
Nuku Soleiman sendiri diganjar 8 tahun
penjara karenanya. Istilah SDSB dengan gaya seloroh itu sempat ditulis
pula dalam spanduk di kota Dresden, Jerman, ketika para aktivis Jerman,
Timor-Timur, Aceh dan Irian Jaya dikerahkan oleh Amnesti Internasional
untuk menyambut kunjungan kenegaraan Soeharto pada April 1995.
Masyarakat kecewa terhadap putusan untuk
Soeharto itu, dan menganggap bahwa Tim Dokter Independen telah sengaja
membuat laporan dengan opini yang direkayasa. Permintaan menghadirkan
Tim Dokter dan Ahli-ahli dari Luar Negeri ditolak oleh Majelis Hakim.
Masyarakat juga kecewa, karena tidak ada
samasekali upaya untuk membekukan kekayaan Soeharto dan keluarganya,
sebagai hasil korupsinya selama 32 tahun berkuasa; hampir tidak masuk
akal kalau Soeharto dan keluarganya tidak menimbun kekayaan.
Sangat mungkin kekayaan itu tersembunyi
di perusahaan-perusahaan yang dibangun keluarganya; dalam situasi
sekarang dana korupsi yang lalu digunakan untuk membangun perusahaan itu
dikategorikan sebagai kejahatan “pencucian uang”.
Upaya untuk membuka kembali perkara
Soeharto pada tahun-tahun berikutnya selalu kandas karena yang
bersangkutan jatuh sakit sampai kemudian meninggal pada 27 Januari 2008.
Selama berhari-hari setiap hari semua
stasiun televisi Indonesia menayangkan gambar Diktator Soeharto yang
sangat berkuasa pada masanya itu sedang tergolek sakit di Rumah Sakit
Pusat Pertamina dan menghadapi sakaratul maut.
Bebasnya Soeharto dari pengadilan, dan
kegagalan otoritas hukum menghadirkannya dalam sidang dengan alasan
sakit ini bisa dibandingkan dengan pengadilan terhadap mantan presiden
terguling Hosni Mubarak dari Mesir, yang setiap kali disidangkan sebagai
terdakwa selalu bisa dihadirkan sekalipun harus telentang di tempat
tidur dorong, juga dengan alasan sakit.
Bahkan sebelum Mubarak berhasil
ditangkap, seluruh kekayaan keluarganya dibekukan. Rupanya Dewan
Transisi Militer di Mesir, dan kemudian Presiden Terpilih Mohammad
Morsi, lebih tahu hukum dibanding dengan BJ. Habibie dan para pejabat
tinggi hukum Indonesia.
Masa pensiun Soeharto sejak mundur pada
Mei 1998 sampai kematiannya pada 2008 amatlah enaknya dibanding dengan
penderitaan rakyat yang tidak pernah usai akibat kebijakan pembangunan
yang salah.
Hutang asing yang dibuat Soeharto
besarnya 3 sampai 4 kali lipat lebih daripada yang seharusnya; misalnya,
dibanding dengan hutang asing untuk pembangunan di Korea Selatan. Lalu
Korea Selatan berhasil membangun negerinya; sedang Soeharto tidak.
Tetapi tentu masih ada banyak kesempatan
di masa mendatang untuk bisa mengadili kembali para mantan presiden dan
pejabat tinggi Indonesia pada umumnya, termasuk secara in-absentia, atas berbagai kejahatan dan pelanggaran yang diperbuat mereka selama menjabat.
Ketentuan yang sebenarnya ada di dalam
UUD-1949 dan UUD-1950 itu pada saatnya nanti tentu bisa dimasukkan
sebagai amandemen terhadap UUD-1945.
Di dalam bukunya (Dwipayana; 1989),
Soeharto mengatakan bahwa pengalamannya yang sangat melekat di hatinya
sebagai seorang militer adalah di zaman penjajahan Belanda dan Jepang.
Hari-harinya yang tidak terlupakan
adalah ketika memperjuangkan kemerdekaan dan mempertahankannya untuk
melanjutkan cita-cita kemerdekaan.
“Sebagai seorang Presiden, saya
hanya merasa telah memeroleh kepercayaan rakyat; dan karena itu ingin
menghargai dan menghormati kepercayaan itu dengan bekerja sebaik
mungkin.” Pada 21 Mei 1998, kepercayaan rakyat itu dicabut, karena dia telah tidak bekerja sebaik harapan dan keinginan rakyat.
Perangai Gus Dur
Di awal pemerintahannya, Gus Dur membuat
kejutan besar dengan melikwidasi Kementerian Sosial dan Kementerian
Penerangan. Orang mengira, bahwa ini adalah bagian dari rencana
reformasi birokrasi ala Gus Dur. Pada awalnya orang sibuk mempersoalkan bagaimana memindahkan ribuan orang yang bekerja di kedua departemen tersebut.
Tetapi ketika kemudian persoalan itu
tidak pernah terjadi, dan ketika orang tahu, bahwa mereka yang ada di
kedua departemen tersebut tetap bekerja dan digaji, orang menjadi maklum
bahwa ini sekedar banyolan Gus Dur untuk meremehkan kedua
menteri Habibie yang pernah menduduki jabatan-jabatan di kedua
departemen tersebut; tetapi mungkin juga karena Gus Dur tidak mampu
mendapatkan orang-orang yang tepat.
Hal itu mulai disadari orang, ketika Gus
Dur mengangkat Dr. AS. Hikam, seorang Ahli Sastra, untuk memimpin
Kementerian Riset dan Teknologi, kementerian yang selama bertahun-tahun
dipegang oleh pakar teknologi yang amat dikagumi, BJ. Habibie.
Orang mulai tahu maksud Gus Dur hanya
bermaksud merendahkan Habibie, bahwa orang yang tidak paham dengan
teknologi pun bisa memegang kementerian itu, sekaligus memimpin BPPT,
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi.
Kabinet Gus Dur memang jauh dari harapan
orang. Mereka yang masuk sebagai pembantu Gus Dur itu adalah
orang-orang yang sekedar setia kepada Gus Dur, atau merasa beruntung
dipilih menjadi menteri.
Memang Gus Dur secara sembarangan
menempatkan mereka pada posisi yang tidak pada tempatnya. Misalnya, AS
Hikam tadi. Lalu ada seorang jenderal, Soesilo Bambang Yudhoyono, yang
kemudian dikenal sebagai SBY, menjadi Menteri Pertambangan dan Energi.
Juga ada Al Hilal, seorang sarjana
Teknik Perminyakan dari ITB, ditempatkan sebagai Menteri Transmigrasi;
Sarwono Kusumaatmaja yang sarjana teknik, juga dari ITB, mantan Menteri
Lingkungan Hidup di zaman Soeharto, dijadikan Menteri Kelautan; dan Erna
Witular, yang juga sarjaan teknik dari ITB, mantan Ketua Walhi, Wahana
Lingkungan Hidup, sebuah LSM yang bergerak di bidang lingkungan, sebagai
Menteri Pemukiman.
Rupanya Abdurrahman Wahid mengidap
penyakit persaingan pribadi terhadap Habibie; Gus Dur tidak mau kalah
dari BJ. Habibie, karena dia pun punya banyak pendukung dari orang-orang
yang ahli teknik. Pertentangan ini sudah terlihat sejak Gus Dur
menganggap ICMI sebagai pesaing dalam dunia kepemimpinan Islam
Indonesia; lalu mencemooh ICMI sebagai sektarian.
Mungkin yang agak menarik lagi adalah
diangkatnya Bambang Sudibyo, ekonom dari Universitas Gadjah Mada, yang
bukan ahli keuangan, khususnya keuangan negara, sebagai Menteri
Keuangan.
Ketika Menteri Keuangan baru ini secara
terbuka menyampaikan perlunya menaikkan gaji para Menteri dan anggota
DPR menjadi 30 jutaan, dan gaji presiden menjadi 70 jutaan Rupiah,
dengan alasan mereka membutuhkan dana untuk “loby-loby”, orang mulai mencibir dan menyebut kabinet Gus Dur sebagai “kabinet yang obral kekuasaan dan obral duit”.
Dalam kenyataannya dalam waktu yang pendek, Gus Dur mengganti-ganti menterinya sampai beberapa kali.
Sangat mungkin penempatan Rizal Ramli
yang semula adalah Ketua Badan Urusan Logistik menjadi Menteri
Koordinator bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri menggantikan Kwik Kian
Gie; juga karena latar belakang ilmu teknik itu. Rizal Ramli adalah
doktor ekonomi lulusan Amerika Serikat; dia sebelumnya adalah mahasiswa
ITB yang dipecat pada 1978 karena melawan Soeharto.
Orang juga mulai meremehkan kedua Menko
itu karena tidak konsisten pada garis pikirannya dengan meminta bantuan
asing, yang tentu saja harus mendapat lampu hijau dari Bank Dunia dan
IMF, senilai yang biasanya juga diterima Soeharto setiap tahun, yaitu
sekitar 5 milyar USD; padahal mereka dikenal dalam retorikanya selama
itu menolak hutang asing, dan menyatakan anti terhadap kebijakan Bank
Dunia dan IMF.
Mohammad Sadli, seorang mantan
menterinya Soeharto, dari kelompok Mafia Berekeley, sempat mengejek para
ekonom muda pasca Soeharto ketika itu: “Pasti nanti ujung-ujungnya minta bantuan luar negeri lagi!”
Dalam kenyataannya, baik Kwik Kian Gie,
Bambang Sudibyo maupun kemudian penggantinya, Rizal Ramli dan Prijadi,
tidak mampu menolak tekanan IMF untuk tetap melaksanakan LoI yang sudah ditandatangani Soeharto pada 15 Januari 1998.
Gus Dur juga disibukkan dengan banyak
hal yang dinilai tidak bermanfaat bagi bangsa dan Negara. Di dalam
situasinya yang tidak sehat secara fisik, karena hampir buta akibat
diabetes, Gus Dur justru melakukan banyak perjalanan ke luar negeri;
konon perjalanannya ke berbagai negara itu, baik yang resmi maupun yang
tidak resmi, mencapai 100-an kali selama kurang dari dua tahun berkuasa
itu.
Perjalanannya ke luar negeri diawalinya
dengan mengunjungi negara-negara tetangga Asia, khususnya dalam rangka
merintis poros Jakarta-Beijing-New Delhi. Banyak pengamat berharap
keberhasilan poros ini daripada isyu poros BRIC,
Brazil-Rusia-India-China, bahkan BRICS dengan memasukkan South Africa,
poros antar benua yang akan lebih sulit diwujudkan, tetapi mulai digagas
orang.
Para pengamat di dalam negeri berharap
Poros Gus Dur ini kiranya bisa menggantikan dominasi Barat terhadap Asia
dan Indonesia yang sudah berlangsung puluhan tahun. Akan tetapi Gus Dur
tidak melanjutkan gagasan yang cemerlang ini untuk mewujudkannya,
terutama sesudah Bill Clinton berhasil mengundangnya berkunjung ke
Washington, DC pada akhir perjalanannya. Dalam kenyataannya BRICS gagal
juga akhirnya.
Bagi orang yang cukup dekat, Gus Dur
adalah seorang yang sangat pandai dalam karang-mengarang berbagai cerita
lucu yang seringkali sinis, bahkan sarkastis.
Dalam kunjungannya ke Amerika Serikat
yang amat terkenal itu, belum genap sebulan sejak disumpah sebagai
Presiden RI, konon dia mengumbar cerita-cerita lucu buatan Indonesia di
depan Presiden William Jefferson Clinton; cerita lucu itu membuat
Presiden AS yang lebih akrab dipanggil Bill Clinton itu tertawa
terbahak-bahak.
Salahsatu ceritanya adalah tentang
seorang polisi muslim Indonesia yang ketika meninggal, kedua tangannya
“tidak mau” menutup ke dadanya; setiap kali ditutupkan selalu membuka
kembali dengan kedua tapak tangannya pun menengadah ke atas seperti
orang meminta sesuatu.
Lalu Gus Abdurrahman menanyakan tentang
pekerjaan orang yang meninggal itu. Setelah diketahuinya, bahwa yang
meninggal itu adalah mantan polisi, maka dengan cekatan diambilnya
selembar uang kertas untuk diletakkan pada telapak tangan si mayat;
serta merta kedua tangan almarhum itu menutup sendiri ke dadanya.
Gus Dur menjelaskan, bahwa polisi di
Indonesia itu sewaktu bertugas suka memeras dengan meminta uang kepada
para pengendara mobil yang melakukan pelanggaran, khususnya sopir truk
dan bus; bahkan ketika meninggalnya pun polisi-polisi itu tidak bisa
melupakan kebiasaan buruknya itu…
Gus Dur adalah anak Kyai Besar Wahid
Hasyim dari Jombang, Jawa Timur, pemimpin masyarakat santri Nahdhatul
Ulama, salahsatu dari dua perhimpunan masyarakat Islam terbesar di
Indonesia, di samping Muhammadiyah.
Masing-masing dari perhimpunan itu meng-claim dirinya
dengan jumlah pengikut mencapai 30 juta, atau bahkan lebih. Pada masa
Nahdhatul Ulama dipimpin Wahid Hasyim, pimpinan Muhammadiyah berada di
tangan Ki Bagus Hadikusumo; dua pemimpin masyarakat Islam yang sangat
dihormati oleh Bung Karno dan Bung Hatta.
Keduanya memunyai kontribusi besar dalam perjuangan dan merancang kemerdekaan Indonesia 1945.
Berbeda dari Muhammadiyah yang lebih
banyak bergerak di daerah perkotaan, dengan membangun sekolah-sekolah
yang modelnya umum, dari Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi,
Nahdhatul Ulama bergerak di pedesaan dan daerah pertanian dengan
mendirikan pondok-pondok pesantren dan sekolah-sekolah Islam dari yang
tingkat Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Tingkat Pertama dan Atas.
Di tingkat perguruan tinggi,
Muhammadiyah membangun banyak universitas, yaitu Universitas
Muhammadiyah, yang menghasilkan para cerdik pandai dan intelektual
bergelar kesarjanaan. Sedang NU lebih banyak menghasilkan santri-santri
ahli agama dan para ulama bergelar “kyai”.
Sekalipun begitu, banyak dari Keluarga
Besar Nahdhatul Ulama, atau NU, dan khususnya Keluarga Wahid sendiri
adalah juga sarjana-sarjana lulusan universitas, antara lain, dari UI
dan ITB; dan tidak sekedar ahli agama. Gus Dur sendiri adalah lulusan
dari beberapa universitas di Irak, dalam bidang Agama dan Sastra.
Gus Dur adalah pemimpin NU dalam masa
yang panjang, sesudah Ayahnya. Sesudah tidak duduk sebagai Ketua Umum
Pengurus Besar Nahdhatul Ulama, Gus Dur masih menjabat sebagai Ketua
Dewan Pembina atau Dewan Penasehat.
Dia juga adalah deklarator Partai
Kebangkitan Bangsa. Sebelum itu, selama rezim Soeharto berkuasa,
keluarga NU pada umumnya adalah pengikut PPP, Partai Persatuan
Pembangunan, yang secara politis selalu “dikalahkan” oleh Golkar.
Padahal dalam Pemilu 1955, NU yang muncul sebagai partai sendiri, Partai
Nahdhatul Ulama, memenangi Pemilu tersebut.
Sepanjang hayatnya, Gus Dur adalah seorang icon
yang dalam pandangan Keluarga Besar NU adalah tokoh agama, yang
sekaligus tokoh nasional dan negarawan yang tiada bandingnya; terutama
karena tindak-tanduknya yang merdeka, berani, bahkan terlalu berani,
melawan arus, dan one man show. Di dalam legenda Jawa Timur, dia disebut sebagai “Satria Lelono”, atau the Lone Ranger.
Oleh para pendukungnya, Gus Dur dianggap
juga sebagai seorang Wali, yaitu tokoh agama yang dipilih oleh Allah
Yang Maha Kuasa untuk menyebarkan Islam.
Akan tetapi dalam kehidupan umum, Gus Dur dikenal punya kebiasaan buruk, yaitu sering membuat pernyataan berbeda, nyleneh,
atau kontroversial, yang mengakibatkan kegelisahan dan kegaduhan dalam
masyarakat. Kebiasaan ini sudah lama diidapnya, bahkan sejak sebelum
memimpin NU.
Salahsatu contohnya adalah pernyataannya
tentang kedudukan Presiden RI yang juga terbuka bagi Leonardus Benny
Moerdani, tokoh Katholik yang berpangkat jenderal dan Panglima ABRI di
masa Soeharto.
Padahal Soeharto saja hanya mau mencoba
Jenderal Panggabean, juga seorang non-muslim, untuk kedudukan Panglima
ABRI; bahkan Bung Karno tidak mau mengangkat jenderal TNI non-muslim
sebagai Panglima TNI. Indonesia yang berpenduduk mayoritas muslim dan
terbesar di dunia menolak pemimpin non-muslim sebagai sebuah kewajiban.
Contoh lain pernyataan Gus Dur yang
kontroversial adalah perlunya membuka hubungan diplomatik dan
perdagangan dengan Israel. Gus Dur mengaku sebagai anggota Yayasan
Shimon Peres, mengambil nama seorang tokoh politik dan mantan Perdana
Menteri Israel.
Pernyataan-pernyataannya semacam ini
membuat masyarakat Islam umumnya marah besar. Bahkan, seorang seperti
Soeharto pun dengan terang-terangan menunjukkan pembelaannya terhadap
perjuangan rakyat Palestina yang tanahnya dikuasai Israel; bahkan Pak
Harto mendukung Palestina menjadi sebuah negara yang merdeka.
Tetapi banyak pendukung Presiden Gus Dur
yang justru berpendapat, bahwa penyataannya itu menunjukkan sikap
negarawan, demokrat dan mendukung HAM. Menteri Luar Negeri Alwi Shihab
juga mendukung pikiran Gus Dur itu dengan alasan, bahwa dengan membuka
hubungan diplomatik itu arah gerakan politik Israel menjadi lebih mudah
diketahui.
Sedang Gus Dur sendiri, seperti biasanya, hanya menjawab bahwa dia sebenarnya hanya sekedar mau tahu pendapat rakyat Indonesia.
Pernyataan-pernyataan Gus Dur tentang
Israel ini tentu saja menjadi catatan tersendiri bagi Kelompok Gereja
Kharismatik yang sudah mulai berkembang di Indonesia.
Bersama-sama tokohnya, seperti James
Riadi dan Ciputra, mereka memunyai harapan Gus Dur bisa diajak berperan
untuk mencapai cita-cita mereka menghilangkan dominasi Islam di
Indonesia dan agar umat Islam dan non-Islam menjadi “setara”.
Setiap tahun dua kali kelompok ini
berkunjung ke Israel untuk membangun hubungan serta mencari dana bagi
pengembangan jaringan Gereja-gereja Kharismatik di Indonesia.
Israel
mendukung gerakan pelemahan Islam di Indonesia yang juga sudah dimulai
oleh CSIS sejak 1971 ini. Ciputra sendiri baru masuk ke dalam gerakan
ini karena ditolong bangun dari kerusakan bisnisnya dalam krisis moneter
1997/98.
Jemaat Gereja Kharismatik pada awalnya
hanyalah bagian dari upacara keagamaan Yahudi Pentekosta yang berkembang
di Israel. Kemudian menyebar ke Inggris pada 1925 dan sesudah mendapat
Pewahyuan dari Vatikan menyebar ke Amerika Serikat.
Masuk Indonesia pada 1965 melalui Kupang
dan Nusa Tenggara Timur pada 1965-an; masuk ke Surabaya dibawa oleh
Pendeta Jeremia Rim dan Daniel Alexander. Vatican ikut memberikan
dukungannya, karena takut Katholik kehilangan jemaatnya seperti pernah
terjadi ketika muncul gerakan Kristen Protestan yang menolak Vatican.
Gus Dur juga mendukung Ahmadiyah dengan
alasan HAM. Ahmadiyah adalah suatu sekte bernafas agama yang didirikan
oleh Mirza Gulam Ahmad, di India di jaman penjajahan Inggris.
Sekte ini mengaku sebagai kelompok Islam
tetapi tidak mengakui Muhammad sebagai nabi terakhir melainkan diri
Gulam Ahmad sendiri; dan tidak sepenuhnya mengakui isi Al Quran
melainkan setelah beberapa ayatnya diubah pula. Upaya gerakan merusak
Islam itu sudah ada sejak zaman Soekarno dan dibendung; demikian pula
pada masa Soeharto.
Sangat mungkin munculnya kembali
Ahmadiyah pasca Soeharto di Indonesia memang disengaja dan merupakan
bagian dari rekayasa pihak Barat, dengan maksud melemahkan Islam di
Indonesia; sama seperti gerakan kaum kristiani dan Gereja-gereja
Kharismatik.
Maklum, Indonesia adalah negara dengan
penduduk beragama Islam terbesar di dunia. Tetapi para pemimpin dan
tokoh Islam Indonesia pasca Soeharto tidak menganggap ini sebagai
masalah penting, dan tidak bertindak tegas. Padahal, Ahmadiyah sudah
dilarang di negara-negara lain, seperti di Pakistan, Bangladesh,
Malaysia dan Timur Tengah.
Kemarahan umat Islam kepada Gus Dur juga
sempat muncul dalam kasus Ajinomoto. Ajinomoto adalah merek dari produk
penyedap masakan dari Jepang yang diproduksi di Indonesia. Menurut
penelitian, produk itu menggunakan bahan baku pankreas dari organ babi,
binatang mana oleh umat Islam terlarang untuk dimakan, dagingnya ataupun
bagian-bagian lainnya.
Gus Dur sebagai ulama Islam pasti tahu
betul soal itu seperti umat Islam umumnya di dunia. Tetapi entah apa
yang menjadi alasannya, Gus Dur membela Ajinomoto mati-matian, sehingga
perkara itu terhindar dari meja hijau.
Kasus lain yang tidak jadi
dimejahijaukan adalah kasus pembelian listrik hasil investasi Amerika
Serikat di Paiton di Jawa Timur. Paiton, konon sesuai dengan perjanjian
awal,
menjual listrik kepada PLN, Perusahaan
Listrik Negara, dengan harga yang amat mahal; dan kalau tidak dibeli
maka akan ada penalti yang juga luar biasa besar.
Pihak Kedutaan Amerika Serikat pun
sempat ikut menyampaikan ancamannya. Awalnya PLN bermaksud melawan
dengan menggugat Paiton di pengadilan, yaitu dengan menunjuk Bang Buyung
sebagai kuasanya. Tetapi Gus Dur mencegahnya dengan memilih
penyelesaian di luar pengadilan.
Direktur Utama PLN pun harus diganti;
dan rakyat Indonesia pun dikorbankan dengan membeli listrik dengan tarif
yang mahal demi meredakan amarah Amerika Serikat. Ironinya, masih ada
puluhan proyek serupa yang ditandatangani rancangan dan persetujuannya
di zaman Soeharto; dan sekarang mulai beroperasi.
Kebiasaan buruk Gus Dur dengan
pernyataan-pernyataannya yang kontroversial itu menimbulkan konflik di
masyarakat dan menciptakan polemik antara yang pro dan kontra.
Dalam 30 harinya yang pertama menjadi
Presiden RI, berbagai macam pernyataan kontroversial disampaikan oleh
Gus Dur, seperti keinginannya mau mengampuni Soeharto; bahwa TAP MPRS
yang melarang PKI dan ajaran komunis perlu dicabut; bahwa para anggota
DPR-RI berperilaku seperti anak-anak sekolah di Taman Kanak-kanak; bahwa
Provinsi Aceh pun punya hak untuk melaksanakan referendum seperti di
Timor-Timur; dan bahwa ada tiga Menterinya yang terlibat dalam kolusi,
korupsi dan nepotisme.
Pernyataannya yang terakhir itu
diucapkannya di depan masyarakat Indonesia di Amerika Serikat, dalam
menjawab pertanyaan tentang korupsi di Indonesia. Gus Dur berjanji akan
memecat tiga orang menteri itu sepulangnya nanti. Dia menggunakan
istilah “Mr. TM” sebagai kependekan dari “Tiga Menteri”.
Benar-benar pemecatan itu dilakukannya,
yaitu kepada Hamzah Haz, Menteri Negara Investasi dan Ketua Badan
Koordinasi Penanaman Modal. Sementara itu, orang masih bertanya-tanya
siapa dua “Menteri” lainnya.
Orang banyak mengira, bahwa dua menteri
lain itu termasuk Laksamana Sukardi, Menteri BUMN, dari PDIP; Yusril
Ihza Mahendra, Menteri Hukum dan HAM, dari PKB; atau Bomer Pasaribu,
Menteri Tenaga Kerja, dari Golkar.
Akan tetapi ketika Yusril menjemput Gus
Dur di lapangan terbang sepulang dari Amerika Serikat sambil mencium
tangannya, dan Gus Dur tetap menerimanya sebagai menteri, maka orang
masih saja menanti-nanti siapa “MR. TM” yang dimaksud Gus Dur.
Baru pada April 2000, kurang dari
setahun kemudian, ketika Gus Abdurrahman Wahid pada akhirnya memecat
Laksamana Sukardi, Menteri BUMN, orang kembali teringat pada cerita
tentang “Mr. TM”. Mungkin sekali “Mr. TM” pada awalnya hanya sekedar lelucon Gus Dur juga; tetapi yang kemudian menjadi sungguhan. Siapa yang dimaksud pada awalnya, mungkin, bahkan, tidak pernah ada.
Terlebih-lebih lagi ketika Jusuf Kalla,
Menteri Perindustrian, dan Susilo Bambang Yudhoyono, Menteri Energi dan
Sumber Daya Mineral juga dipecat Gus Dur, tanpa sebab yang jelas. Bahkan
pada paruh jabatannya pun, Gus Dur masih sempat mengganti Menteri
Koordinator Ekonomi dan Industri Kwik Kian Gie dengan Rizal Ramli; dan
Menteri Keuangan Bambang Sudibyo dengan Prijadi dari Bank Rakyat
Indonesia.
Ternyata kedudukannya sebagai presiden
mewajibkan semua orang menuruti permintaan Gus Dur. Orang menjadi tidak
habis mengerti ketika Gus Dur berkeras hati mengangkat Soeripto sebagai
Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan; padahal Soeripto sudah
melewati usia pensiun.
Soeripto adalah mantan anggota Badan
Koordinasi Intelijen, Bakin, di zaman Soeharto; Soeripto khusus ditugasi
mengawasi pergerakan mahasiswa. Sesudah Soeharto mundur, dia menjadi
salahsatu pendiri Partai Keadilan, kemudian menjadi Partai Keadilan
Sejahtera, partai yang berorientasi kepada Islam, dan ikut dalam Pemilu
1999 dengan mendapat suara yang cukup besar.
Dalam perjalanannya bersama kabinet Gus
Dur, Soeripto ternyata terlibat dalam perkara korupsi pembelian
helikopter untuk Kementerian Kehutanan; tapi perkara itu hilang saja di
tengah jalan dan tidak berlanjut.
Gus Dur juga memaksakan keinginannya
dengan menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 89/2000 tentang kedudukan
Polri. Menurut Keppres itu, mulai 1 Juli 2000 Kepolisian Republik
Indonesia terpisah dari TNI dan Departemen Pertahanan, serta berada
langsung di bawah Presiden; dan Kapolri diangkat oleh Presiden.
Sebagai akibatnya Polri menjadi alat
kekuasaan pemerintah, khususnya Presiden. Akan tetapi, pada masa Gus
Dur, ketergantungan Polri pada kekuasaan Presiden, atau sebaliknya
pengaruh Presiden terhadap tugas dan fungsi Polri, belum begitu
kelihatan, selain pernah terucap perintahnya untuk menangkap Tommy
Winata, pengusaha yang sekaligus bandar judi di tengah laut.
Di zaman Megawati pun belum terlihat
bagaimana Polri menjadi alat kekuasaan presiden. Baru sesudah itu, di
zaman SBY sebagai Presiden seperti sekarang ini, Polri benar-benar
dimanfaatkan menjadi alat kekuasaan pemerintah dan presiden.
Milyaran Rupiah dana APBN, dan bantuan
luar negeri ditumpahkan oleh Pemerintah SBY untuk Polri, yang relatif
lebih besar porsinya dibanding yang untuk TNI. Hal ini pula yang
menimbulkan konflik di antara keduanya dan persaingan tidak sehat di
dalam tubuh kedua alat negara itu.
Konflik Yang Menjatuhkan
Gus Dur menciptakan banyak konflik
antara dirinya dan pihak-pihak lain. Sebagai presiden, Gus Dur jarang
membicarakan dan menjelaskan berbagai kebijakan yang ditempuhnya secara
terbuka; termasuk kepada para menterinya hasil koalisi partai-partai.
Sebagai akibatnya para menteri ini
berjalan sendiri-sendiri mengikuti jalan pikiran partai-partainya
sendiri. Situasi ini menimbulkan jarak antara Sang Presiden dan
partai-partai, termasuk para wakil yang ada di DPR. Sesudah pertemuannya
yang pertama dengan pihak DPR, tanpa sebab jelas Gus Dur menyampaikan
pendapatnya, bahwa Dewan itu tidak berbeda dengan Sekolah Taman
Kanak-kanak.
Sejak itu Gus Dur mulai menyulut konflik-konflik tersendiri dengan DPR.
Gus Dur juga membuka konflik dengan umat
Islam, antara lain, dalam kaitan rencana pembukaan konsulat Israel;
soal mempersalahkan Laskar Islam dalam Perang Maluku; perihal
keinginannya untuk mencabut Tap MPRS No. 25/1966 tentang pembubaran PKI
dan larangan penyebaran komunisme serta memelajari faham Marxisme dan
Leninisme; dan yang terbaru soal Ajinomoto yang berbahan baku organ
babi.
Abdurrahman Wahid membuka konflik pula
dengan pers karena memaksa mengganti Parni Hadi, Ketua Lembaga Kantor
Berita Nasional Antara, dengan budayawan Mohammad Sobari, kawan AS.
Hikam, dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, dan sahabat dekat Gus
Dur.
Konflik dengan Mahkamah Agung juga
terjadi, karena Gus Dur mau memaksakan agar Hakim Agung Benyamin
Mangkudilaga menjadi Ketua Mahkamah Agung, yaitu dengan alasan untuk
memberantas Mafia Peradilan.
Padahal Ketua Mahkamah Agung harus
dipilih di antara Hakim-hakim Agung, manakala Benyamin waktu itu baru
saja diangkat menjadi Hakim Agung. Sebelumnya Benyamin adalah anggota
Komnas HAM, dan sebelum itu adalah Ketua Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara Jakarta.
Benyamin Mangkudilaga menjadi terkenal
karena keberaniannya, sewaktu menjadi Ketua Majelis Hakim dan sekaligus
Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara memenangkan perkara Mingguan TEMPO
melawan Menteri Penerangan Harmoko.
Mingguan Tempo dicabut ijin terbitnya,
karena memuat berita penyelundupan mobil-mobil Mercedes mewah di dalam
kapal-kapal perang bekas Jerman Timur yang dibeli pemerintah melalui BJ.
Habibie pada 1994. Di situ Habibie sempat berucap: “Saya dibikin tidak tidur berhari-hari oleh TEMPO; sekarang saya bikin dia tidur selama-lamanya!”
Memang selama Soeharto berkuasa,
Kekuasaan Peradilan, selain dikooptasi oleh kekuasaan Soeharto, juga
berpredikat Mafia Peradilan. Di situ vonis bisa
diperjual-belikan; tidak saja oleh para hakim dan jaksa yang terlibat,
tetapi juga pengacara dan panitera, dan tentunya para terdakwa sendiri.
Awalnya Rezim Soeharto pula yang suka
memaksa pengadilan memutus sesuai dengan maunya; khususnya untuk
kasus-kasus politik yang melibatkan para oposan terhadap pemerintah.
Seperti dalam kasus TEMPO di atas,
sekalipun bisa menang di tingkat pertama, TEMPO dikalahkan di tingkat
kasasi oleh Mahkamah Agung; sudah bisa dipastikan Putusan MA yang miring
itu hasil tilpun dari pejabat tinggi di sekitar Soeharto.
Sedang yang lalu dilakukan Presiden Gus
Dur dalam kasus Benyamin adalah mengulangi kembali perilaku Soeharto,
yaitu dengan melakukan intervensi terhadap MA agar memilih Benyamin
menjadi Ketua MA; tidak membiarkan Kekuasaan Peradilan itu merdeka dan
netral.
Akan tetapi konflik Gus Dur yang
terbesar adalah dengan TNI. Presiden Gus Dur memulai program reformasi
di tubuh ABRI, khususnya TNI, dengan melakukan pergeseran dan mutasi
besar-besaran terhadap beberapa perwira tinggi TNI.
Tindakan itu dilakukan tanpa konsultasi
dengan Wanjakti, Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tinggi, TNI, atau bahkan,
dengan orang-orangnya di dalam Kabinet, seperti Jenderal Widodo,
Panglima TNI, Jenderal Wiranto, Menteri Koordinator Politik dan
Keamanan, atau dengan Mahfud MD, Menteri Pertahanan yang orang sipil.
Di lain pihak, dalam rangka melakukan
reformasi di tubuh TNI itu, seperti biasa, Gus Dur tidak segan-segan
mengangkat-angkat nama seseorang tokoh, kali ini Agus Wirahadikusuma,
seorang Jenderal TNI-AD, sebagai sosok TNI yang dianggapnya reformis.
Dalam beberapa kesempatan itu, Gus Dur terang-terangan bermaksud
menjadikannya Panglima TNI.
Tindakan-tindakan Gus Dur itu dianggap
oleh Keluarga Besar TNI sebagai upaya melemahkan dan memecahbelah TNI.
Karena itu tidak heran, apabila kemudian TNI membuat jarak dengan Gus
Dur dan Agus. Sangat mungkin Gus Dur juga terlalu jauh memberikan
“janji-janjinya” kepada Agus, sampai Agus sendiri kehilangan kendali
atas dirinya.
Dengan secara terbuka dia sering
menyampaikan kritik-kritiknya kepada para TNI seniornya. Kemudian,
secara tiba-tiba saja Agus didapati meninggal di Rumah Sakit Pusat TNI
Gatot Subroto setelah menjalani operasi gigi; mungkin Agus sengaja
dibunuh.
Masih di awal 2000, ketika sedang berada
di Italia, Gus Dur melontarkan pernyataan mengagetkan, bahwa Jenderal
Feisal Tanjung sebagai Panglima ABRI di jaman Soeharto pernah
memerintahkan Panglima Kostrad, Jenderal Wiranto, untuk menyingkirkan
Gus Dur dan Megawati.
Konon informasi ini diperolehnya dari
Wiranto sendiri; sesuatu yang hampir tidak mungkin terjadi. Gus Dur pun
beberapa kali meyampaikan pernyataan tentang adanya beberapa jenderal
yang sedang merencanakan kudeta terhadap pemerintah yang dipimpinnya;
hal mana tentu saja mengakibatkan polemik dan keresahan di kalangan
masyarakat, terlebih-lebih TNI.
Belum usai isyu tentang kudeta muncullah
hasil temuan dan rekomendasi KPP-HAM, Komisi Penyelidik tentang
Pelanggaran HAM di Timor-Timur, periode pra- dan pasca-referendum, yang
menunjukkan keterlibatan Jenderal Wiranto, mantan Panglima ABRI di jaman
Soeharto dan BJ. Habibie.
Tidak pelak Gus Dur pun melontarkan pernyataan-pernyataan yang justru memperberat konfliknya dengan TNI.
Ketika menghadiri sebuah pertemuan
Internasional di Davos, Swiss, Abdurahman Wahid juga mendapat pertanyaan
banyak pihak tentang peristiwa genosida yang terjadi di Timor-Timur
menjelang dan sesudah referendum 1998.
Gus Dur menjawab dengan menjanjikan akan
segera memecat Jenderal Wiranto sesudah dinyatakan bersalah oleh
pengadilan. Masih berada di Swiss, Presiden Gus Dur memperbaiki
pernyataannya, dengan mengatakan bahwa Jenderal Wiranto akan diminta
mundur dari Kabinetnya segera setelah dia mendarat di Jakarta.
Bahkan sesampai di Belanda, Gus Dur
sekali lagi mengoreksi pernyataannya, dengan mengatakan telah
memerintahkan Menteri Pertahanan Mahfud MD untuk meminta Wiranto mundur.
Di Belanda pula Gus Dur menyatakan akan adanya pertemuan rahasia
beberapa jenderal di jalan Lau Tse, Jakarta, untuk menggulingkannya.
Perang mulut Gus Dur melawan TNI ini terus berlanjut sampai di akhir kunjungannya di Jerman.
Dalam kenyataannya kemudian, Jenderal
Wiranto dipecat Gus Dur pada saat kunjungan Kofi Annan, Sekretaris
Jenderal PBB, ke Jakarta. Pemecatan juga dilakukannya terhadap Jenderal
(Pol) Roesdihardjo, Kepala Kepolisian RI, karena kegagalannya memaksa
penyerahan senjata para mantan milisi Indonesia dalam perang
Timor-Timur, di Attambua, Timor Barat.
Selain menangkap salahsatu komandan
milisi, Eurico Gutteres, untuk diadili di Jakarta, Gus Dur juga didesak
untuk memecat Kapolri Roesdihardjo oleh pihak Amerika Serikat.
Pemecatan itu dilakukan justru pada saat
kunjungan Menteri Pertahanan Amerika Serikat William Cohen datang
berkunjung ke Jakarta, khusus untuk memantau perkembangan keamanan di
Timor-Timur sehubungan dengan ditempatkannya pasukan PBB di sana.
Mungkin sekali, selain menderita
penyakit “suka bikin onar” dan penyakit-penyakit fisik yang
sesungguhnya, Gus Dur juga menderita penyakit “rendah diri”: kalau
bertemu dengan orang asing, terlebih-lebih yang berpangkat, Gus Dur
merasa bangga bisa menunjukkan “kepatuhannya” dengan berbuat menuruti
kehendak “si Boss”.
Sekalipun begitu, ke-“Aku”-an Gus Dur
juga sangat tinggi, seperti ketika dia memecat Bimantoro, Kapolri
berikutnya, ketika sang Kapolri dianggap melakukan korupsi pengadaan
senjata laras Polri. Bimantoro membalas dengan menolak menyerahkan
tongkat komandonya kepada Gus Dur, melainkan kepada Megawati.
Sejak awal, aku tidak sepakat Gus Dur
menjadi Presiden RI. Sama dengan alasanku terhadap BJ. Habibie, karena
Gus Dur tidak pernah melawan Soeharto; bahkan sering mendukungnya karena
penyakit “patuh”-nya itu.
Gus Dur, meskipun sering disebut Bapak
Fordem, karena pernah mendirikan gerakan Forum-Demokrasi bersama-sama
para tokoh LSM, seperti Mulia Lubis, tidak pernah menggagas Indonesia
Baru pasca Soeharto.
Memang ada pikiran-pikiran pembaharuan di dalam benaknya, tetapi dia bukan seorang arsitek yang mampu jauh ke depan membangun out-of-box, di luar batas-batas yang sudah ditetapkan pendahulunya, yaitu Soeharto.
Alasanku yang lain adalah penyakit fisik
dan psykhisnya, terlebih-lebih karena Gus Dur sudah buta atau hampir
buta; sesuatu yang tidak pantas untuk memimpin Negara dan perubahan.
Berbeda dari para tokoh LSM yang
mendukungnya, ternyata para mahasiswa dan pemuda memunyai pendapat yang
sama dengan aku tentang kepemimpinan Gus Dur.
Karena itu kami pun bergabung
bersama-sama, berunjukrasa untuk meminta Gus Dur mundur. Kebetulan
sekali ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia adalah
Taufik Riady yang sudah aku kenal sebelumnya.
Para mahasiswa Indonesia juga merasakan
keprihatinan yang sama melihat hingar-bingar yang tidak pernah usai dari
hari-ke-hari. Hampir setiap hari pula kami menggelar demonstrasi ke
Istana dan ke DPR untuk berorasi sambil membawa spanduk meminta Gus Dur
mundur.
Kampus UI di Salemba seakan-akan menjadi
markas; kami berkumpul dan berorasi dulu di sana, lalu bergerak menuju
Istana melewati wilayah Senin, Kwitang, Tugu Pak Tani, Gambir dan
Mahkamah Agung. Selesai berhenti dan berorasi di depan Istana, kami
bergerak menuju Gedung DPR/MPR melewati jalan Thamrin dan Sudirman, lalu
menyeberangi Jembatan Semanggi masuk ke Jalan Gatot Subroto.
Seringkali kami berpapasan dengan
kelompok PRD, Partai Rakyat Demokratik, yang dipimpin Budiman Sudjatmiko
dan Dita Indah Sari; mereka bersikap mendukung Gus Dur.
Tidak bisa dihindarkan, akhirnya Gus Dur
jatuh juga. Pada awalnya Gus Dur diduga melakukan tindak pidana
korupsi: Dia menerima bantuan dana sekitar 50 milyar Rupiah dari Sultan
Brunei, tetapi tidak pernah diserahkan kepada Negara; skandal ini
dikenal dengan Bruneigate.
Demikian pula Gus Dur berhasil
mengeluarkan dana dari Badan Urusan Logistik senilai sekitar 35 milyar
Rupiah, tetapi tidak pernah jelas untuk keperluan apa; skandal ini
dikenal dengan Buloggate. DPR membentuk Panitia Khusus untuk menangani dua skandal korupsi tersebut, sekalipun masih ada satu skandal lain, Borobudurgate.
Skandal itu menyangkut kesepakatan Gus
Dur dalam penyelesaian kasus pidana Tommy Soeharto, tersangka dalam
pembunuhan terhadap seorang hakim; hakim itu membatalkan perkara
tukar-guling dua aset yang dua-duanya ternyata bukan milik Tomy.
Panitia Khusus DPR meminta Gus Dur
datang ke Sidang DPR untuk ditanya tentang nasib dana-dana itu. Setelah
beberapa kali menolak datang dengan macam-macam alasan, bahkan dengan
meminta Menteri Keuangan Bambang Sudibyo untuk datang mewakilinya, Gus
Dur akhirnya memenuhi undangan itu pada 22 Januari 2001.
Akan tetapi di tengah persidangan,
Presiden Gus Dur menjadi marah sambil menuduh Pansus DPR sedang
menyiapkan tindakan hukum terhadap dirinya. Gus Dur membalasnya dengan
melakukan aksi walk-out meninggalkan ruang sidang. Hubungan antara Gus Dur dan DPR semakin membara.
Hal itu berlangsung terus sampai pertengahan tahun, yaitu ketika Gus Dur mengancam untuk membubarkan DPR.
Malam hari tanggal 22 Juli itu konon
konsep Dekrit Presiden tentang Pembubaran DPR sudah selesai disiapkan.
Di sini Gus Dur rupanya mau menempatkan diri seperti Soekarno pada 1959
ketika DPR dan Konstituante hasil Pemilu 1955 dinilai gagal menjalankan
tugasnya, lalu dibubarkan.
Di samping itu konon juga disiapkan
konsep Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tentang Keadaan
Bahaya. Bahkan sejumlah tokoh LSM yang mayoritas pendukung Gus Dur pun
sudah disiapkan sejak beberapa hari, bahkan pada malam tanggal 22 Juli
itu banyak aktivis LSM yang tidur di Istana Merdeka menemani Sang Tokoh
Demokrat sambil memberikan berbagai saran dan dukungannya.
Rencananya, sesudah Negara Keadaan
Bahaya dinyatakan, maka Dekrit Presiden tentang Pembubaran DPR pun akan
dibacakan. Konon Marsilam Simanjuntak, Menteri Hukum dan HAM pengganti
Yusril Ihza Mahendra, yang akhirnya dipecat Gus Dur juga, yang akan
membacakan Keadaan Bahaya itu; dan Wimar Witular, Jurubicara Istana,
yang akan membacakan Dekrit Presiden untuk Gus Dur.
Ternyata, Gus Dur sendiri, tanpa
memberitahu lebih dulu para tokoh LSM pendukungnya itu bermaksud
menyatakan pemerintahnya pun bubar, atau membubarkan diri ke dalam
situasi demisioner.
Dengan keadaan seperti itu, di mana DPR
dan Pemerintah sama-sama tidak aktif, sulit untuk bisa dimengerti, apa
sebenarnya tujuan Gus Dur dengan rencana pembubaran DPR dan pemerintah
itu; atau bagaimana jalan pikirannya…
Tetapi Amien Rais, Ketua MPR-RI bersama
Akbar Tanjung, Ketua DPR-RI, lebih cekatan melihat situasi Negara yang
hampir berantakan dibuat Gus Dur. Mereka mengundang Sidang MPR pada
tanggal 23 Juli untuk segera memecat Gus Dur. Gus Dur pun akhirnya
dipecat sebagai Presiden RI dalam Sidang MPR itu.
Tidak itu saja, Panglima Kostrad Jenderal Ryamizard Ryacudu juga menyiapkan tiga batalyon pasukan raiders yang konon dibentuknya sendiri, yang dengan senjata lengkap berkumpul di Lapangan Monumen Nasional di depan Istana Negara.
Pasukan ini bermaksud memaksa agar Gus
Dur mematuhi keputusan MPR. Dengan sombongnya, Gus Dur sengaja keluar
dan mempertontonkan dirinya dengan hanya memakai celana dalam di depan
Istana Negara; mungkin sambil mengatakan: “Emangnya Gue Pikirin?!”. Tetapi Gus Dur lalu meninggalkan Istana itu untuk selama-lamanya.
Gus Dur batal membacakan Dekrit
Presiden; ternyata dia seorang penakut juga. MPR-RI pada hari itu juga
melantik Megawati menjadi Presiden RI ke Lima. Megawati mengambil Hamzah
Haz, Ketua Umum PPP pengganti Ismail Hasan Metareum, menjadi Wakil
Presiden.
Apa yang dilakukan oleh Riyacudu memang
mewakili sikap kebanyakan jenderal-jenderal TNI terhadap Gus Dur,
terutama Wiranto yang sempat dipecat Gus Dur. Di sini Wiranto kembali
bekerja bersama Djadja Suparman dengan menggerakkan lagi organisasi masa
pendukung Habibie.
Sejak awal Mei 2000 sampai dengan
pertengahan Juli secara rutin dan sistematis dilakukan
pertemuan-pertemuan, tidak kurang dari sepuluh pertemuan, yang dilakukan
sebagai upaya untuk menggusur Gus Dur dan segera menggantinya dengan
Megawati.
Di dalam pertemuan itu selalu ada
Wiranto dan Djadja serta beberapa tokoh organisasi Islam dan tokoh-tokoh
aktivis; sebagian dari mereka dikenal sebagai Tim Sukses pencalonan
Habibie-Wiranto sebagai presiden dan wakil presiden dalam Sidang
MPR-1999.
Yang menarik, bahwa di dalam setiap
pertemuan itu nama Zacky Makarim, Hariman Siregar, Fuad Bawazier, Burzah
Zarnubi, Egi Sudjana dan Front Pembela Islam hampir selalu disebut
hadir; beberapa nama jenderal juga disebut, tetapi tidak selalu datang
dalam tiap pertemuan.
Djadja Suparman mengatakan, bahwa cerita yang terdokumentasi itu, lengkap dengan menyebut nama tempat dan tanggalnya. “Itu dibuat oleh seorang sutradara yang punya maksud membangun opini publik dengan tujuan membunuh karakter”, katanya.
Meskipun begitu, Djadja juga mengatakan
bahwa cerita di dalam dokumen itu benar-benar ada dan terjadi, hanya
saja para pelakunya yang lain…
Djadja Suparman, yang sempat diangkat
gus Dur menjadi Panglima Kostrad, pernah dipanggil Gus Dur untuk memberi
penjelasan tentang suara-suara miring dari beberapa jenderal terhadap
dirinya, serta tuduhan tentang keterlibatan Djadja dalam setiap gerakan
yang melibatkan Front Pembela Islam, antara lain, Apel Sejuta Umat di
Monas dan hiruk-pikuk Kerusuhan Ambon. Djadja menjawab bahwa dia adalah
tentara profesional yang tidak memunyai hubungan dengan laskar-laskar
seperti itu.
Akan tetapi tuduhan terhadap Djadja
tetap berlanjut. Bahkan, Djadja pun dituduh melakukan korupsi dengan
mengalihkan beberapa juta Dollar dana Kostrad untuk membiayai laskar
jihad yang berangkat ke Ambon mengatasi Perang Maluku.
Semua itu dibantah Djadja Suparman.
Dukungan Duta Besar Amerika Serikat Robert S. Gilbard terhadap tuduhan
kepada Djadja Suparman, Front Pembela Islam dan tentunya Wiranto itu
justru memperkuat dugaanku, bahwa Amerika Serikatlah yang amat tahu
tentang Perang Maluku, dan karena itu berada di balik Perang Maluku itu.
Djadja Suparman memang akhirnya harus
meringkuk di penjara. Dia ketahuan, sewaktu menjabat sebagai Pangdam
Brawijaya, sempat menjual tanah milik Kodam Brawijaya di sekitar Malang;
dan menggunakan uangnya untuk keperluan dirinya sendiri. Dia diganjar
hukuman penjara 4 tahun oleh Pengadilan Negeri di Surabaya.
Merusak Konstitusi
Sekalipun Gus Dur adalah salahsatu
kontributor besar dalam mengubah sistem pemerintahan dari kepresidenan
murni ke keparlemenan dalam Amandemen-I 1999, tetapi perubahan itu
justru berakibat pada impeachment DPR terhadap dirinya sendiri.
Dan sekalipun tidak sehebat pasal-pasal
HAM yang ada pada UUD-1949 atau UUD-1950, perlu dicatat, bahwa Gus Dur
adalah kontributor besar Pasal-pasal 28A sampai 28J tentang Hak-hak
Asasi Manusia dalam Amandemen-II 2000. Pasal-pasal ini melengkapi Pasal
28 dan beberapa pasal lain tentang hak-hak dasar rakyat dan hak-hak
asasi manusia di dalam UUD-1945.
Hanya saja, konstruksi UUD-1945 yang
tetap saja dipertahankan oleh MPR 1999 tidak memungkinkan pasal-pasal
tersebut masuk di dalam satu bab tersendiri dan lengkap seperti pada
UUD-1949 atau UUD-1950.
Sumbangan BJ. Habibie terhadap terbitnya
Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM bisa dianggap sekaligus
telah melengkapinya. Sekalipun begitu, pelanggaran terhadap HAM masih
saja berlangsung.
Ketidakadilan dan kekerasan terhadap
rakyat kecil oleh aparat negara, baik TNI maupun Polri, serta hukuman
berat dari para hakim dan jaksa tanpa memperhatikan keadaan rakyat yang
miskin dan teraniaya hidupnya masih terus terjadi di mana-mana, bahkan
sampai hari ini.
Rupanya pikiran-pikiran tentang hak-hak
dasar rakyat dan asasi manusia, sekalipun sudah masuk di dalam
pasal-pasal Konstitusi, belum juga mampu memperbaiki atau mengubah cara
berpikir statusquo yang represif peninggalan Soeharto.
Hamzah Haz memenangi kedudukan Wakil
Presiden dengan mengalahkan calon lain, Akbar Tanjung. Rezim Megawati
melanjutkan amandemen terhadap UUD-1945 yang sudah dirintis Gus Dur
dengan “bimbingan” Amerika Serikat, dan menghasilkan Amandemen-III dan
Amandemen-IV.
Melihat diri anak Soekarno ini,
masyarakat merasa bahwa seharusnya Megawati bisa memengaruhi MPR untuk
tidak “merusak” lebih lanjut UUD-1945. Soekarno adalah ketua Tim
Penyusun UUD-1945 pada waktu itu; jadi alangkah aibnya anak sendiri yang
merusak warisan Bapaknya, demi kepentingan asing! Tetapi harapan
masyarakat itu tidak pernah terwujud.
Orang juga mulai sadar, bahwa Jenderal
Endriartono Soetarto, Panglima TNI, seharusnya juga ikut
bertanggungjawab terhadap “proses perusakan” UUD-1945 yang dibuat MPR,
mengingat TNI selalu mengatakan UUD-1945 adalah “harga mati”. Mereka dan
para anggota MPR 1999 itu tidak ada bedanya dari agen-agen domestik
yang “melayani” kemauan Amerika Serikat.
Tidak hanya sekedar mengurangi kekuasaan
presiden sambil memperkuat kekuasaan DPR seperti terjadi pada
Amandemen-I, akan tetapi partai-partai politik sungguh diberi kekuasaan
yang besar di dalam Amandemen-III dan -IV.
Orang-orang partai dengan mudah bisa
membentuk koalisi partai politik untuk menjadi pasangan presiden dan
wakil presiden demi memeroleh kekuasaan lewat pemenangan Pemilu, tanpa
lagi memerhatikan moral politik, moral bangsa ataupun nasib Negara di
masa mendatang.
Pemilihan presiden dan wakil presiden
model Gus Dur dan Megawati pada 1999 dikukuhkan dalam Pasal 6A
Konstitusi, di mana presiden dan wakil presiden bisa berasal dari
gabungan partai politik.
Sebagai akibatnya, dekonstruksi tidak
saja terjadi terhadap kekuasaan Lembaga Kepresidenan, tetapi juga pada
Lembaga Perwakilan Rakyat dan lembaga Peradilan; itu terus berlanjut
dalam masa Megawati-Hamzah.
Demi menonjolkan besarnya kekuasaan
partai politik dan DPR, kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi Negara
ternyata dihapuskan begitu saja. MPR sudah tidak lagi menjalankan
kedaulatan rakyat, dan tidak lagi menyusun garis-garis besar daripada
haluan Negara.
MPR tidak lagi mengawasi lembaga-lembaga
tinggi Negara termasuk meminta pertanggungjawaban presiden, tetapi
kewajiban MPR hanya melantik presiden dan mengabsahkan pemberhentian
presiden, serta menetapkan dan mengubah Konstitusi. Bahkan, sejak
sidangnya pada 2012 dalam Amandemen ke IV, lebih sepuluh tahun terakhir
ini, tidak pernah ada lagi sidang-sidang MPR, padahal kewajiban untuk
bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun tetap berlaku.
Tidak ada lagi cerita tentang
pertanggungjawaban presiden kepada MPR. Ini saja sudah membuktikan bahwa
sistim telah tidak mampu bekerja; Ketua MPR menjadi tidak berarti.
Sebagai akibatnya keberadaan Dewan Perwakilan Daerah pun menjadi tidak
jelas, karena DPD tidak memunyai tugas yang spesifik.
Akibat selanjutnya, pertentangan di
antara lembaga-lembaga tinggi Negara selalu terjadi sekalipun berada di
bawah permukaan, karena tidak adanya lembaga tertinggi Negara sebagai superbody yang bisa menyelesaikan berbagai konflik dan menjadi panutan.
Yang menarik lagi adalah ketentuan
mengenai Mahkamah Konstitusi. Pada awalnya ide tentang dibentuknya
Mahkamah Konstitusi adalah untuk melaksanakan pengujian materiil, atau judicial review terhadap peraturan perundang-undangan yang sekiranya bertentangan dengan Konstitusi.
Memang pada masa Soeharto berlaku
larangan untuk melakukan pengujian materiil terhadap undang-undang,
karena pembentukan segala undang-undang menjadi hak Soeharto. Tapi untuk
melakukan tugas dan fungsi pengujian materiil itu tidak perlu harus
memecah Kekuasaan Peradilan yang ada di tangan Mahkamah Agung.
Sebagai contoh di dalam UUD-1949 dan UUD-1950, judicial review bisa
dilakukan oleh Majelis Pertimbangan Konstitusi yang merupakan bagian
dari Mahkamah Agung. Demikian pula dengan dibentuknya Komisi Judisial
yang bertugas mengawasi kerja para hakim semakin menambah perpecahan
Kekuasaan Peradilan.
Penempatan kedudukan Mahkamah Konstitusi
yang sekaligus berhak menetapkan pelanggaran Presiden terhadap
Konstitusi mengakibatkan besarnya kekuasaan Mahkamah Konstitusi.
Bahkan ada kecenderungan menempatkan
Mahkamah sebagai menggantikan peranan MPR. Perpecahan terjadi di dalam
Kekuasaan Kehakiman ketika Komisi Judisial dilarang untuk mengawasi
hakim-hakim Konstitusi; seakan-akan kedudukan Mahkamah Konstitusi lebih
tinggi daripada Mahkamah Agung.
Padahal, apabila Mahkamah Konstitusi itu
berada di dalam Mahkamah Agung, perpecahan tidak akan terjadi; dan para
hakimnya pun bisa diawasi oleh Mahkamah Agung sendiri, misalnya dengan
membentuk suatu badan khusus.
Di dalam Pasal-8 UUD-1945 juga dimasukkan ketentuan tentang impeachment terhadap presiden, yang juga memberi kekuasaan besar kepada DPR. Impeachment dilakukan oleh DPR setelah ada keputusan oleh Mahkamah Konstitusi.
Hal ini berarti juga memberi kekuasaan
besar kepada partai-partai politik; apalagi ketika 6 dari 9 Hakim
Konstitusi ditetapkan oleh orang-orang partai. Padahal kalau hanya
sekedar mau membuktikan, bahwa presiden telah benar-benar melanggar
Konstitusi, cukuplah itu dilakukan oleh sebuah panitia khusus yang
dibentuk oleh MPR; bukankah MPR yang menetapkan Konstitusi?!
Di dalam panitia penyelidik itu diikutsertakan pula Jaksa Agung. Dengan demikian, MPR pun kembali berfungsi menjadi superbody di mana presiden dan semua kekuasaan Negara harus bertanggungjawab pula kepada MPR.
Akan
tetapi tidak ada kerusakan yang lebih besar terhadap Republik ini
dibanding rekayasa Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya untuk memasuki
wilayah sumberdaya manusia dan sumberdaya alam Indonesia.
Sepertinya, amandemen terhadap
Pasal-pasal-31, -32, -33 dan -34 itu menjadi pasal-pasal yang bagus;
tetapi tujuan utamanya adalah demi mengubah cara berpikir lama menjadi
baru. Dan pikiran baru itulah pikiran Barat!
Memang Indonesia, sebagai bagian dari dunia yang sedang bekerja untuk pembaharuan, sedang gandrung
kepada kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi; karena itu setiap
perubahan cara berpikir demi kemajuan pendidikan dan penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi akan selalu disambut.
Pada
tahun 1960-an perubahan juga terjadi dalam sistem pendidikan di
Indonesia. Dengan mengatasnamakan Program PBB, mereka menjual
teknik-teknik dan materi-materi tentang pendidikan baru yang sebenarnya
sudah pernah dicoba di negara-negara Afrika tetapi gagal.
Di
Afrika ditolak, tetapi dipaksakan untuk Indonesia dan diterima. Sebagai
akibatnya anak-anak didik kita sudah tidak lagi tahu tentang Sejarah
Indonesia dan Dunia, Ilmu Bumi, Kebudayaan Indonesia dan Budi Pekerti.
Matematika, Ilmu Komputer dan Bahasa Inggris menjadi lebih penting
daripada ilmu pengetahuan tentang Indonesia.
Sebagai
akibatnya, kecintaan terhadap Indonesia dan nasionalisme menjadi luntur
dan hilang. Inilah yang sebenarnya menjadi tujuan mereka! Sebab, rasa
nasionalisme itulah yang menjadi kekuatan setiap bangsa dan negara,
dalam mempertahankan kedaulatannya.
Demikian
pula dalam bidang kesejahteraan sosial. Pasal-33 tentang kesejahteraan
sosial juga “dirusak” lewat tambahan ayat yang redundant dan tidak
jelas, sehingga perekonomian Indonesia menjadi kapitalistik dan sangat
pula liberal.
Azas
kekeluargaan yang terkandung di dalamnya menjadi hilang, berganti
dengan paham individualisme. Demikian pula hilang makna dari public
goods atau basic needs digantikan dengan private goods, sehingga
pengertian tentang cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup
orang banyak berubah menjadi profit centers.
Selanjutnya
“bumi, air, dan kekayaan alam di dalamnya” tidak lagi dikuasai Negara
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, melainkan dikuasai oleh
perusahaan-perusahaan swasta dan asing dengan mudah. Tidak saja produksi
sumber-sumber kekayaan itu tergantung kepada mereka, tetapi hasilnya
pun kemudian dijual dengan harga murah ke luar negeri.
Sebagai
akibat selanjutnya, Indonesia kehilangan segala manfaat dari hasil
kekayaan alamnya sendiri. Bahkan, ketika pada masa Soeharto minyak bumi
masih bisa diproduksi sampai 1.6 juta barrel per hari dan bisa diekspor,
sekarang harus diimpor karena produksi merosot hingga 900 ribu barrel
per hari atau lebih rendah.
Berlakulah apa yang disebut dengan Indonesia paradox: Indonesia kaya, tetapi rakyatnya miskin.
Pelanggaran terhadap Konstitusi 1945
justru dimulai oleh MPR 1999 sebagai Lembaga Tertinggi Negara pimpinan
Amien Rais. Seharusnya MPR 1999 memang dinyatakan tidak absah, karena
Pemilu 1999 memang tidak absah.
Tetapi ketika KPU 1999 sedang bekerja
giat untuk menolak Keputusan Presiden BJ. Habibie yang menyatakan Pemilu
1999 absah, serta memeriksa mantan Presiden Habibie karena terlibat
dalam Baligate, secara tiba-tiba Presiden Gus Dur justru membubarkan KPU.
Mungkin Gus Dur khawatir, dengan tidak absahnya Pemilu 1999, dia pun menjadi tidak absah sebagai Presiden RI…
Kekacauan mulai terjadi, ketika Megawati
menggunakan Pasal-134, yaitu penghinaan kepada presiden untuk
menangkapi para mahasiswa dan pemuda. Dia tidak ingin mahasiswa dan
pemuda melawan dirinya seperti yang terjadi pada Gus Dur dan Habibie.
Pada masa Presiden BJ. Habibie dan Gus
Dur, Pasal-pasal 134, 136 bis. dan 137 tentang penghinaan terhadap
presiden dan wakil presiden itu memang “ditidurkan”, tidak digunakan.
Sedang di jaman Megawati, belasan pemuda dan mahasiswa ditangkapi,
diadili dan dipenjarakan, karena dituduh menghina Presiden.
Megawati lupa, bahwa sekiranya mahasiswa
dan pemuda tidak bergerak melawan dan menjatuhkan Soeharto, maka tidak
mungkin dia bisa menjadi Presiden. Megawati pun didemo di tempat
kediamannya yang baru dibelinya ratusan milyar di Jalan Suropati,
Menteng, oleh para mahasiswa di bawah pimpinan Ketua BEM Universitas
Indonesia yang baru, Roy Marbun.
Roy ditangkap karena menyandera seorang
polisi di atas mobil komandonya; tidak lama kemudian dia dilepas, karena
tuduhan terhadapnya diubah menjadi unjukrasa tanpa pemberitahuan.
Roy Marbun bisa dicatat sebagai Ketua
BEM terakhir pasca Soeharto yang membawa masa mahasiswa untuk menentang
kebijakan presiden.
Tetapi, ketika anak-anak muda itu mulai
sadar dan menolak perubahan terhadap UUD-1945, Patung Kertas Megawati,
Hamzah Haz, Amien Rais dan Akbar Tanjung dibakar masa aktivis di depan
Gedung DPR/MPR-RI; aku bersama para aktivis MPRS-Plus ada di antara mereka.
Tetapi upaya kami sudah terlambat,
karena MPR dan Megawati akhirnya menyepakati berlakunya UUD-45 yang
diamandemen pada 2002; bahkan dengan dukungan penuh Panglima TNI,
Endriartono Soetarto; dan Amerika Serikat, tentunya.
Megawati hanya menang menjadi Presiden
RI karena masa PDIP yang mendukungnya menganggapnya sebagai anak
biologis Soekarno. Megawati dianggap tidak mewarisi pikiran-pikiran
ideologi Bung Karno; samasekali Megawati tidak punya kemampuan ilmu
pengetahuan yang cukup untuk duduk sebagai Presiden RI.
Dia pun hanya pernah duduk di bangku
universitas, Universitas Padjadjaran, Bandung, tanpa mampu
menyelesaikannya. Konon yang bermain politik di belakangnya adalah
suaminya, Taufik Kiemas, yang suka dengan uang dan kekuasaan.
Mestinya, masyarakat lebih berharap dari
anak Soekarno tertua, Guntur Soekarno, daripada anak Soekarno yang
lain. Tetapi semenjak keluarga Soekarno “ditolak” bermain politik oleh
Soeharto, maka Guntur Soekarnoputro memutuskan untuk “tidak terjun” ke
dunia politik. Guntur pun menganjurkan agar saudara-saudaranya tidak
terjun ke dalam kegiatan politik.
Tetapi pada awal 1996 dalam sebuah
Kongres di Semarang, masa PDI mendudukkan Megawati sebagai Ketua Umum
PDI; bahkan menjadikannya calon Presiden menghadapi Pemilihan Presiden
1998.
Beberapa Jenderal Angkatan Darat, antara
lain, Agum Gumelar dan AM. Hendropriono ikut menyelamatkan Megawati
dari kemarahan orang-orang pro-Soeharto.
Sangat kebetulan, masa rakyat pun sudah
mulai muak dengan Soeharto, dan ikut prihatin dengan keselamatan
Megawati, termasuk kami dari kelompok yang menentang Soeharto, antara
lain, PUDI dan PRD yang belum lama berdiri.
Upaya Presiden Soeharto dan Soeryadi,
Ketua PDI yang pro-Soeharto, untuk mengambil alih posisi Ketua Umum di
Kongres Medan juga tidak mampu menghadang keinginan masa PDI-Megawati.
Sekalipun kemudian markas PDI-Megawati
di Jalan Diponegoro-58 diserbu tentara Kodam-V Jaya pada 27 Juli 1996,
dan ratusan korban jiwa masa pendukung Megawati jatuh, tetapi para tokoh
dan masa PDI pendukung Megawati berjalan terus.
Tidak satu pun dari para jenderal
Kodam-V Jaya dan Sutiyoso, komandannya, mengaku ikutserta di dalam
pembantaian 27 Juli tersebut, sekalipun Soeharto sudah mundur sebagai
Presiden. Konon, operasi tersebut dipimpin oleh Kepala Staf Kodam-V
Jaya, Soesilo Bambang Yudhoyono.
Bahkan SBY-lah yang kemudian
menandatangani pengeluaran dana operasi, ketika Jenderal Suyono sengaja
menghindar karena menolak mengeluarkan dana. Suyono, bahkan kemudian
mengaku melihat beberapa jenderal, termasuk Sutiyoso, Pangdam V Jaya,
ikut memberi aba-aba kepada para tentara Kodam-V yang menyamar sebagai
preman-preman ketika penyerbuan terjadi.
Megawati pun sesudah itu, bahkan ketika
menjadi Presiden RI, tidak pernah mengusik peristiwa pembantaian 27 Juli
itu, karena merasa ikut bertanggungjawab dengan mengabaikan peringatan
akan adanya penyerbuan yang pernah disampaikan kepadanya sebelumnya.
Menjuali Aset Negara
Megawati termasuk penjahat besar di
antara presiden-presiden di Indonesia. Pertama, kalau sekiranya Megawati
bersuara berbeda dari DPR/MPR-RI dalam hal Amandemen UUD-1945, maka
pengaruh liberalisme dan kapitalisme tidak sedahsyat yang sekarang
terjadi.
Presiden Megawati pun ikut membuat
perekonomian Indonesia rusak lebih parah dengan menjuali aset-aset
berharga Indonesia. Melalui Boediono, Menteri Keuangannya, dan Laksamana
Soekardi, Bendahara PDIP dan sekaligus Menteri BUMN, Megawati menjual
PT. Indosat, berikut Satelit Palapanya.
PT. Indosat adalah hasil penanaman modal
ITT, International Telephone and Telegraph Corporation dari Amerika
Serikat di Indonesia; merupakan penanaman modal Amerika Serikat yang ke
dua sesudah Freeport, yaitu pada 1967.
Pada 1981, Soeharto membeli alat-alat
komunikasi itu yang kemudian menjadi aset-aset nasional yang berharga
dengan susah-payah dari dari Amerika Serikat. Satelit yang dinamakan
Soeharto dengan Palapa ini adalah satelit untuk komunikasi yang memunyai
wilayah operasi dari Sabang sampai Merauke.
Palapa mengambil nama dari Sumpah Palapa
yang diucapkan oleh Gajah Mada di jaman Majapahit, yaitu sumpahnya
untuk mempersatukan Nusantara. Soeharto membanggakan satelit ini sebagai
upayanya mempersatukan seluruh Indonesia, serta memperbaiki pula
hubungan Indonesia dengan dunia luar.
Laksamana Soekardi, insinyur Teknik
Sipil yang belajar ilmu Administrasi Bisnis dari Amerika Serikat itu,
dengan dalih menyelamatkan APBN pasca Krisis Moneter, menjual PT.
Indosat dan PT. Telkom, perusahaan-perusahaan milik Negara, kepada
sebuah perusahaan Negara Komunikasi milik Singapur, Singapore
Technologies Telemedia, ITT, dengan harga murah.
Bahkan, dengan cara-cara licin pula dan
tidak terbuka, sebab penjualan itu dilakukan pada hari Minggu, 31
Desember 2002, pada saat orang tidak masuk kerja. Penjualan juga
dilakukan melalui perusahaan perantara asing yang tidak jelas statusnya,
Indonesia Communication Limited, ICL, yang didirikan di Mauritius.
Kasus penjualan saham yang bermasalah
ini tidak sempat masuk ke pengadilan. Belum diketahui pula berapa banyak
dana yang dihimpun oleh Megawati untuk kepentingan Partainya dari hasil
penjualan Indosat itu karena kasusnya tidak sempat diselidiki.
Penjualan itu dilakukan dengan dalih,
bahwa Sidang MPR 1999 sudah menyetujui penjualan aset-aset negara karena
adanya krisis moneter.
Ternyata di balik penjualan PT. Indosat
itu, juga berperan tekanan IMF terhadap Rezim Megawati. Alasannya sangat
kerdil, yaitu untuk menutup defisit APBN.
Kasus lain yang mirip sekali adalah penjualan sebuah super tanker, very large carrier vessel, VLCV, yang dipesan dari Korea Selatan untuk mengangkut minyak mentah dari Timur Tengah.
Minyak mentah itu rencananya akan diolah
menjadi Bahan Bakar Minyak di perusahaan pengolahan minyak di Cilacap.
Segala sesuatu yang sudah dipersiapkan menjadi harus batal, karena
tanker raksasa itu tidak pernah masuk perairan Indonesia.
Sebagai Menteri BUMN, Laksamana Soekardi
juga memunyai wewenang menyatakan PTDI, PT. Dirgantara Indonesia, yang
disebut-sebut telah mengalami kerugian, sehingga sejumlah 6.000
karyawannya harus dirumahkan atau diputus hubungan kerjanya; bahkan
tanpa kompensasi yang benar terhdap para karyawannya.
Para karyawan itu tetap tidak dibayar,
sekalipun Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memenangkan pihak Karyawan
PTDI; Putusan itu dianulir Mahkamah Agung di jaman Presiden Soesilo
Bambang Yudhoyono.
Sebagai akibat perampingan PTDI itu, program produksi pesawat terbang CN-235 dan CN-250, serta N-2130 pesawat dengan dua engineturbofan berkapasitas 100 sampai 130 penumpang yang sedang dirintis terpaksa harus berhenti.
Perusahaan industri pesawat terbang
Indonesia yang dibangun Komodor Udara Noertanio semenjak perang
kemerdekaan dan kemudian dikembangkan oleh BJ. Habibie serta menjadi
salah satu kebanggaan rakyat Indonesia itu akhirnya tidak berjalan
sebagaimana diharapkan.
Di sini pula IMF ikut berperan; pada
hakekatnya mereka tidak ingin melihat Indonesia menjadi besar. Ironinya,
Megawati dan orang-orang di sekelilingnya tunduk kepada IMF.
Sebagaimana perusahaan BUMN pada
umumnya, kerugian yang terus-menerus menjadi salah satu karakternya. Hal
itu “bisa dimengerti”, karena campurtangan para pejabat tinggi negara
sangat besar, sehingga perusahaan-perusahaan itu tidak sempat ditangani
secara profesional; sebagai contoh adalah PTDI, salahsatu perusahaan di
bawah payung dalam kelompok BUMN Industri Strategis.
Dari enam perusahaan industri strategis,
yaitu perusahaan galangan kapal PT. Penataran Angkatan Laut; perusahaan
industri persenjataan PT. Pindad, atau Perusahaan Industri Angkatan
Darat dan PT. Dahana; perusahaan industri otomotif, PT.
Bisma-Boma-Indera; PT. LEN, Lembaga Elektronika Nasional yang bergerak
di bidang instrumentasi; dan PT. IPTN, Industri Pesawat Terbang
Nasional, yang kemudian berubah nama menjadi PTDI; semuanya merugi. Di
luar itu, PT. Krakatau Steel, PT. Inti yang bergerak di bidang
telekomunikasi, PT. INKA atau Industri Kereta Api, serta PT. Barata,
juga bergerak di bidang otomotif, dinilai cukup sehat.
Akan tetapi keadaannya menjadi semakin sulit sejak krisis moneter berlangsung.
Padahal, PT IPTN atau PTDI, industri
pesawat terbang dengan investasi sekitar USD 2,5 milyar atau 5 trilyun
Rupiah waktu itu, oleh sebab krisis moneter 1997/1998 itu sebenarnya
hanya membutuhkan injeksi dana sebesar sekitar 2 trilyun Rupiah.
Tetapi IMF tidak mau menyetujui.
Bandingkan ini dengan Bank Mandiri yang memeroleh kucuran dana sampai
146 trilyun Rupiah! Belum lagi menghitung dampak industri pesawat
terbang terhadap industri-industri lain berupa forward linkages dan backward linkages di kemudian hari.
Tetapi Soeharto pada 1998 itu terpaksa
setuju saja dengan permintaan IMF untuk menghentikan bantuan APBN kepada
IPTN. Baru kemudian disusul oleh Presiden Megawati yang dipaksa
memangkas hampir semua kemampuan PTDI.
Laksamana Soekardi juga menghancurkan
PT. Texmaco, sebuah perusahaan tekstil hulu-hilir raksasa; yang
sekaligus punya anak perusahaan PT. Texmaco Perkasa yang juga sudah
mampu memproduksi secara masal bus dan truk; bahkan mampu memamerkan
delapan model sedan yang disebutnya Carnesia, kependekan dari Car of Indonesia.
Permintaan IMF untuk melikwidasi Texmaco
sudah berawal dari jaman Gus Dur. Tetapi Gus Dur menolaknya. Sebagai
akibatnya, sampai Gus Dur meninggalkan Istana, bantuan IMF tidak kunjung
cair. Baru sesudah Gus Dur digantikan Megawati, bantuan itu cair.
Sekalipun begitu, pencairan dana bantuan IMF itu juga menuntut Megawati
untuk setuju menjuali aset-aset Negara.
Laksamana Soekardi menuduh Texmaco telah
menerima dana bantuan dari Soeharto. Dengan menyebut nama Soeharto itu,
masyarakat mau dibawa kepada suasana kebencian terhadap Soeharto, dan
ikut pula membenci Texmaco.
Padahal mantan Gubernur Bank Sentral
Soedradjat Djiwandono membantah tuduhan itu dengan mengatakan, bahwa
dana yang diberikan kepada Texmaco adalah dana resmi dari pemerintah
pusat yang juga diberikan kepada perusahaan-perusahaan lain dalam rangka
meningkatkan ekspor Indonesia.
Kebetulan sekali Soehartolah yang
membuka PT. Texmaco Perkasa; demikian pula kebetulan sekali salah satu
tokoh Texmaco, Marimutu Manimaren, adalah Bendahara Partai Golongan
Karya.
Maka Megawati dan Laksamana Soekardi
menganggap merekalah, sebagai kelompok Golkar yang selama ini
mengerdilkan PDI atau PDIP, perlu mendapat pembalasan. Tuduhan
berikutnya kepada Texmaco adalah diselewengkannya dana bantuan itu untuk
kegiatan yang tidak semestinya.
Sekarang banyak orang lupa, bahwa
seperti Golkar, di dalam PDIP pun banyak bersembunyi tokoh pengkhianat
bangsa dan Negara yang lebih patuh kepada pihak asing dan kehilangan
identitasnya sebagai nasionalis.
Seharusnya mereka melihat di sekeliling
mereka, bahwa tidak ada satu pun sepeda motor dan mobil, termasuk bus
dan truk, yang bikinan Indonesia; seluruh kendaraan yang bernilai
ratusan miliar USD tersebut tersedot ke luar negeri dibayarkan oleh
seluruh penduduk Indonesia.
Senilai itu pulalah kerugian Indonesia
dengan menghancurkan Texmaco Perkasa; pasti dalam jangka panjang
nilainya jauh lebih besar dari dana BLBI 640 trilyun Rupiah untuk mem-bail-out para konglomerat hitam itu.
Senilai itu pulalah seharusnya sumbangan
Marimutu Sinivasan pendiri dan Direktur Utama Texmaco, seorang
warganegara Indonesia keturunan India kelahiran Medan yang keluarganya
sudah tiga generasi tinggal di Indonesia.
Tidak sulit menduga, Texmaco dihancurkan
oleh konspirasi IMF dengan pengusaha-pengusaha keturunan Cina,
khususnya para konglomeratnya, lebih khusus lagi para pengusaha
otomotifnya, bersama-sama investor prinsipalnya dari Eropa, Amerika
Serikat serta Jepang dan Korea Selatan; mereka selama ini mendominasi
pasar otomotif Indonesia dan menikmati keuntungan luar biasa.
Amat disayangkan, bahwa harian Kompas
yang terkenal netral dengan oplah terbesar itu ikut-ikutan dalam
konspirasi dengan menyebarkan kabar bohong tentang Texmaco; puluhan
kabar bohong ditulis oleh Kompas, termasuk dalam tajuk-tajuknya.
Antara lain, tentang bail-out
terhadap hutang-hutang Texmaco dalam BLBI. Padahal Texmaco tidak
mendapat kucuran dana BLBI; hutang Texmaco adalah murni hutang-piutang
yang ditutup dengan aset-asetnya. Dikatakan lagi, bahwa aset-aset
Texmaco adalah barang rongsokan berasal dari Eropa Timur yang tidak
berharga.
Memang Texmaco membeli mesin-mesin second hand,
tapi itu dari pabrik-pabrik di Eropa Barat. Sangat tidak mungkin
mesin-mesin rongsokan itu bisa menghasilkan mobil sedan, bus dan truk;
serta melayani job order dari General Electric, Hitachi,
Siemens dan Krupps. Sebagai contoh, Hitachi memesan mesin pengolah
limbah, pengolah air laut menjadi air minum, mesin kilang minyak,
pembangkit listrik serta MRT untuk angkutan di luar negeri; dan GE
memesan komponen turbin gas.
Kompas juga memberitakan, bahwa Texmaco
adalah debitor terbesar; sesuatu yang amat sangat mudah dibuktikan
“tidak mungkin” dibanding dengan hutang para konglomerat seperti
kelompok Sudono Salim dari Bank Central Asia, dan Syamsul Nursalim dari
Bank Dagang Nasional Indonesia.
Yang sungguh keji adalah berita tentang
terbakarnya truk Texmaco sebagai akibat kerusakan mesinnya; padahal itu
tidak pernah terjadi.
Akhirnya Texmaco membawa berbagai
berita-berita bohong harian Kompas itu ke Pengadilan. Salahsatu
pengacara yang dihadirkan Kompas adalah Freddy Tan Toan Sin, termasuk
ahli hukum yang piawai.
Tetapi, Freddy pada akhirnya terpaksa
mengusulkan untuk berdamai dengan Texmaco dan membuat penyelesaian di
luar pengadilan. Sekalipun begitu, bersama Laksamana Sukardi, Texmaco
berhasil dibangkrutkan; bahkan tidak hanya pabrik mobilnya, tetapi juga
pabrik tekstilnya.
Puluhan ribu karyawan terpaksa diputus
hubungan kerjanya; termasuk 3 ribu sarjana, di dalamnya ada
tenaga-tenaga ahli mantan PTDI. Tetapi tidak ada keributan tentang
pesangon yang diberikan Texmaco bagi mereka. Kekejaman dalam PHK karena
pembangkrutan semacam itu tidak pernah terjadi di negara-negara maju.
Freddy yang lebih dikenal dengan nama
Amir Samsudin ini, kemudian diangkat oleh Presiden SBY, pengganti
Megawati, menjadi Menteri Hukum dan HAM. Di jaman mereka itu, beberapa
tersangka kejahatan narkoba berhasil mendapat putusan ringan dan,
bahkan, bebas.
Juga beberapa narapidana mendapat
potongan hukuman; termasuk seorang warganegara Australia, Schapelle
Leigh Corby, kawan anak SBY, Baskoro “Ibas” Yudhoyono.
Keduanya konsumen Narkoba sewaktu ada di
Australia, di mana Ibas pernah ditangkap; kemudian dilepas dengan
syarat-syarat berkat campurtangan Bapaknya. Nona Corby kedapatan
menyelundupkan narkoba ke Bali, ditangkap, diadili dan dihukum kurungan.
Akan tetapi tidak ada kejahatan besar di
bidang ekonomi yang dilakukan oleh Presiden Megawati selain pembebasan
para obligor penerima obligasi atau tanda hutang Negara BLBI itu dari
ancaman hukuman.
Masalah perampokan uang Negara bernilai
“ribuan trilyun” Rupiah lewat Skandal BLBI akibat dari krisis moneter
1997/98 itu memang tidak pernah selesai sampai sekarang. Para obligor
itu melakukan berbagai macam kecurangan, baik pada masa sebelum krisis,
saat menerima dana BLBI, maupun selama proses penyelesaian kewajibannya
sebagai pemegang saham di bawah pengawasan BPPN.
Yang akhirnya, menanggung beban “ribuan
trilyun” Rupiah adalah Rakyat pula. Yaitu sebagai akibat ulah para oknum
obligor dan pejabat negara sejak jaman Soeharto hingga SBY, para
petinggi Bank Indonesia, BPPN, serta IMF.
Gus Dur pada awalnya juga mencoba
menyelesaikan Skandal BLBI tersebut. Akan tetapi campur tangannya
bersama para pembantunya justru mengakibatkan skandal tersebut semakin
masuk ke dalam jurang yang lebih dalam.
Atas rekomendasi IMF berdasarkan Letter of Intent tanggal
20 Januari 2000, rezim pemerintahan Gus Dur didesak mengucurkan dana
guna menolong bank-bank yang sakit itu, dengan cara meningkatkan angka
CAR,capital adequacy ratio, atau angka kecukupan modal, setidaknya sampai 8%.
Sesudah itu desakan IMF masih tertuang
lagi dalam dokumen tambahan tertanggal 17 Mei, 31 Juli dan terakhir 7
September; yaitu untuk menambah modal bank-bank pemerintah dan BTO, bank
take-over, seperti Bank Mandiri, BNI, BRI, Bank Danamon, BCA dan Bank Lippo.
Lagi-lagi Gus Dur merasa panik oleh
tekanan IMF dan menjadi tidak puas terhadap Kwik Kian Gie dan Bambang
Sudibyo yang dianggap lalai dalam melaksanakan LoI tanggal 20
Januari 2000 itu. Pada 23 Agustus 2000 mereka dicopot; lalu Rizal Ramli
diangkat menggantikan Kwik Kian Gie sebagai Menteri Koordinator Ekonomi,
Keuangan dan Industri, dan Prijadi menggantikan Bambang Sudibyo sebagai
Menteri Keuangan.
Namun, karena Pemerintah sendiri sedang
kesulitan uang tunai, maka penyuntikan dana dilakukan dengan memberikan
Obligasi Rekapitalisasi yang juga dikenal dengan OR; nilainya mencapai
431,6 trilyun Rupiah.
Dengan begitu, seluruh utang negara
BLBI, termasuk SUN yang 210 trilyun Rupiah yang dikucurkan di era BJ.
Habibie, mencapai 640 trilyun Rupiah; dengan ditambah bunganya sampai
tahun 2021 akan mencapai lebih dari “dua ribu trilyun” Rupiah!
Bahkan ada usaha dari kelompok tertentu,
terutama pada konglomerat hitam untuk memperpanjang surat hutang itu
hingga 2033. Tentu saja kucuran dana Negara akan bisa mencapai lebih
dari “tiga ribu trilyun” Rupiah!
Tentulah Gus Dur dan lalu Mega telah
dikerjai oleh para obligor itu! Tiga kelompok bank-bank penerima OR dari
sekitar seluruhnya 50 bank adalah: Bank-bank BUMN, yaitu Bank Mandiri,
Bank Negara Indonesia 1946, Bank Rakyat Indonesia, dan Bank Tabungan
Negara; lalu Bank-bank Swasta Nasional, antara lain, Bank Internasional
Indonesia, Bank Central Asia, Bank Lippo, Bank Bali, Bank Artha Media,
Bank Danamon dan Bank Niaga; selanjutnya kelompok Bank-bank Pembangunan
Daerah, antara lain, BPD Daerah Khusus Ibukota Jakarta, BPD Sumatera
Utara, BPD Daerah Istimewa Aceh, BPD Jawa Tengah dan BPD Jawa Timur.
Selain bank-bank yang disebut itu, masih
ada banyak bank-bank lain. Lebih dari 60 persen dari dana OR di
diterimakan kepada empat Bank-bank BUMN di atas; Bank-bank Pembangunan
Daerah hanya menerima sekitar 1 persen dan selebihnya adalah untuk
bank-bank swasta nasional.
Dari semua bank penerima dana OR itu,
terbesar adalah Bank Mandiri dengan jumlah lebih dari 176 trilyun Rupiah
atau lebih dari 40 persen. Masih juga tidak jelas kenapa Bank Mandiri
sampai terpaksa memeroleh kucuran dana OR begitu besar.
Padahal, ketika merger Bank
Pembangunan Indonesia, Bank Dagang Negara, Bank Expor-Impor dan Bank
Bumi Daya menjadi Bank Mandiri, pakar perbankan Robby Djohan yang punya
reputasi internasional ditunjuk untuk memimpin bank hasil merger itu.
Memang akhirnya Bank Mandiri telah
menjadi bank nasional terbesar; tetapi itu hasil dari kucuran dana
Skandal BLBI yang korbannya adalah rakyat, termasuk rakyat kecil yang
justru tidak pernah merasakan sedikit pun akses perbankan.
Ketika bank-bank penerima OR tersebut
sudah “menjadi milik pemerintah”, kemudian dijual aset-asetnya dengan
cara cepat, juga atas rekomendasi IMF, ternyata harga jualnya jauh
sekali di bawah nilai hutangnya; sampah-sampah itu hanya laku sekitar
15-20 persen saja.
Tentang rendahnya nilai aset-aset perbankan yang kemudian di-mark-up
sebagai rekayasa untuk mendapatkan dana BLBI yang berlipatkali dari
nilai aset-asetnya itu sebenarnya sudah diketahui sejak awal; yaitu
ketika Soeharto masih berkuasa.
Menteri Keuangan dengan usia paling
pendek itu, Fuad Bawazier, sudah menyurati Presiden Soeharto tanggal 18
Mei 1998, berdasarkan keterangan Ketua BPPN Iwan Prawiranata,
mengatakan, bahwa dari total pinjaman BLBI per 12 Mei 1998 sebesar 109,5
trilyun Rupiah, yang diterima Bank Dagang Nasional Indonesia, BDNI,
berjumlah 27,6 trilyun Rupiah sementara nilai asetnya hanya 5,8 trilyun
Rupiah; sedang Bank Danamon yang menerima 25,8 trilyun Rupiah sementara
asetnya hanya bernilai 13,1 trilyun saja.
Tetapi terlambat untuk bertindak.
Soeharto tidak bereaksi, karena sibuk menghadapi desakan masyarakat
untuk mundur. Sedang Ginanjar, Menko Ekuin sibuk menyiapkan pengunduran
diri sejumlah menteri…
Selain terjadi mark-up atas
nilai aset-aset perbankan itu, dapat dipastikan juga ada “tikus-tikus”
koruptor di situ. Salahsatu contoh menyedihkan dalam masalah penjualan
bank adalah kasus BCA, Bank Central Asia.
Penjualan BCA yang menjadi salahsatu bank swasta nasional dimenangi oleh konsorsium asing, Farallon Capital Indonesia. Hasil penjualan yang hanya mencapai 5,3 trilyun Rupiah itu berada jauh di bawah target BPPN yang tercantum dalam Letter of Intent
Desember 2001 sebesar 27 trilyun; apalagi ketika penjualan terjadi, BCA
masih mengantongi dana OR yang bernilai sekitar 60 trilyun Rupiah.
Artinya, penjualan tersebut tidak
memakai logika menejemen keuangan; ke dua pemerintah masih wajib
membayar bunga obligasi senilai sekitar 9 trilyun Rupiah pertahun,
disamping nilai pokok obligasinya.
Ternyata, salahsatu konsultan Farallon adalah Hubert Neiss, mantan Direktur IMF untuk Asia-Pasifik yang ikut menangani krisis moneter Indonesia dari awal.
Karena itu, tentulah penjualan BCA ini tidak jauh dari kasus insider trading
yang mestinya bisa digugat di pengadilan internasional… Bahkan,
pimpinan IMF pun mestinya harus bisa digugat, sebagai akibat dari
rekomendasinya yang bodoh dan jahat! Bukankah mereka sedang bekerja
untuk Indonesia?
Kasus yang mirip dengan itu terjadi pada
Christine Lagarde, Presiden IMF, yang diselidiki pengadilan Perancis
karena keterlibatannya dalam skandal keuangan ketika menjabat Menteri
Keuangan Perancis.
Dalam kasus penjualan BCA tahun 2003
itu, yaitu di jaman Megawati, celakanya yang menjadi Menteri Keuangan
adalah Boediono, mantan Wakil Gubernur Bank Indonesia, yang pernah
melakukan kesalahan sehingga dipecat Soeharto pada akhir 1997.
Juga pada 2003 itu sebagai ketua KSSK,
Komisi Stabilitas Sistim Keuangan, adalah Sri Mulyani. Keduanya,
kemudian terlibat lagi dalam Skandal Bank Century 2008 yang membocorkan
keuangan negara sebesar 6,7 trilyun Rupiah; kebocoran mana terjadi pada
masa SBY menjadi Presiden RI periode pertama, di mana Boediono menjadi
Gubernur Bank Indonesia dan Sri Mulyani adalah Menteri Keuangan
sekaligus Ketua KSSK.
Dalam periode ke dua kepresidenan SBY
dewasa ini, Boediono adalah Wakil Presiden; dan Sri Mulyani menjadi
Pejabat Eksekutif Bank Dunia… Hebat! Dan sejauh ini belum ada kekuasan
hukum yang berhasil menjerat mereka!
Seharusnyalah pikiran-pikiran IMF itu
hanya terbatas pada masalah perbankan nasional, di mana krisis moneter
1997/98 mengakibatkan dunia perbankan mengalami krisis likwiditas.
Dengan demikian, tidak ada alasan kuat
bagi IMF untuk serta-merta memberikan pendapatnya di luar bidang
perbankan; apalagi memaksakan pendapatnya yang selain itu. Padahal belum
tentu pendapatnya itu merupakan obat mujarab. Oleh sebab itu, sudah
seharusnyalah pemerintah Indonesia melalui ahli-ahlinya tidak
serta-merta pula setuju dan menuruti saja pikiran-pikiran IMF.
Penjualan Indosat dengan Palapanya, super-tanker,
likwidasi Texmaco, perampingan PTDI dan lain-lain di satu pihak, dan di
pihak lain pengucuran dana besar-besaran ratusan trilyun di dunia
perbankan nasional adalah dua kebijakan yang bertolak belakang.
Memang Soeharto dan para pembantunya sejak awal sudah tidak teliti ketika menyetujui Letter of Intent, istilah lain dari Memorandum of Economics and Financial Policies
yang tidak lain adalah program restrukturisasi perekonomian untuk
Indonesia yang sangat luas… dan sangat rinci; semata-mata demi
kepentingan Blok Barat!
Kita tengok saja tahap Skandal BLBI yang
terakhir, yaitu divestasi atau penjualan aset-aset perbankan. Ternyata
aset-aset itu adalah sampah belaka. Bagaimana bisa IMF memaksa
pemerintah mengucurkan dana sampai ratusan trilyun Rupiah, untuk
aset-aset sampah yang hanya laku dijual seharga 15-20 persen?!
Memang ini bukan kesalahan IMF saja,
sebab BPPN, badan yang ditunjuk untuk menjual kembali aset-aset sampah
perbankan itu, juga harus ikut bertanggungjawab dan harus dipersalahkan.
Biaya yang dikeluarkan dari APBN untuk
BPPN dan para konsultan asing di dalamnya mencapai lebih dari setengah
trilyun Rupiah setiap semesternya; uang rakyat benar-benar menjadi bancakan bagi BPPN dan orang-orang di dalamnya.
Tetapi kesalahan awal pastilah ada pada obligor-obligor itu sendiri; yaitu adanya mark-up
terhadap aset-aset sampah itu, sehingga dana obligasi yang dikucurkan
menjadi sangat-sangat besar; berlipat kali daripada yang semestinya.
Di lain pihak, divestasi perbankan oleh
pemerintah dan BPPN itu terlalu cepat dilakukan, seperti sedang
mengobral, sehingga harganya pun jatuh. Divestasi itu terjadi selain
tanpa melalui tender terbuka, juga tanpa menetapkan harga minimal.
Yang lebih parah adalah bahwa seharusnya
divestasi berlangsung sesudah bank-bank itu nyata-nyata kembali sehat,
serta surat tanda hutang itu ditarik kembali oleh pemerintah pada saat
divestasi.
Sekalipun begitu, Kepala Perwakilan IMF
di Indonesia, John Dodsworth sempat berang, karena penjualan BCA dan
Bank Niaga dianggap amat terlambat; bahkan sudah dimasukkan ke dalam
Agenda 20 Januari 2000. Akhirnya BCA terjual juga di tangan Laksamana
Sukardi pada 14 Maret 2002.
Penjualan BCA tidak dilakukan secara
transparan, sebagaimana pernah disepakati Kwik Kian Gie dan Anoop Singh,
Wakil Direktur IMF untuk Asia Pasifik. Dalam penjualan itu, Konsorsium
Faralon Indonesia dimenangkan, sekalipun penawarannya atas saham BCA
lebih rendah dari penawaran Standard Chartered Bank, karena BCA berjanji
mau mengembalikan seluruh OR yang diterimanya; suatu kebohongan yang
seharusnya sudah diduga. Penjualan BCA dengan harga murah tersebut tidak
terlepas dari permainan pemilik aslinya juga, Soedono Salim.
Seperti dalam kasus penjualan BCA,
sangat mungkin IMF memang sengaja membikin perekonomian Indonesia
menjadi kacau; dan kesempatan itu datang ketika Megawati menjabat
sebagai Presiden RI. Demikian pula para obligor konglomerat hitam itu
tentu tahu bagaimana cara merayu Megawati beserta orang-orang PDIP di
sekelilingnya, dan lalu mendorongnya ke dalam jebakan keuangan sambil
memperhatikan celah-celah hukum keuangan Indonesia yang lemah…
Kesempatan penjualan bank-bank itu
tentunya dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh Mochtar dan James Riady
untuk menjual Bank Lippo. Tujuan mereka yang terutama adalah menghapus
jejak keterlibatan Bank Lippo dalam gerakan penjatuhan Soeharto;
khususnya sesudah Soeharto jatuh.
Setelah merger dengan Bank
Niaga, penjualan jatuh ke tangan CIMB-Niaga. Lippo kemudian berpindah
bisnis ke arah bisnis properti dengan membangun Lippo Karawaci dan Lippo
Cikarang, dan lain-lain termasuk merancang pendirian bank baru, antara
lain, Bank Mayapada, yang dipimpin Datok Tahir, menantu Mochtar atau
adik ipar Stephen dan James Riady.
Gerakan penjatuhan Soeharto secara
diam-diam yang dimotori oleh kelompok CSIS-Lippo bersama dengan dukungan
para konglomerat hitam ini terus berlanjut.
Campurtangan mereka bersama the National
Democratic Institute untuk melakukan amandemen terhadap UUD-1945 telah
berhasil dengan baik. Tidak hanya Pasal-33 saja yang berhasil diubah,
tetapi juga Pasal-6 UUD-1945; dengan perubahan pasal ini orang-orang
Indonesia yang tidak asli pun bisa sekarang menjadi Presiden RI. Sesudah
itu masih banyak agenda-agenda lain… Tujuan akhirnya adalah untuk
menguasai Indonesia secara ekonomi, sosial dan politik.
Inpres Nomer 8/2002
Bunga Obligasi Rekap dari pemerintah itu
pada awalnya dimaksudkan agar bank-bank itu bisa menjalankan operasinya
dengan baik dari hari-ke-hari.
Seharusnya, apabila bank-bank tersebut
kemudian telah mampu beroperasi dengan baik dan, bahkan, membukukan
keuntungannya, maka OR itu harus dikembalikan kepada pemerintah, baik
dengan cara menjual kembali surat hutang itu pada harga nominalnya, atau
menjual gratis kepada pemerintah; sehingga tidak perlu ada bunga
obligasi tahunan yang membebani pemerintah.
Maksudnya, agar pemerintah tidak lagi
mendapat beban pengeluaran dana APBN terus-menerus untuk bunga dan
pokoknya, dana Negara mana harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat
Indonesia. Sebab, betapapun dana OR itu berasal dari rakyat pembayar
pajak.
Karena itu adalah sangat tidak adil,
apabila bankir-bankir yang sudah kayaraya itu terus saja dikucuri dana
bunga obligasi, bahkan sampai sekarang sudah lebih dari sepuluh tahun;
sedang rakyat yang miskin tidak memeroleh bagiannya, tidak pula
tersentuh oleh derapnya pembangunan.
Bahkan, apabila subsidi bahan bakar
minyak atau subsidi-subsidi lain dicabut dengan alasan menutup defisit
APBN, maka mayoritas rakyat yang masih miskin ini akan semakin sengsara
hidupnya.
Padahal, kalau bunga OR itu disetop,
maka defisit APBN akan tertutup dengan sendirinya. Artinya, kesengsaraan
rakyat itu terjadi karena bunga-bunga OR itu jatuh ke tangan para
obligor yang sudah kaya-raya; berbagai gedung yang mencakar langit
tumbuh seperti cendawan di musim hujan itu ternyata berasal dari uang
rakyat ini…
Memang dari tahun-ke-tahun jumlah OR
yang disimpan oleh bank-bank tersebut menyusut. Tapi bukan karena surat
tanda hutang itu dikembalikan ke pemerintah, tetapi karena dijual kepada
pihak lain, termasuk kepada pihak asing.
Sebagai akibatnya, baik hutang maupun
bunga yang harus ditanggung pemerintah tidak berubah. Sebagai contoh,
Bank Mandiri telah menjual sebagian dari OR-nya senilai 58 trilyun
Rupiah kepada SCB, Standard Chartered Bank, tentulah dengan mengambil
keuntungan.
Menteri Keuangan Agus Marto Wardoyo,
mantan Direktur Utama Bank Mandiri, yang sekarang menjadi Gubernur Bank
Indonesia, mendiamkan hal itu, atau justru mendorongnya.
Sedang dari APBN, pemerintah RI tetap
saja harus membayar bunganya, kali ini kepada SCB; pemerintah pun wajib
membayar nilai nominal OR itu kepada SCB sewaktu-waktu surat hutang itu
ditagih. Di sini Agus Marto Wardoyo, sebagai mantan Direktur Utama
sebuah bank BUMN, nyata-nyata telah mempermainkan pemerintahnya sendiri;
dan rakyat Indonesia.
Padahal, sebagai akibat dari bunga OR
itu, Bank Mandiri telah mampu membukukan keuntungan besar; apa
sumbangannya terhadap rakyat dan Negara Indonesia? Bandingkan dengan BRI
yang mengembalikan surat OR-nya kepada pemerintah.
Sangat menarik memerhatikan krisis moneter di Amerika Serikat pada 2008. Krisis yang dipicu oleh skandal properti
yang mengakibatkan jatuhnya harga saham-saham hampir semua korporasi
termasuk keuangan dan perbankan itu diawali dengan bangkrutnya Lehman
Brothers, perusahaan yang bergerak di bidang properti.
Menteri Keuangan Hank Paulson samasekali
tidak mau menolong perusahaan properti besar itu, melainkan hanya
lembaga keuangan yang bergerak di bidang perumahan publik, yaitu Fannie Mae dan Freddie Mac, dan perusahaan asuransi AIG, American Insurance Group, yaitu perusahaan-perusahaan yang menjadi tumpuan jutaan penduduk dunia.
Ketika keadaan semakin tidak terkendali,
pemerintahan George W. Bush berusaha keras menghindarkan Amerika
Serikat dari depresi ekonomi yang mirip dengan yang pernah terjadi pada
1930-an itu. Dengan begitu, dia berharap pemerintahan tidak jatuh ke
tangan Barack Obama dari Demokrat, melainkan John McCain dari Republik.
Dalam keadaan sangat panik, akhirnya
para pembantu Menteri Keuangan mengusulkan untuk memilih salahsatu dari
dua opsi: membeli perusahaan-perusahaan yang hampir collapse
itu atau menyuntikkan dana ke 9 bank besar yang dipilih, yang lambat
atau cepat juga akan berjatuhan seandainya dipilih tanpa opsi.
Di situ Menteri Keuangan Hank Paulsen
sambil berteriak mengatakan bahwa membeli aset-aset perusahaan itu sama
saja dengan membeli sampah. Dan akhirnya diputuskan untuk menyuntikkan
125 Milyar USD ke delapan bank; hanya Bank of America yang menolak
karena merasa masih kuat.
Dengan suntikan dana itu, mau tidak mau
bank-bank itu harus berusaha keras menyalurkan lebih banyak kredit
kepada masyarakat; dari penyaluran mana, masyarakat menjadi tetap
percaya, bahwa likwiditas bank-bank itu “tidak terpengaruh” oleh krisis
yang sedang berlangsung.
Sekalipun harga-harga saham masih terus
berjatuhan, dan McCain dikalahkan Obama, tetapi ekonomi Amerika Serikat
masih bisa diselamatkan. Mungkin sekali Menteri Keuangan Amerika itu
belajar dari pengalaman dari Indonesia ketika menghadapi krisis moneter
1997/98; yang atas saran IMF, pemerintah justru membeli aset-aset sampah
perbankan nasional itu.
Bagi IMF itu sebuah experimen yang
berhasil memporakporandakan ekonomi Indonesia. Bagi Hank Paulsen,
pengalaman IMF menghadapi bank-bank di Indonesia itu dijadikan pelajaran
berharga untuk menyelamatkan ekonomi Amerika Serikat.
Skandal BLBI itu seakan-akan berakhir
dan masuk “peti es” setelah Megawati menerbitkan Instruksi Presiden
Nomor 8/ 2002 pada 30 Desember.
Inpres itu berujung pada pelepasan para
konglomerat obligor BLBI itu dan pembebasan mereka dari tuntutan hukum
pidana, asalkan telah membayar 30 persen dari hutang mereka, dan
bersedia membayar sisanya; kalau itu terjadi, maka kepada para obligor
diberikan Surat Tanda Lunas, SKL.
Tentu saja Inpres itu sebuah pelanggaran terhadap prinsip equality before the law
atau ‘persamaan kedudukan di mata hukum’; tentu saja tindak pidana
tidak bisa dihapuskan oleh kewajiban perdata, apalagi hanya 30 persen.
Presiden Megawati bersama Menteri
Koordinator Ekonomi, Keuangan dan Industri Dorodjatun Kuncoroyakti,
Menteri Keuangan Boediono serta sebagian besar para menteri dan
penasihatnya, seperti Kwik Kian Gie, telah diperangkap oleh kekuatan
konglomerat kelas internasional sehingga perlu menerbitkan Inpres yang
dikenal dengan Inpres Release and Discharge itu.
Menyusul Inpres itu diterbitkan pula
pada 2004 Surat Perintah Penghentian Penyidikan, SP3, terhadap sepuluh
obligor kakap oleh Jaksa Agung Abdurrahman Saleh.
Yang aneh bagi masyarakat luas adalah tidak jelasnya batas habis tempo (maturity date)
surat-surat tanda hutang atau obligasi negara, seperti SUN itu: bisa 10
tahun, 20 tahun, atau lebih. Sedang untuk OR disebut-sebut akan
berakhir pada 2021, yang berarti berjangka 20 tahun.
Akan tetapi sudah ada berita baru
rencana untuk memperpanjangnya hingga 2033. Demikian pula tidak jelas
besarnya bunga, bukan sukubunga, yang harus dibayarkan. Biasanya
bunganya tetap, tidak berubah; tetapi untuk OR ini, bisa saja ada
ketentuan lain. Karena itu, masalah OR, atau secara meneluruh masalah
BLBI, ini rentan dengan berbagai manipulasi.
Pembayaran bunga obligasi yang bisa
diartikan sebagai “subsidi oleh rakyat” kepada para bankir kaya dan
konglomerat hitam di belakang bank-bank ini sudah berlangsung setiap
tahun sejak, sebutlah, tahun 2000/01, dengan menggunakan dana APBN.
Sedang bagaimana pembayaran pokok hutang
negara dari SUN dan OR pada saat habis tempo nanti, yang nilainya
mencapai 640 trilyun Rupiah itu adalah persoalan besar lain yang akan
dihadapi oleh perekonomian nasional.
Sekalipun Skandal BLBI secara diam-diam
“sudah diselesaikan dengan cara salah” sampai dengan rezim Megawati,
tetapi sejauh ini, rezim SBY pun tidak berbuat apa-apa untuk mengoreksi
dan mencegah kesalahan itu berlanjut.
Tentulah dengan anggapan pembayaran
bunga tetap sebesar 64 trilyun Rupiah tiap tahun (yang identik dengan 10
persen sukubunga), sampai dengan 2012, atau sekitar 12 tahun saja,
berarti sudah dibayarkan 780 trilyun Rupiah berupa bunga; yang berarti
pula, berikut pokoknya, sudah lebih dari 1.400 trilyun Rupiah uang
rakyat dihambur-hamburkan bagi para konglomerat yang sudah kayaraya.
Apalagi kalau bunga yang dibayarkan saja
mencapai 70 trilyun Rupiah tiap tahun (setara dengan sukubunga 12%) dan
berlaku sampai lebih dari tahun 202o… atau 2030…!
Inpres Nomor 8 Tahun 2002 itu pernah
diajukan oleh beberapa anggota masyarakat yang peduli, kepada Mahkamah
Agung untuk diuji secara materiil. Perlu dicatat, bahwa pada waktu itu
belum terbentuk Mahkamah Konstitusi, sehingga pengujian materiil harus
diajukan kepada Mahkamah Agung; dan juga karena derajat Inpres adalah di
bawah Undang-undang.
Menurut para penggugat yang dipimpin
oleh ahli hukum Bambang Widjojanto, sekarang menjadi Wakil Ketua KPK,
dengan bantuan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum, YLBHI, yang juga pernah
dipimpinnya, Inpres itu harus dicabut.
Inpres tersebut tidak saja bertentangan
dengan prinsip hukum, tapi juga bertentangan dengan beberapa pasal
Konstitusi UUD-1945, dan beberapa peraturan perundang-undangan yang ada
di atasnya, seperti Tap MPR, Undang-undang Anti Korupsi Nomor 13 Tahun
1999 dan beberapa pasal dalam KUHP.
Putusan Mahkamah Agung melalui Majelis
Hakim Agung yang dipimpin oleh Prof. Dr. Paulus E. Lotulong menetapkan,
bahwa Inpres Nomor 8/2002 tersebut sudah benar sebagai sebuah kebijakan
yang kewenangannya berada di tangan presiden; dan bahwa sebagai
kebijakan, Inpres tersebut dinilai sebagai bukan obyek hak uji materiil.
Yang aneh dari Putusan Mahkamah Agung
Nomor o6G/HUM/ 2003 itu ditetapkan pada 30 Desember 2003, akan tetapi
baru disampaikan kepada para penggugat pada 30 Mei 2007! Tentu,
sekarang, pengujian materiil semacam itu bisa diajukan lagi kepada
Mahkamah Konstitusi.
Bukan Inpresnya yang akan digugat,
tetapi Undang-undang APBN-nya yang secara terang-terangan mengucurkan
dana puluhan trilyun setiap tahun kepada mereka yang selayaknya tidak
lagi mendapatkan kucuran dana. Bukankah bunga yang dikucurkan dulu
melalui Surat Hutang OR dimaksudkan untuk membantu likwiditas perbankan?
Sekarang ini bantuan tersebut sudah
tidak perlu lagi; bak-bank tersebut telah bisa beroperasi lagi dengan
baik dan mendapat untung. Maka dengan alasan apa Rezim SBY mau
memperpanjang masa berlakunya hingga 2033?
Nasionalisme ala Mega
Banyak kejadian lain dalam masa Megawati
menjadi Presiden yang menunjukkan ketidakmampuannya memimpin bangsa dan
Negara ini. Megawati berencana datang ke Timor-Timur untuk ikut
merayakan dan mengakui kemerdekaan Timor-Timur pada 20 Mei 2002.
Aku menyampaikan protesku secara keras
di depan para wartawan dengan mengatakan, bahwa seharusnya Negara
Republik Indonesia belum bisa mengakui kemerdekaan Timor-Timur sebelum
memenuhi beberapa syarat:
- Melakukan penyelidikan tentang
pelanggaran HAM oleh para milisia Timor-Timur, khususnya dari kelompok
Fretilin, terhadap penduduk sipil yang pro-Indonesia;
- Melakukan penyelidikan yang jelas juga
terhadap keabsahan referendum di Timor-Timur pada Agustus 1998;
bukti-bukti sementara menunjukkan bahwa referendum itu tidak jujur dan
adil;
- Batas-batas darat dan laut Timor-Timur
dengan Indonesia harus ditetapkan dengan jelas, termasuk status wilayah
Oekusi di pantai Barat Timor yang waktu itu dikenal sebagai wilayah tak
bertuan;
- Warga Negara Indonesia kelahiran
Timor-Timur serta penduduk Timor-Timur yang secara politis pro-Indonesia
tetap memunyai hak berupa ijin tinggal di wilayah Timor-Timur dan tidak
terusir;
- Segala perjanjian dengan negara asing
serta segala investasi asing pada sumberdaya alam Timor-Timur harus
dengan melibatkan Republik Indonesia; dan
- Timor-Timur dilarang menjadi pangkalan
militer pihak asing, atau yang semacam itu. Kenapa mesti begitu? Karena
Pulau Timor berada di dalam enclave Indonesia.
Karena prinsip enclave itu
pulalah Perdana Menteri Australia, Gough Whitlam, pada masa lalu
mendukung Timor-Timur sebagai bagian dari Indonesia; selain itu,
Timor-Timur tidak mungkin bisa “hidup” sendiri di dalam enclave tersebut.
Pada pertengahan tahun 2003 Megawati
kembali menyatakan provinsi Aceh sebagai Daerah Operasi Militer,
sebagaimana Orde Baru pernah menyatakan begitu sejak 1978.
Tidak pelak lagi, perang antara Gerakan
Aceh Merdeka, GAM, dan TNI berlangsung lagi. Masalah Aceh mirip dengan
Timor-Timur: TNI tidak mampu memadamkan pemberontakan tersebut dengan
cepat. Gerakan Aceh Merdeka terus mendesakkan keinginannya untuk
merdeka.
Setelah Soeharto mundur DOM dicabut dan Jenderal Wiranto sempat datang ke Aceh untuk meminta maaf kepada rakyat Aceh.
Tapi tentu saja permintaan maaf seperti
itu tidak cukup; melainkan harus dilakukan pula penyelidikan tentang
kemungkinan pelanggaran perang, atau war crimes, yang
pelanggarnya harus diadili di pengadilan internasional di Den Haag,
Negeri Belanda. Setelah kunjungan Wiranto itu dimulailah
perundingan-perundingan.
Gus Dur pernah mengirim delegasi ke Aceh
untuk memulai perundingan, tetapi berakhir dengan kegagalan. Akhirnya
Gus Dur membawa persoalan Aceh ke Jenewa; terbetik berita bahwa akan
dicapai Memorandum of Understanding antara RI dan Aceh pada 13 Mei 2000.
Orang bertanya-tanya terhadap apa yang
dilakukan Gus Dur. Kenapa MOU? Kenapa tidak gencatan saja, lalu disusul
dengan melanjutkan perundingan? Padahal kita semua tahu, bahwa Aceh cuma
menuntut berlakunya syariah Islam; serta otonomi dengan pembagian
kekayaan provinsi yang seimbang. Lalu kenapa Jenewa?
Apa RI tidak bisa menyelesaikan
persoalan di dalam Negeri sendiri? Apa itu tidak sama dengan “menjual
Aceh” dan “membuka intervensi dunia” terhadap kedaulatan RI?
Dalam kerangka Jenewa juga, pada
pertengahan Mei 2003 Megawati membawa persoalan Aceh ke perundingan di
Tokyo, melanjutkan upaya Gus Dur. Akan tetapi, ketika delegasi Aceh
meminta waktu penundaan satu hari saja guna menyiapkan perundingan itu,
Megawati tega menolak dengan membatalkan perundingan; Mega menyatakan
perang lagi terhadap Aceh.
Megawati juga memulai perang terhadap
Islam Indonesia atas desakan Amerika Serikat. Tragedi 11 September 2001
terjadi di New York; gedung Menara Kembar kantor World Trade Center
runtuh ditabrak pesawat-pesawat terbang United Airlines yang, konon,
dibajak oleh orang-orang Arab anti Amerika Serikat dan Yahudi.
Dalam kemarahannya, George W. Bush
menuduh pelaku peruntuhan Menara Kembar yang menelan jiwa tidak kurang
dari 8.000 jiwa pada hari Sabtu itu adalah para teroris Islam, dan
khususnya Al Qaeda pimpinan Osama bin Laden.
Lalu dimulailah perang “melawan
terorisme” oleh Amerika Serikat bersama para sekutunya. Peristiwa 11
September itu digunakannya untuk melakukan invasi ke Afghanistan, karena
mengira Osama bin Laden sedang berperang di negara itu membela kelompok
Taliban.
Kesempatan itu juga digunakan Amerika
Serikat dan Sekutunya untuk memengaruhi PBB guna menghukum Iraq karena
dituduh menyimpan senjata kimia dan pemusnah masal.
Sampai hari ini tidak pernah terbukti,
bahwa Al Qaeda di bawah pimpinan Osama bin Laden ada di belakang
peristiwa 11 September 2001 itu; Perdana Menteri Mahathir Muhammad
adalah orang pertama yang mendukung pikiran itu.
Bahkan sudah ada dugaan, bahwa Tragedi Nine-Eleven
itu sengaja dibuat untuk mendukung alasan penyerbuan ke Afghanistan dan
Iraq; konon tabrakan pesawat terbang ke Gedung Kembar World Trade
Center itu tidak mungkin juga menghasilkan keruntuhan gedung yang
seperti itu.
Tidak terbukti pula Sadam Husein
menyimpan senjata kimia ataupun pemusnah masal. Tentulah alasan
penyerbuan Amerika Serikat ke Iraq adalah minyak Iraq yang diduga
memunyai cadangan 300 sampai 400 milyar barrel, atau sekitar 35 persen dari cadangan dunia.
Tapi rakyat Afghanistan dan Iraq menjadi terkoyak-koyak sebagai akibat pendudukan Amerika Serikat dan sekutunya.
Invasi dan pendudukan Amerika Serikat
dan sekutunya tidak menghasilkan kesejahteraan bagi rakyat ataupun
demokrasi sebagaimana mereka selalu gembar-gemborkan sebagai alasan.
Setiap hari selalu ada orang terbunuh oleh bom dan bom bunuh diri akibat
rakyat tercerai-berai menjadi berbagai faksi oleh akibat invasi itu.
Pemerintahan pasca Sadam Husein ciptaan
Amerika Serikat ternyata tidak mampu mencegah bom-bom di Iraq yang
seharinya bisa membunuh 10, 20, 30 bahkan 100 orang rakyat Iraq; itu
tidak pernah terjadi di jaman Sadam Husein, diktator yang berani
menantang Amerika Serikat itu.
Orang-orang Islam di seluruh dunia wajib
mencatat kekejian Amerika Serikat dan para sekutunya itu; dan menuntut
kerugian seperti ketika Lybia dituntut membayar ganti rugi atas jatuhnya
pesawat Pan-Am di atas Lockerbie.
Peristiwa Bom Bali yang memakan korban
lebih dari 100 wisatawan, 88 di antaranya dari Australia, dipakai
sebagai alasan untuk memaksa Megawati ikut menerbitkan Undang-undang
Anti Terorisme.
Sejak itu, dimulailah penangkapan dan
pemenjaraan terhadap para tokoh Islam, seperti Abubakar Ba’asyir,
seorang ustadz pendiri Pondok Pesantren Ngruki di Surakarta. Amerika
Serikat menuduh guru agama itu punya hubungan dengan Al Qaeda; sesuatu
yang tidak pernah terbukti.
Tidak terkecuali, juga mereka yang
dituduh sebagai teroris dan melakukan berbagai pemboman di banyak tempat
di Indonesia; termasuk Amrozi, Imam Samodra dan Mukhlas, dan
kawan-kawannya yang diduga merakit Bom Bali.
Dengan bantuan keahlian dan dana dinas
keamanan Australia, Polri membentuk Detasemen Khusus-88, Densus-88, di
bawah pimpinan Goris Merre, yang dikenal sebagai algojo umat Islam.
Angka 88 dalam Densus-88 itu diambil dari jumlah korban warganegara Australi dalam peristiwa Bom Bali tersebut.
Sejak itu Densus-88 terus-menerus secara
aktif melakukan penangkapan-penangkapan dan tembak di tempat terhadap
para aktivis dan pemuka Islam dengan tuduhan teroris. Entah apa yang ada
di benak Polri dan Densus-88 sampai-sampai orang baik-baik yang
terbunuh oleh peluru-peluru mereka, termasuk para penjahat biasa, pada
akhirnya harus menjadi “teroris”, semata-mata karena mereka mengatakan
begitu.
Mereka pula yang “menemukan” dan
sekaligus “meletakkan” bukti-bukti berupa bom dan lain-lain untuk
membenarkan tuduhan mereka. Sidney Jones sendiri yang pada awalnya
menuduh pemuka-pemuka Islam itu sebagai ancaman, sempat mengatakan bahwa
apa yang dilakulan Densus-88 sudah melanggar HAM.
Karena itu perlu disimak kemungkinan
adanya jaringan internasional, di mana Densus-88 ciptaan Australia ini
memunyai misi yang sama dengan berbagai aksi pembunuhan di Iraq,
Afghanistan dan sekarang Pakistan, serta tempat-tempat lain di dunia.
Polisi juga menangkap Habib Riziek,
tokoh dan Ketua Front Pembela Islam, yang dituduh main hakim sendiri
dengan kekerasan, antara lain, terhadap para pemakai minuman keras.
Pada kenyataannya, Polri memang secara
sengaja membiarkan berkembangnya pasar minuman keras dan obat terlarang,
karena banyak anggotanya yang terlibat. Megawati telah mulai menanam
benih permusuhan dengan umat Islam Indonesia; karena banyak pendompleng PDIP yang memang anti Islam, yang berfaham komunis dan yang anti Pribumi.
Sekalipun begitu, Mega sempat menolak
Bush untuk menangkap lagi Ketua Pesantren Ngruki itu; kalau tidak, maka
Abu Bakar Baasyir pasti sudah diterbangkan ke Guantanamo.
Mega sempat menolak Bush untuk menangkap
lagi Ketua Pesantren Ngruki itu; kalau tidak, maka Abu Bakar Baasyir
pasti sudah diterbangkan ke Guantanamo.
Menjelang akhir pemerintahannya, Megawati masih terlibat lagi dengan Skandal Sukhoi: pembelian beberapa pesawat jet tempur Sukhoi buatan Rusia, yang dilakukan dengan cara melanggar hukum.
Pembelian empat pesawat tempur Sukhoi itu, dua dari jenis SU-27SK dan dua dari SU-30MK, ditambah dengan dua buah helicopter dari jenis MI-35P bernilai 192.9 juta USD atau 1.7 triliun Rupiah, telah sepakat ditandatangani di Moskow pada 24 April 2003.
Dari jumlah itu Bank Bukopin membayarkan dana talangan in advance
sebesar 26 juta USD, lalu 77.57 juta USD dibebankan pada Dana Cadangan
Umum APBN 2003. Selebihnya akan dibayarkan lewat imbal-beli dengan
Bulog, serta dengan dana APBN 2004.
Pembelian pesawat Sukhoi dengan cara barter
atau imbal-beli khusus itu sudah direncanakan di jaman Habibie, di mana
Indonesia membayar harga pesawat itu dengan produk-produk dalam negeri,
antara lain, produk-produk hasil unggulan pertanian, seperti karet,
kopi, kelapa atau minyak sawit.
Juga produk-produk manufaktur lain,
seperti, odol, sabun, deterjen, semen dan pupuk; bahkan Habibie
menjanjikan produk-produk usaha otomotif dan pesawat terbangnya hasil
IPTN. Sementara Rusia bersedia memberikan lisensi pembuatan spare parts Sukhoi kepada IPTN.
Proyek itu gagal, akibat dari krisis
moneter dan Soeharto yang keburu jatuh. Tetapi dengan kebodohannya,
Presiden Megawati bermaksud melanjutkan proyek Habibie itu.
Menurut DPR, ada empat pelanggaran hukum yang dilakukan Megawati:
- Bahwa kontrak pembelian tidak
ditandatangani oleh Menteri Pertahanan Matori Abdul Djalil, melainkan
oleh Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto dan Kepala Badan Urusan
Logistik, Bulog, Widjonarko Puspoyo; yang berarti pula melanggar UU
Tentang Pertahanan Negara;
- Bahwa kontrak yang ditandatangan juga
tidak melibatkan Menteri Keuangan Boediono, sekalipun pelunasan
pembelian menggunakan Dana Cadangan APBN; yang berarti melanggar UU
Keuangan Negara dan UU Tentang APBN;
- Bahwa kredit hasil talangan dari Bank
Bukopin tidak didukung oleh kecukupan modal Bukopin; yang berati pula
melanggar UU Perbankan.
Sebagai Master Minds Skandal
Sukhoi ini tuduhan jatuh kepada Presiden Megawati dan Menteri
Perindustrian dan Perdagangan Rini Suwandi, mantan Direktur Keuangan PT.
Astra International.
Tentu saja proyek Sukhoi ini tidak pula
lepas dari kemungkinan KKN, korupsi, kolusi dan nepotisme, dari
orang-orang yang berada di sekeliling Megawati. Orang menggambarkan Rini
sebagai baby sitter keluarga Mega, yang sengaja disusupkan oleh kelompok Astra dan keluarga William Suryadjaja.
Belum lagi orang-orang yang sangat dekat
dengan Mega, termasuk suami Mega sendiri, Taufik Kiemas; Taufik memang
dikenal sebagai manusia doyan duit yang selalu ada di belakang segala tindakan Megawati.
Dan tentu saja para calo pesawat dan persenjataan… Tetapi Mega keburu jatuh, dan seperti biasa, skandal ini dianggap selesai dan hilang begitu saja!
Napak Tilas Yang Menggusur
Kira-kira Skandal Sukhoi itu menjadi
salahsatu penyebab “vonis” Amerika Serikat untuk Megawati. Sedang
Yudhoyono yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan SBY memang sudah
lama dibidik para penentu kebijakan di Amerika Serikat dan CIA untuk
menjadi boneka asing, menggantikan Mega.
Perjalanan “napak tilas” Bapaknya, yaitu
Presiden Soekarno, yang dilakukan Megawati memperingati Poros
Jakarta-Peking-Moscow yang dibangun Soekarno sebelumnya, juga menjadi
alasan bagi penyingkiran Megawati Soekarnoputri.
Dalam “napak tilas”-nya itu Mega didampingi seorang konglomerat hitam Syamsul Nursalim, mantan Boss
Bank Dagang Nasional Indonesia, pelaku tindak pidana BLBI yang buron ke
Singapur. Di situ Mega menambah daftar kunjungannya dengan mampir ke
Pyong Yang, Korea Utara, yang masih komunis dan menjadi ancaman bagi
Korea Selatan dan Amerika Serikat sendiri.
Tentu saja kebodohan Megawati ini
dianggap oleh Presiden George W. Bush sebagai sebuah provokasi, yang
memaksanya untuk menjatuhkannya.
Pikiran Bush ini terbukti, ketika Obama
pun diancam Kim Yong Un dengan peluru kendali berkepala nuklir yang
tertuju ke daratan Amerika Serikat.
Akan tetapi, peringatan 60 tahun Perang
Kemenangan Korea 1953 oleh Yong Un pada 2013 kemarin benar-benar
menunjukkan kemampuan Korea Utara membangun nasionalisme rakyatnya
sekaligus kekuatan 10 ribu angkatan bersenjatanya, yang membikin Barack
Obama gentar; lalu membatalkan latihan perang-perangannya bersama Korea
Selatan.
Dunia berharap menyaksikan Korea bersatu kembali, suatu ketika nanti, seperti Vietnam dan juga Jerman.
Sidney Jones, yang dikenal sebagai agen
CIA, ketika bertemu denganku di YLBHI selepas aku keluar dari penjara
pada Mei 1998, sudah menyebut nama SBY sebagai jagoan-nya.
Sedang Sidney sendiri ditolak masuk
Indonesia oleh Hendropriono, Ketua BIN yang diangkat Presiden Megawati,
dan pendukung setia Megawati sejak Kongres PDI di Semarang 1996; Hendro
tidak suka, karena sudah membau rencana menjagokan SBY, yuniornya di
Angkatan Darat.
Tetapi upaya AM. Hendropriono mendongkrak suara Megawati dalam Pemilu 2004 itu ternyata tetap kandas.
Begitu besarnya kepentingan rakyat dan
Negara Indonesia yang dikorbankan demi asing oleh Megawati dalam tiga
tahun lebih pemerintahannya dianggap belum cukup memadai.
Amerika Serikat sudah lebih dahulu
memilih Soesilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden yang bakal
pro-Amerika Serikat pasca Soeharto. Sebaliknya dari pihak SBY sendiri,
demi mendapat dukungan dari Amerika Serikat, sudah lebih dulu berikrar
untuk setia dan sujud secara total kepada Amerika Serikat. Sedang BJ.
Habibie, Gus Dur dan Megawati hanyalah presiden transisi.
Di samping berbagai tuduhan manipulasi
suara dan korupsi, pasangan SBY-Kalla ini dimenangkan oleh Komisi
Pemilihan Umum, KPU, dalam Pemilihan Presiden 2004; yaitu sebuah
pemilihan presiden langsung yang pertama kali, berdasarkan Amandemen
UUD-2002.
Begitulah pula dengan Mesir. Setelah
Mubarak dijatuhkan karena dianggap tidak lagi bermanfaat bagi Amerika
Serikat dan negara Barat pada umumnya, sementara rakyat Mesir mulai
gelisah dengan berbagai persoalan di dalam negeri, maka saatnyalah
Mubarak harus diganti.
Padahal investasi Amerika Serikat di
dalam peralatan militer sudah sangat besar; dan sangat mengkhawatirkan
kalau jatuh ke tangan yang salah, dan karena itu harus diselamatkan.
Akhirnya mau-tidak-mau revolusi Mesir untuk menggulingkan Mubarak pun
harus terjadi; itu dimulai pada akhir Januari 2011.
Revolusi 18 hari rakyat Mesir pun
berhasil menggulingkan Hosni Mubarak pada 12 Februari 2011, sesudah 30
tahun berada dalam kekuasaan. Dewan Transisi Militerlah di bawah
pimpinan Jenderal Omar Suleiman adalah yang menggantikan kepemimpinan
Presiden Hosni Mubarak, sebelum pemilihan presiden bisa dilaksanakan.
Akhirnya melalui amandemen, Konstitusi
baru terbentuk dalam sebulan, di mana, antara lain, periode seorang
presiden adalah maksimun dua kali empat tahun. Sesudah pemilihan anggota
parlemen dan pemilihan presiden, terpilihlah Mohammad Morsi.
Mohammad Morsi ini pun bukan pilihan
Amerika Serikat, karena kemenangannya sebesar 52 persen terutama karena
didukung oleh Ikhwanul Muslimin yang tentu tidak disukai Amerika
Serikat. Sehingga, sekali lagi, Morsi haruslah tetap menjadi presiden
transisi.
Tinggallah Amerika Serikat dengan
jaringan CIA-nya menunggu saat yang tepat untuk mengganti Morsi… Rakyat
Indonesia mudah-mudahan semakin tahu bagaimana cara kerja Amerika
Serikat dan para intelijennya menjatuhkan kekuasaan yang tidak sesuai
dengan maunya! Mereka pun menggunakan pengkhianat-pengkhianat di dalam
negeri yang bisa dibelinya.
Ikhwanul Muslimin sendiri dilarang sejak
1954, sesudah Gamal Abdul Nasser menjatuhkan Raja Farouk melalui sebuah
kudeta militer pada 1952; baru 57 tahun kemudian, sesudah 18 hari
Revolusi 2011 mencapai kemenangannya, kelompok Ikhwanul Muslimin
diperkenankan kembali berkiprah di dalam politik Mesir.
Karena ada larangan menggunakan nama
yang merujuk pada sesuatu agama, kelompok Ikhwanul Muslimin kemudian
mendirikan Partai Kebenaran dan Keadilan sebagai kendaraan politiknya.
Hampir tepat setahun sesudah naik kursi
kepresidenan, selama beberapa hari ribuan rakyat Mesir mendadak
menyatakan anti Morsi; mereka berkumpul lagi di Tahrir Square dan menuduh Morsi telah berkhianat terhadap Revolusi Mesir.
Penentangan terhadap Morsi dipicu,
antara lain, oleh inflasi yang tinggi, serta kelangkaan BBM dan listrik
yang berlangsung selama beberapa minggu. Tetapi tidak hanya itu,
penentang Morsi juga mengatakan, bahwa Morsi adalah boneka Ikhwanul
Muslimin; yang tidak memperhatikan kelompok-kelompok rakyat yang lain,
termasuk yang non-Muslim.
Sekalipun ada ratusan ribu pendukung
Ikhwanul Muslimin yang juga berkumpul di lapangan depan Universitas
Kairo di Nasr City dan Giza untuk mempertahankan Morsi, pihak militer
seakan-akan tidak peduli.
Tepat menjelang hari ulang tahun
Kemerdekaan Amerika Serikat 4 Juli, Morsi ditangkap dan harus
meninggalkan jabatannya itu oleh Kudeta Militer tak berdarah yang
dipimpin oleh Panglima Angkatan Bersenjata, Jenderal Abdel Fattah Al
Sissi, Panglima Angkatan Bersenjata yang diangkat sendiri oleh Morsi
untuk menggantikan Omar Suleiman.
Memang pihak militer pernah penasaran
terhadap Morsi ketika Ketua Dewan Militer Mesir, Jenderal Omar Suleiman,
setelah diangkat menjadi Menteri Pertahanan dan Panglima Angkatan
Bersenjata dalam Kabinet Morsi, ternyata digusur oleh sang Presiden.
Dendam itu rupanya menjadi dalih Jenderal Abdel Fattah Al Sissi, untuk
bergerak lebih dulu menggusur Morsi.
Pihak oposisi sendiri melakukan protes
kepada Presiden Morsi pada awalnya, karena kelangkaan BBM dan pemadaman
listrik. Akan tetapi tentulah kelangkaan BBM dan pemadaman listrik itu
memang disengaja oleh pihak militer Mesir untuk memicu perlawanan pihak
oposisi.
Setelah lewat masa ultimatum 48 jam
untuk mundur, Presiden Morsi beserta beberapa pimpinan Ikhwanul Muslimin
dan 300 anggotanya ditangkap oleh penguasa militer dengan alasan demi
menghindari bentrokan berdarah di antara para oposan dan pendukung
Morsi.
Sekarang, sesudah enam bulan dalam
situasi bentrokan antara kubu rakyat dan kubu militer, dengan ratusan
yang tewas, mendadak Jenderal Al Sisi menyatakan mimpinya menjadi
Presiden Mesir. Tentu masih tergantung pada rakyat Mesir atau Amerika
Serikat.
Bagi kelompok Lippo dan CSIS, serta para pendukungnya yang didominasi Overseas Chinese, mereka tidak bisa berbuat apa-apa pula terhadap pilihan Amerika Serikat pada SBY.
Sebab Amerika Serikat dan mereka adalah
sama-sama menginginkan negara kapitalis dan liberalis sebagai dasar bagi
demokrasi mereka. Sebab, bahwa hanya dengan cara itu, maka Indonesia
akan lebih maju…
Cita-cita kemerdekaan dan nasionalisme adalah masa lalu yang sudah kuno… Itu kata mereka! ■
*Sri Bintang P, Aktivis Senior RAKYAT BERGERAK (lanjutan tulisan GANTI REZIM GANTI SISTIM, Pergulatan Menguasai Nusantara)
Waspada, Pemilu 2014 Diprediksi Akan Terjadi 'Chaos' Hingga 2016
Berbagai kalangan menilai agar rakyat
waspada dan bersiap menjaga diri dan keluarganya dari fitnah pesta
demokrasi yang akan digelar tahun 2014 ini.
Narasumber kami menilai ada benang merah
antara reuni Perwira TNI AD, pembentukan Paspamres Group D dan syahwat
yang menggelora dari mafia cina yang sudah tak tahan mendesak PDI-P
menunjuk Jokowi sebagai calon Presiden RI ke tujuh dan akan ada
kerusuhan apabila Jokowi gagal nyapres.
Dimana benang merahnya?
1) 100 Perwira Purnawiran TNI Berkumpul di MABES TNI AD
Sekitar 100 Perwira Tinggi Purnawirawan
TNI-AD berkumpul dengan Perwira Tinggi aktif di Markas Besar TNI-AD,
Kamis 20 Februari 2014. Silaturahmi itu untuk menjaga netralisme TNI
pada Pemilu mendatang.
Dalam pertemuan itu juga dihadiri oleh
purnawirawan TNI yang menjadi Calon Presiden pada Pemilu mendatang,
yaitu mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Wiranto (Capres Hanura),
mantan Kepala Staf TNI-AD Jenderal (Purn) Pramono Edhie Wibowo dan
Jenderal (Purn) Endriartono Sutarto (Peserta Konvensi Capres Partai
Demokrat).
Wiranto dan Pramono Edi tampak duduk melingkar di
satu meja dengan Kepala Staf TNI-AD Jenderal Budiman. Di sebelahnya,
tampak mantan Wakil Presiden Jenderal TNI (Purn) Tri Sutrisno dan Letjen
Purnawirawan Surjadi, mantan Gubernur DKI dan Mendagri era Pemerintahan
Orde Baru.
Selain itu juga turut hadir Jend TNI (Purn)
Ryamizard Ryacudu, Jend TNI (Purn) Hendro Priyono, Jend TNI (Purn) Luhut
B. Pandjaitan dan lainnya.
Tri Sutrisno dalam pidatonya
menyatakan, TNI harus menjaga netralitas pada Pemilu tahun ini. TNI
cukup menjaga keamanan dan kelangsungan pesta demokrasi tersebut.
"Kami ingatkan, TNI jangan sampai terlibat langsung dalam pemilu yang akan datang," katanya.
2) TNI Kubu Seberang: 150 Jenderal membentuk 'Dewan Revolusi Rakyat'
Berbagai sumber menilai sikap ini atas
timbulnya gerakan Ratusan purnawirawan jenderal dan perwira menengah TNI
kembali menyatukan barisan untuk ‘menjatuhkan’ atau melengserkan
kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Alasannya, para
jenderal itu, pemerintahan SBY tidak bisa lagi diharapkan
menyejahterakan rakyat, menegakkan hukum, memberantas korupsi, dan
persoalan bangsa lainnya.
Informasi yang diterima, sekitar 150
purnawirawan TNI berkumpul di Jakarta, dan hadir dalam pertemuan ini
antara lain Jenderal (Purn) Tyasno Sudarto, Mustahid Astari, Tommy
(PETA). Ketiganya mengatasnamakan dari Gerakan Revolusi Nurani (GRN).
Dalam pertemuan itu dikeluarkan
pernyataan Tri Komando Nurani: Turunkan SBY dengan mobilisasi umum,
Bentuk Dewan Revolusi Rakyat, dan Kembali ke UUD 1945 asli. “Sebanyak
150 purnawirawan itu sudah sepakat untuk melengserkan pemerintahan SBY
dengan mobilisasi umum,” kata Indro Tjahyono yang dikenal dekat dengan
sejumlah jenderal purnawirawan, Selasa pagi (20/12). Menurutnya,
pertemuan 150 purnawirawan TNI itu disambut 20 jenderal lainnya,
termasuk Jenderal (Purn) Prabowo Subianto dengan membuat aksi
keprihatinan bangsa pada pertengahan Desember lalu.
“Prabowo dkk menyatakan aksi
keprihatinan terhadap kondisi bangsa saat ini, dan hal ini sah-sah saja.
Tapi, kalau 150 purnawirawan itu sudah clear, artinya menjatuhkan SBY
secara inkonstitusional,” ujar Indro. Menurut Ketua DPP Hanura, partai
yang didirikan mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Wiranto ini, para
purnawirawan itu juga menyatakan optimis pemerintahan SBY tidak akan
sampai 2014. “Itulah sebabnya mereka terus melakukan penggalangan kepada
rakyat untuk mengkritisi pemerintahan SBY, yang pada akhirnya melakukan
aksi penggulingan,” ujar Indro.
Sementara itu, mantan Asisten Teritorial
Kepala Staf Angkatan Darat, Mayor Jenderal Purnawirawan Saurip Kadi
sangat mendukung langkah para Jenderal senior Presiden Susilo Bambang
Yudoyono (SBY) yang akan berkumpul di Bandung, Jawa Barat pada
perengahan bulan Desember nanti. “Saya sangat mendu-kung langakah para
Jenderal senior SBY tersebut. Kalau bukan senior, siapa lagi yang akan
mengingatkan SBY,” kata Saurip Kadi dalam perbincangannya dengan
Teraspolitik.com melalui telepon selularnya, Jum’at (25/11).
Kecewa Diinformasikan, selain Tyasno dkk
dari GRN, dari kelompok jenderal lain, sekitar 19 orang, juga kerap
berkumpul di rumah Jenderal (Purn) Luhut B Panjaitan, Jenderal (Purn)
Jhony Lumintang, Jenderal (Purn) Fahrur Rozi, dan lainnya. “Mereka
sering berkumpul di rumah Jenderal (Purn) Luhut Binsar Panjaitan yang
juga mantan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Kabinet Reformasi masa
Presiden Abdurrahman Wahid,” kata Ketua MK Mahfud MD, beberapa waktu
lalu. Menurutnya, para jenderal itu menyatakan kecewa dengan pemerintah.
“Beberapa mantan jenderal yang sering
bertemu di rumah Luhut Panjaitan antara lain, Letnan Jenderal
purnawirawan Jhony Lumintang, Jenderal purnawirawan Fahrur Rozi, Letjen
(Purn) Agus Wijoyo, Jenderal (Purn) AM Hendropriyono, dan Letjen (Purn)
Kiki Syahnakri. “Setidaknya ada sekitar 19 para purnawirawan jenderal
yang kerap bertemu di kediaman Luhut Panjaitan. Mereka mengatakan,
pemerintahan ini mengecewakan. Pemerintahan ini lambat,” ujar Mahfud,
yang juga mantan Menteri Pertahanan.
Hal senada juga dikemukakan mantan Wakil
Panglima TNI, Jenderal TNI (Purn) Fachrul Razi, menurutnya, para mantan
jenderal sering melakukan pertemuan. “Para jenderal itu hampir setiap
hari berkumpul dan bertemu, karena mereka berkantor di gedung yang sama,
di Kuningan, Jakarta,” ujar Fahrul.
3) Banyak Skandal, Presiden SBY Coba Selamatkan Diri Dengan Membentuk PASPAMRES Group D. Ada Apa Jenderal?
Skandal yang membelit Presiden SBY dan
Ibu Negara Ani Yudhoyono terlanjur beredar secara luas dikalangan
jurnalis dan rakyat Indonesia. Kasus demi kasus akan makin memojokkan
posisi Presiden SBY dan keluarga. Sebut saja kasus Bank Century, skandal
Hambalang, kasus SKK Migas dan lainnya dinilai sebagai tekanan pada
keluarga Cikeas.
Dalam hal ini maka kurun waktu tak lebih
dari satu semester, SBY akan menanggalkan jabatannya sebagai Presiden
RI. Meski ia bersikap irit komentar namun sejatinya ia berada dalam
tekanan luar biasa. Karena SBY segera membentuk group D Pasukan Pengaman
Presiden (Paspampres) yang disinyalir untuk mengamankan dirinya agar
tidak didera 'Post Power Syndrom' dan melindungi dirinya dari serangan
pihak musuh politiknya.
Sikap SBY dinilai berlebihan karena
meski mantan Presiden Suharto otoriter tapi ia justru tak ada pengawalan
khusus, demikian halnya dengan Gus Dur yang menolak untuk dikawal. Tapi
karena memang sudah peraturan, akhirnya beliau dikawal 10 orang dengan
sistem shift, antara dua sampai tiga orang saja tiap harinya,
Pembentukan group D Pasukan Pengaman
Presiden (Paspampres) dinilai Partai Demokrasi Indonesia (PDI)
Perjuangan adalah langkah yang terlambat. Seharusnya, group tersebut
dibentuk sejak jauh-jauh hari.
Hal ini seolah memunculkan kesan
bahwa ada maksud dan tujuan tertentu dari Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) sehingga membentuk group baru di Paspampres.
"Terlambat pemerintah itu. Harusnya sejak dulu. Sehingga jadi kesan
kenapa SBY lengser baru dibuat sekarang, selama ini para mantan presiden
dan wakil presiden telah mendapat pengamanan yang baik dari kepolisian.
Selama ini kan sudah ada, tapi dari kepolisian," ujar kata politikus
PDI Perjuangan, Trimedya Panjaitan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta,
Selasa (4/3/2014).
Mabes TNI resmi memekarkan grup di Paspampres
menjadi empat. Grup D atau yang terakhir akan mendapat tugas mengawal
mantan presiden dan wakil presiden. Maka Presiden SBY dan Wakil Presiden
Boediono akan tetap mendapat pengawalan, meski sudah lengser dari
jabatan sebagai Presiden dan Wakil Presiden termasuk mantan presiden
lainnya.
Pada 27 Agustus 2013 telah disahkan dan diberlakukan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 59/2013 tentang Pengamanan
Presiden dan Wakil Presiden, mantan Presiden dan Wakil Presiden beserta
Keluarga dan Tamu Negara.
Moeldoko melanjutkan, Peraturan
Pemerintah tersebut telah ditindaklanjuti oleh Mabes TNI dengan
mengeluarkan Peraturan Panglima TNI No 37/2013. Isinya tentang
pengesahan validasi organisasi dan tugas Pasukan Pengamanan Presiden.
Anggota Komisi I (Bidang Pertahanan dan
Intelijen) DPR RI Tjahjo Kumolo menilai pembentukan Pasukan Pengamanan
Presiden (Paspampres) Grup D, khusus untuk mantan Presiden dan Wakil
Presiden RI, berlebihan dan tidak mendesak. Sejarah mencatat saat
Presiden Soeharto berhenti, kata Tjahjo, satu grup (Grup A) Paspampres
ditarik ikut Pak Harto--sapaan akrab mantan Presiden Soeharto. Kemudian
saat Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Wapres Megawati
Soekarnoputri perlu dua grup yang tidak disiapkan secara profesional.
Lalu, mulailah ada penataan satuan Paspampres sampai kepemimpinan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Rumah atau asrama anggota Paspampres,
menurut Tjahjo, harusnya dekat Istana Negara dan dekat Markas
Paspampres, misalnya, di daerah Tanah Abang (dekat istana), bukannya
asrama Paspamres malah dibangun atau ditempatkan di Cikeas yang jauh
dari Istana Negara. "Akhirnya untuk pengamanan siapa?" ucapnya
Selama ini, tugas Grup A
Paspampres yang berkekuatan empat detasemen, yakni melaksanakan
pengamanan fisik jarak dekat terhadap Presiden RI dan keluarganya.
Tugas Grup B, lanjut dia, berkekuatan empat detasemen, melaksanakan pengamanan fisik jarak dekat terhadap wakil presiden RI dan keluarganya.
Tugas Grup C,
berkekuatan dua detasemen melaksanakan pengamanan fisik jarak dekat
terhadap tamu negara dan keluarganya, serta satu detasemen latihan
bertugas melatih dan membina kemampuan personel Paspampres.
4) Romo Magnis Memberi Kode: Jokowi Gagal Nyapres Rakyat Rusuh
Jika Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo
gagal menjadi calon presiden 2014, akan muncul kerusuhan di Indonesia.
Jokowi bisa membuat Indonesia rusuh, dan membuat pendukung fanatiknya
menjadi marah dan kehilangan akal sehatnya.
Analisis itu disampaikan tokoh Katolik
Romo Franz Magnis Suseno dalam diskusi yang digelar di kantor Maarif
Institute, Jakarta (04/03). “Kalau Jokowi tidak maju, maka bisa jadi ada
kekerasan,” tegas Romo Magnis.
Selain Jokowi, kata Magnis, resiko yang
sama akan timbul jika Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, Prabowo
Subianto juga gagal menjadi calon presiden. “Mungkin karena tidak lolos
ambang batas 20 persen, jika Prabowo tidak maju akan ada masalah,” jelas
Magnis.
Lebih jauh Magnis berharap Pemilihan
Umum 2014 tidak menjadi sumber malapetaka, yang menyebabkan anak bangsa
harus terlibat kerusuhan. Magnis juga berharap pemilihan umum dapat
berlangsung dengan jujur dan adil, dan semua pihak menjaga agar tidak
terjadi rekayasa perolehan suara.
Diberitakan sebelumnya, desakan agar
PDIP mencalonkan Jokowi menjadi presiden 2014, semakin menguat. Namun di
sisi lain, Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri belum juga memutuskan
pencapresan Jokowi
5. Mega & SBY Membiarkan Fenomena Jokowi, Ada Apa?
Terlihat jelas ada rencana besar untuk
mendudukan Jokowi sebagai presiden RI ke tujuh dan menjadi boneka oleh
para cukong cina & sekutu-sekutunya. Rencana besar terhadap Jokowi
untuk jadi presiden boneka oleh para cukong-cukong Cina & sekutunya
itu sudah dikonfirmasi presiden SBY melalui penasihatnya, Jend Purn
Jusuf Iskan, mantan Kepala Bais.
Ia mengungkapkan informasi yang
disampaikan Presiden Sby via Jusuf Sskan itu 90% sama dengan informasi
yang beredar di narasumber kami.
Faktya SBY sadar bahaya besar ancam NKRI
jika Cina hitam berkuasa di RI via boneka Jokowi, akan tetapi SBY tidak
ambil tindakan meskipun sebenarnya mudah “menghancurkan” Jokowi. Namun
Sby lebih suka untuk tidak menunjukan niatnya dan hindari ‘konfrontasi’
langsung dan memang SBY di kenal sebagai jenderal yang mahir bermain
operasi intelijen.
Citra Presiden SBY terkenal degan sikap
kehatian-hatian hingga dikesankan lelet, lambat, lebay adalah sandiwara.
Padahal SBY adalah ahli strategi nomor 1 di Indonesia.
Menghancurkan Jokowi mudah karena cukup
dengan menyebarkan fakta-fakta tentang kinerja, integritas dan kapasitas
Jokowi yang sebenarnya. Tapi SBY tidak melakukan itu, media pun sama
dengan sikap partai-partai lain yang juga tidak mengungkapkan, apalagi
PDIP yang benci setengah mati sama Jokowi tapi menahan diri.
Karena bagaimana pun juga PDIP mendapatkan blessing dengan rekayasa pencitraan palsu Jokowi yang dibiayai, dilakukan dan support all out cukong.
Kenapa Jokowi berani menipu semua tokoh bangsa ?
JK, Prabowo, Mega dan rakyat? Karena dia
di back up penuh konglomerat adidaya dunia. Majikan Jokowi adalah
Antony salim, James Riady, Edward Suryajaya cs dengan hampir seluruh
konglo cina hitam berada dibelakang mereka. Like son like father. Jika
Muchtar Riady adalah agen intelijen china, James Riady juga demikian.
Buktinya banyak di dokumen resmi pemerintah AS.
Tak terbantahkan Bill Clinton menang jadi presiden AS berkat bantuan dana luar biasa besar dari James Riady, John Huang cs.
Uang untuk kampanye Clinton dari James cs kemudian terbukti berasal
dari China Resources Corp. Perusahaan kedok China Military Intellegence.
Atas jasa besarnya membantu clinton ke tampuk kekuasaan, James menjadi
sahabat karib Clinton, bersama sahabat clinton lain, hingga kini.
Persahabatan erat Clinton & sahabat terdekatnya itu terbangun hingga
kini, yang dikenal di AS dan dunia dgn julukan : ARKANSAS CONNECTION.
Selain Bill tentu ada Hilary Clinton, John Kerry, Stanley Berhard
Greenberg, Ramh Emmanuel, Webb Hubbel, Buddy Young, James Riady dsb
Arkansas connection saat ini adalah pemerintah bayangan di AS. Hampir
semua anggotanya menduduki jabatan penting di gedung putih Obama. Rahm
Emmanuel kini kepala staf gedung putih atau jabatan paling berpengaruh
di AS setelah presiden. Kerry jadi menlu gantikan Hilary. Satu satunya
anggota elit arkansas connection yang tidak menjabat posisi strategis di
pemerintahan Obama hanyalah James Riady.
28. Seorang deputy
director intelligence malaysia pernah menyebutkan James itu bermuara dua
kekuatan 2 negara adidaya dunia : AS dan China. James agen china tapi
juga sohib Clinton dan pada diri James Riady terdapat 2 kepentingan
besar dari 2 negara super power dunia : AS dan China. Belum pernah
terjadi dalam sejarah.
James anggota inti arkansas connection yg
mengendalikan partai demokrat AS dan jadi mentor presiden Obama. James
juga adalah agen intelijen pemerintah China (RRC) yang pindah agama ke
kristen televangelis dibina tokoh nomor 1 kristen evangelis AS Pat
Robertson yang sangat berpengaruh di Partai Republik AS. Sehinga ia
masuk kristen evangelis James punya akses dan perlindungan dari tokoh
evangelis AS, yang umumnya elit partai republik termasuk Bush.
Sedangkan presiden SBY sejak 2003 didukung penuh oleh partai republik
AS. Paska kemarahan Bush kepada Presiden Megawati. Presiden Bush Jr
marah besar kepada Megawati yg tdk mau menyatakan dukungan RI untuk
serangan AS ke Irak pada tahun 2003 lalu, permintaan langsung George
Bush Jr via telpon kepada Presiden Megawati agar RI mendukung serangan
militer AS ke Irak, ditolak Mega. Kegusaran Bush bertambah ketika
Megawati menolak permintaan Bush utk mendeportasi Ust Abubakar Baasyir
yg dituduh AS sebagai teroris.
Kembali ke Jokowi. Dia didukung
oleh pemerintah AS (partai demokrat AS, Arkansas Connection), RRC, China
Connection dan konglomerat cina RI dan Jokowi sadar tentang dukungan
luar biasa besar itu. Dia pasti jadi presiden. Dukungan politik, dana,
jaringan, media, dll. Tanpa batas dan otak rekayasa pencitraan dan
elektabilitas Jokowi adalah stanley bernhad greenberg. Ahli pollster dan
konsultan politik No. 1 dunia.
Kenapa mereka dukung Jokowi ?
Karena Jokowi ini tidak punya visi, misi, agenda, cita-cita kebangsaan.
Dia suka dan nikmati jadi wayang. Jokowi tidak punya nasionalisme,
patriotisme, harga diri dan martabat sbg anak bangsa Indonesia. Dia
manusia boneka tanpa agenda apa-apa.
Itulah sebabnya Jokowi
dijuluki Doraemon oleh para majikannya. Kita bisa titip apa saja dan
jokowi setuju-setuju saja. Yang penting dia manggung
Apakah Jokowi hanya sendiri jadi boneka ?
Tidak. Ada Ahok, ada Dahlan Iskan dan Hary Tanoe. Mereka berempat
sebenarnya punya majikan yang sama diorbitkan, dia terus blusukan utk
pencitraan. Media dan pasukan khusus (cyber, aktifis & akademisi
pelacur)
Dahlan iskan dipromosi oleh Chairul
Tanjung. CT adalah proxy atau boneka antony salim, yang sejak reformasi,
bisnisnya disembunyikan.
Relawan PDI projo, gebyar Jokowi,
ormas-ormas pendukung jokowi, media-media, aktifis, faksi parkindo di
PDIP, alumni PK China Siapa danai?
H. Lukminto, Bos Sritex Solo
yang menyuap Jokowi di pelepasan hotel maliyawan sudah wafat. Padahal
dia saksi kunci Tersangkakan Jokowi. Seorang professor UI yg semula
keliru analisis tentang Jokowi, akhirnya sadar, dan sering hubungi kami
untuk tukar informasi, juga telah wafat.
Kini pertarungannya adalah melanggengkan
kekuasaan SBY hingga 2016. Hal ini dilakukan demi bebas dari jeratan
tekanan Presiden RI baru dan masa KPK akan habis pada kurun waktu
tersebut.
Skenarionya adalah hidupkan kerusuhan
dan TNI akan tampil ke permukaan mengamankan chaos dan Panglima
tertinggi akan mengambil alih negara. Panglima TNI saat ini adalah Jend
Moeldoko.
Hingga 2016 akan diletupkan berbagai
chaos dengan berbagai macam modus dan dapat dipastikan Jokowi akan sulit
maju menjadi capres kalau DKI Jakarta dalam keadaan genting. Setidaknya
akan tertunda langkahnya.
Informasi yang muncul ke meja redaksi
kami adalah siapa Capres dari PDIP? Megawati akan mencari pengamanan
perwira tinggi TNI Ryamizard Ryacudu.
Pasangan Wiranto dan Hary Tanoe, maupun
Prabowo Subianto yang akan berpasangan dengan Ahmad Heryawan dari PKS
disinyalir akan sulit bersaing karena diduga hanya sebagai cheerleader
'pesta demokrasi' bagi tahta God father.
Namun ini adalah bentuk pre-emptive
warning, bisa terjadi bisa juga di switch ke plan lainnya. Inilah
skenario A yang mungkin terjadi. Lalu Bagaimanakah skenario B nya?
Tunggu Mafiawar berikutnya. Wallahu'alam bishowab
[aM/rojul/voa-islam.com]
akhirzaman.info