Selasa, 01 Oktober 2013

Amien Rais dan Jokowi

amien rais Amien Rais dan Jokowi
Oleh: Nuim Hidayat (mantan wartawan Media Dakwah)
Amien Rais adalah tokoh intelektual Islam yang ‘digadang-gadang’ umat Indonesia menjadi presiden Indonesia setelah Soeharto turun 1998.  Amien dijegal oleh ‘kelompok non Islam’.  Kini Jokowi dielu-elukan Kompas untuk menjadi presiden. Akankah berhasil?
Bermula tahun 90-an sepulang Amien dari Doktornya di Chicago University, Amien, doktor ilmu politik, senantiasa meluncurkan pemikiran-pemikiran segar. Baik di kalangan intelektual maupun media massa seperti di Panji Masyarakat, Republika dan jurnal-jurnal ilmiah. Amien saat itu adalah pengritik terdepan kekuasaan Soeharto yang begitu menggurita. Soeharto menguasai militer, politik, ekonomi dan lain-lainnya.
Dalam masalah anggota DPR-MPR misalnya, Amien mengiritik keras Soeharto. Ia menganggap bahwa DPR-MPR hanya ‘tunduk’ pada Pak Harto. Selain sebagai Ketua Dewan Pembina Golkar, Pak Harto lah yang menentukan pengangkatan Utusan Daerah atau Utusan Militer yang akan duduk di DPR atau MPR. Sehingga yang terjadi adalah ABS, Asal Bapak Senang. Maka tiap pemilihan presiden –saat itu presiden dipilih DPR/MPR- hanya Soeharto yang dicalonkan. Anggota DPR-MPR tidak berani mengusulkan calon lain.
Pak Harto makin disorot ketika keluarganya ikut-ikutan dalam bisnis dan politik. Tutut diangkat Soeharto menjadi menteri dan Tommy memegang bisnis mobil Timor, yang rencananya menjadi mobil nasional. Maka ditambah kritik Pak Amien dan ‘kesumpekan politik’ yang puluhan tahun itu, maka masyarakat, khususnya mahasiswa marah dan terjadilah tragedi Mei 1998. Jakarta dibakar oleh ‘kelompok-kelompok kiri dan non Islam’ dan Pak Harto turun.  Amien cs menginginkan Habibie sebagai presiden, kelompok kiri atau non Islam menginginkan paket Soeharto-Habibie turun.
Akhirnya karena desakan mahasiswa dan tokoh-tokoh masyarakat, Soeharto turun, Habibie naik (21 Mai 1998). Tapi apakah Habibie aman menjadi presiden? Ketika Habibie naik ia segera didesak oleh kelompok-kelompok ‘anti Pak Harto’ saat itu agar segera menyelenggarakan pemilu. Maka Habibie pun hanya memerintah setahun lima bulan. Dan disitulah manuver politik dimulai.
Mereka yang tidak menginginkan ‘Islam Politik’ (ICMI dkk) naik memerintah negeri ini, mulai mengadakan kasak-kusuk di partai-partai. Tokoh-tokoh PDIP menjadi yang terdepan menolak Habibie. Golkar pecah. Tokoh-tokoh Golkar ‘kiri/sekuler’ seperti yang dipelopori Marzuki Darusman, menggalang dukungan menolak laporan pertanggungjawaban Habibie. Harapannya, dengan ditolak laporannya, maka Habibie tidak mungkin mencalonkan diri menjadi presiden.
Laporan Habibie ditolak dengan perbandingan tipis, hanya selisih 33 suara. Prestasi Habibie menurunkan dolar dan menstabilkan rupiah, membuka ‘kebebasan pers’, membuka partai-partai baru dan seterusnya dianggap angin lalu. Karena bagi mereka,sejak Habibie menjadi wakil presiden dan mendorong terbentuknya ICMI –Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia- maka Habibie harus harus disingkirkan. Islam Politik tidak boleh memerintah negeri ini, begitu keinginan mereka
Dengan seabreg prestasinya, Habibie pun pupus tidak mungkin menjadi presiden. Menjadi tidak etis, presiden yang telah ditolak laporan pertanggungjawabannya dicalonkan kembali menjadi presiden. Maka diadakanlah perundingan di “Kuningan” antara elit politik di negeri ini. Wiranto, Habibie, Amien Rais, dan tokoh-tokoh elit negeri ini saat itu berkumpul. Mereka sepakat menjadikan Amien sebagai presiden.
Kelompok lain, kita tidak tahu mereka dimana berapat, yang jelas mereka tidak menginginkan Pak Amien menjadi presiden. Amien adalah kartu mati bagi mereka. Karena Amien adalah tokoh intelektual Islam yang memahami Amerika/Barat. Kritik-kritik Amien terhadap sekulerisme-liberalisme (termasuk kritik Amien terhadap Nurcholish saat itu) tentu mereka dokumentasikan dan menjadi catatan besar bagi mereka. Apalagi ketokohan Amien di Muhammadiyah dan ICMI yang ‘melegenda’ saat itu, semakin menakutkan mereka.
Selain tentu saja tulisan-tulisan Amien di Panji Masyarakat, Republika dan jurnal-jurnal ilmiah dan  kedekatan Amien dengan tokoh-tokoh Masyumi saat itu, tentu tidak dirasakan nyaman oleh mereka. Buku Amien “Cakrawala Islam” tentu juga telah mereka ‘file’ kan.
Maka pertarungan politik di DPR-MPR mulai. Mereka yang menolak laporan pertanggungjawaban Habibie, sebagian besar  adalah mereka yang tidak menginginkan Amien menjadi presiden. Fraksi yang tegas menolak saat itu adalah FPIP, FKKI, FPDKB dan FPKB. Fraksi Golkar pecah, tidak bersikap. Boleh jadi apapun, tapi Amien tidak boleh menjadi orang nomor satu di negeri ini. Rekayasa pun dimulai. Pemilihan Ketua MPR didahulukan. Amien pun digiring mereka agar mau mencalonkan menjadi Ketua MPR. Karena begitu kuatnya desakan itu. Amien pun menyetujuinya dan tentu saja dengan mudah Amien menjadi Ketua MPR.
Siapa jadi presiden? Siapa lagi kalau bukan Gus Dur. Kalangan ‘pro CSIS’ saat itu memang mempunyai target setelah Pak Harto jatuh, Amien tidak boleh menjadi presiden. Dan Gus Dur atau Mega yang dikenal dekat dengan CSIS, menjadi calon yang kuat saat itu. Dalam hal ini sebenarnya ada ‘kesalahan orang-orang yang dekat Amien”. Mereka saat itu –sebelum Pemilu 1999- mendorong Gus Dur menjadi presiden, sebenarnya hanya ‘gurauan’. Mereka memperkirakan bahwa Gus Dur nanti menolak –karena kondisi penglihatannya- dan mengembalikan pencalonan presiden kepada Amien. Tapi rupanya perkiraan politik mereka meleset. Gus Dur menerima pencalonan itu dan kelompok-kelompok terdekatnya, mendukungnya penuh.
Dan akhirnya muluslah Gus Dur menjadi presiden setelah Amien Rais jadi Ketua MPR. Yusril yang saat itu sebenarnya ‘bisa menjadi alternatif’ —karena dianggap terlalu muda—dilobi juga untuk mengundurkan diri. Akhirnya Yusril rela mengundurkan diri di depan sidang DPR-MPR.
Tentu kita bisa menebak ketika Gus Dur jadi presiden.  Karena alat indranya yang tidak lengkap, Gus Dur sering menelurkan kebijakan yang ‘aneh-aneh’. Memecat beberapa menterinya, melontarkan guyonan-guyonan yang ngawur dan lain-lain. Melihat hal-hal yang tidak sehat itu akhirnya Amien bersama ‘seluruh partai’ –tentu saja kecuali PKB- akhirnya sepakat melengserkannya. Dan era baru ‘yang lama’ dimulai. Megawati menjadi presiden.
Ketika Mega jadi presiden, tidak ada hal yang menggembirakan di Indonesia. Keterbatasan inetelektual Mega, menjadi negeri ini tambah dikuasai asing. Mega dengan seenaknya menjual Indosat ke asing dan beberapa perusahaan strategis Indonesia lainnya. Maka jangan heran ketika Mega memerintah, jutsru perolehan dan citra PDIP malah menurun. Partai yang dalam sejarahnya merupakan leburan dari partai Kristen, Katolik dan Nasionalis (sekuler) ini malah anjlok perolehannya, karena kalah dengan partai baru Demokrat dan Golkar.
Pandangan tokoh-tokoh Masyumi
Yang menarik sebenarnya pandangan tokoh-tokoh Masyumi terhadap Pak Harto. Seperti Anwar Harjono dan Hussein Umar (alm)  dan Chalil Badawi dll. Mereka memandang sejak Soeharto pergi haji 1998, sebenarnya mulai ada perbaikan dalam kebijakan Soeharto.  Soeharto mulai mendekat dengan Islam, apalagi sejak terbentuknya ICMI, peluncuran Harian Republika dan pembentukan Bank Muamalat Islam.
Bila dalam masa awal pemerintahannya Soeharto dekat dengan CSIS –menarik Pancasila ke Sekulerisme setelah Soekarno menarik Pancasila ke Marhaenisme/Marxisme, dengan berbagai kebijakan seperti asas Tunggal, Penataran P4, Pendidikan Kewarganegaraan yang sekuler, pelarangan PII masuk sekolah dan diganti OSIS, pengangkatan Jenderal Benny Moerdani sebagai Panglima ABRI dll- maka tahun 90-an Pak Harto mulai dekat dengan kalangan Islam. Istilah pengamat politik Fachry Ali saat itu, ‘orang Jawa bila masa tua biasanya kembali ke agamanya’.
Tentu saja setelah puluhan tahun Pak Harto keras terhadap ‘Islam Politik’ dan tahun 90-an mengubah kebijakannya pro Islam Politik, membuat panas kalangan CSIS dan berbagai kelompok yang tidak suka Islam naik dalam panggung politik. Rekayasa pun dimulai. Pak Harto harus cepat dilengserkan, sebelum lebih jauh ‘kelompok Islam’ naik panggung politik. Mereka menciptakan mahasiswa-mahasiswa militan diantaranya PRD, Partai Rakyat Demokratik kelompok kiri militan yang kerjaannya menghantam Soeharto.
Demo-demo pun dimulai. Internet yang baru meluncur di Indonesia meluncurkan email-email bersambung tentang KKN Soeharto. Di UI atau universitas-universitas, kelompok-kelompok yang menggalang demo pro reformasi pertama kali bukanlah Lembaga Dakwah Kampus atau kelompok mahasiswa Islam. Kelompok-kelompok yang demo dan anti Pak Harto adalah kelompok kiri atau non Islam. Mereka dengan pintar menggalang aksi-aksi demo ke seluruh kampus dan meneriakkan reformasi dan anti KKN Soeharto. Mereka tidak mau menyerang Keislaman Soeharto yang makin baik. Mereka menyerang KKN Soeharto dan anak-anaknya.
Pak Amien dan kelompoknya melihat situasi politik yang menggelisahkan –di samping juga Pak Amien lama kritis terhadap Pak Harto— akhirnya bareng dengan mereka menggulingkan Pak Harto. Pak Amien cs ingin Habibie menggantikan Soeharto, mereka menginginkan keduanya lengser. Diganti dengan yang sama sekali baru. Yang baru itu siapa, mereka menyembunyikannya. Yang penting negeri ini tidak boleh ‘kelompok Islam politik’ yang berkuasa, begitu jargon mereka.
Pak Amien pun terus mereka pepet. Sehingga saati itu Amien ‘dipaksa’ mereka membuat kelompok MARA atau MAR. Mereka memastikan bahwa Pak Amien nggak boleh membuat partai Islam (Karena mereka memahami kalau pak Amien membuat partai Islam saat itu, umat Islam akan bersatu dan  kemungkinan tidak ada PKS, PBB, PPP dan lain-lainnya). Pak Amien harus membuat partai nasionalis, sehingga orang-orang Kristen-Katolik dan lain-lain bisa masuk.
Tokoh-tokoh Islam saat itu melobi Amien, baik tokoh tua maupun muda. Dari pihak non Islam mengeluarkan ancaman bila Pak Amien bergabung atau membuat partai Islam, mereka akan keluar dari lingkaran Pak Amien. ‘Amien dan inner circlenya’ ternyata takut atau termakan dengan ancaman itu. Hingga akhirnya Amien menyatakan bahwa partai Islam ibarat baju kesempitan baginya dan seterusnya.
Akhirnya Amien membuat PAN. Dan masuklah di sana ‘orang-orang berbagai macam’. Ada pendeta, ada Goenawan Mohammad yang terkenal dengan liberalismenya, ada ustadz, artis dan sebagainya. Karena berbagai macam pemikiran orang yang berkumpul itu, maka PAN pun pecah. Tinggal sekarang artis dan sebagian kalangan Muhammadiyah yang ikut PAN. Banyak ahli politik yang memperkirakan bila saat itu Amien mau membentuk Partai Islam, atau bergabung dengan partai Islam maka bukan tidak mungkin ia menjadi presiden. Tapi nasi telah menjadi bubur. Tentu Pak Amien dan kita semua mengambil hkmahnya. Jangan sampai kesalahan yang sama, terjadi lagi ke depan. Sejarah adalah ibrah, pelajaran yang penting buat orang-orang beriman.
Jokowi
Jokowi menjadi Gubernur DKI adalah ‘permainan media massa belaka’. Media TV dan cetak yang dikuasai kaum sekuler, begitu fenomenal mendukung Jokowi-Ahok. Media mereka tidak ada yang mempersoalkan ideologi atau prinsip agama Jokowi. Dengan menggandeng non Muslim menjadi gubernur Jakarta –yang mayoritas Islam- tentu kita tahu sejauh mana prinsip agama menjadi pegangan Jokowi. Apalagi ketaatan Jokowi terhadap pimpinan PDIP –yang merupakan leburan dari partai Kristen, Katolik dan Nasionalis sekuler.
Maka jangan heran, ‘harian milik Katolik’ Kompas, terus menerus mendukung Jokowi menjadi presiden. Artinya bila Jokowi menjadi presiden, maka kalangan Cina, non Islam dan kelompok-kelompok sekuler, makin leluasa di negeri ini. (Inilah nampaknya yang dikhawatirkan Pak Amien). Mereka dengan media massanya pintar memainkan ‘politik Jokowi’ . Blusukan tiap hari Jokowi dianggap hebat. Padahal seorang pemimpin selain blusukan juga harus betah di kantor atau rapat untuk ‘adu pikiran’ mengelola negara ini. Ketidakbetahan Jokowi di kantor atau rapat, menunjukkan kelemahan intelektualitas Jokowi dalam mengatur rakyat. Maka, bila Jokowi menjadi presiden tak ubahnya sewaktu Mega jadi presiden dulu, yang bermain adalah kelompok-kelompok intelektual di belakang Jokowi. Dan itu siapa, anda bisa menebaknya.
Dan terus terang saya malas untuk membandingkan Amien Rais dengan Jokowi. Karena Jokowi tidak ada prestasi intelektual dan karyanya yang monumental untuk bangsa ini. Membandingkan Amien Rais dengan Jokowi, ibarat membandingkan dosen dengan mahasiswa. Guru dengan murid.  Dan bila bangsa ini memilih Jokowi menjadi presiden, maka PDIP berkibar, Gubernur Jakarta Kristen, setelah walikota Solo Kristen . Dan itulah yang diinginkan kelompok politik Kristen/Katolik. Wallahu alimun hakim.*

0 komentar:

Posting Komentar

Form Kritik & Saran

Nama

Email *

Pesan *