Oleh: Ayati Fa
Aktif di FLP Bogor
Sungguh tak pernah terbayangkan. Indonesia negeri mayoritas Muslim terbesar di dunia akhirnya benar-benar menjadi tuan rumah kontes kecantikan Miss World 2013. Meski penolakan datang dari berbagai pihak. Miss World 2013 di Indonesia itu akhirnya tetap terselenggara.
Memang, pemerintah melalui Kemenkokesra memutuskan penyelenggaraan ajang ratu sejagad itu hanya di Bali saja. Setelah beberapa pekan dikarantina. Sabtu malam (28/09/2013) acara puncak kontes kecantikan yang disiarkan sebuah TV nasional itu terlaksana. Vania Larissa, wakil dari Indonesia harus puas hanya masuk dalam peringkat 10 besar. Meskipun sebelumnya ia diberitakan sebagai pemenang Miss Talent dengan menyingkirkan 128 peserta lain. Apakah keberhasilan kontes itu sebanding dengan “pengorbanan” penduduk Indonesia yang mayoritas Muslim?
Uang, Lobi dan Opini
“Anjing menggonggong kafilah berlalu,” begitukah yang terpikir oleh penyelenggara? Sehingga meskipun aksi penolakan datang dari mayoritas umat Islam, berbagai ormas, seperti NU, Muhammadiyah, HTI, FPI, dan ormas-ormas lainnya. Bahkan MUI pun mengeluarkan larangan. Namun, suara penolakan itu toh seakan angin lalu, penyelenggara dan pendukung kontes itu tetap melenggang.
Kita bisa lihat, bagaimana usaha pihak penyelenggara agar acara kontes kecantikan itu tetap terlaksana. Paling tidak dari beberapa hal;
Pertama, kekuatan lobi. Dalam dunia bisnis, politik, dan lainnya kekuatan lobi ini amat penting. Siapa saja, seseorang atau pun kelompok akan menggunakan kekuatan lobi ini untuk meraih target yang diharapkan. Berharap orang-orang atau kelompok yang semula menolak bisa berbalik menerima bahkan menjadi pendukung.
Lihat saja, setelah Kemenkokesra memutuskan pelaksanaan kontes kecantikan itu hanya di Bali saja. Maka, saat konferensi pers di Nusa Dua, Bali, Ahad (08/09/2013). Direktur Utama MNC Group Hary Tanoesoedibjo mengatakan dirinya akan negosiasi dengan pihak pemerintah agar penyelenggaraan acara Miss World 2013 tetap di dua daerah yaitu Bali dan Bogor. (Kompas.com/08/09/2013).
Tidak hanya itu. Penyelenggara pun mengirim utusannya ke berbagai ormas untuk melakukan lobi-lobi agar kontes itu bisa diterima. Pun dikirim juga utusan kepada MUI, kepala daerah, pihak keamanan dan lainnya agar mendukung pelaksanaan kontes itu. Tidak malu-malu, berbagai dalih dan argumentasi mereka bangun guna memperoleh dukungan dari berbagai kalangan.
Kedua, kekuatan opini. Miss world adalah kontes kecantikan internasional yang diprakarsai oleh Eric Morley dan pertama kali digelar di Inggris. Kontes itu berawal dari festival kontes bikini yang bertujuan untuk mempromosikan pakaian renang. Kemudian oleh media disebut-sebut sebagai Miss World. Sehingga dapat dikatakan Miss World adalah kontes kecantikan tertua di dunia. Nenek moyang dari berbagai kontes ratu-ratuan yang saat ini ada.
Setelah Eric Morley meninggal perhelatan tersebut diteruskan oleh istrinya yang dalam perjalanannya kemudian muncul konsep 3B yakni Brain (kecerdasan), Beauty (kecantikan), danBehavior (Kepribadian). Namun, sejak pertama kali perhelatan ini digelar bahkan hingga kini. Seluruh peserta dan pemenang kontes Miss World selalu wanita-wanita cantik bertubuh seksi. Karena konsep Brain, Beauty dan Behavior itu hanyalah polesan. Opini yang disebarkan agar mendapat dukungan masyarakat. Padahal tidak dapat dipungkiri bahwa sejatinya konsep 3B tidak lebih dari Body Body dan Body.
Apakah hanya itu? Tidak. Pihak penyelenggara dengan media yang mereka miliki baik cetak, online maupun elektronik senantiasa membangun opini umum. Berbagai upaya mereka lakukan agar bisa memengaruhi massa. Mereka mengklaim seakan-akan betapa “pentingnya” kontes itu bagi bangsa Indonesia. Sehingga pembatalan kontes Miss World seolah-olah bisa membawa kerugian yang luar biasa.
Mereka juga berdalih bahwa kontes Miss World akan membawa nama Indonesia ke tinggat internasional. Indonesia akan dikenal dunia, mengingat baru Indonesialah negara di wilayah Asia Tenggara yang dipercaya sebagai tuan rumah ajang ratu sejagad itu. Tidak cukup sampai di situ, di berbagai media penyelenggara maupun orang-orang yang mendukung pelaksanaan Miss World juga selalu menyuarakan akan menguatnya industri pariwisata Indonesia.
Benarkah demikian? Meski potensi pariwisata Indonesia banyak. Namun bila infrastruktur pendukung tidak memadai dan sedikit mendapat perhatian negara. Tentu apa yang diharapkan jauh panggang dari api. Dan terbukti untuk mengenalkan pariwisata Indonesia tidak perlu melalui Miss World. Karena dalam waktu yang hampir bersamaan dilaksanakan Sail Komodo 2013 di pantai Pade, Labuhan Bajo, NTT yang dibuka oleh Presiden SBY (sindonews.com/14/09/2013). Apakah iya untuk mempromosikan pariwisata Indonesia harus dengan kontes yang mengeksploitasi tubuh perempuan? Seharusnya tidak perlu!
Namun, lagi-lagi, mereka tetap berusaha memengaruhi masyarakat. Mereka katakan bahwa kontes ini sesuai dengan budaya Indonesia, tidak memakai bikini dan tidak melanggar kesopanan. Sungguh, apakah mereka yang menolak pelaksanaan kontes itu hanya karena bikini saja? Tidak. Bahkan dengan menutup aurat sekalipun kontes-kontes yang semisal itu tetap ditolak. Karena berbagai ajang itu sejatinya tak lebih dari kapitalisasi tubuh perempuan, liberalisasi budaya dan kepentingan bisnis pemilik modal untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya.
Ketiga, kekuatan materi. “Uang bukan segalanya, tapi segalanya butuh uang,” sebuah ungkapan yang tidak asing lagi bagi kita. Pun demikian halnya dalam penyelenggaraan ajang ratu sejagad itu. Kekuatan lobi dan kekuatan opini tidak akan berjalan keuali didukung oleh materi (baca: uang).
Adjie S. Soeratmadjie, Head of Corporate Secretary RCTI, mengungkapkan panitia penyelenggara sekaligus official broadcaster Miss World 2013 rela menggelontorkan dana dalam jumlah besar (sekitar 120 milyar rupiah). Namun ia katakana, itu semua dilakukan demi mengangkat nama Indonesia di mata internasional. Lagi-lagi panitia berdalih atas nama “Indonesia” untuk meraih simpati massa. Seakan-akan apa yang merela lakukan, uang yang mereka keluarkan benar-benar tulus demi nama baik Indonesia.
Bahkan tidak hanya itu, untuk meraih simpati masyarakat yang secara emosi memang mudah teraduk-aduk karena kehidupan yang makin menghimpit. Berbagai media pun memberitakan bahwa pelaksanaa kontes ratu sejagad itu merugi. Sebagaimana yang dikatakan oleh CEO MNC Group Hary Tanoesoedibjo, “Tanpa dipindah juga kami sudah rugi, apalagi dipindah karena persiapan tiga tahun harus dikompres dengan persiapan tiga hingga empat hari.” (www.antara.news.com/09/2013). Namun, sepertinya kata “rugi” menurut Hary Tanoe itu patut didefinisikan kembali.
Karena meski telah mengeluarkan uang milyaran. Keuntungan terbesar dari event Miss World pada akhirnya kembali pada penyelenggara dan industri yang menjadi sponsornya. Bagaimana kisah sukses Sunsilk di India. Sunsilk dilaporkan berhasil menguasai 60 persen pasar shampoo di India setelah Aishwarya Rai tampil menjadi Miss World 1994 dan India menjadi tuan rumah kontes kecantikan dunia pada 1996.
Bahkan Julia Morley (istri Morley) Chairwoman of Miss World Organization dengan waralaba lebih dari 130 negara mampu meraup untung 450 juta USD, (al-wa’ie/09/2013). Sedang untuk Indonesia yang memegang hak siar adalah MNC Grup. Sebagaimana yang dituturkan Liliana Tanoesoedibjo, Chairwoman Miss Indonesia Organization di okezone. Acara puncak Miss World disiarkan lebih dari 140 negara. Bisa dibayangkan berapa pundi-pundi yang diraup oleh pemegang hak siar itu? Lagi-lagi ujung-ujungnya adalah uang.
Tirani Minoritas
Timbul pertanyaan. Indonesia dengan pancasila sebagai dasar negara yang seringkali dinyatakan sebagai negara yang menghargai suara mayoritas kenapa seakan melupa? Lalu, suara siapakah yang sejatinya didengar?
Dengan klaim dan argumentasi apapun seharusnya kegiatan itu bisa dihentikan. Pemerintah juga pihak keamanan seharusnya tidak memberikan rekomendasi terhadap berbagai acara yang tidak saja mengeksploitasi perempuan. Tapi juga bertentangan dengan keimanan mayoritas penduduk Indonesia.
Sungguh, hadirnya beragam bentuk kemaksiatan yang dikapitalisasi di negeri ini. Termasuk kontes Miss World 2013 semakin mengokohkan kedudukan negeri ini sebagai “The Corporate State” yang berakar pada nilai-nilai kapitalisme-liberalisme. Dimana parameter untung rugi secara materilah yang menjadi standar-ukuran dalam menentukan kebijakan negara. Bukan memakai standar halal haram. Dan tidak pula menjadikan suara mayoritas sebagai ukuran sebagaimana klaim yang selama ini selalu didengungkan.
Suara rakyat (mayoritas) hanya dipandang sebagai sesuatu yang “diakui” keberadaannya dalam sistem demokrasi. Namun tidak pernah diperhitungkan. Ketika mayoritas rakyat menolak kenaikan BBM, BBM tetap dinaikkan. Pun ketika mayoritas penduduk Indonesia menolak kontes Miss World 2013 itu, kontes pun tetap dilaksanakan. Semua kembali kepada uang. Pada segelintir orang yang ber-uang.
Sungguh, sebagai negeri berpenduduk Muslim terbesar seharusnya kita merujuk pada akidah keimanan kita yang menjadikan halal-haram sebagai standar-ukuran dalam setiap aktivitas perbuatan. Yaitu dengan menerapkan Syari’ah Islam dalam tata kelola negara. Negara yang hanya menjadikan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber perundang-undangannya.
“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?” (TQS. Al-Maidah [5]: 50)
Wallahu a’lam bis shawab.
Ayati Fa. Aktif di FLP Bogor.
0 komentar:
Posting Komentar