Berkaitan dengan bulan Rajab, banyak pesan yang masuk
melalui SMS dan Email yang menanyakan tentang fatwa Ulama di seputar
pengkhususan ibadah di bulan Rajab berikut keutamaannya dalam pandangan
syari’ah. Pasalnya, tidak sedikit dari kaum muslimin yang bersemangat
melakukan amalan-amalan khusus di bulan ini semisal puasa dan shalat.
Maka di sini kami menurunkan keterangan
yang merujuk kepada keterangan para Ulama dalam menyoroti amalan-amalan
khusus di bulan Rajab.
وأما صوم شهر رجب فلم يثبت في
فضل صومه على سبيل الخصوص أو صوم شيء منه حديث صحيح فما يفعله بعض الناس من
تخصيص بعض الأيام منه بالصيام معتقدين فضلها على غيرها لا أصل له في الشرع
(Syaikh Muhammad Shaalih Al-Munajjid hafidzhahullah menegaskan):
“Adapun puasa di bulan Rajab, maka tidak tsabit (tetap) pengkhususan
keutamaan puasa di bulan Rajab, atau dengan kata lain tidak berdasarkan
hadits-hadits yang berkualitas shahih. Maka amalan-amalan yang
dikhususkan oleh sebagian orang pada hari-hari tertentu di bulan ini
dengan berpuasa dan disertai keyakinan tentang keutamaannya atas
amalan-amalan yang lain, maka itu semua tidak ada asal-usulnya dalam
syari’ah.”
Kemudian beliau melanjutkan, selain itu
telah diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam
tentang sunnahnya berpuasa di bulan-bulan haram (dan Rajab termasuk
bulan haram). Sebagaimana dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa
alihi wasallam, “Berpuasalah di bulan-bulan haram dan tinggalkanlah..”
[HR. Abu Dawud 2428] namun hadits ini diklaim dha’if (dilemahkan) oleh
Syaikh Al-Albani rahimahullah, sebagaimana dalam “Dha’if Abi Dawud”.
Hadits ini –jika seandainya shahih- maka
menjadi dalil atas sunnahnya berpuasa di bulan-bulan haram, termasuk
dalam hal ini bulan Rajab. Sehingga jika ada yang hendak berpuasa di
bulan-bulan haram selain Rajab, maka itu tidak mengapa. Namun perlu
dicamkan di sini, bahwa mengkhususkan puasa di bulan Rajab itu tidak
diperbolehkan sebagaimana penjelasan di atas.
Syaikhul Islam ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Majmu’ Fataawa [25/290] menegaskan:
أما صوم رجب بخصوصه
فأحاديثه كلها ضعيفة ، بل موضوعة ، لا يعتمد أهل العلم على شيء منها ،
وليست من الضعيف الذي يروى في الفضائل ، بل عامتها من الموضوعات المكذوبات .
. . وفي المسند وغيره حديث عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه أمر بصوم
الأشهر الحرم : وهي رجب وذو القعدة وذو الحجة والمحرم . فهذا في صوم
الأربعة جميعا لا من يخصص رجبا “
“Adapun mengkhususkan puasa di bulan
Rajab, maka hal itu semuanya berdasarkan hadits-hadits yang dha’if
(lemah), bahkan maudhu’ah (palsu), dimana para Ulama tidak berpegang
dengan hadits-hadits tersebut. Dan bukan sekedar dha’if saja
riwayat-riwayat yang menerangkan tentang keutamaan-keutamaan puasa di
bulan Rajab, bahkan keumumannya berdasarkan riwayat-riwayat yang palsu
dan dusta… Kendati demikian dalam Al-Musnad dan selainnya terdapat
hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam yang memerintahkan
puasa di bulan-bulan haram, di antaranya Rajab, Dzulqa’dah, Dzulhijjah,
Muharram. Dan ini kaitannya dengan berpuasa pada empat bulan secara
bersamaan, dan bukan dikhususkan untuk bulan Rajab semata.” [Dinukil
secara ringkas]
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menegaskan:
كل حديث في ذكر صيام رجب وصلاة بعض الليالي فيه فهو كذب مفترى
“Semua hadits yang menyebutkan puasa di
bulan Rajab dan shalat pada sebagian malamnya, itu berdasarkan
hadits-hadits yang dusta.” [Al-Manaarul Muniif: 96]
Al-Haafidzh Ibnu Hajar Al-’Asqalaani As-Syaafi’i rahimahullah menegaskan:
لم يرد في فضل شهر رجب ولا في صيامه ولا صيام شيء منه معين ولا في قيام ليلة مخصوصة فيه حديث صحيح يصلح للحجة
“Tentang keutamaan bulan Rajab dan
keutamaan berpuasa padanya dan keutamaan berpuasa pada hari-hari
tertentu di dalamnya dan mengkhususkan shalat malam padanya, maka itu
semua tidak diriwayatkan berdasarkan hadits yang shahih dan tidak bisa
dipakai untuk berhujjah.” [Tabyiinul 'Ajab 11]
Sayyid Saabiq rahimahullah menegaskan:
وصيام رجب ليس له فضل زائد على
غيره من الشهور إلا أنه من الأشهر الحرم ولم يرد في السنة الصحيحة أن
للصيام فضيلة بخصوصه وأن ما جاء في ذلك مما لا ينتهض للاحتجاج به
“Berpuasa di bulan Rajab tidaklah
memiliki keutamaan yang lebih atas bulan-bulan lainnya, melainkan bulan
Rajab itu sebatas bagian dari bulan-bulan haram. Dan tidak diriwayatkan
dalam hadits yang shahih bahwa puasa di bulan Rajab memiliki keutamaan
yang khusus (istimewa). Sesungguhnya hadits-hadits yang meriwayatkan
tentang hal itu tidak dapat dipakai untuk berhujjah dengannya.” [Fiqhus
Sunnah 1/383]
Al-’Allaamah Muhammad bin Shaalih
Al-’Utsaimin rahimahullah pernah ditanya mengenai puasa pada hari ke
duapuluh tujuh di bulan Rajab serta shalat malam padanya, maka beliau
menjawab:
صيام اليوم السابع العشرين من رجب وقيام ليلته وتخصيص ذلك بدعة وكل بدعة ضلالة
“Mengkhususkan amalan puasa pada hari ke
duapuluh tujuh dari bulan Rajab dan menunaikan shalat malam padanya
adalah bid’ah, dan semua bid’ah itu sesat.” [Majmu' Fataawa 20/440] (Syaikh Muhammad Shaalih Al-Munajjid hafidzhahullah dalam “Fataawal Islam” nomor 75394)
BUKAN TERMASUK PETUNJUK NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WASALLAM
MENGKHUSUSKAN RITUAL IBADAH TERTENTU DI BULAN RAJAB
1. PERTANYAAN PERTAMA DARI FATWA LAJNAH DAIMAH NO. 2608 :
Di sana ada hari-hari tertentu (khusus)
di bulan Rajab yang ditunaikan padanya puasa sunnah, apakah hari-hari
tersebut jatuh pada awal bulan, pertengahan, ataukah di akhirnya?
Jawab:
Tidak ada hadits-hadits khusus yang
tetap (shahih) tentang keutamaan puasa pada bulan Rajab selain hadits
yang diriwayatkan An-Nasa’i dan Abu Dawud, dan dishahihkan oleh Ibnu
Khuzaimah dari shahabat Usamah, bahwa dia berkata:
“Aku berkata: Wahai Rasulullah, aku
tidak melihat engkau berpuasa pada bulan tertentu sebagaimana puasa
engkau pada bulan Sya’ban.”
Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
ذلك شهر يغفل عنه الناس بين رجب ورمضان، وهو شهر ترفع فيه الأعمال إلى رب العالمين فأحب أن يرفع عملي وأنا صائم
“Itu adalah bulan yang orang-orang
lalai darinya, bulan yang terletak antara Rajab dan Ramadhan, dan itu
adalah bulan yang mana seluruh amalan diangkat ke hadapan Rabbul
‘Alamin, maka aku senang jika amalanku diangkat dalam keadaan aku sedang
berpuasa.” [HR. Ahmad, An-Nasa’i, Ibnu Abi Syaibah, Abu Ya’la, Ibnu Zanjuyah, Ibnu Abi ‘Ashim, Al-Barudi, Sa’id bin Manshur]
Hadits-hadits yang ada menunjukkan
keumuman tentang dorongan untuk berpuasa tiga hari di setiap bulan, dan
dorongan untuk berpuasa pada hari-hari Bidh di setiap bulan,
yaitu tanggal 13, 14, dan 15, dorongan untuk berpuasa pada bulan-bulan
haram, puasa pada hari Senin dan Kamis. Dan bulan Rajab masuk ke dalam
keumuman dari itu semua.
Jika engkau bersemangat untuk memilih hari-hari tertentu pada setiap bulannya, maka pilihlah hari-hari Bidh yang tiga tersebut, atau hari Senin dan Kamis, kalau tidak maka terserah karena perkaranya sangat mudah.
Adapun pengkhususan puasa pada hari-hari tertentu di bulan Rajab, maka kami tidak mengetahui dasarnya dalam syari’at ini. Wabillahit Taufiq. Al-Lajnah Ad-Da-imah Lil Buhuts Al-‘Ilmiyyah Wal Ifta’[III/176]
2. PENJELASAN ASY-SYAIKH ‘ABDUL ‘AZIZ BIN BAZ RAHIMAHULLAH
Beliau ditanya:
Sebagian orang mengkhususkan bulan Rajab
dengan melakukan berbagai bentuk ibadah tertentu seperti shalat
Raghaib[1] dan menghidupkan malam ke-27. Apakah yang demikian itu ada
dasarnya di dalam syari’at ini? Jazakumullahu khairan.
Beliau menjawab:
Pengkhususan bulan Rajab dengan ibadah
shalat raghaib atau peringatan malam 27 dengan keyakinan bahwa malam
tersebut adalah malam Isra’ Mi’raj, maka ini semua adalah bid’ah dan
tidak boleh untuk dilaksanakan, amaliyah seperti itu tidak ada dasaranya dalam syari’at ini.
Para ulama juga telah memperingatkan
tentang permasalahan ini, dan kami pun juga sudah pernah menulis
tentangnya lebih dari sekali, dan kami telah jelaskan kepada orang-orang
bahwa shalat raghaib adalah bid’ah, yaitu sebuah ritual yang dilakukan
oleh sebagian orang di malam Jum’at pertama bulan Rajab.Demikian pula
peringatan malam 27 dengan keyakinan bahwa itu adalah malam Isra’
Mi’raj, itu semua adalah bid’ah yang tidak ada dasarnya dalam syari’at.
Malam Isra’Mi’raj tidak diketahui secara pasti kapan terjadinya.
Kalaupun diketahui, tetap tidak diperbolehkan untuk mengadakan
peringatan malam tersebut, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah memperingatinya, demikian pula para Al-Khulafa’ Ar-Rasyidun dan para shahabat yang lain radhiyallahu ‘anhum. Kalau seandainya peringatan seperti itu termasuk sunnah, maka niscaya mereka akan mendahului kita untuk memperingatinya.
Segala kebaikan itu ada pada sikap mengikuti mereka dan berjalan di atas manhaj mereka sebagaimana Allah ‘azza wajalla firmankan:
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ
مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ
بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ
جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ
الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang
pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan
orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka
dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka
surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya.
mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” [At-Taubah: 100]
Dan telah shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda:
من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد
“Barangsiapa yang mengada-adakan
perkara baru dalam urusan (agama) kami ini yang pada dasaranya bukan
berasal dari agama tersebut, maka dia tertolak.” [HR. Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad]
Dan beliau ‘alaihish shalatu wassalam juga bersabda:
من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد
“Barangsiapa yang beramal dengan
suatu amalan yang bukan termasuk urusan (tuntunan syari’at) kami, maka
amalannya tersebut tertolak.” [HR. Muslim, Ahmad]
Dan makna ‘maka amalannya tersebut tertolak’ adalah ‘tertolak kepada pelakunya’.
Dan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda dalam khuthbahnya:
أما بعد فإن خير الحديث كتاب الله وخير الهدي هدي محمد – صلى الله عليه وسلم – ، وشر الأمور محدثاتها ، وكل بدعة ضلالة
“Amma ba’du, sesungguhnya sebaik-baik
perkataan adalah Kitabullah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk
nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, dan sejelek-jelek perkara
adalah perkara-perkara baru yang diada-adakan dalam agama ini, dan
setiap bid’ah adalah sesat.” [HR. Muslim, An-Nasa’i]
Maka yang wajib atas segenap kaum muslimin adalah untuk mengikuti sunnah Rasulullahshallallahu ‘alaihi wasallam dan
istiqamah di atasnya, saling mewasiati untuk itu dan waspada dari
segala bentuk kebid’ahan sebagai realisasi dari pengamalan firman Allah‘azza wajalla:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa.” [Al-Maidah: 2]
Dan firman-Nya subhanahu wata’ala:
وَالْعَصْرِ (1)
إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا
الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (3)
“Demi masa. Sesungguhnya
manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman
dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati
kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” [Al-‘Ashr: 1-3]
Dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
الدين النصيحة ، قيل : لمن يا رسول الله ؟ قال : لله ولكتابه ولرسوله ولأئمة المسلمين وعامتهم.
“Agama itu adalah nasehat. Ditanyakan
kepada beliau: untuk siapa wahai Rasulullah? Beliau bersabda: untuk
Allah, untuk kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin, dan
segenap umat Islam.” [HR. Muslim]
Adapun umrah, maka tidaklah mengapa
untuk ditunaikan pada bulan Rajab, karena telah shahih di dalam
Ash-Shahihain dari shahabat Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah
menunaikan umrah pada bulan Rajab[2]. Dahulu para salaf juga menunaikan
umrah pada bulan Rajab, sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Hafizh Ibnu
Rajab rahimahullah di dalam kitabnya ‘Al-Latha-if’ dari shahabat ‘Umar, anaknya (Ibnu ‘Umar), dan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhum. Dan dinukilkan dari Ibnu Sirin bahwa para salaf dahulu juga melakukan yang demikian. Wallahu Waliyyut Taufiq.
Sumber: Majmu’ Fatawa Ibn Baz [XI/476-477]
3. PENJELASAN ASY-SYAIKH MUHAMMAD BIN SHALIH AL-‘UTSAIMIN RAHIMAHULLAH
الحمد لله حمداً كثيراً طيباً
مباركاً فيه وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له شهادة أرجو بها
النجاة يوم نلاقيه وأشهد أن محمداً عبده ورسوله أرسله بالهدى ودين الحق
فبلغ الرسالة وأدى الأمانة ونصح الأمة فصلوات الله وسلامه عليه وعلى آله
وأصحابه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين. أما بعد.
Sesungguhnya Allah ‘azza wajalla telah berfirman:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الأهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ
“Mereka bertanya kepadamu tentang
bulan sabit. Katakanlah: “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi
manusia dan (bagi ibadat) haji.” [Al-Baqarah: 189].
Dan Allah ‘azza wajalla juga berfirman:
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ
عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْراً فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ
السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ
الْقَيِّمُ فَلا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ
“Sesungguhnya bilangan bulan pada
sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia
menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah
(ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu
dalam bulan yang empat itu.” [At-Taubah: 36]
Sesungguhnya bulan-bulan Hilaliyah ini
merupakan bulan-bulan yang Allah tetapkan untuk hamba-hamba-Nya sebagai
waktu-waktu bagi manusia dalam bermu’amalah dan beribadah.
قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ
Katakanlah: “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji.”[Al-Baqarah: 189].
Di antara bulan-bulan tersebut adalah
empat bulan yang diharamkan, yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram
yang merupakan tiga bulan yang berurutan, dan Rajab secara sendiri yang
terletak antara bulan Jumadal Tsaniyah dan Sya’ban.
Dan sebentar lagi, bulan ini (yakni Rajab, pent)
akan tiba mendatangi kalian. Bulan ini merupakan salah satu dari empat
bulan-bulan haram yang memiliki keutamaan. Sudah semestinya pada bulan
tersebut untuk menjauhi berbagai bentuk maksiat sebagaimana pada tiga
bulan yang lain, namun tidak pernah disebutkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa
beliau mengkhususkan pada bulan itu dengan menambah ibadah shalat
maupun puasa. Semua hadits yang menyebutkan tentang permasalahan ini
adalah hadits-hadits yang lemah dan tidak bisa dijadikan hujjah.
Sebagian orang beribadah kepada Allah ‘azza wajalla dengan
berpuasa pada tiga bulan: Rajab, Sya’ban, dan Ramadhan, namun tidak
dibenarkan untuk mengkhususkan puasa pada bulan Rajab.
Adapun Sya’ban, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah
memperbanyak puasa pada bulan tersebut sampai pernah beliau berpuasa
sebulan penuh ataupun mayoritasnya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh
Ummul Mu’minin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.[3]
Wahai saudara-saudaraku,
Sesungguhnya sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam,
dan sejelek-jelek perkara adalah suatu perkara yang diada-adakan dalam
agama ini. Sesungguhnya seluruh amalan yang dengannya engkau beribadah
kepada Allah, namun amalan tersebut tidak pernah disyari’atkan di dalam
Kitabullah maupun sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka sesungguhnya itu adalah kebid’ahan yang tidaklah menambah bagi engkau kecuali semakin jauh dari Allah ‘azza wajalla.Karena
setiap orang yang berbuat bid’ah, berarti kebid’ahannya itu akan
memberikan makna bahwa agama ini belum sempurna semasa hidup Rasulullahshallallahu ‘alaihi wasallam, padahal Allah ta’ala telah berfirman:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلامَ دِيناً
“Pada hari ini telah Kusempurnakan
untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah
Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.”[Al-Maidah: 3]
Allah berfirman yang demikian itu dalam sebuah ayat yang Dia turunkan kepada Rasul-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam pada hari Jum’at, di hari ‘Arafah ketika haji wada’.
Sehingga agama ini telah sempurna, tidak
butuh kepada penyempurnaan, dan tidak pula butuh kepada sesuatu yang
diada-adakan. Setiap manusia yang beribadah kepada Allah dengan
menjalankan suatu amalan yang tidak disyari’atkan di dalam Kitabullah
dan sunnah Rasul-Nya, maka amalannya tersebut tertolak dan dia tersesat
disebabkan amalannya itu. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam rangka memberikan peringatan kepada umatnya:
إياكم ومحدثات الأمور فإن كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة
“Hati-hatilah kalian dari
perkara-perkara baru yang diada-adakan dalam agama ini, karena
sesungguhnya setiap perkara baru yang diada-adakan dalam agama ini
adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.”
Dan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda:
من عمل عملاً ليس عليه أمرنا فهو رد
“Barangsiapa yang beramal dengan
suatu amalan yang bukan termasuk urusan (tuntunan syari’at) kami, maka
amalannya tersebut tertolak.” [HR. Muslim]
Ambillah prinsip ini wahai saudaraku
muslim, ambillah petunjuk ini, bahwa setiap amalan yang dengannya
seseorang beribadah (kepada Allah), baik itu amalan hati seperti
aqidah/keyakinan, atau amalan lisan seperti dzikir-dzikir bid’ah, atau
amalan anggota badan seperti amaliyah bid’ah, jika tidak memiliki saksi
(berupa dalil/hujjah, pent) dari Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, maka tidaklah didapatkan kecuali kerugian di dunia dan akhirat.
أسأل الله تعالى أن يبصرني وإياكم بدينه وأن يرزقنا علماً نافعاً وعملاً صالحاً يُقربنا إليه وأعوذ به من الجهل والبدع
Saya memohon kepada Allah ta’ala agar
Dia memberikan bashirah (ilmu pengetahuan) kepadaku dan kepada kalian
semua tentang agama-Nya, dan agar Dia memberikan rizki kepada kita semua
berupa ilmu yang bermanfaat dan amalan shalih yang bisa mendekatkan
diri kita kepada-Nya. Dan saya memohon perlindungan kepada-Nya dari
kebodohan dan kebid’ahan.
اللهم إنا نسألك يقيناً لا شك
معه وإيماناً لا كفر معه واتباع لا ابتداع معه وإخلاصاً لا شرك معه يا ذا
الجلال والإكرام يا حي يا قيوم
Ya Allah, kami memohon kepada Engkau
keyakinan yang tidak ada keraguan bersamanya, keimanan yang tidak ada
unsur kekufuran bersamanya, sikap ittiba’ (mengikuti Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam) yang tidak ada sikap ibtida’
(mengada-adakan perkara baru dalam agama) bersamanya, ikhlas yang tidak
ada kesyirikan bersamanya, wahai Dzat yang memiliki keagungan dan
kemuliaan, wahai Dzat yang maha hidup lagi terus-menerus dalam mengurus
makhluk-Nya.
Wahai saudara-saudara kaum muslimin, sesungguhnya Allah ta’ala berfirman dalam kitab-Nya yang agung:
إِنَّ اللَّهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً
“Sesungguhnya Allah dan
malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang
beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam
penghormatan kepadanya.” [Al-Ahzab: 56]
سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ
“Kami dengar dan kami taat. Ampunilah kami Ya Rabb kami dan kepada Engkaulah tempat kembali.”[Al-Baqarah: 285]
اللهم صلِّ وسلم على عبدك
ورسولك اللهم صلِّ وسلم على عبدك ورسولك محمد اللهم صلِّ وسلم على عبدك
ورسولك محمد اللهم ارزقنا محبته واتباعه ظاهراً وباطنا اللهم احشرنا في
زمرته اللهم اسقنا من حوضه اللهم أدخلنا في شفاعته اللهم اجمعنا به وبمن
أنعمت عليهم في جنات النعيم إنك على كل شيء قدير
Ya Allah, curahkanlah shalawat dan
salam kepada hamba dan rasul Engkau, Ya Allah, curahkanlah shalawat dan
salam kepada hamba dan rasul Engkau Muhammad, Ya Allah, curahkanlah
shalawat dan salam kepada hamba dan rasul Engkau Muhammad.
Ya Allah, limpahkanlah rizki kepada kami untuk bisa mencintai beliau, mengikuti sunnah beliau, zhahir maupun batin.
Ya Allah, kumpulkanlah kami dalam
barisan beliau, ya Allah, berilah kami kesempatan untuk minum dari
telaga beliau (nanti pada hari Qiyamat, pent), ya Allah, masukkanlah
kami ke dalam jajaran orang-orang yang mendapatkan syafa’at beliau.
Ya Allah, kumpulkanlah kami bersama beliau dan bersama orang-orang yang Engkau beri nikmat di surga yang penuh kenikmatan.
Sesungguhnya Engkau maha mampu atas segala sesuatu.
اللهم ارض عن خلفائه الراشدين
وعن الصحابة أجمعين وعن التابعين لهم بإحسان إلى يوم الدين اللهم ارض عنا
كما رضيت عنهم اللهم أصلح أحوالنا كما أصلحت أحوالهم
Ya Allah, ridhailah para Al-Khulafa’
Ar-Rasyidun, para shahabat, dan orang-orang yang mengikuti jejak mereka
dengan baik sampai datangnya hari pembalasan. Ya Allah, ridhailah kami
sebagaimana Engkau telah meridhai mereka.
Ya Allah, perbaikilah keadaan kami sebagaimana Engkau telah memperbaiki keadaan mereka.
اللهم اجمع قلوبنا على الحق يا
رب العالمين اللهم آلف بين قلوبنا اللهم اهدنا سبل السلام اللهم ألق بيننا
المودة والمحبة يا رب العالمين اللهم أبعد عنا اختلاف القلوب والعداوة
والبغضاء إنك على كل شيء قدير.
Ya Allah, kumpulkanlah hati-hati kami
di atas al-haq, wahai Rabb semesta alam. Ya Allah, satukanlah hati hati
kami, ya Allah, berilah kami petunjuk kepada jalan keselamatan, ya
Allah, tanamkan kecintaan dan kasih saying di antara kami, wahai Rabb
semesta alam. Ya Allah, jauhkanlah dari kami segala bentuk perselisihan
hati, permusuhan, dan kebencian, sesungguhnya Engkau maha mampu atas
segala sesuatu.
Wahai hamba-hamba Allah,
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ
بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ
الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ
تَذَكَّرُونَ
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu)
berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan
Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia
memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”[An-Nahl: 90] Sumber: http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=102207
4. PENJELASAN FADHILATUL ‘ALLAMAH DR. SHALIH BIN SA’D AS SUHAIMI HAFIZHAHULLAH
Dan termasuk kebid’ahan yang tersebar pada masa ini adalah apa yang diyakini oleh orang-orang (kaum muslimin, pent)
berupa pengkhususan bulan Rajab untuk melakukan ibadah tertentu seperti
puasa atau menentukan hari tertentu (seperti malam 27 Rajab,pent)
untuk menyelenggarakan ritual perayaan dan ibadah-ibadah tertentu
dengan anggapan bahwa pada bulan tersebut adalah malam terjadinya
peristiwa Isra’ dan Mi’raj.
Penentuan semacam ini tidak ada dalilnya dari Kitabullah ta’ala maupun dari sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam.
Tidak ragu lagi bahwasanya peristiwa
Isra’ dan Mi’raj adalah benar adanya, dan beriman terhadapnya apa
hukumnya?! Wajib, dan seorang muslim tidak ragu dalam perkara ini.
Bahkan beriman dengan (Isra’ Mi’raj) merupakan perkara yang sudah diwajibkan oleh Allahtabaraka wata’ala di dalam kitab-Nya:
سُبْحَانَ الَذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلاً مِّنَ المَسْجِدِ الحَرَامِ إلَى المَسْجِدِ الأَقْصَا الَذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ
“Maha Suci Allah, yang telah
memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al
Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya.” [Al Isra': 1]
Dan beliau telah diisra’kan dengan ruh dan jasadnya, tidak dengan ruhnya saja, dan bukan pula kejadian dalam mimpi saja, bahkan beliau diisra’kan dengan ruh dan jasadnyashallallahu ‘alaihi wasallam -hingga beliau sampai di sidratul muntaha- shalawatullahi wasalamuhu ‘alaihi.
Ini merupakan kedudukan yang tidak
dicapai oleh seorang nabi pun sebelumnya, dan ini merupakan kekhususan
yang Allah berikan kepadanya shalawatullahi wasalamuhu ‘alaihi.
Dan walaupun Isra’ dan Mi’raj adalah peristiwa yang tsabit (tetap
dalam syari’at ini) dan beriman dengannya adalah wajib dan telah
diwajibkan pula ketika itu shalat lima waktu, akan tetapi kita tidak
memiliki dalil yang pasti bahwa itu terjadi di bulan Rajab.
Kemudian di sana ada perkara lainnya,
yaitu bahwasanya walaupun kita mendapatkan dalil bahwa peristiwa Isra’
dan Mi’raj itu terjadi pada bulan Rajab, apakah kita disyaria’tkan untuk
melakukan ritual ibadah tertentu pada bulan tersebut?
Jawabannya adalah: tidak, karena segala bentuk ibadah itu sifatnya adalah tauqifiyyah(tetap dan paten sesuai dengan tuntunan Allah ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam) yang harus diketahui (dalil dan landasannya, pent) dari syari’at ini. Dan setelah mengalami peristiwa Isra’ dan Mi’raj, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hidup selama sekitar 13 tahun, dan beliau tidak pernah mengadakan acara-acara tertentu untuk memperingati peristiwa tersebut.
Apakah kita yang lebih bersemangat mengikuti al-haq ataukah beliau shallallahu ‘alaihi wasallam? Tentunya beliau, ini tentunya tidak ragu lagi.
Sesungguhnya perbuatan mengada-adakan
ibadah tertentu untuk memperingati Isra’ dan Mi’raj pada tanggal 12 atau
27 Rajab itu terjadi pada abad ke-4 Hijriyyah, setelah banyak
bermunculannya sikap taqlid kepada orang-orang Yahudi dan Nashara dalam
memperingati hari-hari ‘ied (hari raya-hari raya), seperti
peringatan-peringatan hari-hari kelahiran atau yang lainnya dari bentuk
peringatan-peringatan (hari raya) jahiliyyah yang Allah tidak menurunkan
satu hujjahpun, maka itu semua adalah peringatan-peringatan jahiliyyah
dan bid’ah yang diada-adakan.
Hari-hari ‘ied dalam Islam, ada berapa
hari ‘ied kita? Aku katakan: hari ’ied Islam ada tiga, apa saja itu?
‘Iedul Fithri, ‘Iedul Adh-ha, dan ‘Iedul Usbu’ yang itu merupakan hari Jum’at. Dan Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam telah
menamakan itu semua dengan ‘ied dan tidak ada ‘ied yang keempat dari
hari-hari ‘ied tersebut. Tidak ada ‘ied (hari ulang tahun) kelahiran,
ataupun i’ed (hari raya) nasional, ‘ied perayaan Isra’ dan Mi’raj, ………..
Itu semua adalah ‘ied (perayaan/hari
raya) jahiliyyah, semuanya adalah ‘ied jahiliyyah, tidak diketahu
(dikenal) kecuali setelah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, kecuali setelah empat abad kemudian.
Kita mengajukan pertanyaan di sini:
Siapakah yang berada di atas al-haq?
Mereka generasi pertama yang hidup pada
masa-masa generasi terbaik dan diutamakan? Ataukah Al-Fathimiyyun
Al-’Ubaidiyyun yang menisbahkan kepada Fathimah radhiyyallahu ‘anha secara palsu dan dusta setelah empat abad (dari wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, pent)?! Siapa yang berada di atas al-haq?! Siapa yang lebih benar jalannya?!
Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lebih daripada kecintaan mereka kepada beliau. Mereka (para shahabat tersebut) datang membela Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan
ruh dan jiwa-jiwa mereka, mereka menghadapi panah-panah dan
tombak-tombak dengan dada-dada mereka yang suci dalam rangka menebus
dirinya untuk (membela) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Walaupun demikian, mereka tidak pernah
mengadakan peringatan-peringatan semacam ini. Apakah kemudian kita
mengatakan bahwa mereka tidak mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam?
Maha sempurna Allah, seorang muslim tidak akan mengatakan seprti itu,
bahkan mereka (para shahabat) adalah orang-orang yang paling mencintai
Rasulullahshallallahu ‘alaihi wasallam.
Beriman terhadap Isra’ dan Mi’raj adalah
wajib, akan tetapi anggapan bahwa itu terjadi pada malam 27 Rajab
adalah tidak benar bahkan itu merupakan kedustaan.
Riwayat-riwayat dalam sejarah
menyebutkan bahwa Isra’ Mi’raj terjadi pada bulan Rajab, ada yang
menyebutkan pada bulan Sya’ban, ada yang menyebutkan pula pada bulan
Ramadhan, ada yang menyebutkan pada bulan Syawwal, dan ada pula yang
menyebutkan pada bulan Dzulhijjah, Wallahu A’lam.
Tidak terlalu penting bagi kita
(mengetahui) tarikh dalam masalah ini, dan yang (lebih) penting bagi
kita adalah hakikat keimanan terhadap benarnya peristiwa Isra’ dan
Mi’raj tersebut.
Demikian pula mengkhususkan bulan Rajab
dengan puasa tertentu adalah tidak benar, tidak benar, tidak ada pada
bulan Rajab itu puasa tertentu yang dikhususkan[4], dan barangsiapa yang
mengkhususkan puasa pada bulan Rajab, maka tidak ragu lagi bahwa mereka
telah melakukan salah satu bentuk kebid’ahan di antara
kebid’ahan-kebid’ahan yang diada-adakan manusia. Tidak ada dalil shahih
yang tetap dalam pengkhususan bulan Rajab dengan puasa tertentu, shalat
tertentu, maupun ritual ibadah khusus, akan tetapi (bulan Rajab) adalah
sebagaimana bulan-bulan yang lainnya. Sumber:http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=121523
Diterjemahkan secara ringkas dan diberi catatan kaki oleh Abu Abdillah.
[1] Shalat Raghaib atau biasa juga disebut dengan Shalat Rajab adalah
shalat yang dilakukan pada malam Jum’at pertama bulan Rajab antara
shalat Maghrib dan ‘Isya. Pada siang harinya sebelum pelaksanaan shalat
Raghaib ini (yakni hari Kamis pertama bulan Rajab) dianjurkan untuk
melaksanakan puasa sunnah.
Adapun tata cara dan keutamannya adalah sebagaimana yang disebutkan dalam hadits maudhu’ (palsu) yang berbunyi:
وما من أحد يصوم يوم الخميس أول
خميس في رجب، ثم يصلى فيما بين العشاء والعتمة، يعنى ليلة الجمعة، ثنتى
عشرة ركعة، يقرأ في كل ركعة فاتحة الكتاب مرة، وإنا أنزلناه في ليلة القدر
ثلاث مرات، وقل هو الله أحد اثنتى عشرة مرة، يفصل بين كل ركعتين بتسليمة،
فإذا فرغ من صلاته صلى على سبعين مرة، ثم يقول: اللهم صل على محمد النبي
الامي وعلى آله، ثم يسجد فيقول في سجوده: سبوح قدوس رب الملائكة والروح
سبعين مرة، ثم يرفع رأسه فيقول: رب اغفر لي وارحم وتجاوز عما تعلم إنك أنت
العزيز الاعظم سبعين مرة، ثم يسجد الثانية فيقول مثل ما قال في السجدة
الاولى، ثم يسأل الله تعالى حاجته، فإنها تقضى. قال رسول الله صلى الله
عليه وسلم: والذى نفسي بيده ما من عبد ولا أمة صلى هذه الصلاة إلا غفر الله
تعالى له جميع ذنوبه وإن كانت مثل زبد البحر وعدد ورق الاشجار، وشفع يوم
القيامة في سبعمائة من أهل بيته، فإذا كان في أول ليلة في قبره جاءه بواب
هذه الصلاة، فيجيبه بوجه طلق ولسان ذلق، فيقول له: حبيبي أبشر فقد نجوت من
كل شدة، فيقول: من أنت فوالله ما رأيت وجها أحسن من وجهك، ولا سمعت كلاما
أحلى من كلامك، ولا شممت رائحة أطيب من رائحتك، فيقول له: يا حبيبي أنا
ثواب الصلاة التى صليتها في ليلة كذا في شهر كذا، جئت الليلة لاقضى حقك،
وأونس وحدتك، وأرفع عنك وحشتك، فإذا نفخ في الصور أظللت في عرصة القيامة
على رأسك، وأبشر فلن تعدم الخير من مولاك أبدا
“Dan tidaklah ada seorang yang
berpuasa di awal Kamis bulan Rajab, kemudian shalat di,antara Maghrib
dan ‘Atamah (Isya)- yaitu malam Jum’at- dua belas rakaat, membaca pada
setiap rakaatnya surat Al-Fatihah sekali dan surat Al-Qadr tiga kali
serta surat Al-Ikhlas dua belas kali, setiap dua rakaat dengan satu kali
salam, jika telah selesai dari shalat tersebut maka ia bershalawat
kepadaku tujuh puluh kali, kemudian mengatakan ‘Allahhumma Shalli ‘Ala Muhammadin An-Nabi Al-Ummiyyi Wa ‘Ala Alihi’, kemudian sujud lalu mengatakan dalam sujudnya: ‘Subuhun qudusun Rabbul Malaikati War Ruh’tujuh puluh kali, lalu mengangkat kepalanya dan mengucapkan: ‘Rabbighfirli warham wa tajaawaz ‘amma ta’lam Inaka anta Al-Aziz Al-A’zham’
tujuh puluh kali, kemudian sujud kedua dan mengucapkan seperti ucapan
pada sujud yang pertama, lalu memohon kepada Allah hajatnya, kecuali
pasti hajatnya tadi akan dikabulkan.
Rasulullah bersabda: ‘Demi Dzat yang
jiwaku ada di tangan-Nya, tidak ada seorang hamba laki-laki maupun
perempuan yang melakukan shalat ini kecuali akan Allah ampuni seluruh
dosanya walaupun seperti buih di lautan dan seperti sejumlah daun di
pepohonan, serta bisa memberi syafaat di hari kiamat kepada tujuh ratus
keluarganya. Ketika berada di malam pertama di kuburnya, akan datang
kepadanya pahala shalat ini. Ia menemuinya dengan wajah yang berseri dan
lisan yang indah, lalu menyatakan: ‘Kekasihku, berbahagialah! Kamu
telah selamat dari kesulitan. Lalu (orang yang melakukan shalat ini)
berkata: ‘Siapa kamu? Sungguh demi Allah, aku belum pernah melihat wajah
seindah wajahmu dan tidak pernah mendegar perkataan semanis perkataanmu
serta tidak pernah mencium bau wewangian sewangi bau wangi kamu’. Lalu
ia berkata: ‘Wahai kekasihku! Aku adalah pahala shalat yang telah kamu
lakukan di malam itu pada bulan itu. Malam ini aku datang untuk
menunaikan hakmu, menemani kesendirianmu dan menghilangkan darimu
kegundahgulanaanmu. Ketika ditiup sangkakala, maka aku akan menaungimu
di tanah lapang kiamat. Maka berbahagialah karena kamu tidak akan
kehilangan kebaikan dari maula-Mu (Allah) selama-lamanya.”
Haidts ini adalah hadits maudhu’ (palsu), disebutkan oleh Al-Imam Ibnul Jauzirahimahullah di dalam kitabnya Al-Maudhu’at (II/124)
Dari hadits tersebut, dapat diketahui secara ringkas tata cara Shalat Raghaib, yaitu:
- Dikerjakan antara Maghrib dan ‘Isya’, jumlah rakaatnya dua belas, setiap dua rakaat satu salam.
- Pada setiap rakaat membaca surat Al-Fatihah sekali, surat Al-Qadr tiga kali, dan surat Al-Ikhlash dua belas kali.
- Setelah shalat mengucapkan shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallamtujuh puluh kali dengan lafazh:
اللّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ النَّبِيِّ اْلأُمِّيِّ وَعَلَى آلِهِ
- Kemudian sujud dengan membaca tujuh puluh kali:
سُبُّوْحٌ قُدُّوْسٌ رَبُّ الْمَلاَئِكَةِ وَالرُّوْح
- Kemudian bangun dan duduk dengan mengucapkan tujuh puluh kali:
رَبِّ اغْفِرْ لِي وَارْحَمْ وَتَجَاوَزْ عَمَّا تَعْلَمْ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيْزُ اْلأَعْظَمُ
- Lalu sujud lagi dan mengucapkan ucapan yang sama dengan sujud yang pertama
- Kemudian berdo’a kepada Allah sesuai dengan hajat dan kebutuhannya.
[2] Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma mengabarkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah
melakukan umrah pada bulan Rajab. Yang benar adalah sebaliknya, bahwa
belum pernah beliau melakukan umrah pada bulan itu. Ketika Ummul
Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha mendengar bahwa Abdullah bin
Umar mengatakan demikian, maka Aisyah pun mengingkarinya (Lihat
Ash-Shahihain). Dalam riwayat Muslim disebutkan bahwa ketika Abdullah
bin Umar mendengar pengingkaran Aisyah ini, diapun diam. Wallahu a’lam.
[3] HR. Ahmad, Al-Bukhari, dan Muslim dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.
[4] Sebagaimana bulan yang lain, seperti tanggal 9 dan 10 Muharram, 6 hari di bulan Syawwal, dan 9 Dzulhijjah.
Sumber : http://www.mahadassalafy.net/2012/05/menyikapi-bulan-rajab.html