Para Tokoh dan Pemimpin Negara Dibunuh CIA Melalui Penyakit Kanker, Radioaktif dan Racun
Sejumlah pemimpin Amerika Latin yang
selama ini dikenal anti-Amerika Serikat seperti Presiden Brasil Dilma
Rousseff, Presiden Paraguay Ferando Lugo, dan mantan pemimpin Brasil
Luiz Incio Lula da Silva, semuanya meninggal karena kanker.
Tiga jam sebelum Wakil Presiden
Venezuela, Nicolas Maduro mengumumkan kematian Presiden Hugo Chavez
dalam siaran televisi nasional pada tanggal 5 Maret 2013 lalu, dia
mengatakan bahwa penyakit kanker yang diidap oleh presiden Venezuela
Hugo Chavez adalah perbuatan musuh.
Stasiun
televisi ABC melaporkan, Rabu (6/3/13), dalam pidato sepanjang 30 menit
itu Maduro kerap menyerang pihak oposisi dan menyebut pada titik
tertentu musuh lama Venezuela telah berhasil membuat kondisi kesehatan
Chavez memburuk.
Seorang pengamat sekaligus kolumnis surat kabar the New York Times,
Kevin Barnett, dalam situs stasiun televisi Press TV di hari yang sama
menulis, “Chavez suatu kali pernah mempertanyakan kematian sejumlah
pemimpin negara Amerika Latin oleh penyakit kanker.”
“Setahun lalu, Chavez pernah berbicara di
radio nasional Venezuela. Dia mengatakan, sangat sulit dijelaskan
bagaimana mungkin beberapa pemimpin Amerika Latin meninggal karena
penyakit yang sama, yaitu kanker?”
Pengamat dan kolumnis New York Times, Kevin Barnet juga menuturkan:
Sejumlah pemimpin Amerika latin yang selama ini dikenal anti-Amerika Serikat seperti Presiden Brasil Dilma Rousseff, Presiden Paraguay Fernando Lugo, dan mantan pemimpin Brasil Luiz Inácio Lula da Silva, semuanya meninggal karena kanker. Kasus percobaan pembunuhan terhadap Presiden Kuba Fidel Castro juga menjadi contoh kajian Barnett.
Presiden Brazil Dilma Vana Rousseff ([dʒiwmɐ χuˈsɛf]; masa jabatan sejak 21 Juni 2005 hingga 31 Maret 2010
Lahir di Belo Horizonte, Minas Gerais, 14
Desember 1947; umur 65 tahun) adalah ekonom, politisi dan Presiden
Brasil sejak 1 Januari 2011. Ia beberapa kali hampir dikudeta dan
beberapa kali lolos dari percobaan pembunuhan.
Presiden Paraguay Fernando Armindo Lugo Méndez, lahir
di San Solano, San Pedro del Paraná, Departemen Itapúa, Paraguay, 30
Mei 1951; umur 61 tahun, adalah Presiden Paraguay dengan masa jabatan 15
Agustus 2008 sampai dengan 22 Juni 2012. Ia memenangi pemilu presiden
2008.
Sebelum terjun ke dunia politik, ia
pernah menjadi uskup Gereja Katolik Paraguay. Ia mengundurkan diri dari
kepemimpinan gereja untuk mencalonkan diri menjadi presiden.
Kemenangannya mengakhiri 61 tahun kekuasaan Partai Colorado dan berhasil mempersatukan para pemilih untuk menentang korupsi dan kekacauan ekonomi.
Fernando Lugo Mandez juga berjanji membersihkan korupsi dan mengangkat harkat penduduk asli Indian yang terpinggirkan.
Pada masa pemerintahannya, ia pernah
hampir diturunkan (impeachment) oleh dewan dan percobaan kudeta, selain
itu ia juga lolos dari beberapa kali percobaan pembunuhan.
Presiden Brazil Luiz Inácio Lula da Silva
(lu’iz i’nasiu ‘lulɐ dɐ ‘silvɐ], lahir di Vargem Grande (kini Caetés),
Garanhuns, Pernambuco, 27 Oktober 1945; umur 67 tahun dengan nama Luiz
Inácio da Silva.
Ia populer dan dikenal dengan nama Lula,
adalah Presiden Brasil ke-39. Lula lahir di bagian wilayah Pernambuco
(Brasil) dan terpilih untuk jabatan presiden pada 27 Oktober 2002 dengan
61% suara pada putaran kedua yang diadakan antara dua kandidat yang
mengumpulkan suara terbanyak dalam putaran pertamanya.
Lula mulai menjabat pada 1 Januari 2003.
Politiknya secara tradisional sayap kiri, namun sejak ia menjadi
presiden kiri Brazil pertama sejak João Goulart politiknya lebih ke
tengah. Ia dipilih bersama-sama dengan wakil presidennya, José Alencar,
dari Partai Liberal yang kanan-tengah.
Presiden Kuba Fidel Alejandro Castro Ruz
(Fidel Castro), lahir 13 Agustus 1926; umur 86 tahun, adalah Presiden
Kuba sejak 1976 hingga 2008. Sebelumnya, ia menjabat sebagai Perdana
Menteri atas penunjukannya pada Februari 1959 setelah tampil sebagai
komandan revolusi yang gagal. Presiden Dewan Negara merangkap jabatan
sebagai Dewan Menteri Fulgencio Batista pada tahun 1976.
Castro tampil sebagai sekretaris pertama Partai Komunis Kuba (Communist Party of Cuba)
pada tahun 1965 dan mentransformasikan Kuba ke dalam republik sosialis
satu-partai. Setelah tampil sebagai presiden, ia tampil sebagai komandan
Militer Kuba. Pada 31 Juli 2006, Castro menyerahkan jabatan
kepresidenannya kepada adiknya, Raúl untuk beberapa waktu.
Pada tahun 1947, ia ikut dalam upaya
kudeta diktator Republik Dominika Rafael Trujillo dan lari ke New York
(Amerika Serikat) karena adanya ancaman akan dihabisi lawan politiknya.
Setelah meraih doktor di bidang hukum
pada 1950, ia memprotes dan memimpin gerakan bawah tanah anti-pemerintah
atas pengambil-alihan kekuasaan lewat kudeta oleh Fulgencio Batista
pada 1952.
Tahun 1953, ia memimpin serangan ke barak
militer Moncada Santiago de Cuba, namun gagal. Sebanyak 69 orang dari
111 orang yang ambil bagian dalam serbuan itu tewas dan ia dipenjara
selama 15 tahun.
Setelah mendapatkan pengampunan dan
dibebaskan pada 15 Mei 1955, Fidel Castro langsung memimpin upaya
penggulingan diktator Batista. Perlawanan ini kemudian dikenal dengan Gerakan 26 Juli.
Pada 7 Juli 1955, ia lari ke Meksiko dan bertemu dengan pejuang
revolusioner Che Guevara. Bersama 81 orang lainnya, ia kembali ke Kuba
pada 2 Desember 1956 dan melakukan perlawanan gerilya selama 25 bulan di
Pegunungan Sierra Maestra.
Di luar Kuba, Castro mulai menggalang
kekuatan untuk melawan dominasi Amerika Serikat dan bekas negara Uni
Soviet. Setelah runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1991, cita-cita dan
impiannya mulai diwujudkan dengan bertemu Hugo Chávez di Venezuela dan
Evo Morales dari Bolivia.
Menjelang hari ulang tahunnya ke-80 yang
jatuh pada 13 Agustus 2006, Fidel Castro menyerahkan tampuk
kepemimpinannya untuk sementara waktu kepada adiknya. Praktis, Raúl
merangkap jabatan, yakni sebagai Presiden Kuba dan Menteri Pertahanan
Kuba. Sebelum menyerahkan kepemimpinan, masa jabatan Fidel Castro dari 2
Desember 1976 hingga 24 Februari 2008, namun de facto hingga 31 Juli
2006.
Pengamat dan kolumnis The New York Times
Kevin Barnet, juga mengatakan pengawal Castro, Fabian Escalante, pernah
menyebutkan Badan Intelijen Amerika (CIA) sudah 638 kali mencoba
membunuh Castro.
Metode CIA, kata dia, meliputi meledakkan
cerutu, senjata biologi, pil mematikan, bakteri beracun dalam kopi,
ledakan pengeras suara di mimbar pidato, penembak jitu, dan ledakan
granat bawah air hingga menggunakan radioaktif yang berbahaya, polonium
misalnya.
Selain bahan radioaktif, ada pula bahan
kimia yang tak terdeteksi yaitu Thallium, bahan mematikan ini diambil
dari rumput laut dan dibuat menjadi cairan yang tidak berwarna, berasa
dan berbau. Thallium merupakan bahan yang sangat sulit dideteksi.
Salah satu karakteristik racun ini adalah
ketika dicampurkan dengan makanan dan minuman, maka tidak akan merubah
rasa, warna maupun baunya. Racun ini juga dapat langsung disuntikkan ke
pembuluh darah.
Selain intelijen AS, beberapa intelijen
dari negara-negara sekutunya juga berbuat operasi rahasia yang sama,
namun tetap harus disetujui terlebih dahulu oleh intelijen AS dan Mossad
Israel, Perancis misalnya.
Agen rahasia Prancis disebut-sebut berada di balik terbunuhnya pemimpin Libya, Kolonel Muammar Qadhafi
(Muammar Muhammad Abu Minyar al-Gaddafi) dengan masa jabatan 1
September 1969 – 20 September 2011. Ia sebelumnya ditangkap dalam
keadaan segar-bugar, namun dihabisi saat hendak dibawa ke rumah sakit.
Motif pembunuhan, menurut sumber-sumber
Libya, adalah untuk menghentikan Qadhafi agar tak buka mulut soal
hubungannya dengan Nicolas Sarkozy, yang disebut-sebut sangat dekat.
Sarkozy adalah Presiden Prancis pada saat itu.
Qadhafi tewas pada tanggal 20 Oktober
2012 dalam serangan di kota kelahirannya, Sirte, oleh para pejuang dari
rezim baru. Sumber-sumber diplomatik di Tripoli, ibu kota Libya,
menyatakan untuk surat kabar Corriere della Serra Italia bahwa sang pembunuh kemungkinan besar adalah utusan Sarkozy.
“Sejak awal dukungan NATO untuk revolusi,
sangat didukung oleh pemerintah Nicolas Sarkozy, Qadhafi
terang-terangan mengancam akan mengungkapkan perincian hubungannya
dengan mantan Presiden Prancis, termasuk jutaan dolar yang dibayarkan
untuk membiayai pencalonannya pada pemilu tahun 2007,” tulis media ini.
Salah satu sumber Tripoli mengatakan, “Sarkozy memiliki setiap alasan untuk mencoba membungkam Kolonel secepat mungkin.”
Para mantan pemimpin Barat, termasuk
Sarkozy dan mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair, diam-diam
menjalin hubungan personal dengan Qadhafi.
Mereka mengunjungi dia secara teratur dan membantu untuk memfasilitasi bisnis bernilai miliaran dolar Amerika dengan negara itu.
Bahkan sebelum adanya penjara Guantanamo,
AS pernah meminta izin kepada Khadaffi untuk membuat sebuah penjara
persis seperti Guantanamo di tengah gurun Libya.
Awalnya Khadaffi tak setuju dengan
permohonan AS yang ingin membuat penjara mirip Guantanamo tersebut.
Namun akhirnya penjara tersembunyi khusus untuk orang-orang yang
dianggap menentang AS itu sempat terlaksana. Hal ini adalah sebagian
kecil dari banyak rahasia tingkat tinggi yang tak diketahui dunia luar.
Sarkozy, yang pernah
menyambut Qadhafi sebagai “pemimpin saudara” selama kunjungan kenegaraan
ke Paris, dikatakan telah menerima jutaan uang dari Libya untuk
mendanai kampanye pemilihannya tahun 2007.
Teori konspirasi akan menjadi perhatian
besar bagi Inggris yang mengirim jet untuk mengebom Libya tahun 2012
dengan alasan tujuan ‘menyelamatkan nyawa sipil’.
Sebuah mandat PBB menyatakan bahwa sekutu
Barat tidak bisa ikut campur dalam politik internal negara. Namun
pengeboman hampir setiap hari terjadi dengan ‘penasihat’ militer Prancis
dan Inggris membantu di lapangan.
Soal siapa pembunuh Qadhafi secara
tersirat pernah disampaikan Mahmoud Jibril, yang menjabat sebagai
Perdana Menteri interim, menyusul penggulingan Qadhafi. Ia mengatakan
kepada televisi Mesir, “Itu adalah agen asing yang berbaur dengan
brigade revolusioner untuk membunuh Qadhafi.”
Sebelumya, tokoh dan pemimpin perjuangan Palestina Yaseer Arafat
(Mohammed Abdel Rahman Abdel Raouf Arafat al-Qudwa al-Husseini) masa
jabatan 20 Januari 1996 – 11 November 2004, juga dipastikan dibunuh oleh
agen rahasia sahabat CIA, Mossad dari Israel.
Misteri kematian mantan pemimpin
Palestian Yasser Arafat kembali menjadi bahan pemberitaan sejak
kematiannya yang mencurigakan banyak pihak.
Pasalnya, temuan terbaru pakar
radiofisika dari Univeritas Lausanne, Swiss, Francois Bachud
menunjukkan, pemimpin legendaris itu dibunuh menggunakan racun kimia
jenis Polonium yang mengandung radioaktif.
Sebelumnya, salah satu teka-teki penyebab
kematian Yasser Arafat disebut-sebut karena diracun zat kimia langka,
jenis Thallium. Bachud melakukan penelitian di laboratorium di Swiss
berdasarkan sampel biologis yang diambil dari benda-benda peninggalan
Arafat.
“Kesimpulannya yakni kami menemukan
kandungan besar polonium dalam sampel-sampel tersebut,” jelas Bochud
yang merupakan Kepala Institut Radiofisika di Universitas Lausanne
kepada Al-Jazeera dan dilansir oleh AFP, Rabu (4/7/2012).
Sampel itu diperoleh setelah Suha, istri
Arafat menyerahkan beberapa benda peninggalan suaminya kepada rumah
sakit militer Percy di Paris, Prancis. Di antaranya, pakaian terakhir
yang dikenakan, sikat gigi, dan kafiyeh yang sering digunakan Arafat.
Kandungan polonium yang ditemukan, kata
Bochud sangat tidak wajar karena selain sangat tinggi, juga ditemukan
dalam pakaian dan benda-benda yang digunakan sehari-hari. Namun, menurut
dia, analisis lebih lengkap akan membantu bila jasad Arafat bisa
diperiksa kembali.
“Jika Suha ingin mengetahui apa yang
sebenarnya terjadi pada suaminya, kami memerlukan sampel — maksud saya,
melalui penggalian makam dan memeriksa jasadnya untuk memberikan kami
sampel yang mengandung polonium dalam jumlah tinggi guna mengetahui
apakah memang dia diracun,” jelas dia.
Penggunaan polonium itu untuk tujuan
pembunuhan pernah digunakan dua tahun kemudian atau pada 2006. Korbannya
adalah mantan agen rahasia Rusia, Alexander Litvinenko.
Hasil investigasi menunjukkan, terdapat
kandungan polonium tinggi pada minuman teh yang diminum Litvinenko di
sebuah hotel di London, Inggris sebelum meninggal. Jadi telah dipastikan
bahwa Alexander Litvinenko positif telah meninggal akibat diracun.
Sedangkan Yaseer Arafat sendiri meninggal
di rumah sakit militer Percy di Paris pada usia 75 tahun. Saat itu,
kematian penerima hadiah Nobel Perdamaian itu dikabarkan meninggal
karena penyakit misterius. Agen rahasia Mossad dari Israel pun dituding
berada dibalik kematian itu meski sampai saat ini tidak ada pembuktian
mengenai hal itu.
Menurut pengamat sekaligus kolumnis surat kabar the New York Times, Kevin Barnett, beberapa kasus kematian sejumlah tokoh melibatkan CIA, termasuk juga kematian karena penyakit kanker.
Contohnya lainnya yang terjadi pada Jack Ruby, tersangka perancang pembunuhan Presiden Amerika John F Kennedy.
Namun, Jack Ruby tewas dalam tahanan
karena serangan kanker misterius sebelum dia mengungkap peristiwa
pembunuhan yang sebenarnya.
Presiden Amerika John Fitzgerald Kennedy
lahir di Brookline, Massachusetts, 29 Mei 1917, meninggal di Dallas,
Texas, Amerika Serikat, 22 November 1963 pada umur 46 tahun. John F.
Kennedy atau JFK adalah Presiden Amerika Serikat yang ke-35.
Pada 1960, ia menjadi termuda yang
dipilih menjadi Presiden Amerika Serikat dan termuda kedua setelah
Theodore Roosevelt untuk jabatan presiden. Kennedy menjadi presiden
setelah dilantik pada 20 Januari 1961.
Jabatan kepresidenan John F. Kennedy
terhenti setelah terjadi pembunuhan terhadap dirinya pada 1963. Ia tewas
oleh terjangan peluru saat melakukan kunjungan ke Dallas (Texas) pada
22 November 1963.
Kennedy roboh saat mobil terbuka yang
membawanya melintas di kerumunan orang yang menyambut kunjungannya. Pada
25 November 1963, jenasahnya dimakamkan di Arlington, Washington, DC.
Sebanyak 800.000 orang ikut berkabung di jalanan Washington.
Pembunuhan Presiden John F Kennedy adalah pembunuhan tak terungkap secara pasti, hingga kini.
Dalam beberapa tahun terakhir malah
disebutkan bahwa pembunuhan presiden John F Kennedy memang direncanakan
oleh CIA. Badan intelijen negara CIA, kata Barnett, juga sudah melakukan
percobaan pembunuhan terhadap sejumlah pemimpin Amerika Latin yang
menolak keinginan Amerika.
Amerika selalu
mendefinisikan teroris adalah seseorang, kelompok atau sejenisnya yang
tak sefaham dengan aturan dan tak mau di dikte oleh negara Paman Sam
itu, maka disebutlah sebagai teroris!
CIA juga telah mempraktikkan pembunuhan dengan virus kanker sejak 1960-an. Jadi memang kiprah CIA sudah mendunia sejak dulu. CIA rules the world.
Pembunuhan terhadap para pemimpin
“negara-negara penentang” aturan ala koboi Amerika tidak selalu sebagai
acuan pihak AS dan sekutunya. Mereka banyak memiliki program, misi dan
operasi untuk menghancurkan yang dianggap melawan.
Tak sedikit justru teman-teman dan
pendukung Amerika dan sekutunya sendiri juga justru dibunuhnya. Selain
membunuh Muamar Khadaffi yang justru sempat setuju dengan penjara
politik sebelum ada penjara Guantanamo didirikan di gurun Libya, Saadam
Hussein juga sempat menjadi “anak buah” Amerika dalam perang Iran –
Irak. Dalam peperangan tersebut, AS justru membantu Irak dalam perang
antar negara tetangga ini.
Namun akhirnya Saddam Hussein justru
digulingkan dengan alasan penggunaan “senjata pembunuh massal” yang
hingga detik ini tak terbukti!
Begitu pula saat perang dingin antara AS
dan (dulu) Komunis Soviet. Amerika menggunakan para pejuang Taliban di
Afghanistan untuk menggempur Soviet, AS menggunakan “orang dan pihak
lain” agar berlumuran darah, sedangkan AS duduk manis dibelakang meja,
menonton.
Namun saat perang dingin usai, Taliban
justru “diburu dan dihajar” habis oleh negara koboi ini. Semua pihak
yang bersebrangan namun bisa tunduk, tetap akan dihajar oleh AS disaat
negara itu kembali tenang, kecuali para sekutu-sekutu lamanya.
Dulu di Indonesia, saat dipimpin oleh sang proklamator presiden Sukarno, juga sempat akan dibunuh berkali-kali.
Sukarno ingin dibunuh mulai dari pihak
Belanda hingga pihak CIA Amerika, bahkan antek-antek CIA berkulit
pribumi juga ikut didanai.
Rencana pembunuhan Presiden Sukarno
melalui beberapa kali usaha kudeta dan pemisahan diri suatu wilayah,
hingga keinginan merubah faham politik dan sejenisnya.
Indonesia diusahakan agar menjadi faham
demokrasi, kebebasan, kapitalisme dan banyak faham lainnya, agar
Indonesia tak utuh, alias terpisah dan tercerai-berai. Mirip banyak
negara di dunia yang berhasil dipisahkan seperti Korea Utara & Korea
Selatan, Jerman Barat dan Jerman Timur, Vietnam Utara dan Vietnam
Selatan, Yaman Utara dan Yaman Selatan, Israel dan Palestina, India dan
Pakistan serta Bangladesh dan masih banyak lainnya, semua perpecahan itu
akibat pihak AS, dunia barat dan sekutunya yang menghasut rakyat
negara-negara tersebut.
Pihak AS biasanya akan meluncurkan isyu
hak asasi manusia (HAM) terlebih dahulu. Jika ada tokoh yang dominan,
maka AS akan memboncengnya dengan mendanai, mempropagandakan dan
melancarkan segala sesuatu, hingga membelanya.
Namun apa yang dilakukan tokoh yang dianggap menjunjung HAM tersebut hanyalah sebelah mata. Sebagai contoh adalah Aung San Suu Kyi. Batapa AS mengidolakannya bak pahlawan HAM membela rakyat Burma (Myanmar). Namun disisi lain tidak.
Ini terbukti pada tahun 2012 disaat
suku-suku beragama Islam dibunuh dan dibantai di sana. Aung San Suu Kyi
diam, Amerika pun juga diam, media barat juga diam. Ini adalah bukti
kecil namun konkrit dan ini telah tercatat sebagai sejarah yang
diabaikan, tentang apa itu hak azazi manusia (HAM).
Di Indonesia, tokoh HAM Munir (Munir Said Thalib), juga dipastikan telah diberikan dana dan dukungan dari AS dan dunia barat. Ia lahir di Malang, Jawa Timur, 8 Desember 1965.
Secara pandangan netral, Munir
membahayakan pihak Indonesia yang dianggap banyak melanggar HAM,
walaupun itu digunakan untuk menjaga dan mempertahankan keutuhan,
kedaulatan serta kestabilan negaranya.
Tapi dari konspirasi tingkat bawah, Munir
tewas diracun dari pihak intelijen Indonesia saat di pesawat, ia
meninggal di Jakarta jurusan ke Amsterdam pada 7 September 2004 pada
umur 38 tahun. Pihak Indonesia dituduh membunuhnya agar isyu HAM tak
lagi ada.
Namun dari konspirasi tingkat tinggi, justru Munir diracun oleh pihak AS melalui orang suruhan atau antek AS dan dunia barat.
Walaupun benar, namun akibat media dan
cuci otak rakyat disuatu negara, maka isyu tingklat bawahlah yang lebih
dipercaya, diracun oleh pihak Indonesia.
Mereka para awam, tak lagi dapat melihat
segalanya dalam pandangan netral, pandangan yang “siapa yang
mengendalikan HAM dan dunia”, sedangkan isyu tingkat atas ini, akan
dicemoohkan.
Dalam “menyerang” musuh-musuhnya yang tak
mau di dikte, pihak AS dan sekutunya selalu menggunakan cara yang
efektif. Mulai dengan cara membunuh dengan cara membom, menembak,
meracuni musuhnya, isyu untuk menggoyangkan pemerintahan melalui
“antek-antek” pribumi atau oposisi dinegara tersebut, hingga isyu
tentang hak azazi manusia. Padahal AS adalah justru negara yang termasuk
buruk dalam masalah hak azazi manusia.
Jika cara tersebut tak mempan, maka AS
akan menyusupi agen dan antek-anteknya lebih dalam lagi. Karena disetiap
negara pasti ada kelompok yang menginginkan kekayaan semata, juga ada
kelompok yang sakit hati terhadap pemerintahnya, rasa selalu tak puas
dan sejenisnya, maka anggota intelijen AS akan mulai membuat negara
tersebut untuk berselisih, membuat kerusuhan, hingga berperang di dalam
negerinya sendiri alias sesama bangsa yang sama.
Jika bangsa dan warganya sendiri tak
mempu membunuh pemimpinnya sendiri, maka AS akan menggunakan media dan
propagandanya. Dengan memegang setiap media, AS akan dapat menghasut
rakyat disuatu negara terhadap isyu-isyu politik yang berkembang.
Setelah rakyat disuatu negara berhasil di cuci otak dan diubah pola pikirnya, maka AS akan menggunakan apa yang dinamakan Operation false flag. Dan operasi tersebut dalam banyak track record dan sejarah, dinilai sangat mujarab.
Operation False Flag, atau
bahasa Indonesianya kira-kira “Operasi Bendera Palsu”, merupakan sebuah
operasi rahasia yang dibuat sedemikian rupa untuk menipu publik sehingga
publik mengira operasi tersebut dilakukan oleh kelompok lain.
Tujuan dari operasi ini adalah
justifikasi oleh pelaku operasi rahasia tersebut untuk menyerang negara
lain yang telah direncanakan, yang selama ini menjadi musuh atau
oposisinya.
Namun, masing-masing negara yang
menjalankan operasi ini tentunya memiliki kepentingan-kepentingan yang
lain meskipun tujuan umum dari operasi ini adalah SAMA.
“Jadi, jika Anda berpikir bahwa Presiden
Venezuela, Hugo Chavez dan beberapa pemimpin dunia yang bersebrangan
dengan AS, dan juga tokoh-tokoh yang berpihak kepada AS, serta
tokoh-tokoh HAM dunia meninggal secara wajar bahkan oleh “musuh barat”
dengan begitu saja, maka sepertinya Anda naif,” kata pengamat sekaligus
kolumnis surat kabar the New York Times, Kevin Barnett. Demikianlah, semoga tulisan admin bermanfaat untuk pengetahuan saudara-saudara.
sumber
sumber
0 komentar:
Posting Komentar