Manusia dapat dikatakan sebagai makhluk yang penuh ”kontroversi”.
Betapa tidak, pada awal proses penciptaannya saja telah menimbulkan
perdebatan. Bahkan malaikat, makhluk yang tanpa nafsu pun bertanya
kepada-Nya (Allah Swt), ”Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di
bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan
darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?”.
Untuk menjawab rasa penasaran malaikat sampai-sampai Allah Swt
menggunakan hak prerogatif dengan berfirman bahwa ”Sesungguhnya Aku
mengetahui apa tidak kamu ketahui”. Kisah ini diabadikan dalam
kitabullah Al-Qur’an (QS. Al-Baqarah ayat 30). Hal tersebut menjadi
benar karena Allah adalah dzat yang Maha Mutlak.
Dr. Jeffrey Lang, seorang muallaf Amerika menulis sebuah buku mengenai bagaimana membangun sikap ber-Islam yang kritis berjudul Bahkan Malaikat Pun Bertanya (1997) menuturkan bahwa misi manusia diciptakan di dunia adalah menyembah kepada Allah Swt, Sang pencipta semesta alam ini.
Menyembah tentu saja tidak dalam konteks sempit yang kerap dimaknai
dengan aktivitas ritual semata namun lebih dari itu yakni dalam konteks
universal yang mencakup semua sendi kehidupan ini. Iman dan Islam
seharusnya mengarahkan kita kepada tujuan hidup yang hakiki.
Akan tetapi, betapa kita melihat banyak pemegang amanah di negeri ini
(banyak dari kalangan umat Islam) yang seharusnya menjadi panutan dan
suri teladan malah berbuat jauh dari apa yang dikatakan atau bahkan
janjikan saat prosesi pelantikan yang sakral dengan berjanji di hadapan
Al-Qur’an. Sungguh menjadi suatu hal yang mungkin terlalu bosan untuk
disesali karena hal itu terus dan terus saja berulang. Janji yang
terucap hanya sekedar kata tanpa makna. Tidak membekas dan terrefleksi
antara tutur dan tingkah laku.
Saya teringat dalam sebuah khutbah Jum’at di Masjid Agung Jawa
Tengah, Semarang, kala itu khotib mengungkapkan bahwa sebagai seorang
muslim haruslah memiliki integritas antara Iman, Islam dan satu konsep
lagi yakni Ihsan sehingga perilaku dapat terkontrol dengan baik. Ihsan
sendiri dimaknai secara luas tidak hanya dalam konteks ibadah an sich
sehingga kita selalu merasa bahwa segenap tingkah laku kita senantiasa
diawasi dan dimonitoring oleh Sang pencipta.
Sebagaimana tesis Feuerbach (1881) yang mengungkapkan bahwa agama
merupakan proyeksi tentang kesempurnaan dari dimensi-dimensi dasariah
manusia maka sudah seharusnya ajaran agama Islam senantiasa diamalkan
dimana pun seorang muslim berada. Iman tidak hanya ada ketika berada di
masjid atau di majelis ta’lim namun ia ada dimana saja dan kapan saja.
Baik di masjid, di kantor, atau dimana pun. Maka disinilah kita mampu
melihat Ihsan. Kesemuanya itu tercermin laksana cahaya yang menerangi
kegelapan dan menjaga pribadi kita dari perbuatan yang dilarang.
Mari kita bertanya secara jujur dan objektif kedalam diri kita apakah
kita memang sudah benar dalam menjaga iman kita. Tidak ada yang
mengetahui iman seseorang karena yang terlihat adalah amalan secara
fisik. Mungkin kita dengan segala upaya dapat menipu kaum beriman, kita
merasa nyaman dengan kondisi semacam itu padahal tidak lain sebenarnya
kitalah yang telah menipu diri kita sendiri sebagaimana diungkapkan
dalam Al-Qur’an.
Makhluk Istimewa
Manusia diciptakan dengan beragam keistimewaan dan kemuliaan dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain ciptaan-Nya. Kita ambil contoh: manusia dapat menguasai dan memanfaatkan semua unsur alam ini untuk kepentingan hidupnya, manusia memiliki ilmu pengetahuan yang memungkinkan mereka dapat berkembang dan makin sempurna, manusia memiliki alat komunikasi dengan sesamanya yang disebut bahasa sehingga memungkinkan mereka untuk dapat saling bertukar informasi menuju kesempurnaan hidup bersama, manusia memiliki pegangan hidup baik di dunia dan di akhirat sebagai landasan dalam menjalani proses-proses kehidupan dan sebagainya.
Manusia diciptakan dengan beragam keistimewaan dan kemuliaan dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain ciptaan-Nya. Kita ambil contoh: manusia dapat menguasai dan memanfaatkan semua unsur alam ini untuk kepentingan hidupnya, manusia memiliki ilmu pengetahuan yang memungkinkan mereka dapat berkembang dan makin sempurna, manusia memiliki alat komunikasi dengan sesamanya yang disebut bahasa sehingga memungkinkan mereka untuk dapat saling bertukar informasi menuju kesempurnaan hidup bersama, manusia memiliki pegangan hidup baik di dunia dan di akhirat sebagai landasan dalam menjalani proses-proses kehidupan dan sebagainya.
Akan tetapi, di samping itu ”benda ciptaan” yang disebut manusia pun
memiliki banyak kelemahan/ kekurangan. Untuk itu mari kita renungkan
sejenak apa kekurangan/ kelemahan kita (manusia). Sudah sepatutnya kita
berkontemplasi karena sesungguhnya, hanya Sang Penciptalah yang Maha
Sempurna dan manusia tidak pantas sedikit pun untuk sombong.
Hal ini perlu disadari sepenuhnya bukan untuk rendah diri melainkan
agar manusia ”tahu diri”, sehingga tidak sombong karena jabatan,
pangkat, titel, kekuasaan atau kekayaan yang melekat pada dirinya. Jika
hal ini tidak disadari benar oleh manusia, maka keistimewaan tadi justru
akan terjadi sebaliknya yakni malapetaka bagi dirinya dan kehidupan
pada umumnya.
Ernst Cassier (filsuf Amerika asal Jerman, 1944) dalam An Essay On Man mengatakan bahwa manusia merupakan animal symbolicam, yaitu makhluk yang penuh dengan lambang. Baginya realitas adalah lebih dari sekedar tumpukan fakta-fakta.
Namun, manusia dengan sarananya mampu mengambil jarak dengan alam
sekitarnya, sehingga mampu melihat, menelaah, memahami dan
menganalisanya segala realitas di sekitarnya. Sarana-sarana tersebut
antara lain: bahasa, mitos, dan agama yang oleh Cassier dinamakan
lambang.
Sehingga dalam menjalani hidup manusia harus dilandasi sikap berserah
diri kepada Allah Swt dan selalu menjaga hubungan baik dengan sesama
manusia maupun alam sekitarnya. Allah Swt telah mengutus Rasul-rasul
serta menjelaskan mana jalan yang menuju kebahagian dan jalan yang
menuju kesengsaraan. Manusia hanya tinggal memilih.
Sungguh kiranya manusia harus senantiasa berpikir atas segala apa
yang ia pilih dan jalani. Berpikir mengenai eksistensi dan esensi adanya
manusia itu sendiri. Demikian Allah Swt telah mengaruniakan dan
memuliakan manusia dengan akal pikiran serta menunjukkannya jalan yang
sesat dan jalan yang benar. Setelah itu manusia akan kembali kepada-Nya
dengan segala apa yang harus dipertanggungjawabkannya.
Sebagaimana pernah dituturkan Muhammad Muhyidin (2006) bahwa segala
puji hanya bagi Allah Swt yang menciptakan langit dan bumi tanpa saksi,
yang menciptakan makhluk tanpa seorang pembantu, tidak ada sekutu dalam
keilahian, tidak ada yang setara dalam keesaan. Kelu lidah untuk
mengungkapkan keagungan-Nya, merendah segala sesuatu karena
kehebatan-Nya, merunduk segala sesuatu karena takut kepada-Nya. Dia yang
mengusir malam gelap dengan kodrat-Nya, yang menghadirkan siang yang
terang dengan rahmat-Nya. Manusia hanya seonggok tulang belulang yang
diberi nyawa oleh Sang Pencipta seluruh alam ini.
Berani hidup tidak takut mati, takut mati jangan hidup, takut hidup
mati saja. Hidup tidaklah sekedar untuk menuju kematian namun lebih dari
itu hidup hanya untuk yang Maha Hidup!.
tulisan@ ekanadashofa.staff.uns.ac.id
video@Lampu Islam
0 komentar:
Posting Komentar