Selasa, 27 Agustus 2013

Sekularisme Dan Liberalisme Ternyata Di Tolak Dari Zaman Soekarno


Add caption

sabilarosyad - Pernyataan Fajar Riza Ul-haq, Direktur Eksekutif Maarif Institute bahwa Muslim di Indonesia tak pernah ributkan soal liberalisme dan pluralisme adalah pernyataan yang mencerminkan bahwa pelakunya tak pernah membaca sejarah.

Penulis buku #Indonesia Tanpa Liberal, Artawijaya mengatakan bahwa pernyataan itu ahistoris, karena dri dulu tokoh-tokoh Islam sudah menentang sekulerisme dan liberalisme, seperti yang telah ia tuliskan dalam bukunya tersebut.

Melaui kicauannya di twitter pada Sabtu siang, (18/05) penulis bebagai buku ini juga menegaskan bahwa penolakan paham sekulerisme dan liberalisme telah ada sejak zaman Orde lama yang dipimpin oleh Soeharto.

“Sejak zaman Soekarno dulu, pak natsir, haji agus salim, A. hassan, dll udah menolak sekularisme dan liberalisme’, kicau mantan wartawan Sabili ini.

Bahkan pada masa itu, para ulama terkemuka di Indonesia telah menghasilkan karya-karya ilmiah yang sengaja disusun untuk membendung pemahaman sekuler-liberal yang dibawakan oleh agen-agen Barat di Indonesia.

“Contohnya natsir (M. Natsir, red) bikin buku ‘Islam dan Akal Merdeka’ dan A. Hassan bikin buku ‘Islam dan Kebangsaan’,” kicaunya lagi.

Soekarno dan konsep sekuler-liberal

Seperti dikutip dari refleksibudi.wordpress, semasa pembuangan Sukarno di Ende, Flores dan di Bengkulu minat Sukarno terhadap Islam semakin meningkat. Intensitas pemikirannya pada masa-masa pembuangan ini terhadap Islam sangat tinggi. Dari Ende, ia melakukan surat menyurat dengan A. Hasan di Bandung. Oleh A. Hasan surat-surat Sukarno kemudian diterbitkan sebagai ‘Surat-Surat Islam Dari Ende Flores’. Tetapi, baru pada saat pembuangan di Bengkulu, ketika ia diberikan kebebasan relatif untuk menuangkan pikirannya di media massa, pemikirannya tentang pembaruan Islam mengundang polemik.

Dalam karangannya “Masyarakat Onta dan Masyarakat Kapal Udara” Sukarno menggunakan tamsil, sebagai satu contoh proyek rasionalisme Islam-nya. “Pada suatu hari saya punya anjing menjilat air di dalam panci di dekat sumur. Saya punya anak, Ratna Juami, berteriak : “Papi, papi, si ketuk menjilat air di dalam panci.” Saya menjawab : “Buanglah air itu dan cucilah panci itu beberap kali bersih-bersih dengan sabun dan kreolin”. Ratna termenang sebentar, kemudian ia menanya : “Tidakkah Nabi bersabda, bahwa panci itu mesti dicuci tujuh kali, antaraya satu kali dengan tanah ?.” Saya menjawab : “Ratna, di zaman Nabi belum ada sabun dan kreolin, Nabi waktu itu tidak bisa memerintahkan orang memakai sabun dan kreolin.” Muka Ratna menjadi cerah kembali ! Itu malam ia tidur dengan roman muka seperti tersenyum seperti mukanya orang yang mendapat kebahagiaan besar.”

M. Natsir kala itu, dengan menggunakan nama samaran A. Moekhlis, memberikan responsi terhadap pikiran-pikiran Sukarno di atas. Ia menulis sebuah tulisan berjudul “Sikap Islam Terhadap Kemerdekaan Berpikir”. Pada masa-masa selanjutnya tulisannya itu diterbitkan dengan judul “Islam dan Akal Merdeka”.

Dalam tulisannya itu M. Natsir mengungkapkan pokok-pokok pikiran berikut, untuk memudahkan pengertian Islam dan membantah ide sekuler-liberal yang dijajakan Soekarno:

1. Islam memberikan penghargaan terhadap akal manusia, memberikan perlindungan atas akal manusia dan merangsang pendayagunaan akal manusia.

2. Tetapi semata-mata akal tidaklah cukup. Akal bisa menguatkan keimanan tetapi akal juga bisa menjerumuskan diri dalam kekufuran. Islam adalah suplement bagi akal manusia. Pada titik dimana akal tidak memiliki daya untuk membahasnya maka Islam memberikan penerangannya. Akal memiliki batas yang pada titik batas itu ia hanya mampu mengatakan “wallahu a’lam”.

3. Permasalahan yang dihadapi oleh umat terhadap akal-merdeka adalah pada akal merdeka yang salah pasang. Salah pasang secara tradisionalis atau salah pasang secara modernis. Akal merdeka bisa salah pasang dengan mencari-cari akal untuk membenarkan menyembah kuburan. Demikian pula akal merdeka bisa salah pasang mencari-cari akal untuk membenarkan salutasi kepada bendera nasional.

4. Adalah penting untuk memisahkan urusan “dunia” dan urusan “dien”. Untuk urusan “dunia” prinsipnya adalah semua boleh kecuali yang dilarang. Sedang untuk urusan “dien” semua terlarang kecuali yang diperintah. Perlu juga dipahami tipologi urusan yang diperintahkan “dien” tetapi caranya diserahkan kepada manusia untuk melaksanakannya.

5. Tetapi ada bagian-bagian yang samar, yang menjadi titik khilaf untuk menentukan apakah ini urusan “dunia” atau urusan “dien”. Tamsil oleh Sukarno mengenai membersihkan jilatan anjing salah satu yang masuk wilayah seperti ini. Dalam sejarah fiqh Islam sendiri ada perbedaan pendapat tentang hal ini. Ada yang memandangnya hanya masalah penyucian najis saja sehingga muncul pendapat seperti yang diberikan oleh Sukarno dalam tamsilnya itu. Ada juga yang berpendapat ini masalah ta’abudi kepada Allah sehingga menyucikan dengan tanah adalah bagian dari ta’abudi itu. Sehingga untuk tamsilnya adalah sebagai berikut : “Anak saya datang mengatakan : Bah,si kumbang menjilat panci. Cukupkah dicuci dengan sabun dan kreolin saja ?” Saya menjawab : “Sekedar menjaga kebersihan kita, itu sudah cukup. Akan tetapi untuk menyempurnakan satu suruhan Agama yang harus kita terima dengan taabudi, dalam hal ini cucilah panci itu pakai tanah satu kali dan lindangi dengan air bersih-bersih dengan air enam kali. Sekarang bila kuatir, kalau-kalau pada bekas jilatan itu ada bakteri, cuci pulalah sekali lagi dengan lisol atau kreolin dan yang semacam itu.” Anak saya pun tidur pada malamnya dengan nyenyak dan mukanya berseri-seri lantaran rasa dan pengertiaannya sebagai anak dari zaman ilmu bakteriologi dan higienie sudah dipuaskan dengan cara yang telah dimerdekakan agama melakukannya. Sedangkan disamping itu tleh sempurnakan satu perintah ubudiyah terhadap Tuhannya dengan cara yang telah diterangkan Rasulullah SAW.

6. Di sini letak permasalahannya kemudian bukan pada konklusi yang dihasilkan. Fuqaha seperti kakek Ibn Rusyd mencapai konklusi seperti yang ditamsilkan oleh Sukarno. Tetapi Fuqaha (kakek Ibn Rusyd) dan Sukarno memiliki tintik anjak yang berbeda. Titik perbedaan itu adalah pada sikap hidup mereka. Sikap hidup yang menjadi dasar pembahasan masalah-masalah agama. Pada para fuqaha pertikaian itu bukan lantaran perbedaan dasar tetapi berkaitan dengan di mana meletakkan persoalan (masalah dien atau masalah dunia). Mereka berijtihad menurut undang-undang ijtihad. Akal mereka bukan akal anarki yang tak kenal batas, tetapi akal berdisiplin yang tahu kedudukannya. Dasar pendirian seperti di atas berbeda dengan mode pendirian, “Tak usah pakai tanah, lantaran zaman dulu belum ada sabun. Sekarang sudah ada.” Ini semata-mata akal merdeka, akal tanpa disiplin agama. Apa yang terpikir tidak sesuai dengan zaman di “up to date” kan. Jalan pikiran seperti ini bisa saja menyimpulkan babi tidak lagi diharamkan karena sudah ada alat yang bisa mengenyahkan kuman-kuman yang bersemayam di dagingnya, bolehlah berbedak saja untuk menggantikan tayamum, atau salat bisa diganti denga olahraga tertentu; Natsir mencontohkan. Bagi Natsir, salah pasang akal merdeka seperti ini bukan lagi interpretasi agama tetapi sudah merupakan likuidasi agama.



0 komentar:

Posting Komentar

Form Kritik & Saran

Nama

Email *

Pesan *