Minggu, 29 Juni 2014

Geopolitik Kawasan Asia Tenggara

 
Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (photo: istimewa)
Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (photo: istimewa)

GEOPOLITIK KAWASAN ASIA TENGGARA: PERSPEKTIF MARITIM
Oleh: Dr. Susilo Bambang Yudhoyono
A whole history of power or knowledge remains to be written of spaces, which would at same time be a history of powers, from the great strategies of the geopolitics to the little tactics of the habitats (Foucault, 1972).
1. Pendahuluan
Kawasan Asia Tenggara merupakan wilayah yang didominasi oleh perairan daripada daratan. Situasi demikian berimplikasi pada lebih dominannya isu-isu politik dan keamanan yang terkait dengan domain maritim daripada isu-isu lainnya. Dari sembilan choke points strategis dunia, empat di antaranya berada di kawasan ini. Dengan demikian, bukan suatu hal yang berlebihan apabila menyimpulkan bahwa geopolitik kawasan akan terkait pula dengan domain maritim.
Mendiskusikan geopolitik kawasan Asia Tenggara tidak bisa mengabaikan Indonesia, sebab dua pertiga kawasan Asia Tenggara adalah wilayah kedaulatan Indonesia. Selain itu, dua pertiga perairan Asia Tenggara merupakan perairan yurisdiksi Indonesia. Bertolak dari keadaan tersebut, Indonesia dahulu, kini dan ke depan akan selalu memainkan peran sentral dan strategis dalam stabilitas keamanan kawasan.
Karena strategisnya domain maritim dalam geopolitik kawasan, Indonesia hendaknya senantiasa selalu mengikuti dinamika yang terjadi pada domain tersebut. Terkait dengan hal tersebut, tulisan ini akan mengupas tentang geopolitik kawasan Asia Tenggara dari perspektif maritim dan implikasinya terhadap Indonesia.
2. Geopolitik Kontemporer
Dalam pemikiran geopolitik, tercipta interaksi antara ruang dengan manusia yang melahirkan kesadaran ruang (space consciousness). Kesadaran itu baik langsung atau tidak langsung terkait dengan kepentingan keamanan dan kesejahteraan bagi manusia. Dalam konteks negara modern, konsep kesadaran ruang diwujudkan dengan adanya klaim kedaulatan, yang dibatasi oleh batas negara (boundary) dengan seperangkat hukum dan aparat untuk menjamin keamanan dan kedaulatan.
Mengacu pada teori geopolitik, geopolitik mengandung empat dasar utama yaitu konsepsi ruang, konsepsi frontier, konsepsi kekuatan politik dan konsepsi keamanan bangsa (1). Ruang merupakan inti dari geopolitik, sehingga senantiasa ada upaya untuk memperluas wilayah pengaruh tiap-tiap bangsa yang jauh melampaui wilayah kedaulatannya.
Menurut Friederich Ratzel, seorang ahli geopolitik Jerman, negara sebagai suatu kesatuan antara rakyat dengan tanahnya, adalah organisasi yang tumbuh sebagaimana organisasi lainnya, perbatasan sifatnya dinamis dan berubah-ubah, sebagai cermin sifat-sifat ekspansionis negara-negara yang agresif (2). Oleh karena itu, lanjut Ratzel, apabila terjadi kemunduran dalam konsepsi ruang, maka dapat mengakibatkan runtuhnya suatu bangsa dan negara. Teori Ratzel ini dikenal sebagai teori lebensraum (ruang hidup).
Teori lebensraum selanjutnya dikembangkan oleh Karl Haushofer. Menurut Haushofer, ruang (raum) merupakan wadah dinamika politik dan militer. Penguasaan ruang atau ruang pengaruh (sphere of influence), menurut Haushofer, merupakan satu fenomena spasial itu sendiri, di mana jika ruang pengaruh diperluas, maka akan ada yang diuntungkan dan ada yang dirugikan (3).
Meskipun di masa kini teori lebensraum tidak sepenuhnya valid bila dikaitkan dengan tatanan internasional pasca Perang Dingin, namun tidak berarti teori itu tidak berlaku lagi. Tataran internasional pasca Perang Dingin tidak bebas dari perebutan ruang pengaruh oleh masing-masing negara, karena kini perebutan ruang pengaruh tetap terjadi meskipun caranya berbeda dengan masa sebelumnya, misalnya melalui globalisasi.
Di era globalisasi dengan ekonomi pasar bebas dan teknologi informasi sebagai pilarnya, batas-batas non fisik antar negara bangsa menjadi kabur. Namun demikian era globalisasi tidak dapat menghilangkan sepenuhnya nasionalisme dan patriotisme setiap bangsa, yang dapat dilihat dari adanya kecenderungan proteksi pasar oleh negara-negara maju terhadap produk dari negara-negara berkembang. Apapun alasan proteksi pasar itu, namun tidak lepas dari kepentingan nasional negara-negara tersebut, khususnya di bidang ekonomi.
Dikaitkan dengan globalisasi, peran domain maritim sangat vital karena lebih dari 90 persen perdagangan dunia melintasi lautan. Tidak berlebihan bila Sam J. Tangredi menyatakan bahwa globalisasi dimulai dari laut (4). Karena sangat strategisnya laut, maka keamanan maritim kini menjadi salah satu isu keamanan secara global dan menjadi perhatian semua pihak yang berkepentingan, baik aktor negara maupun non negara. Aktor non negara yang dimaksud seperti industri pelayaran, industri asuransi, industri perbankan dan beragam industri lainnya yang secara langsung atau tidak langsung terkait dengan keamanan maritim dalam distribusi produknya.
Geopolitik kontemporer dewasa ini diwarnai oleh persaingan dan sekaligus kerjasama antar bangsa di bidang politik, ekonomi dan militer. Domain maritim merupakan salah satu wadah persaingan sekaligus kerjasama antar bangsa. Isu-isu keamanan maritim dan keamanan energi mewarnai geopolitik kontemporer. Keamanan maritim dan keamanan energi bagaikan dua sisi dari koin yang sama di mana satu sama lainnya tidak bisa dipisahkan. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya negara yang menekankan isu keamanan maritim sebagai bagian dari kepentingan nasional, demikian pula dengan isu keamanan energi.
Sengketa pada domain maritim seperti di Laut Cina Selatan merupakan persinggungan antara keamanan maritim dan keamanan energi. Makin langkanya sumber energi di wilayah daratan mendorong banyak negara untuk mengeksplorasi dan eksploitasi energi di wilayah lautan. Hal itu seringkali memunculkan sengketa dengan negara lain khususnya pada wilayah perairan yang batas-batas definitifnya baik laut teritorial, zona tambahan maupun zona ekonomi eksklusif (ZEE) belum disepakati bersama.
3. Lanskap Geopolitik Kawasan
Dinamika geopolitik kawasan Asia Tenggara selalu dipengaruhi oleh interaksi negara-negara Asia Tenggara maupun peran dan pengaruh kekuatan ekstra kawasan. Walaupun negara-negara Asia Tenggara kini semuanya telah terhimpun dalam ASEAN sebagaimana impian para pendiri ASEAN pada 6 Agustus 1967, akan tetapi peran dan pengaruh kekuatan ekstra kawasan seperti Amerika Serikat, Australia, India, Jepang dan Cina tidak bisa diabaikan pula. Merupakan hal yang logis bila ASEAN merangkul kekuatan-kekuatan itu menjadi mitra wicara dalam wadah ASEAN Regional Forum (ARF).
Lanskap geopolitik kawasan Asia Tenggara apabila digambarkan cukup kompleks, karena melibatkan banyak aktor yang mana antar tiap aktor seringkali kepentingannya tidak selalu sama. Bahkan tidak dapat dihindari pula terjadinya persaingan geopolitik antar negara ASEAN sendiri maupun antar kekuatan ekstra kawasan untuk memperkuat peran dan pengaruhnya di kawasan ini. Secara singkat, berikut adalah uraian geopolitik kawasan Asia Tenggara dari perspektif maritim.
Malaysia sebagai negara bangsa memiliki tantangan yang tidak sedikit untuk mempertahankan eksistensinya di kawasan. Secara geopolitik, tantangan yang dihadapi oleh Malaysia adalah bagaimana menjaga keutuhan wilayah negeri itu yang dipisahkan oleh Laut Natuna. Keutuhan antara wilayah Semenanjung dengan wilayah Sabah dan Serawak merupakan isu krusial bagi Malaysia hari ini dan ke depan.
Meskipun Malaysia memiliki hubungan baik dengan sejumlah negara tetangganya, akan tetapi di bawah permukaan masih sulit untuk menghilangkan sama sekali rasa curiga terhadap beberapa tetangganya tersebut. Tidak dapat dipungkiri belum kokohnya rasa saling percaya negeri itu terhadap Indonesia dan Singapura yang dinilai merintangi aspirasi geopolitik Malaysia untuk menjadi pemain kawasan. Kecurigaan yang ada tidak lepas dari sengketa batas maritim Malaysia dengan Indonesia dan Singapura pada beberapa segmen perairan yang sampai saat ini belum mencapai kata sepakat pada ranah diplomasi.
Tantangan terhadap geopolitik Malaysia muncul pula dengan kebangkitan Cina, khususnya klaim Cina terhadap Laut Cina Selatan yang mencakup beberapa pulau di gugusan Kepulauan Spratly yang diklaim dan diduduki oleh Malaysia. Dengan mengamati kecenderungan terakhir dalam sengketa Laut Cina Selatan, tindakan-tindakan Cina untuk menegaskan klaimnya akan dipandang sebagai ancaman terhadap aspirasi geopolitik Malaysia.
Peta Kawasan Asia Tenggara
Peta Kawasan Asia Tenggara
Singapura merupakan sebuah negara kota yang eksistensinya sangat tergantung pada perannya sebagai hub bagi kawasan Asia Tenggara maupun Asia Pasifik. Secara psikologis, Singapura sejak masa berdirinya sebagai negara merdeka dan berdaulat merasa berada pada posisi geopolitik yang tidak menguntungkan baginya karena berada di tengah dua negara besar kawasan yang beretnis Melayu dan mayoritas menganut agama Islam. Oleh karena itu, negara itu senantiasa merasa dalam posisi terancam sehingga menempuh berbagai kebijakan untuk mempertahankan eksistensinya di kawasan.
Sebagai negara yang sangat tergantung pada pergerakan arus barang dan jasa bagi kelangsungan ekonominya, kepentingan geopolitik Singapura akan selalu terkait dengan keamanan SLOC (sea lines of communication). SLOC yang vital bagi negeri itu meliputi Selat Malaka dan Laut Cina Selatan sebagai jalur pendekat Singapura dari kawasan Samudera India dan kawasan Asia Timur. Oleh karena itu, tantangan geopolitik Singapura memiliki keterkaitan erat dengan domain maritim yang diwarnai oleh isu keamanan maritim.
Thailand merupakan negara yang cukup penting di kawasan Asia Tenggara. Ditinjau dari aspek geopolitik, kepentingan geopolitik Thailand lebih banyak terkait dengan stabilitas di daratan Asia Tenggara daripada pada domain maritim kawasan. Sejak dahulu fokus Thailand adalah stabilitas negara-negara di sekitarnya, seperti Malaysia, Kamboja, Myanmar dan Vietnam. Terjadinya instabilitas di negara-negara sekitar Thailand akan memberikan efek negatif terhadap stabilitas Thailand itu sendiri sebagaimana terlihat dalam perang saudara Kamboja pada 1979-1989 dan konflik Kamboja-Thailand.
Meskipun Thailand tercatat sebagai satu-satunya negara Asia Tenggara yang mempunyai kapal induk helikopter, akan tetapi kehadiran kapal induk tersebut tidak berpengaruh besar terhadap perluasan peran Thailand pada domain maritim di kawasan. Kepentingan geopolitik Thailand yang terkait dengan domain maritim lebih banyak pada wilayah perairan teritorialnya saja. Secara umum, Thailand belum tercatat sebagai negara yang memiliki kepentingan geopolitik yang besar pada domain maritim.
Vietnam secara geopolitik berbatasan dengan Cina yang merupakan musuh bebuyutannya. Cina pada masa dinasti Han pernah menjajah Vietnam selama hampir seribu tahun sehingga memunculkan dendam sejarah yang berkepanjangan. Dalam konteks kekinian, ancaman geopolitik terhadap Vietnam dipandang berasal dari Cina. Hal ini bukan saja menyangkut perbatasan darat, tetapi juga mencakup domain maritim.
Seperti diketahui, Vietnam merupakan satu dari enam negara yang memiliki klaim di Laut Cina Selatan. Negara ini mengklaim Kepulauan Paracel dan Kepulauan Spratly sebagai wilayahnya. Bagi Vietnam, kedua kepulauan merupakan bagian tidak terpisahkan dari kepentingan geopolitiknya. Dalam sengketa itu, Vietnam kembali berhadapan dengan Cina yang juga mempunyai klaim di sana. Perkembangan terakhir, interaksi antara Vietnam dan Cina dalam sengketa Laut Cina Selatan menghangat seiring aksi kapal nelayan Cina yang dinilai mengganggu aktivitas eksplorasi minyak Vietnam di perairan tersebut, memperkuat alasan Vietnam membeli enam kapal selam kelas Kilo dari Rusia.
Filipina yang merupakan satu dari dua negara kepulauan di Asia Tenggara memiliki kepentingan geopolitik yang terkait dengan domain maritim. Sebagaimana Vietnam, Filipina merupakan satu dari enam negara yang mengklaim wilayah di Laut Cina Selatan khususnya Kepulauan Spratly. Klaim Filipina atas Kepulauan Spratly mendapat tantangan di lapangan dari Cina, sehingga memunculkan sikap keras dari pemerintah Filipina pada jalur diplomatik.
Walaupun Filipina merupakan negara pihak dalam sengketa Laut Cina Selatan, akan tetapi perhatian negara itu terhadap kepentingan geopolitiknya di sana belum maksimal. Hal demikian disebabkan oleh karena pemerintah Filipina masih harus berkutat pada isu separatisme Moro di Mindanao yang telah berlangsung sejak 1970-an. Selain itu, pemerintah Filipina menghadapi pula ancaman terorisme dari kelompok Abu Sayyaf yang mempunyai hubungan dengan kelompok Jemaah Islamiyah dan Al Qaidah.
Amerika Serikat meskipun bukan negara kawasan Asia Tenggara tetapi mempunyai pula kepentingan geopolitik di kawasan ini. Kepentingan geopolitik Amerika Serikat adalah menciptakan perdamaian stabilitas di kawasan ini sekaligus mengeliminasi sedini mungkin adanya ancaman terhadap dominasinya. Sebagai pemain utama kawasan, Amerika Serikat tidak akan membiarkan munculnya kekuatan lain yang akan menyaingi hegemoninya dan kini kebangkitan Cina dipandang sebagai tantangan terhadapnya.
Kepentingan geopolitik Amerika Serikat di kawasan tidak lepas pula dari domain maritim. Kebebasan bernavigasi adalah bagian tidak terpisahkan dari kepentingan itu, karena dengan adanya kebebasan bernavigasi akan menjamin pergerakan militer Amerika Serikat khususnya Angkatan Laut. Secara umum, kawasan Asia Tenggara khususnya dan Asia Pasifik pada umumnya berada dalam pengaruh geopolitik Amerika Serikat. Pengaruh tersebut tentu saja akan terus dipertahankan selama mungkin, sebab pengaruh itu memberikan ruang yang luas bagi Amerika Serikat untuk dominan di kawasan ini dalam rangka mengimplementasikan kepentingan nasionalnya.
Cina sebagai kekuatan baru di kawasan Asia Pasifik sangat berkepentingan untuk memproyeksikan kepentingannya ke kawasan Asia Tenggara. Kepentingan geopolitik negara itu adalah meluaskan pengaruhnya ke kawasan Asia Pasifik dan sekaligus mengendalikan jalur-jalur pendekat laut ke wilayahnya. Oleh karena itu, kepentingan geopolitik Cina memiliki keterkaitan yang erat dengan domain maritim, karena jalur-jalur pendekat ke Cina adalah melalui laut. Di samping itu, status sebagai negara industri yang mempunyai ketergantungan pada minyak importir mengharuskan Cina untuk mampu mengendalikan SLOC-nya yang terbentang dari Teluk Persia hingga Laut Cina Timur.
Kepentingan Cina yang terkait dengan domain maritim itu pula yang membuat Cina bersikeras dalam klaimnya terhadap seluruh wilayah Laut Cina Selatan, termasuk Kepulauan Paracel dan Kepulauan Spratly, sebagaimana terlihat dalam peta yang dikenal sebagai U-Shaped. Bahkan Cina menetapkan Laut Cina Selatan sebagai satu dari empat core national interest selain Tibet, Taiwan dan Xinjiang, di mana ditengarai pada perairan itu terdapat minyak dan gas bumi dalam jumlah besar. Terkait dengan hal tersebut, Cina memberikan reaksi keras, baik secara politik maupun operasional, terhadap kehadiran kapal perang asing di Laut Cina Selatan khususnya kapal perang dan kapal survei Amerika Serikat yang rutin berlayar di perairan tersebut.
Klaim Cina Berbentuk Huruf U Di Laut Cina Selatan
Klaim Cina Berbentuk Huruf U Di Laut Cina Selatan
Jepang sebagai negara industri mempunyai aspirasi geopolitik yang menjangkau wilayah di luar yurisdiksinya. Aspirasi geopolitik tersebut mayoritas terkait dengan domain maritim, di mana negara itu mesti mampu mengamankan SLOC-nya yang memanjang dari Teluk Persia hingga Laut Jepang. Geopolitik Jepang sangat terkait dengan keamanan energi, sebab pasokan energi Jepang mayoritas mengandalkan pada sumber-sumber yang berada jauh dari wilayahnya.
Pengaruh geopolitik Jepang cukup terasa di kawasan Asia Tenggara, meskipun bukan dalam bentuk kekuatan militer. Karena sensitivitas terhadap penggunaan kekuatan militer, Jepang secara rutin mengirimkan kapal patroli Japan Coast Guard untuk berpatroli di perairan Asia Tenggara khususnya di Selat Malaka. Hal itu karena Selat Malaka tercatat sebagai salah satu choke point strategis bagi Jepang, bahkan beberapa kali kapal berbendera Jepang pernah dirompak dan dibajak di perairan itu beberapa tahun silam.
Meskipun tidak terletak di kawasan Asia Tenggara, India memiliki aspirasi geopolitik hingga kawasan ini. Mengacu pada Freedom to use the Seas: India’s Maritime Military Strategy, India membagi kawasan kepentingannya menjadi dua klasifikasi, yaitu primary areas dan secondary areas. Primary areas meliputi Laut Arab dan Teluk Benggala, choke points menuju dan dari Samudera India yakni Selat Malaka, Selat Hormuz, Selat Bab-El-Mandeb dan Tanjung Harapan, negara-negara pulau di Samudera India, Teluk Persia yang merupakan sumber utama suplai minyak India dan SLOC utama yang melewati kawasan Samudera India. Adapun secondary areas mencakup kawasan bagian selatan Samudera India, Laut Merah, Laut Cina Selatan dan kawasan Pasifik Timur.
Pada dasarnya, aspirasi geopolitik India berpusat pada Samudera India di mana negara itu berprinsip bahwa sistem politik yang berlaku di perairan itu adalah sistem politik India. Selat Malaka adalah salah satu jalur pendekat ke Samudera India, sehingga kepentingan India terhadap perairan strategis itu juga ada. Seiring dengan persaingan geopolitik India dengan Cina, kini India telah meluaskan pengaruh geopolitiknnya ke Laut Cina Selatan yang dipandang sebagai halaman belakang Cina. Perluasan pengaruh itu bekerjasama dengan Amerika Serikat yang juga memberikan perhatian besar terhadap kebangkitan Cina.
Mengacu pada Defending Australia In The Asia Pacific Century: Force 2030, kepentingan paling strategis Australia adalah mempertahankan negeri itu dari serangan bersenjata langsung. Untuk mencapai kepentingan itu, Australia memiliki kepentingan mendasar untuk mengendalikan jalur pendekat udara dan laut menuju wilayahnya. Terkait dengan kepentingan strategis Australia, maka kebijakan pertahanan yang diambil berpegang pada prinsip self-reliance yang apabila diperlukan akan berbagi beban dengan negara-negara lain. Oleh karena itu, menjaga aliansi dan hubungan pertahanan internasional untuk memperkuat keamanan Australia merupakan bagian dari kebijakan pertahanan.
Persepsi ancaman Australia sejak era Perang Dunia Kedua menyatakan bahwa ancaman berasal dari utara. Berangkat dari persepsi itu, Australia senantiasa mengembangkan kekuatan Angkatan Laut dan Angkatan Udara yang dirancang untuk mampu diproyeksikan guna menghadapi ancaman ketika masih berada di luar wilayahnya. Pendekatan demikian telah berlangsung lama dan akan terus demikian ke depan, siapa pun yang memegang tampuk pemerintahan di Australia. Dengan kata lain, wilayah di utara Australia merupakan bagian dari mandala pertahanannya di mana Australia akan berupaya secara maksimal untuk mencegah agar ancaman itu tidak sampai masuk ke wilayah teritorialnya.
4. Persepsi Ancaman
Kondisi lingkungan strategis kawasan saat ini penuh dengan ancaman dan tantangan keamanan yang bersumber dari aktor negara maupun non negara. Bentuk ancaman dan tantangannya pun beragam, yang secara garis besar dapat dikelompokkan dalam rupa simetris dan asimetris. Ancaman dan tantangan simetris secara umum dapat berasal dari aktor negara, sedangkan asimetris bisa muncul dari aktor non negara. Namun perlu menjadi catatan pula bahwa ancaman asimetris tidak dapat dibatasi pada bentuk organisasi aktornya, tetapi juga bagaimana pula kekuatan, kesenjataan dan moral.
Ancaman dan tantangan simetris muncul dari kasus seperti sengketa perbatasan antar negara yang belum terselesaikan, perlombaan senjata Angkatan Laut (naval arms race) dan masalah kebebasan penggunaan laut. Saat ini dapat dilihat dengan mudah adanya persaingan antara Amerika Serikat versus Cina menyangkut pembangunan kekuatan militer Cina, pembangunan kekuatan laut India untuk dapat mengendalikan Samudera India sesuai dengan aspirasi politiknya, kerjasama latihan Angkatan Laut Amerika Serikat-India-Jepang dan Australia bersandi Exercise Malabar yang secara tidak langsung ditujukan untuk menghadapi kekuatan laut Cina dan lain sebagainya.
Sedangkan ancaman dan tantangan asimetris pada domain maritim, berupa perompakan, pembajakan, terorisme maritim, proliferasi senjata pemusnah massal dan pencurian sumber daya laut. Lahirlah inisiatif seperti Regional Maritime Security Initiative (RMSI), Proliferation Security Initiative (PSI), International Ship and Port Facility Code (ISPS Code), Global Maritime Partnership/Thousand-Ship Navy dan lain sebagainya. Ancaman dan tantangan asimetris pada domain maritim kini telah menjadi perhatian semua negara di kawasan, karena dipandang dapat mengancam stabilitas kawasan.
Perlu dipahami pula bahwa kini dunia sudah memasuki era peperangan generasi keempat yang karakteristiknya sangat berbeda dengan tiga generasi peperangan sebelumnya. Munculnya peperangan generasi keempat tidak lepas dari perubahan masyarakat di dunia, seperti dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan technical yang mempengaruhi sifat alamiah (nature) dari perang. Istilah peperangan generasi keempat berasal dari para ahli strategi dan perencana militer di Amerika Serikat pada akhir 1980-an untuk mengkarakterisasi dinamika dan arah ke depan dari peperangan.
Konsep dasar peperangan generasi keempat adalah sikap politik yang lebih kuat dapat mengalahkan kekuatan ekonomi dan militer yang lebih besar. Dengan kata lain, peperangan generasi keempat karakteristiknya bersifat politik, berkepanjangan (protracted) dan terhubung dalam jaringan (networked). Sebagian pihak berpendapat bahwa dalam peperangan generasi keempat, musuh yang dihadapi bukan saja aktor bukan negara, tetapi dapat pula aktor negara yang menggunakan cara-cara non tradisional untuk mengalahkan musuh yang lebih kuat. Cara-cara non tradisional yang dimaksud antara lain adalah ekonomi, diplomatik, cyber, media dan lain sebagainya.
Sementara itu, arsitektur keamanan kawasan Asia Pasifik belum tertata sesuai dengan Bab VIII Piagam PBB tentang Pengaturan Regional. Bab VIII Piagam PBB mengamanatkan pengaturan keamanan suatu kawasan dilakukan secara mandiri oleh negara-negara di kawasan tersebut melalui suatu organisasi regional. Dalam konteks yang lebih sempit lagi yaitu kawasan Asia Tenggara, penataan keamanan kawasan ini lebih banyak dilaksanakan oleh aktor ekstra kawasan seperti Amerika Serikat.
Sejak terbentuk pada 8 Agustus 1967, ASEAN baru sepakat menyentuh isu keamanan kawasan setelah KTT ASEAN Ke-9 di Bali pada 7-8 Oktober 2003 yang menyepakati Bali Concord II. Sesuai amanat tersebut, negara-negara ASEAN mendirikan Komunitas ASEAN yang terdiri dari ASEAN Political Security Community (APSC), ASEAN Economic Community (AEC) dan ASEAN Socio-Cultural Community (ASCC) pada 2015. APSC akan menjadi wadah kerjasama negara-negara ASEAN dalam bidang politik keamanan, di mana salah satu wadah forum di dalamnya adalah ASEAN Maritime Forum (AMF) yang berdiri atas prakarsa Indonesia.
5. Pembangunan Kekuatan Maritim Kawasan
Untuk mendukung aspirasi geopolitik masing-masing, negara-negara di kawasan Asia Tenggara dan sekitarnya di antaranya membangun kekuatan militer sebagai salah satu instrumen kekuatan nasionalnya. Dengan memperhatikan karakteristik kawasan, pembangunan kekuatan maritim dalam hal ini Angkatan Laut dalam dua dekade terakhir meningkat cukup pesat. Pembangunan kekuatan Angkatan Laut yang dilaksanakan bukan sekedar untuk merespon ancaman asimetris, tetapi mencakup pula ancaman simetris yang tidak dapat diabaikan di kawasan ini seiring makin meningkatnya persaingan antar negara untuk memperebutkan wilayah dan memperluas pengaruh pada domain maritim.
Malaysia memperkuat kekuatan Angkatan Lautnya melalui pengadaan sejumlah alutsista dari negara-negara lain, baik kapal permukaan maupun kapal selam. Selain pengadaan kapal perang, Malaysia juga membangun sejumlah pangkalan baru Tentara Laut Diraja Malaysia (TLDM), seperti di Lumut dan Sabah. Untuk memperkuat pertahanan maritim di sekitar Laut Sulu, Laut Sulawesi dan Laut Cina Selatan, Malaysia mengembangkan pangkalan Angkatan Laut di Teluk Sepanggar, Sabah, yang menjadi pangkalan induk kapal selam.
Pembangunan sejumlah pangkalan TLDM di wilayah Sabah menandakan adanya perluasan strategi maritim Malaysia, yang semula hanya berfokus terhadap keamanan Selat Malaka, kini melebar ke Laut Natuna, Laut Sulu dan Laut Sulawesi. Perluasan strategi maritim hingga ke ketiga perairan dilatarbelakangi oleh isu politik keamanan dan ekonomi. Dari isu politik keamanan, wilayah Serawak dan Sabah merupakan bagian integral dari Malaysia, sehingga salah satu tugas pokok TLDM adalah menjamin tetap terbukanya SLOC Malaysia, yang dalam konteks ini adalah Laut Natuna. Perairan Laut Sulu dan Laut Sulawesi merupakan kawasan rawan aktivitas terorisme yang berpusat di Pulau Mindanao, Filipina yang berimplikasi negatif terhadap keamanan Malaysia di wilayah Sabah dan sekitarnya.
Sedangkan isu ekonomi tak lepas dari banyaknya potensi kandungan minyak dan gas bumi di Laut Sulawesi. Potensi hidrokarbon itulah yang menjadi salah satu faktor pendorong Malaysia mengklaim perairan teritorial dan ZEE Indonesia di Laut Sulawesi pasca lepasnya Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Kasus yang dikenal sebagai konflik Blok Ambalat tersebut semakin meyakinkan Malaysia untuk memperkuat kekuatan laut (dan udaranya) di sekitar Laut Sulu dan Laut Sulawesi. Adapun di Laut Cina Selatan, Malaysia bersikap teguh atas klaimnya, ditunjang pula oleh kebijakan pembangunan kekuatan laut Malaysia, seperti pengadaan kapal perang yang mampu ocean going dan pembelian lima kapal selam kelas Scorpene dari Prancis yang saat ini telah tiba dua buah.
Singapura menganut strategi pertahanan yang dikenal sebagai porcupine strategy sebagai pengembangan dari poisonous shrimp strategy. Porcupine strategy beranggapan bahwa Singapura tidak akan mampu menghancurkan secara total negara agresor, namun pihak tersebut harus membayar dengan biaya tinggi akibat tindakan agresinya terhadap Singapura. Pembangunan kekuatan pertahanan Singapura, termasuk pembangunan kekuatan Angkatan Laut berangkat dari strategis tersebut.
Terkait strategi pertahanan tersebut, Angkatan Laut Singapura dibangun untuk memiliki keunggulan kualitas dibandingkan Angkatan Laut lainnya di kawasan Asia Tenggara. Meskipun wilayah perairan mereka sangat kecil, tetapi jumlah kapal perang yang dimiliki jauh melebihi kebutuhan untuk mempertahankan negara itu. Kekuatan kombatan Angkatan Laut Singapura berpusat pada enam fregat kelas Formidable dua kapal selam kelas Vastergotland dan empat kapal selam kelas Sjoormen. Kekuatan tersebut dirancang untuk mampu mengamankan SLOC Singapura yang bukan saja di Selat Malaka, tetapi mencakup pula Laut Cina Selatan, Teluk Persia dan Laut Merah.
Karena itu pula, Singapura aktif dalam koalisi internasional untuk mengamankan perairan di Somalia dan sekitarnya dari ancaman bajak laut. Angkatan Laut Singapura terlibat dalam Combined Task Force-150 (CTF-150) dan CTF-151 di bawah NATO. Partisipasi aktif tersebut merupakan implementasi dari kebijakan nasional Singapura yang memberikan perhatian khusus pada keamanan SLOC-nya.
Thailand tidak mempunyai kepentingan yang besar pada domain maritim di kawasan, sehingga pembangunan kekuatan Angkatan Lautnya tidak terlalu menonjol. Eksistensi kapal induknya tidak dieksplorasi secara optimal yang dapat dilihat dari tidak adanya penyebaran kapal tersebut ke luar wilayah yurisdiksinya. Dalam perkembangan terakhir, Thailand menunjukkan minatnya untuk membeli dua eks kapal selam U-206 eks Angkatan Laut Jerman. Meskipun demikian, Thailand setidaknya hingga satu dekade ke depan tidak akan membangun kekuatan laut secara progresif dibandingkan beberapa negara lain di kawasan.
Adapun Vietnam yang kini semakin tersentak oleh klaim Cina atas Laut Cina Selatan tengah memperkuat Angkatan Lautnya. Fokus pembangunan kekuatannya adalah lewat pengadaan enam kapal selam kelas Kilo dari Rusia. Pengadaan kapal selam tersebut secara terbuka diakui untuk mengamankan kepentingan nasionalnya di Laut Cina Selatan di mana Vietnam adalah salah satu negara pengklaim. Langkah Vietnam untuk memperkuat Angkatan Lautnya merupakan suatu terobosan baru karena selama ini negara itu dikenal mengedepankan kekuatan daratnya.
Filipina merupakan negara Asia Tenggara dengan kekuatan Angkatan Laut terlemah. Upaya modernisasi kekuatan Angkatan Laut senantiasa mengalami hambatan karena keterbatasan anggaran. Konflik internal di Mindanao membuat sebagian besar anggaran pertahanan Filipina diarahkan pada upaya untuk mengatasi pemberontakan dan terorisme di wilayah selatan negara itu. Dalam perkembangan terakhir, Angkatan Laut Filipina membeli eks USCG Hammilton dari US Coast Guard yang akan menjadi capital ship-nya menggantikan BRP Rajah Humabon yang merupakan kapal destroyer escort eks Perang Dunia Kedua.
Amerika Serikat terus mempertahankan kehadirannya di kawasan ini, terlebih lagi ketika Cina muncul sebagai kekuatan baru. Kehadiran militer Amerika Serikat di kawasan khususnya kekuatan Angkatan Laut berada dalam bingkai untuk mengamankan kepentingan nasionalnya, khususnya kebebasan bernavigasi. Untuk mendukung kehadiran tersebut, Amerika Serikat memiliki beberapa pangkalan di sekitar Laut Cina Selatan seperti di Sasebo, Okinawa, Changi Singapura dan Guam. Sejak masa pemerintahan Presiden George W. Bush, Amerika Serikat secara bertahap memindahkan sebagian kekuatan militernya dari kawasan lain ke kawasan Asia Pasifik untuk merespon dinamika lingkungan strategis yang berkembang.
Cina mengembangkan strategi pertahanan Cina yang dikenal sebagai Offshore Defense, ada pula pembagian zona pertahanan yang disebut sebagai “two island chains” yang terdiri dari the first island chain dan second island chain. Offshore Defense merupakan konsep strategis yang mengarahkan Angkatan Laut Cina untuk bersiap memenuhi tiga misi kunci “untuk periode baru” melalui pelibatan dalam operasi-operasi maritim di laut dan membangun Angkatan Laut yang mampu melaksanakan operasi berkelanjutan di laut. Tiga misi kunci yang diemban oleh Angkatan Laut Cina yaitu (i) menjaga musuh dalam batas dan menolak invasi dari laut, (ii) melindungi kedaulatan teritorial nasional dan (iii) menjaga keutuhan ibu pertiwi dan hak-hak maritim.
Untuk melaksanakan strategi tersebut, saat ini Cina sangat aktif membangun kekuatan Angkatan Lautnya menuju status blue water navy. Selain memperkuat armada kapal atas air dan kapal selam, Cina juga tengah menyelesaikan refurbished eks kapal induk Varyag eks Rusia yang dibelinya satu dekade lalu. Kapal itu nantinya akan dinobatkan menjadi kapal induk pertama Cina dengan nama Shi Lang dan nampaknya dalam waktu tidak lama lagi kapal tersebut akan melaksanakan sea trial. Secara teoritis, eksistensi kapal induk dalam jajaran armada Angkatan Laut Cina akan mengubah konstelasi perimbangan kekuatan kawasan apabila Cina mampu mengoperasikan kapal itu dan bukan sekedar memilikinya.
Kepentingan Jepang di kawasan Asia Tenggara tidak lepas dari keamanan SLOC-nya yang akan berimbas langsung apabila pecah konflik di perairan tersebut. 70 persen kapal tanker Jepang membawa minyak menuju Jepang melalui Laut Cina Selatan, meskipun sebenarnya kapal tersebut dapat menghindar melalui perairan Indonesia menuju Samudera Pasifik. Jalur yang terakhir memakan waktu dan biaya yang besar sehingga tidak ekonomis.
Dari sini tergambar bahwa keamanan SLOC Jepang sangat berkaitan erat dengan keamanan energinya. Keamanan energi kini menjadi isu strategis bagi banyak di dunia seiring ketergantungan pada sumber energi di Timur Tengah yang rawan dan dinamika lingkungan strategis yang ditandai dengan menonjolnya ancaman asimetris seperti terorisme, pembajakan dan perompakan di laut. Gangguan terhadap keamanan energi merupakan suatu ancaman langsung terhadap keamanan nasional Jepang.
Isu keamanan SLOC khususnya mempengaruhi pula karakteristik Japan Maritime Self-Defense Force (JMSDF) sejak awal berdiri pada 1952 hingga saat ini. Sejak kelahirannya JMSDF dirancang sedemikian rupa untuk melindungi jalur perhubungan laut Jepang, sehingga kemudian lahir doktrin operasi 1.000 mil laut. Yang menarik diperhatikan dalam pembangunan JMSDF terkini adalah kehadiran kapal induk helikopter kelas Hyuga dan ke depan masih akan mengembangkan kapal sejenis. Kehadiran kapal induk helikopter akan mendukung penyebaran kekuatan JMSDF yang selama ini sudah dilakukan di kawasan Asia Pasifik.
Angkatan Laut India menurut Laksamana Mehta pada 2022 akan diperkuat oleh sekitar 160 lebih kapal perang, termasuk tiga kapal induk, 60 kapal kombatan atas air dan kapal selam dan hampir 400 pesawat udara berbagai tipe. Pembangunan kekuatan laut India, sebagaimana dinyatakan dalam The Indian Navy’s Vision Document ditujukan untuk mempromosikan lingkungan yang tenang dan damai di kawasan Samudera India untuk mencapai tujuan-tujuan politik, ekonomi, diplomasi dan militer India.
Dalam The Indian Maritime Doctrine, hal yang digarisbawahi adalah kebutuhan untuk mengendalikan choke points, pulau-pulau penting dan jalur-jalur perdagangan vital. Terkait dengan kebutuhan tersebut, Angkatan Laut India menekankan diplomasi Angkatan Laut sebagai salah satu tugas utamanya di masa damai. Adapun wilayah penyebaran kekuatan laut India dalam rangka diplomasi Angkatan Laut terbentang dari Teluk Persia hingga Selat Malaka yang ditetapkan sebagai kawasan kepentingan India yang sah.
Strategi militer Australia adalah to deter and defeat attacks on Australia. Wujudnya berupa preemptive strategy dengan menyerang musuh sejauh mungkin dari wilayahnya melalui operasi gabungan di jalur-jalur pendekat menuju Australia. Terkait dengan hal tersebut, strategi maritim menjadi fokus utama dalam pertahanan Australia yang mengedepankan keterpaduan antar ketiga matra dalam Australian Defence Force. Selain Royal Australian Air Force, Australian Army juga mendapat peran dalam strategi maritim negeri itu. Peran Australian Army adalah mengendalikan jalur-jalur pendekatan, mengamankan wilayah-wilayah di seberang lautan dan beragam fasilitas, mengalahkan serangan mendadak ke wilayah Australia, melindungi pangkalan-pangkalan yang menjadi basis operasi Royal Australian Navy dan Royal Australian Air Force dan menolak (deny) akses lawan ke pangkalan aju.
Pembangunan kekuatan laut difokuskan pada kemampuan peperangan bawah air, dengan tambahan kemampuan peperangan udara dan peperangan amfibi. Untuk kemampuan peperangan bawah air, hingga tahun 2030 Royal Australian Navy didesain mempunyai 12 kapal selam pengganti kapal selam konvensional kelas Collins yang dilengkapi dengan rudal permukaan, delapan fregat anti kapal selam untuk menggantikan fregat kelas Anzac dengan dimensi yang lebih besar dan 24 heli anti kapal selam. Adapun kemampuan peperangan udara masih terkait dengan program SEA 4000/Air Warfare Destroyer (AWD) kelas Hobart yang akan dilengkapi dengan rudal anti pesawat jarak jauh Standard Missile 6 (SM-6), selain Aegis Combat System. Sistem sensor Cooperative Engagement Capability (CEC) akan terpasang pula di kapal itu, sehingga nantinya interoperable dengan sensor serupa pada pesawat udara AEW&C yang tengah dipesan oleh Royal Australian Air Force. Sedangkan untuk kemampuan peperangan amfibi, programnya adalah pengadaan dua Landing Helicopter Dock (LHD) bertonase 27.000 ton dari galangan Navantia, Spanyol, di samping sejumlah kapal baru yang belum ditentukan jumlahnya, dengan tonase 10.000-15.000 ton, mempunyai landasan helikopter dan mampu menurunkan kendaraan dan kargo lainnya tanpa membutuhkan dukungan infrastruktur pelabuhan.
6. Implikasi Terhadap Indonesia
Dinamika geopolitik kawasan Asia Tenggara dan sekitarnya pasti akan mempengaruhi pula Indonesia. Dalam konteks tersebut, terjadi pertemuan antara kepentingan geopolitik yang tengah berkembang di kawasan dengan kepentingan geopolitik Indonesia. Kepentingan geopolitik Indonesia yang utama adalah keutuhan dan kesatuan Indonesia dari semua aspek, baik politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan. Hal itu telah diamanatkan oleh Wawasan Nusantara yang menjadi pandangan geopolitik Indonesia.
Pertemuan kepentingan geopolitik bisa melahirkan kerjasama, dapat pula memunculkan konflik. Mengacu pada pemikiran geopolitik, terhadap interaksi antara ruang dengan manusia. Interaksi tersebut melahirkan kesadaran ruang (space consciousness) yang langsung atau tidak langsung terkait dengan kepentingan keamanan dan kesejahteraan bagi manusia. Dalam konteks negara modern, konsep kesadaran ruang diwujudkan dengan adanya klaim kedaulatan, yang dibatasi oleh batas negara (boundary) dengan seperangkat hukum dan aparat untuk menjamin keamanan dan kedaulatan. Terkait dengan dinamika geopolitik kawasan, terdapat beberapa implikasi yang perlu diantisipasi oleh Indonesia sejak dini.
Pertama, politik. Dinamika geopolitik kawasan dari perspektif maritim akan berimplikasi negatif terhadap Indonesia maupun stabilitas kawasan apabila tidak dikelola dengan baik. Dewasa ini, isu-isu yang mengedepan di kawasan adalah keamanan maritim, keamanan energi dan sengketa wilayah. Indonesia memiliki keterkaitan yang erat dengan ketiga isu tersebut.
Tantangannya adalah bagaimana agar pembangunan kekuatan Angkatan Laut di kawasan tidak memperbesar kesenjangan perimbangan kekuatan, karena kesenjangan itu akan memicu pihak yang merasa diri lebih kuat untuk melakukan tindakan-tindakan yang dipandang dapat mengancam stabilitas kawasan. Apabila Indonesia tidak memiliki daya tawar yang tinggi dari aspek kekuatan militer khususnya Angkatan Laut, muncul peluang akan terulangnya kembali tindakan-tindakan pelecehan dan tidak menghormati kedaulatan dan wibawa Indonesia pada domain maritim, khususnya pada perairan yang masih menjadi sengketa Indonesia dengan negara tetangga maupun pada perairan strategis seperti choke points dan alur laut kepulauan Indonesia (ALKI).
Kedua, ekonomi. Implikasi ekonomi dari dinamika gepolitik kawasan dari perspektif maritim terhadap Indonesia dapat bersifat positif dan negatif sekaligus. Implikasi positif dari dinamika tersebut adalah semakin terbuka peluang kerjasama antar Angkatan Laut kawasan dalam merespon ancaman dan tantangan yang terkait dengan keamanan maritim dan keamanan energi, khususnya ancaman asimetris seperti pembajakan, perompakan dan terorisme maritim. Untuk merespon ancaman demikian, salah satu kata kuncinya adalah kerjasama antar negara selain adanya sikap politik yang sebangun.
Sedangkan implikasi negatifnya adalah kemungkinan penggunaan kekuatan Angkatan Laut untuk mengamankan sumberdaya laut di perairan sengketa, baik perikanan maupun minyak dan gas bumi. Hal demikian dapat dilihat dalam sengketa Laut Cina Selatan dan Laut Sulawesi, di mana kekuatan Angkatan Laut digunakan oleh negara-negara lain untuk merebut sumberdaya alam yang diklaim oleh Indonesia sebagai wilayah ZEE-nya. Implikasi negatif demikian sebaiknya sudah diantisipasi sejak dini sehingga diharapkan tidak merugikan kepentingan nasional Indonesia.
Ketiga, militer. Pembangunan kekuatan Angkatan Laut di kawasan dalam rangka mengamankan kepentingan nasional masing-masing pihak akan merugikan Indonesia apabila tidak direspon secara proporsional oleh Indonesia. Pembangunan kekuatan TNI Angkatan Laut harus tetap dijalankan sesuai dengan minimum essential force (MEF) agar jurang ketidakseimbangan kekuatan antara Indonesia dan negara-negara lain di kawasan tidak melebar. Sebab apabila melebar justru akan berkontribusi negatif terhadap Indonesia, meskipun diyakini tidak akan ada invasi terhadap Indonesia hingga dekade mendatang.
Pembangunan kekuatan TNI Angkatan Laut bukan sekedar untuk menjaga dan mengamankan keutuhan wilayah Indonesia, tetapi mencakup pula pengamanan kepentingan ekonomi Indonesia baik di wilayah yurisdiksi maupun di luar wilayah yurisdiksi. Dengan semakin meningkatnya interaksi ekonomi Indonesia dengan negara-negara Asia Timur maupun kawasan lain di dunia, TNI Angkatan Laut dituntut untuk mampu mengamankan SLOC Indonesia. Kasus pembajakan MV Sinar Kudus pada 16 Maret 2011 oleh bajak laut Somalia memberikan pelajaran berharga kepada Indonesia betapa SLOC yang harus dilindungi bukan saja yang berada di wilayah perairan yurisdiksi saja, tetapi juga di luar wilayah yurisdiksi.
7. Penutup
Geopolitik kawasan Asia Tenggara akan selalu dipengaruhi oleh dinamika yang terjadi pada domain maritim, sebab dua pertiga kawasan ini berupa perairan. Perkembangan lingkungan strategis menunjukkan bahwa dinamika geopolitik kawasan diwarnai oleh isu-isu simetris dan asimetris sekaligus. Persaingan antar negara dalam perebutan wilayah maupun pengaruh pada domain maritim berjalan bersamaan dengan semakin terintegrasinya ekonomi kawasan melalui berbagai moda kerjasama. Pembangunan kekuatan Angkatan Laut terus berlangsung di kawasan meskipun belum dapat dikategorikan sebagai perlombaan senjata.
Dalam kondisi demikian, Indonesia akan terkena implikasi seiring posisi strategis negeri ini dalam percaturan politik, ekonomi dan keamanan kawasan. Implikasi yang tercipta bisa positif, tetapi dapat pula negatif. Untuk merespon implikasi itu, Indonesia mesti memiliki kekuatan TNI Angkatan Laut yang mampu mengamankan kepentingan nasional yang terkait dengan domain maritim. Dengan memiliki kekuatan TNI Angkatan Laut yang demikian, implikasi negatif dinamika geopolitik terhadap stabilitas kawasan dapat diminimalkan sekaligus memperkuat posisi tawar Indonesia dalam percaturan kawasan sekaligus dapat berkontribusi positif terhadap ekonomi Indonesia melalui kemampuan TNI Angkatan Laut mengamankan SLOC Indonesia di dalam wilayah yurisdiksi maupun di luar wilayah yurisdiksi serta mengamankan sumberdaya laut di wilayah perairan yurisdiksi.

Footnote:
[1]. RM Sunardi, Geopolitik dan Geostrategi Indonesia: Pembinaan Ketahanan Nasional, Jakarta: 2004, PT Kuarternita Adidharma hal.33
[2]. Ibid, hal.34
[3], Ibid
{4}. Sam J. Tangredi, Globalization and Maritime Power, Washington: National Defense University, 2000
Daftar Referensi:
1. RM Sunardi, Geopolitik dan Geostrategi Indonesia: Pembinaan Ketahanan Nasional, PT Kuarternita Adidharma, Jakarta, 2004.
2. Sam J. Tangredi, Globalization and Maritime Power, National Defense University, Washington, 2000.
3. White House, US National Security Strategy 2010.
4. Commonwealth of Australia, Defending Australia In The Asia Pacific Century: Force 2030.
5. Indian Ministy of Defence, Freedom to use the Seas: India’s Maritime Military Strategy, 2008.
6. Departemen Pertahanan RI, Strategi Pertahanan Negara, 2007.
7. Prof Muladi dan Kazan Gunawan, Transformasi Geopolitik, Pusat Pengkajian Strategi Nasional, Jakarta, 2007.
8. US Department of Defense, Annual Report to Congress: Military Power of the People’s Republic of China 2009.
9. Geoffrey Till, Seapower: A Guide for the Twenty First Century, Second Ed, Routledge, New York, 2010
10. US Naval War College, US, China and Maritime Cooperation, Newport, 2010.
JKGR

0 komentar:

Posting Komentar

Form Kritik & Saran

Nama

Email *

Pesan *