Ketika Presiden Putin tiba di Shanghai Selasa (20/5/2014), di tengah guyuran hujan dan terpaan angin, payung yang dikembangkan oleh pengawalnya tertiup angin hingga terlipat.
Pemandangan ini seolah mengisyaratkan, jalan di hadapan Putin tidak akan mulus. Mewarnai kunjungan Putin, RRT dan Rusia memainkan serangkaian sandiwara yang membuat semua orang termangu-mangu.
Di hari yang sama, Rusia dan RRT menggelar latihan perang bersama di Laut Timur dengan sandi Joint Maritime 2014, yang melatih perang bertahan dan menyerang di pulau karang.
Pemandangan ini jelas merupakan permintaan Xi Jinping, yang meminta Putin agar bagaimana pun juga memberi muka pada RRT untuk memperlihatkan pada Jepang dan Amerika Serikat: "Kalian di sana ada aliansi Jepang dan AS, kami di sini ada sekutu RRT dan Rusia."
Meski demikian, sebelumnya Moskow telah berulang menegaskan sikapnya menghadapi persengketaan RRT – Jepang, Rusia akan bersikap netral.
Invasi Rusia terhadap Crimea dan menduduki Crimea menuai sanksi dari pihak Barat, hubungan Rusia dengan Jepang pun memburuk, namun jika dikatakan Rusia akan bersekutu dengan RRT untuk melawan Jepang, sepertinya masih jauh dari kenyataan. Dalam latihan perang di Laut Timur, Rusia paling-paling hanya akan sekali saja memberi muka pada RRT. Karena kedua belah pihak memiliki kepentingan masing-masing: RRT bersandiwara di hadapan Jepang, Rusia juga bersandiwara di hadapan AS.
Di hari yang sama juga digelar Konferensi CICA yang ke-4 di Shanghai, yang bertujuan menunjukkan peta percaturan yang dimainkan RRT dan Rusia di Asia tersebut bisa melawan strategi perang yang dicanangkan oleh AS. Akan tetapi CICA Summit yang hanya beranggotakan 26 negara itu, kali ini hanya dihadiri oleh 12 kepala negara. Yang lebih mencolok lagi, Vietnam sebagai negara anggota, Filipina dan Jepang sebagai negara pengamat tidak hadir dalam konferensi ini.
Seiring dengan berhasilnya Rusia mencaplok bagian dari Ukraina, RRT juga mulai melakukan aksi yang lebih agresif di Asia. Persengketaan antara RRT-Jepang atas masalah Pulau Diao-yu (di Jepang disebut: pulau Senkaku) dan wilayah Laut Timur belum juga terselesaikan, RRT pun melakukan reklamasi di Pulau Red Reef yang berjarak 180 mil laut dari Filipina. Pihak Filipina pun menangkap dan menuntut nelayan RRT, konflik RRT-Filipina pun semakin terlihat jelas.
RRT menghancurkan sumur bor lepas pantai di lokasi 120 mil laut dari Vietnam, yang menyebabkan kedua negara mengumpulkan ratusan kapal saling menabrak lawan. Masyarakat Vietnam pun membangkitkan gerakan rasialis anti-Tionghoa yang menyulut tindakan anarkis berskala besar. Banyak etnis Tionghoa di Vietnam jadi korban luka-luka bahkan tewas. Tidak hanya perusahaan investasi RRT terkena dampaknya, bahkan perusahaan investasi Taiwan juga ikut kena getahnya, dan mengalami kerugian besar.
Anehnya lagi, menghadapi aksi kekerasan anti-Tionghoa oleh Vietnam, reaksi dari media massa corong PKT justru luar biasa kalem, bahkan dengan sengaja menutupinya.
Salah satu alasannya adalah karena Vietnam dan RRT sama-sama adalah negara komunis, banyak hal yang dilakukan oleh Vietnam sebenarnya adalah belajar dari 'kakak' PKT. Aksi unjuk rasa anarkis anti-Tionghoa di Vietnam ini tidak lebih dari menjiplak aksi anarkis anti-Jepang yang pernah terjadi di RRT, setali tiga uang.
Ironisnya, bulan lalu Vietnam dan RRT baru saja bersama-sama memainkan sebuah drama ideologi, yakni: pihak Vietnam mengekstradisi sekelompok suku Uighur (suku minoritas Provinsi Xinjiang, Tiongkok) sebanyak lebih dari 30 orang yang menyelundup masuk ke Vietnam termasuk pria wanita tua dan muda. Bisa dibayangkan nasib tragis yang telah menanti para suku Uighur ini setelah diekstradisi kembali ke RRT (biasanya kamp kerja paksa menanti).
Vietnam yang telah bertindak tidak berperikemanusiaan itu juga mendapat ganjarannya: saat dideportasi, seorang pria Uighur yang berani mati berhasil merebut senjata otomatis tentara Vietnam, lalu menembak membabi buta, menewaskan 2 tentara Vietnam dan melukai parah belasan lainnya.
Ini adalah harga yang harus dibayar oleh komunis Vietnam akibat mencoba menarik simpati dari PKT. Akan tetapi hanya sebulan setelah itu, meletuslah konflik kedua partai komunis di Laut Selatan, hingga saling angkat senjata dan melukai satu sama lain.
Konflik RRT-Vietnam juga merefleksikan kompleksnya hubungan RRT-Rusia. Selama ini Rusia bersekutu dengan Vietnam. Di Asia sendiri bahkan ada "aliansi Rusia – Vietnam – India" yang telah berlangsung lama, yang disebut Iron Triangle. Kini meskipun RRT dan Rusia cukup dekat, namun RRT adalah musuh bebuyutan bagi Vietnam dan India, antara RRT dan Rusia pun terdapat simpul mati yang sulit terurai.
Menanggapi bentrok RRT-Vietnam, belum lama ini Kepala Staf Tentara Pembebasan PKT Fang Fenghui di Washington menyatakan, "Tanah yang diwariskan oleh para leluhur tidak boleh hilang sejengkal pun!"
Kata-kata itu diucapkan dengan penuh ketegasan, namun penulis juga hendak bertanya lirih, "Bagaimana dengan wilayah yang telah dirampas Rusia dari Tiongkok? Wilayah seluas 1,5 juta km persegi 'yang diwariskan leluhur' itu, apakah juga tidak boleh hilang sejengkal pun?"
Yang paling menarik perhatian adalah kesepakatan pasokan gas alam, kedua negara telah berunding selama belasan tahun akan hal ini dan terus terjadi tawar menawar alot, tapi kali ini mendadak sudah ada hasilnya: yakni dalam 30 tahun mendatang, Rusia akan memasok gas alam sebanyak 70 miliar kubik kepada RRT.
Ini jelas adalah dampak yang meluas dari insiden Ukraina, dikarenakan Rusia telah mendapat sanksi embargo dari AS dan Eropa sehingga terpaksa mencari jalan keluar di pasar RRT. Kembalinya AS ke Asia menyebabkan Rusia juga kembali ke Asia, bahkan Rusia kembali ke Asia dalam segala aspek meliputi militer, ekonomi, politik, serta strategi internasional.
RRT yang telah kenyang akan invasi dan penindasan oleh Rusia, kali ini tak lebih dari sekedar memainkan peran "mengundang serigala masuk ke rumah". Hanya karena mempertahankan kekuasaan satu partai, Beijing terpaksa harus menapak jalan menentang AS dan memihak Rusia, jangka pendeknya terlihat menguntungkan bagi PKT, namun jangka panjangnya akan merusak kepentingan negara dan bangsanya sendiri.
Karena Rusia membutuhkan RRT, dalam kunjungan Putin ke RRT berbagai komentar baik bagi RRT terlontar dari mulut Putin yang dulunya sama sekali tidak pernah diucapkan: Antara RRT dan Rusia, adalah "kerja sama yang paling baik", merupakan "kerja sama yang patut diteladani dan paling patut dipercaya". Rusia menempatkan perkembangan hubungan dengan RRT sebagai orientasi utama.
Namun belum lama ini, Rusia memutuskan untuk membangun Zona Ekonomi Eksklusif di Vladivostok yang berdekatan dengan RRT, Putin pun menyerukan pada pihak RRT, "Bersedia melihat perusahaan RRT memanfaatkan peluang untuk mengembangkan perekonomian Rusia dan menjadi pioneer." Vladivostok dikenal sebagai "Hai-shenwai (bahasa Tionghoa: Tebing Tripang)". Makna kata Vladivostok sendiri adalah "menaklukkan Timur" atau "Penguasa Timur", jelas wilayah ini adalah hasil rampasan dari Tiongkok (di tahun 1860). RRT sekarang ini, jika berinvestasi di sana, dan membantu orang Rusia untuk berkembang, maka itu benar-benar telah mengkhianati dan melupakan leluhurnya sendiri.
0 komentar:
Posting Komentar