Oleh Ratna
BAGAIMANA mungkin Jepang, negeri yang terletak relatif jauh dari Mesir, pusat dan asal dari Kabbalah (ajaran Yahudi) memiliki keterkaitan dan bahkan diyakini masih satu hubungan darah. Bukankah orang Jepang memiliki kepercayaannya sendiri yang diberi nama Shintoisme dan orang-orang Israel juga memiliki kepercayaannya sendiri yang dinamakan Agama Yahudi dengan kitab Talmudnya?
Sebuah
fakta menarik akan terkuak di sini, pertanyaan besar yang akan terjawab
dari dua peneliti sejarah Jepang-Yahudi yakni Pendeta Arimasa Kubo dan
Joseph Eidelberg. Kedua bangsa yang sepertinya beda, Jepang dan Yahudi,
ternyata memiliki banyak kesamaan dalam tradisi kunonya.
Yang pertama bernama Arimasa Kubo. Dia
merupakan orang Jepang asli yang dilahirkan di kota Itami di Hyogo tahun
1955 dan lulus dari Tokyo Bible Seminary pada tahun 1982. Di usia ke
-22 tahun Arimasa Kubo telah mendapat kepercayaan untuk memimpin majalah
penginjilan Remnant dan melakukan pelayanan di Gereja Tokyo selama enam
tahun. Saat ini, Pendeta Arimasa Kubo memimpin Remnant Publishing dan
pengajar tetap di Bible and Japan Forum.
Arimasa Kubo melakukan penelitian
mendalam atas tradisi asli bangsa Jepang dan Yahudi. Dia menemukan
banyak kemiripan antara keduanya hingga meyakini jika leluhur bangsa
Jepang sebenarnya masih berdarah Yahudi dari suku yang hilang. Hasil
penelitiannya ini dituangkan dalam banyak artikel dan buku. Salah
satunya buku berjudul "Israelites Came o Ancient Japan".
Sedangkan yang kedua, Joseph Eidelberg
yang merupakan peneliti berdarah Yahudi yang menulis buku "The Biblical
Hebrew Origin of the Japanese People".
Di bawah ini Kami paparkan sebagian
kecil kemiripan antara tradisi kuno bangsa Jepang dengan tradisi kuno
bangsa Yahudi atau Bani Israel yang berasal dari buku Pendeta Arimasa
Kubo tersebut.
Ontohsai Dan Kisah Ishaq
Salah
satu kesamaan antara tradisi kuno bangsa Jepang dengan Yahudi terdapat
dalam upacara tradisional. Ada sebuah festival atau upacara di Jepang
yang mengilustrasikan kisah Ishaq. Di prefektur Nagano, Jepang, terdapat
sebuah kuil besar Shinto bernama "Suwa-Taisha". Shinto sendiri
merupakan agama tradisional asli Jepang yang menyembah Amaterasu, Dewa
Matahari, sama seperti bangsa Mesir kuno yang menyembah Dewa Ra, Dewa
Matahari.
Setiap tanggal 15 April, di Suwa-Taisha
diadakan festival tradisional bernama "Ontohsai". Festival ini
menggambarkan kisah Ishaq seperti yang terdapat dalam Bab 22 Kitab
Kejadian (Genesis), yaitu kisah mengenai Ibrahim yang hendak
mengorbankan putranya sendiri, Ishaq. Festival "Ontohsai" ini
diselenggarakan sejak zaman dahulu kala dan dianggap sebagai festival
terpenting di "Suwa-Taisha".
Di sebelah kuil "Suwa-Taisha", ada
sebuah gunung bernama Gunung Moriya (dalam bahasa Jepang disebut
"Moriya-san"). Penduduk di wilayah Suwa memanggil dewa Gunung Moriya
dengan sebutan "Moriya no kami", yang berarti "dewa Moriya". Pada
festival tersebut, seorang anak laki-laki diikatkan dengan tali pada
sebuah pilar kayu, lalu ditempatkan di atas tikar bambu. Seorang pendeta
Shinto menghampiri sang anak sambil menyiapkan sebilah pisau. Sebelum
pisau itu diayunkan, tiba-tiba datang seorang pembawa pesan yang
kemudian membebaskan anak lelaki itu dari ritual korban. Hal ini tentu
saja mengingatkan kita pada kisah ketika Ishaq dibebaskan setelah
malaikat datang pada Ibrahim.
Ritual serupa juga terdapat dalam
tradisi umat Islam yang dikenal dengan Iedul Adha, hanya dalam Islam
yang akan dikorbankan oleh nabi Ibrahim adalah Ismail bukan Ishaq
seperti pemahaman umat Kristiani. Hanya saja, di Jepang, pada festival
ini yang dikorbankan adalah 75 ekor rusa, yang satu di antaranya
diyakini cacat kupingnya. Rusa ini dipercaya telah dipersiapkan oleh
tuhan. Hal ini mungkin ada kaitannya dengan biri-biri jantan yang
dipersiapkan tuhan dan kemudian dikorbankan setelah Ishaq bebas. Namun
di zaman dahulu, penduduk berpikir bahwa kebiasaan pengorbanan rusa ini
adalah hal yang aneh, sebab pengorbanan binatang bukanlah sebuah tradisi
Shintoisme.
Penduduk menyebut festival ini sebagai
"festival untuk dewa Misakuchi". "Misakuchi" mungkin berasal dari
"mi-isaku-chi". "Mi" berarti "besar","isaku" mungkin saja "Ishaq" (dalam
bahasa Hebrew adalah "Yitzhak"), dan"chi" adalah sesuatu (semacam
partikel-pen) yang dipakai untuk akhir suatu kata. Tampaknya penduduk
Suwa menjadikan Ishaq sebagai dewa, mungkin karena pengaruh dari para
kaum pagan.
Kini upacara pengorbanan anak laki-laki
dan pembebasannya tersebut tak lagi dipraktekkan, tapi kita di sana
masih bisa melihat pilar kayu yang disebut"oniye-basira" yang berarti
"pilar pengorbanan" (sacrifice-pillar). Kini penduduk menggunakan hewan
tiruan sebagai pengganti bintang asli dalam melaksanakan pengorbanan.
Bagi rakyat di zaman Meiji, lebih kurang satu abad silam, mengikat
seorang anak laki-laki yang diikuti dengan pengorbanan binatang dianggap
sebagai perbuatan biadab, dan kebiasaan tersebut dihentikan. Tapi
festival itu sendiri hingga hari itu masih berlangsung.
Upacara pengorbanan anak laki-laki
tersebut dipertahankan hingga permulaan zaman Meiji. Masumi Sugae,
seorang terpelajar Jepang dan pencatat perjalanan yang hidup di zaman
Edo, lebih kurang dua abad silam, menuliskan catatan perjalanannya dan
mencatat apa yang ia lihat di Suwa.
Catatan ini memperlihatkan keterangan
detail mengenai "Ontohsai". Catatan ini mengatakan bahwa upacara
pengorbanan anak laki-laki dan pembebasannya tersebut, serta pengorbanan
binatang, masih berlangsung pada zaman Sugae. Catatan Sugae ini
tersimpan di museum dekat Suwa-Taisha.
Festival ini dipertahankan oleh keluarga
Moriya sejak zaman dahulu kala. Keluarga Moriya berpikir bahwa
"Moriya-no-kami" (dewa Moriya) adalah dewa leluhur mereka. Dan mereka
berpikir bahwa "Gunung Moriya" adalah tempat suci mereka. Nama "Moriya"
mungkin berasal dari "Moriah" (dalam bahasa Hebrew adalah "Moriyyah")
yang juga terdapat dalam Injil kitab Kejadian 22: 2. Keluarga Moriya
menyelenggarakan festival tersebut selama 78 generasi.
SIMBOL-simbol dan tradisi kuno bangsa
Jepang rupanya menjadi keterangan nyata yang mengahantarkan kita bahwa
Jepang benar-benar menyerupai tradisi Yahudi. Dan inilah bukti
kelanjutan yang mengungkapkan hal demikian.
Fleur du Herod
Jika
kita mendatangi Imperial House of Japan, di bagian atas akan kita
jumpai simbol bunga matahari dengan 16 daun bunga. Simbol bunga ini sama
persis dengan simbol bunga matahari yang ada di depan Kuil Herod,
gerbang Yerusalem. Kedua hiasan ini telah ada sejak zaman yang sangat
lampau, baik yang ada di Jepang maupun yang ada di Herod
Simbol Bintang David sebagai simbol kuno
bangsa Yahudi juga bertebaran di Ise-jingu, kuil Shinto untuk Imperial
House of Japan. Ise-jingu di prefektur Mie, Jepang, merupakan sebuah
kuil Shinto yang dibangun untuk Imperial House of Japan. Pada kedua sisi
jalan menuju kuil tersebut terdapat lampu-lampu yang terbuat dari batu.
Di setiap lampu terdapat ukiran bintang david, dekat bagian puncaknya.
Hiasan yang digunakan di bagian dalam kuil di Ise-jingu juga Bintang
David. Ini telah ada sejak zaman kuno. Di prefektur Kyoto, ada kuil
"Manai-Jinja", sebuah Kuil Ise-jingu asli. Bentuk Bintang David juga
berserak di kuil ini. Sinagog-sinagog bangsa Yahudi yang tersebar di
Eropa sejak zaman dulu juga mengukir hiasannya dengan bentuk Bintang
David, sama seperti yang ada di Jepang.
Yamabusi dan Phylactery
Para pemimpin religi Jepang disebut
"Yamabushi". Dalam pakaian kebesarannya, mereka lazim meletakkan sebuah
kotak hitam pada dahi mereka. Ini sama dengan kaum Yahudi yang
meletakkan Phylactery (kotak kecil berbahan kulit yang memuat teks-teks
Ibrani) juga di dahi. Yamabushi adalah pemimpin keagamaan yang sedang
dalam masa latihan dan hanya ada di Jepang. Mereka kini dianggap sebagai
bagian dari Budhisme Jepang, namun anehnya Budhisme di Cina, Korea,
atau India, tidak memiliki kebiasaan ini. Kebiasaan "Yamabushi" telah
ada di Jepang sebelum Budhisme masuk ke Jepang pada abad ke-7.
Pakaian
yang dikenakan "Yamabushi" pada dasarnya berwarna putih. Di dahinya,
mereka meletakkan sebuah boks kecil berwarna hitam yang disebut "tokin",
yang diikatkan ke kepalanya dengan tali hitam. Mereka benar-benar
menyerupai Yahudi yang meletakkan phylactery (kotak hitam) di dahi
dengan menggunakan tali hitam. Ukuran "tokin" ini hampir sama dengan
ukuran phylactery milik kaum Yahudi. Tapi "tokin" berbentuk bundar dan
terlihat seperti bunga. Hanya ada dua bangsa di dunia ini yang
meletakkan sebuah kotak di dahi, yakni Israel dan Jepang.
Shofar, terompet Yahudi
Selain
mengenakan kotak di dahi, Yamabusi juga biasa menggunakan kerang laut
berukuran besar berbentuk mirip dengan tanduk yang digunakan dengan cara
ditiup untuk ritual-ritual keagamaan. Hal ini sangat mirip dengan kaum
Yahudi yang meniup shofar, tanduk biri-biri jantan. Suara yang
dihasilkan Yamabusi serupa dengan suara shofar. Bisa jadi, karena di
Jepang tidak ada biri-biri, maka mereka menggunakan kerang berukuran
besar.
Keyakinan lain dari Yamabusi adalah
menganggap gunung sebagai tempat suci mereka. Ini sama dengan
kepercayaan bangsa Yahudi yang menganggap gunung juga tempat suci
mereka. Sepuluh Perintah Tuhan (Taurat) diturunkan di Gunung Sinai dan
Yerusalem juga adalah kota yang berada di atas gunung.
Torah dan Tora-No-Maki
Di
Jepang ada legenda mengenai "tengu". Dia tinggal di gunung dan memiliki
bentuk tubuh yang sama dengan "Yamabushi". Ia memiliki kemampuan
supernatural. Ninja atau mata-mata di zaman kuno yang bekerja untuk
tuannya, sering mendatangi "tengu" di gunung untuk mendapatkan kemampuan
supernatural darinya. Setelah memberikan kekuatan, "Tengu" memberi
"Ninja" sebuah "tora-no-maki" (gulungan "tora"). "Gulungan tora" ini
dianggap sebagai "kitab suci" yang berguna dalam setiap masalah. Sampai
sekarang orang Jepang masih menggunakan kitab ini dalam keseharian.
Tota-No-Maki amat mirip dengan nama "Torah" atau Taurat.
Omikoshi dan Tabut Perjanjian
Omikoshi di Jepang juga mirip dengan Ark
of the Covenant (Tabut Perjanjian). Dalam Bibel, tertulis bahwa Daud
atau David membawa tabut perjanjian dari Tuhan ke Yerusalem. "David dan
para sesepuh Israel serta para komandan unit yang berjumlah ribuan pergi
membawa tabut perjanjian TUHAN dari rumah Obed-Edom, dengan penuh
kegembiraan. ...Lalu David yang berpakaian jubah yang terbuat dari linen
halus—begitu pula para Levites yang sedang membawa tabut, serta para
penyanyi, dan Keniah, yang bertugas menyanyikan paduan suara. David juga
mengenakan ephod dari linen. Jadi semua Israel membawa tabut perjanjian
TUHAN sambil bersorak-sorai, dengan membunyikan tanduk biri-biri jantan
dan terompet, dan simbal, serta memainkan lyre (instrumen bersenar yang
berbentuk U, digunakan di zaman kuno-pen) dan harpa." (15: 25-28)
Coba
bandingkan dengan Omikoshi di Jepang. Ketika orang-orang Jepang
mengangkut 'Omikoshi' yang bentuknya juga mirip dengan Tabut Perjanjian
di saat festival, orang-orang Jepang juga bernyanyi dan menari di
depannya, juga sambil bersorak-sorai, dengan memainkan alat-alat musik
tradisional musik. Bukankah semua ini juga mirip dengan tradisi bangsa
Yahudi?
Orang-orang Jepang mengangkut Omikoshi
di atas pundak mereka dengan tiang – biasanya dua tiang. Begitu pula
halnya dengan bangsa Yahudi, "Para Levites mengangkut tabut Tuhan dengan
tiang di pundak mereka, seperti yang diperintahkan Musa berdasarkan
firman TUHAN." (Kejadian 1 15:15).
Tabut perjanjian Israel memiliki dua
tiang (Eksodus 25: 10-15). Bibel juga mengatakan bahwa tiang-tiang
tersebut diikatkan pada tabut oleh empat cincin "pada keempat kakinya"
(Eksodus 25:12). Jadi tiang-tiang tersebut dilekatkan pada dasar tabut.
Ini sama dengan Omikoshi.
Tabut
Israel memiliki dua patung cherubim (malaikat urutan kedua pada hirarki
surga) berbahan emas pada bagian puncaknya. Cherubim, mahluk surga atau
malaikat bersayap seperti burung. Dan Omikoshi juga memiliki burung
emas, yang disebut "Ho-oh", pada bagian puncaknya, yang merupakan burung
khayalan dan makhluk surga yang misterius. Tabut bangsa Yahudi
seluruhnya dilapisi emas, sama dengan Omikoshi. Ukuranya juga sama,
demikian pula tarian yang mengiringinya.
Dalam festival "Gion-jinja" di kuil
Shinto di Kyoto, orang-orang mengangkut Omikoshi lalu masuk ke dalam air
dan menyeberangi sungai. Bukankah ini mirip dengan tradis Yahudi yang
mengangkut tabut ketika menyeberangi sungai Jordan setelah melakukan
eksodus dari Mesir? Di sebuah pulau di Laut Inland, Seto, Jepang,
orang-orang terpilih sebagai pengangkut Omikoshi tinggal bersama di
sebuah rumah selama satu minggu sebelum mereka bekerja. Ini untuk
mencegah pencemaran pada diri mereka. Selanjutnya, pada hari sebelum
mengangkut Omikoshi, mereka mandi dalam air laut untuk menyucikan diri.
Ini sama dengan kebiasaan Yahudi, "Demikianlah para pendeta dan Levites
menyucikan diri mereka untuk membawa tabut Tuhan Israel." (Kejadian 1
15:14)
Bibel mengatakan bahwa setelah tabut
memasuki Yerusalem dan barisan berhenti; "David membagikan sepotong
roti, sepotong daging, dan sepotong kue kismis, kepada setiap orang
Israel, baik laki-laki maupun perempuan" (Kejadian 1 16:3). Ini sama
dengan kebiasaan di Jepang. Di Jepang, setelah festival selesai,
gula-gula dibagikan kepada setiap orang.
0 komentar:
Posting Komentar