Presiden SBY didampingi Menlu Marty di depan Markas PBB tahun 2012. (Foto: Setkab) |
Jakarta, Meski selalu berdasar kepada
politik bebas aktif, penerjemahan diplomasi luar negeri Indonesia
berciri berbeda di setiap era kepemimpinan. Sejak era presiden pertama
Soekarno, hingga era Susilo Bambang Yudoyono (SBY), pengaplikasian
politik luar negeri bebas aktif dilakukan dengan cara yang berbeda,
mengikuti dinamika konstelasi politik global.
Melalui paparannya dalam sebuah seminar beberapa waktu lalu, Profesor
Tulus Warsito menjelaskan ciri diplomasi Indonesia dari masa ke masa.
Menurutnya, dari semua pemimpin yang ada telah berupaya sedemikian rupa
menerjemahkan politik bebas aktif sesuai kemampuan dan zamannya.
“Soekarno dengan jingoism-nya, Soeharto dengan concentric circle-nya, era reformasi dengan ecumenism-nya, dan millions friends zero enemy dan dynamic equilibrium-nya era SBY, masih sejalan dengan dasar politik luar negeri yang bebas aktif,” ujarnya.
Politik luar negeri era Soekarno sering disebut sebagai era konfrontasi yang mewariskan jingoism. Jingoism
merupakan cara yang dipakai Soekarno untuk memobilisasi rakyat ketika
ada konflik dengan negara lain yang dianggap sebagai penghinaan terhadap
martabat Indonesia. Cap anti-kolonialis, anti-imperialis, anti-Barat
melekat dalam diplomasi ala Soekarno ini.
“Walaupun dengan peralatan maritim yang jauh lebih sederhana daripada
yang dimiliki kita sekarang, TNI-AL kita pernah berjaya merebut Irian
Jaya pada masa itu,” beber Tulus.
Ia menilai, dalam konteks tertentu, diplomasi jingoism ala
Soekarno dapat menunjukkan kesungguhan membangun kemandirian bangsa.
Namun demikian, dalam konteks peningkatan kesejahteraan rakyat belumlah
dapat diperoleh hasil memuaskan.
Pada era Orde Baru Soeharto, politik luar negeri Indonesia didominasi jurus diplomasi concentric circle
ala Menteri Luar Negeri (Menlu) Mochtar Kusumaatmadja. Cara diplomasi
ini menempatkan prioritas hubungan luar negeri berdasarkan kedekatan
geografis, yang mengutamakan ASEAN sebagai lingkaran utama, kemudian
ASEAN+3 (Asia Timur) sebagai lingkaran kedua, dan Asia Pasifik sebagai
lingkaran terluar.
Tulus menyebut, strategi diplomasi ini telah menunjukkan kesungguhan
geostrategi maritim yang cukup realistis. Pada masa itu, Indonesia
menempatkan negara-negara di luar lingkaran hanya dalam pertimbangan
‘sepanjang tidak mengganggu pertumbuhan ekonomi’ maka dianggap biasa
saja.
Namun demikian, meskipun pada awalnya diplomasi semacam itu
menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang bagus, akhirnya terjebak pada
krisis yang tidak mudah diatasi. Keberhasilan diplomasi concentric circle tak sepadan dengan ongkos sosial, ekonomi, dan politik yang harus dibayarkan.
Diplomasi era Gusdur sebagai bagian dari diplomasi Wawasan Nusantara
yang agak bergeser dalam hal pengutamaan dimensi geografis. Tulus
menyebut, cara diplomasi ini sebagai diplomasi ecumenistic yang lebih cocok berkait pada konsep kemandirian, tetapi tidak berhubungan langsung dengan masalah maritim. Diplomasi ecumenistic
dapat diterjemahkan sebagai diplomasi pluralistik yang menunjukkan
kemandirian Indonesia dalam hal kemerdekaan sikap. Tulus mencontohkan,
setelah berkunjung ke Washington, Gus Dur dengan amat perrcaya diri
melanjutkan kunjungan ke Kuba.
“Mengunjungi dua kubu yang bermusuhan sekaligus dalam satu lawatan
resmi merupakan ciri pluralisme Gusdur yang sangat mandiri,” ucapnya.
Dan diplomasi paling mutakhir yang sekarang sedang dijalankan oleh
pemerintah saat ini adalah diplomasi ‘sejuta kawan, tanpa lawan’ (million friends, zero enemy). Konsep tersebut didukung jurus Menlu Marty Natalegawa dengan doktrin dynamic equilibrium. Doktrin ini diterjemahkan sebagai upaya memanfaatkan ketidakseimbangan untuk menciptakan peluang yang positif.
Menurut Tulus, meski kedua doktrin tersebut kelihatan enakdi dengar, tetapi membutuhkan pemaknaan yang bijak.
“Kedua-duanya memang kedengaran confident atau percaya diri,
tetapi kepercayaan diri yang harus diukur dari kemandirian yang
diharapkan dapat membuahkan hasil kesejahteraan semua pihak adalah hal
yang harus didiskusikan kemudian,” pungkas Guru Besar Politik
Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta tersebut.
0 komentar:
Posting Komentar