Ini buah dari kemarahan RI atas skandal penyadapan Australia.
Australia dalam beberapa pekan terakhir mulai kelimpungan lagi menghadapi derasnya arus kedatangan para imigran ilegal dari Indonesia. Celakanya bagi Canberra, masalah ini muncul saat Australia mengalami kerenggangan hubungan dengan Indonesia, negara yang selama ini dipandang mitra strategis dalam mengalau para imigran gelap, yang rata-rata berasal dari Asia Selatan dan Timur Tengah.
Para pejabat dan media massa Australia sendiri, bahkan sudah mewanti-wanti bahwa masalah itu merupakan konsekuensi yang harus ditanggung pemerintahan Perdana Menteri Tony Abbott, setelah membuat marah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono karena percakapan telepon dia bersama istri dan para pejabatnya disadap Dinas Intelijen Australia pada 2009 dan Canberra belum juga "minta maaf" atas skandal itu.
Sejak skandal penyadapan itu terungkap pada November lalu - berkat bocoran Edward Snowden dari Rusia - hubungan diplomatik Australia dan Indonesia tengah renggang. Kedua pemerintah tengah berupaya memperbaiki hubungan, namun "sanksi" Indonesia atas Australia masih berlaku.
Salah satu sanksi dari Jakarta itu adalah menghentikan kerja sama penanggulangan imigran gelap. Padahal, menanggulangi kedatangan para imigran gelap merupakan salah satu janji yang dinanti mayoritas rakyat Australia, yang memenangkan Partai Liberal pimpinan Abbott pada Pemilu 7 September 2013, dan membuat dia terpilih menjadi perdana menteri baru.
Kepada VIVAnews beberapa waktu lalu, seorang diplomat senior di Jakarta melihat bahwa penghentian kerja sama bilateral di tiga sektor - salah satunya penanggulangan imigran gelap - tidak saja menimbulkan dampak yang serius, namun sudah menjadi "tsunami" bagi kepentingan Australia.
Indonesia selama ini diandalkan Australia dalam mencegah kedatangan para imigran ilegal lewat perahu, dengan menyiagakan para personel keamanan dan fasilitas penampungan di beberapa tempat.
Kini, kapal-kapal imigran gelap terus berdatangan dengan jumlah yang semakin banyak ke Australia. Para imigran mengandalkan Indonesia sebagai "batu loncatan" menuju Australia, karena letaknya yang dekat dengan Negeri Kanguru itu dan bisa ditempuh lewat jalur laut dengan kapal motor sederhana.
Menanggapi masalah ini, Abbott melihat Indonesia sangat penting. Diberitakan The Australian, Senin 16 Desember 2013, dalam empat hari terakhir ada empat kapal imigran gelap yang tiba di Australia. Jumlah ini meningkat dari empat hari sebelumnya, yang hanya dua kapal saja.
Abbott mengatakan bahwa ini tak lepas dari dihentikannya kerja sama dengan Indonesia. Sebelumnya, Presiden SBY menghentikan kerja sama penanganan imigran gelap menyusul kasus penyadapan oleh Australia.
SBY mengeluarkan enam tahapan normalisasi hubungan kedua negara sebelum diberlakukannya kembali kerja sama. Presiden berharap tahapan ini rampung Juli mendatang, tetapi Abbott berharap lebih cepat.
"Saya berharap kerja sama penanganan perdagangan-manusia bisa dilanjutkan sebelum itu," ujarnya kepada ABC Radio. "Tidak diragukan lagi bahwa mereka menghentikan kerja sama operasi memberantas penyelundupan manusia, dan saya kira peningkatan kapal yang datang dalam beberapa minggu terakhir karena penghentian kerja sama ini," kata Abbott.
Juru bicara oposisi di parlemen Chris Bowen, mengatakan bahwa komentar Abbott di berbagai media tidak akan membantu menyelesaikan masalah. Menurutnya, Abbott hanya menerapkan "diplomasi megaphone". "Perdana menteri kita berbicara dengan Indonesia melalui media. Dengan segala hormat, ini bukan cara untuk berbaikan dengan negara tetangga," kata Bowen.
Sebelumnya, Menteri Imigrasi dan Perlindungan Perbatasan Tony Burke mengaku kemitraan dengan Indonesia dalam menghentikan kapal-kapal suaka yang hendak memasuki wilayah perairan Australia tidak bisa diremehkan. "Pembekuan hubungan diplomatik yang lebih jauh lagi oleh Indonesia akan menimbulkan malapetaka serius bagi Australia," ujar dia seperti dikutip stasiun televisi Sky News eberapa waktu lalu.
Sebab itu, Burke mendesak pemerintah Australia segera memperbaiki hubungan dengan Indonesia. "Pemulihan hubungan bilateral amat signifikan. Ketegangan kedua negara harus diakhiri," kata dia.
Aji Mumpung
Ketegangan Indonesia-Australia ini akhirnya dimanfaatkan oleh para imigran gelap maupun orang-orang yang menawarkan jasa menyelundupkan mereka dengan perahu.
Ini merupakan bisnis menggiurkan, mengingat para imigran mengeluarkan biaya yang sangat besar untuk memanfaatkan jasa penyelundup, yang rata-rata mengandalkan kapal butut dengan risiko besar untuk karam di tengah lautan.
Menurut penelusuran Fairfax Media pekan lalu, para penyelundup bahkan mempromosikan jasa mereka dengan menjamin bahwa para imigran tidak akan ditangkap polisi Indonesia. Bahkan, mereka memberikan diskon, yaitu A$1.800 (sekitar Rp20 juta) untuk sekali kirim menggunakan sebuah perahu motor reyot.
"Sekarang adalah waktu yang aman untuk ke Australia, karena hubungan diplomatik negara kami dan Australia sedang buruk," kata seorang agen penyelundup di Cisarua, Jawa Barat, berbicara pada calon pelanggan.
Dalam percakapan yang direkam Fairfax itu, penyelundup ini mengatakan bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memerintahkan polisi untuk tidak bekerja sama dengan Australia menghentikan kapal imigran gelap.
"Mungkin dua atau tiga bulan lalu polisi Australia bisa ikut campur karena masih punya hubungan dengan Australia. Tapi sekarang, mereka tidak bisa berbuat apa pun. Saat polisi Australia meminta polisi Indonesia menahan, mereka tidak bisa karena tidak ada kerja sama," kata penyelundup ini.
Dia mengatakan bahwa saat ini sudah banyak warga Pakistan, Afganistan, dan Myanmar yang siap dikirimkan ke Australia. Ia juga menjelaskan bahwa ini adalah waktu yang tepat, sebelum hubungan kedua negara membaik lagi. "Saya yakin Australia ingin punya hubungan baik lagi dengan Indonesia," kata dia.(asp)
0 komentar:
Posting Komentar