“Anak Adam tidak dapat menghindar dari perbuatan (yang mengantarkannya kepada) zina.”
(H.R Muslim)
Kalau anda sering menonton televisi sepertinya sudah sangat akrab dengan iklan rokok yang rada-rada lain dalam “penampilannya.” Yakni, kental dengan unsur “buka-bukaan” dan funky. Itulah iklan rokok Pall Mall yang sempat menjadi tren di sekitar tahun 2000-an. Dengan melihat gaya iklannya, tidak salah lagi, rokok ini membidik pasar usia muda. Malah PT BAT (British American Tobacco), produsen rokok “funky” ini bekerja sama dengan event organizer-nya membuat heboh dengan menggelar Pall Mall Light Up The Night Party dalam rangka promosi produk di beberapa kota besar di tanah air.
Slogan “Light Up the Night” dalam iklan rokok ini pasti sudah akrab di telinga anda. Sesuai dengan strategi pemasarannya, acara promosi tersebut pekat sekali dengan nuansa funky, macam Bubble Party, dan Acid Rain. Nah, melihat sukses acara-acara tersebut, kayaknya Pall Mall seperti kecanduan membuat acara serupa. Maka tidak heran, seperti banyak diberitakan media massa, Pall Mall membuat acara super heboh, yakni Light Up the Night—Pall Mall Top 40 the Party! Di Bandung, Solo, Semarang, dan Yogyakarta.
Tapi, semangat promosi Pall Mall rupanya kebablasan menjadi mirip-mirip pesta striptease. Itu tuh pesta telanjang. Kejadiannya di Solo, panitia menggelar lomba yang diberi nama Dress You Up. Yakni, lomba mencopot pakaian bagi wanita. Siapa yang paling sedikit tersisa pakaian di tubuhnya itu yang menang. Hadiahnya? Uang tunai 300 ribu rupiah! Uang yang lumayan banyak pada saat itu! Ternyata ada juga para wanita yang berani ikutan, dan menang.
Kontan acara yang aneh itu diprotes banyak kalangan termasuk para praktisi hukum dan sejumlah LSM. Bahkan, mereka mengajukan gugatan untuk produsen rokok “malam” ini. Apa boleh buat, panitia terpaksa minta maaf.
Tapi sebenarnya acara Dress You Up-nya Pall Mall hanya satu bagian kecil dari acara-acara mereka yang “gila-gilaan.” Hampir setiap pesta yang mereka gelar selalu sexiest. Tari-tarian eksotis dengan busana minim, plus goyangan yang menggoda. Na’udzubillah.
Dan yang membuat banyak orang mengelus dada adalah, entah disengaja atau tidak, pengunjung pagelaran Pall Mall itu umumnya anak-anak muda. Termasuk para peserta lomba-lomba dan tari-tarian yang seronok itu juga berasal dari usia muda. Ini yang memprihatinkan.
Pornografi Berserakan
Pall Mall tidak sendirian dalam “memformat” gaya hidup nan sexiest untuk masyarakat. Masih banyak acara atau iklan bernuansa seks yang tidak lolos sensor. Bukan hanya itu, bila anda kebetulan rajin mengamati lukisan, itu juga tidak lepas dari unsur, maaf, ketelanjangan. Sekedar tahu saja, lukisan Affandi (misalnya Telanjang tahun 1947 dan Dua Kucing tahun 1952), apa itunggak porno? Porno, lah! Tapi, kebanyakan orang menilai karya Affandi itu sebagai karya seni.
Bagaimana dengan iklan, film, dan nyanyian? Wah, di “sektor” ini nuansa porno juga sangat kental. Sudah tidak terhitung jumlahnya iklan yang membuat piktor (pikiran kotor) kita. Malah ada juga iklan yang “maksain” untuk tampil porno, meskipun sebetulnya iklan tersebut tulalit alias kagak nyambung. Contohnya, iklan pompa air listrik dengan goyangan Lisa “ratu joged” Nathalia yang seronok itu. Untung iklan itu akhirnya sukses dihentikan. Lisa sendiri minta maaf. “Lain kali saya akan lebih hati-hati,” katanya.
Lisa Nathalia dan Joged RCTI juga satu fenomena dengan pornografi lho. Dalam lomba Joged yang digelar di tiap tayangannya itu selalu saja ada peserta yang berani tamppil seronok bin norak. Begitu pula klip-klip dangdut lainnya banyak yang kompak; seksi dan porno.
Tapi, bukan cuma klip musik dangdut, musik-musik pop atau rock juga banyak yang mengusung nuansa porno. Pencet saja channel MTV maka kita akan mendapatkan tayangan klip yang bikin jantung deg-deg plas. Ada Come on Over-nya Christina Aguilera, Toni Braxton, Lady Gaga, dan lain-lain.
Tapi anehnya, masyarakat cenderung menutup mata atau memang tidak sadar terhadap tayangan yang diam-diam menyelinap ke dalam rumahnya sendiri. Malah yang lebih parah, sebagian masyarakat masih menyelubungi pornografi dengan dalih seni. Padahal, dalam Islam juga ada aturannya sendiri. Ya, seharusnya kita juga jeli di setiap “sudut.” Jangan cuma “gerah” pada saat masalah tersebut sangat mencolok mata, seperti kasus di atas, dengan sangat berani malu Pall Mall menggelar acara yang membuat rusak akhlak. Bolehkah disebut striptease gaya Pall Mall.
Faktor Warisan
Percayakah anda kalau nenek moyang kita memang mewarisi pornografi? Tidak percaya? Bila anda menyaksikan potret tahun 1930-an di Bali, dalam foto itu tampak para gadis masih “porno.” Juga kita bisa “menyaksikan” relief-relief candi yang menggambarkan “pornografi.” Di Museum Pusat di Jakarta, disitu juga banyak dipamerkan patung-patung “primitif” etnik yang juga porno.
Percayakah anda kalau nenek moyang kita memang mewarisi pornografi? Tidak percaya? Bila anda menyaksikan potret tahun 1930-an di Bali, dalam foto itu tampak para gadis masih “porno.” Juga kita bisa “menyaksikan” relief-relief candi yang menggambarkan “pornografi.” Di Museum Pusat di Jakarta, disitu juga banyak dipamerkan patung-patung “primitif” etnik yang juga porno.
Belum lagi karya-karya sastra klasik Indonesia yang juga sarat dengan gambaran-gambaran erotik. Seperti Arjuna Wijaya, Arjuna Wiwaha, Bharatayudha, Sumanasantaka, Sutasoma, danSubadra Wiwaha. Wah, konon kabarnya dalam cerita-cerita itu sarat dengan adegan-adegan erotik yang membuat “gerah.” Maklum saja bahwa mereka itu para pujangga yang amat mahir membangun image lewat kata-kata, termasuk image erotik. Namun, karena gambaran-gambaran itu begitu kuat melukiskan suatu corak kebudayaan, maka buku tersebut tak pernah dilarang dengan alasan penyebaran pornografi.
Tapi itu bukan cuma monopoli bangsa ini saja. Di India, Cina, atau Yunani, kisah-kisah klasik yang porno juga banyak terdapat dalam khazanah warisan budaya mereka. Itu semua menunjukkan bukti kalau pornografi memang sudah setua umur manusia.
Meski demikian, bukan berarti hal itu bisa dijadikan alasan untuk melegalisasi pornografi. Jangan karena sudah dipraktikkan dalam sejarah, lalu kita katakan kalau kebudayaan itu benar. Bisa bahaya, jangan-jangan nanti budaya Nazi Jerman yang pembunuh dan haus darah kita sahkan sebagai suatu kebudayaan.
Bukan Seni
Satu-satunya argumen “kolot” yang dikemukakan para penggemar dan praktisi pornografi adalah pertimbangan seni. Telanjang, asalkan ditata dengan indah, sesuai dengan tempatnya maka itu adalah seni. Ini jelas logika IQ jongkok para budak nafsu. Jangan-jangan nanti mereka mengatakan bahwa korupsi yang dilakukan dengan cara-cara yang indah adalah seni.
Ya, tidak semua orang setuju kalau pornografi dihujat dan diumpat. Pelantun lagu Jika, Melly Goeslaw sempat uring-uringan dan menuduh masyarakat kita kuno dan tidak bisa hidup modern. Menurutnya, masyarakat kita harus meneladani penduduk Amerika yang selalu terbuka dan “berani” hidup modern. Tambahnya lagi, doi menyebutnya sebagai karya seni, dan itu bukan porno.
Yes, kita semua prihatin kok, dengan perkembangan terakhir ini. Masyarakat ini sekarang betul-betul sedang sakit dan bahkan penyakitnya sangat parah. Berarti memang harus ada penyelesaian. Harus dicari “obat” mujarab untuk bisa menyembuhkan penyakitnya itu. Khusus untuk masalah porno dan pornografi Islam punya aturan yang sangat bagus. Tentu, karena Islam adalah ideologi, yang mampu menyelesaikan berbagai problem kehidupan.
Rasulullah S.A.W bersabda,
“Anak Adam tidak dapat menghindar dari perbuatan (yang mengantarkannya kepada) zina, yang pasti akan menimpanya, yaitu zina mata adalah dengan melihat (aurat wanita), zina telinga adalah dengan mendengar (kata-kata porno, cinta asmara dari wanita/lelaki yang bukan suami/istri), zina lidah adalah dengan ucapan (menggoda wanita dengan rayuan dan kata-kata kotor dan porno), zina tangan adalah dengan tindakan kasar (memperkosa, menjawil bagian tertentu dari tubuh wanita), zina kaki adalah dengan berjalan (ke tempat maksiat, misalnya ke kompleks prostitusi). (Dalam hal ini), hatilah yang punya hajat dan cenderung (kepada perbuatan-perbuatan tersebut, dan farji ‘kelamin’ yang menerima dan menolaknya (H.R Muslim dari Abu Hurairah)
Dalam pandangan Islam, berpartisipasi dalam pagelaran pornografi semacam itu jelas terlarang alias haram. Baik penyelenggara, pemain/peserta, maupun penontonnya. Bagi pemain/pesertanya jelas telah melanggar ketentuan Islam dalam urusan aurat. Kita akan banyak temukan adanya perintah untuk menutup aurat. Lihat Al-Qur’an surat an-Nuur ayat 31, “...Janganlah mereka menampakkan perhiasannya (anggota badannya) kecuali yang biasa tampak daripadanya...”
Ayat ini dengan jelas melarang wanita untuk menampakkan auratnya. Yang boleh terlihat hanyalah apa-apa yang biasa tampak. Menurut Ibnu Abbas, yang dimaksud dengan apa-apa yang biasa tampak itu adalah wajah dan telapak tangan.
Bagi yang melihatnya bagaimana? Setali tiga uang! Hadir dan menonton acara seperti itu jelas termasuk zina kaki dan zina mata sebagaimana hadist Rasulullah S.A.W di atas. Sedangkan bagi penyelenggaranya, ia telah membuat sarana (wasilah) yang jelas-jelas untuk berbuat maksiat. Tentu jatuhnya haram juga!
Kita tentu sama-sama prihatin bahwa ternyata mental kapitalis, mencari untung dengan “menghalalkan” segala cara, sudah membudaya di negeri ini. Kasus Pall Mall tadi bisa menjadi contoh betapa ada sejumlah orang yang rela mengorbankan mental dan akhlak remaja bangsa, hanya demi sedikit keuntungan. Dan seperti biasa, andai terjadi pelanggaran susila akibat kejadian tersebut, pasti mereka akan cuci tangan sebersih-bersihya. Persis jawaban para artis dan seniman pornografi yang dengan enteng ngeles dengan mengatakan, “Kalau ada orang yang tergoda itu salah mereka sendiri, kenapa punya pikiran kotor.”
Semoga kita tidak lupa dengan sabda Rasulullah S.A.W,
“Apabila telah tampak perzinaan dan riba di suatu daerah, maka penduduk daerah itu telah menghalalkan diri mereka sendiri untuk mendapatkan azab Allah.” (H.R ath-Thabrani, al-Hakim dari Ibnu Abbas, dalam kitab Fathul Kabir jilid I hal. 132)
Nah, kalau masyarakat tidak ingin tertimpa berbagai azab dari Allah yang pastinya pedih, harus ada kesadaran dan aksi menentang pornografi. Masyarakat harus kompak dalam menilai suatu perbuatan. Jika salah, katakan salah, dan jika benar, tentu katakan benar. Masyarakat jangan cuek bebek.
Begitu pula para pengusaha, sebaiknya mencari cara yang sehat untuk menaikkan penjualan dan keuntungan mereka. Jangan mengorbankan moral anak bangsa hanya untuk mengeruk sedikit keuntungan. Lagipula daya tarik produk itu adalah pada kualitasnya sendiri, bukan sekadar promosi, apalagi dengan cara-cara asusila seperti itu.
Nah, selanjutnya kita berharap negara punya kepedulian dan keberanian untuk menjalankan aturan yang keras bagi para penjahat susila itu. Karena kalau ini terus dibiarkan, apa jadinya gambaran moral anak-anak bangsa di masa depan. Jangan-jangan semua menjadi budah nafsu rendahan. Nau’dzubillah!
0 komentar:
Posting Komentar