ndonesia sudah masuk 10 besar negara dengan penderita HIV dan AIDS terbanyak di dunia!
Pada artikel ini akan dibahas apa itu HIV / AIDS, bagaimana cara menularnya, juga tentang sejarah AIDS di dunia dan di Indonesia, serta apa itu Sel Punca yang disinyalir dapat senbuhkan HIV dan tentang Vaksin HIV yang ditemukan.
AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome) adalah suatu kumpulan gejala yang disebabkan oleh infeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus) yang menyebabkan hilangnya kekebalan tubuh sehingga penderita mudah terjangkit penyakit infeksi.
Berkurangnya kekebalan tubuh itu sendiri disebabkan virus HIV (Human Immunodeficiency Virus). Dan pada kenyataannya ditemukan bahwa yang menyebabkan penderita AIDS meninggal adalah karena penyakit infeksi oportunistik dan bukan oleh karena infeksi HIV itu sendiri.
Imunodefisiensi adalah keadaan dimana terjadi penurunan atau ketiadaan respon imun normal. Keadaan ini dapat terjadi secara primer, yang pada umumnya disebabkan oleh kelainan genetik yang diturunkan, serta secara sekunder akibat penyakit utama lain seperti infeksi, pengobatan kemoterapi, sitostatika, radiasi, obat-obatan imunosupresan (menekan sistem kekebalan tubuh) atau pada usia lanjut dan malnutrisi (Kekurangan gizi).
AIDS, acquired immunodeciency syndrome terjadi imunodefisiensi sekunder yang disebabkan oleh infeksi HIV. Kekurangan imunitas tubuh dapat dilihat dari kadar CD4 (kurang dari 200) dalam tubuh.
Pada dasarnya, HIV adalah jenis parasit obligat yaitu virus yang hanya dapat hidup dalam sel atau media hidup. Virus ini “senang” hidup dan berkembang biak pada sel darah putih manusia.
HIV akan ada pada cairan tubuh yang mengandung sel darah putih, seperti darah, cairan plasenta, air mani atau cairan sperma, cairan sumsum tulang, cairan vagina, air susu ibu dan cairan otak.
Cara HIV Menyerang
HIV atau Human Immunodeficiency Virus, adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan kemudian menimbulkan AIDS.
HIV menyerang salah satu jenis dari sel-sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi. Sel darah putih tersebut termasuk limfosit yang disebut “sel T-4″ atau disebut juga “sel CD-4″.
Penularan HIV terjadi kalau ada pencampuran cairan tubuh yang mengandung HIV, seperti:
- Hubungan seks dengan pasangan yang mengidap HIV.
- Jarum suntik dan alat-alat penusuk (tato, tindik dan cukur) yang tercemar HIV.
- Transfusi darah atau produk darah yang mengandung HIV, dan
- Ibu hamil yang mengidap HIV kepada janin atau bayinya.
Hal-hal yang tidak berpotensi menularkan HIV adalah melalui:
- bersalaman
- cium pipi
- batuk/bersin
- menggunakan telepon umum/kloset umum
- tempat duduk
- berenang
- alat makan/minum
- tinggal serumah dengan penderita HIV, dan
- gigitan nyamuk.
Tapi lantaran masih terbatasnya informasi yang didapat masyarakat Indonesia tentang penyakit ini, banyak banyak penderita HIV/AIDS yang dikucilkan dari lingkungannya.
Kerusakan progresif pada sistem kekebalan tubuh menyebabkan orang dengan HIV/AIDS (Odha) amat rentan dan mudah terjangkit bermacam-macam penyakit.
Serangan penyakit yang biasanya tidak berbahaya pun lama-kelamaan akan menyebabkan pasien sakit parah, bahkan meninggal.
Oleh karena penyakit yang menyerang bervariasi, AIDS kurang tepat jika disebut penyakit. Definisi yang benar adalah sindrom atau kumpulan gejala penyakit.
Gejala infeksi HIV pada awalnya sulit dikenali, karena seringkali mirip penyakit ringan sehari-hari seperti flu dan diare sehingga penderita tampak sehat, yang kadang disebut sebagai “periode jendela”.
Kadang-kadang dalam enam minggu pertama setelah kontak penularan timbul gejala tidak khas berupa demam, rasa letih, sakit sendi, skait menelan dan pembengkakan kelenjar getah bening di bawah telinga, ketiak dan selangkangan.
Gejala ini biasanya sembuh sendiri dan sampai 4-5 tahun mungkin tidak muncul gejala. Pada tahun ke-5 atau ke-6, tergantung masing-masing penderita, mulai timbul diare berulang, penurunan berat badan secara mendadak, sering sariawan di mulut dan pembengkakan di daerah kelenjar getah bening.
Kemudian tahap lebih lanjut akan terjadi penurunan berat badan secara cepat (> 10 persen), diare terus-menerus lebih dari satu bulan disertai panas badan yang hilang timbul atau terus menerus.
Dalam masa sekitar tiga bulan setelah tertular, tubuh penderita belum membentuk antibodi secara sempurna, sehingga tes darah tidak memperlihatkan orang itu telah tertular HIV. Masa tiga bulan itu sering disebut dengan “masa jendela”.
Jika tes darah sudah menunjukkan adanya anti bodi HIV dalam darah, artinya positif HIV, penderita memasuki masa tanpa gejala (5-7 tahun).
Tapi, pada masa ini tidak timbul gejala yang menunjukkan orang itu menderita AIDS, atau dia tetap tampak sehat.
Hingga kemudian, penderita memasuki masa dengan gejala yang sering disebut masa sebagai penderita AIDS. Gejala AIDS sudah timbul dan biasanya penderita dapat bertahan enam bulan sampai dua tahun dan kemudian meninggal.
HIV/AIDS jelas berbahaya untuk meenginfeksi seseorang, karena gejala yang muncul baru diketahui penderita setelah 2-10 tahun terinfeksi HIV.
Disaat itulah sangat dimungkinkan, penularan terhadap orang lain -setiap orang dapat tertular HIV/AIDS. Padahal, belum ada vaksin dan obat penyembuhnya.
Sangat disarankan memeriksa darah untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap HIV yang berarti ada HIV di dalam tubuh -biasanya dilakukan dengan cara Elisa Reaktif sebanyak dua kali. Bila hasilnya positif, diperlukan pemeriksaan lebih lanjut dengan Western Blot atauImmunofluorensensi untuk memastikan adanya HIV di dalam tubuh.
Tentu saja saran ini sangat berlaku bagi seseorang yang mempunyai perilaku berisiko tinggi, seperti sering berganti-ganti pasangan seks dan pecandu narkotika suntikan, mendapati gejala penyakit yang khas karena infeksi HIV, menderita penyakit yang memerlukan transfusi darah terus-menerus seperti hemophili dan sering berhubungan dengan cairan tubuh manusia.
Sejarah HIV / AIDS di Indonesia dan Dunia
Pada tahun 1926, beberapa ilmuwan menganggap HIV menyebar dari monyet ke manusia (sekitar tahun 1926-1946).
Kemudian, penemuan “mirip” kasus HIV/AIDS ini pertama kali terjadi sekitar 1981 oleh ahli kesehatan di Kota Los Angeles, Amerika Serikat, ketika sedang melakukan sebuah penelitian kasus seri terhadap empat pemuda/mahasiswa.
Di dalam tubuh ke-empat pemuda tadi ditemukan penyakit pneumonia (Pneumonic Carinii) yang disertai dengan penurunan kekebalan tubuh (imunitas). Dari hasil penelitian, para ahli kesehatan menemukan jalan untuk penemuan penyakit AIDS.
1982: Para ilmuwan menemukan sindrom yang dikenal sebagai GayRelated Immune Deficiency(GRID), yakni penurunan kekebalan tubuh yang dihubungkan dengan kaum gay.
1983: Dokter di Institut Pasteur Prancis memisahkan virus baru penyebab AIDS. Virus itu terkait dengan limfadenopati (Lymphadenopathy-Associated Virus-LAV).
Sedangkan virus HIV sendiri baru diketahui sekitar 1983 oleh Lug Montaigneur – seorang ahli mikrobiologi Perancis. Pada 1984, mikrobiolog asal Amerika Serikat, Robert Gallo mengumumkan pula penemuan yang sama.
1984: Pemerintah AS mengumumkan, Dr Robert Gallo dari National Cancer Institute(NCI) memisahkan retrovirus penyebab AIDS dan diberi nama “HTLV 111″.
1986: Suatu panitia internasional menyatakan bahwa virus LAV dan HTLV-III adalah sama sehingga nama virus itu diganti menjadi HIV.
Di Indonesia penemuan kasus HIV/AIDS diperkirakan baru diketahui pada 1987, yaitu pada seorang turis asal Belanda.
15 April 1987: Kasus AIDS di Indonesia pertama kali ditemukan. Seorang wisatawan berusia 44 tahun asal Belanda, Edward Hop, meninggal di Rumah Sakit Sanglah, Bali. Kematian lelaki asing itu disebabkan AIDS.
Menurut catatan pada masa itu, hanya ada enam orang di Indonesia yang didiagnosis HIV positif, dua di antara mereka mengidap AIDS.
1987 s/d Desember 2001: Dari 671 pengidap AIDS di Indonesia, 280 orang diantaranya meninggal dunia.
Februari 1999: Peneliti dari University of Alabama di Amerika Serikat (AS) meneliti jaringan yang dibekukan dari seekor simpanse dan menemukan jenis virus SIV yang hampir sama dengan HIV-1.
Simpanse itu berasal dari subkelompok simpanse yang disebut pan troglodyte yang terdapat di Afrika Tengah bagian Barat.
2001: UNAIDS (United Nations Joint Program on HIV/AIDS) memperkirakan jumlah Orang Hidup Dengan HIV/AIDS (ODHA) di dunia ada sekitar 40 juta orang. Sampai sekarang, di sub-sahara Afrika paling banyak terdapat ODHA, yakni 70 persen dari ODHA yang ada di dunia. Sedikitnya 12 juta anak menjadi yatim piatu karena HIV/AIDS.
November 2001: Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) menyatakan obat untuk AIDS dan penyakit lainnya dalam kasus tertentu boleh tidak dipatenkan.
2002: Penderita HIV banyak yang bisa bertahan, dan 3,1 juta orang meninggal karena penyakit AIDS.
9 Januari 2003: Penderita HIV/AIDS di Bali bertambah 18 orang lagi. Total kumulatif penderita, dari 233 orang menjadi 251 orang. Sampai saat ini belum bisa dipastikan posisi Bali dalam hal urutan jumlah penderita HIV/AIDS dalam skala nasional.
Juli 2003: Salah satu kasus baru yang belum banyak diketahui orang lain adalah merebaknya HIV/AIDS dikalangan para petugas kesehatan akibat secara tidak sengaja tersuntik jarum suntik yang biasa digunakan oleh para penderita penyakit yang diidentikkan dengan penyakit seksual ini.
Kebanyakan yang terkena adalah para suster yang bertugas untuk menyuntikkan zat anti viral (anti virus) kepada para pasien penderita AIDS.
Tetapi entah kenapa, secara tidak sengaja jarum suntik yang biasa digunakan untuk para penderita HIV/AIDS, berbalik menyuntik bagian tubuh mereka.
Keadaan ini dikhawatirkan akan menyebabkan ketakutan di kalangan para petugas kesehatan, terutama bagi mereka yang ditugaskan untuk merawat ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS).
Salah satu cara yang telah dilakukan untuk mengatasi hal ini adalah dengan pemberian obat jenis post exposure prophylaxis atau pencegahan pasca pajanan. Tujuannya, agar dapat dideteksi apakah mereka positif terkena HIV/AIDS atau tidak. Mereka meminumnya selama satu hingga satu setengah bulan, kemudian pemakaian obat dihentikan.
Tiga hingga enam bulan setelahnya, mereka kembali diberikan obat anti viral untuk melumpuhkan virus HIV. ‘Kecelakaan’ yang tidak disengaja itu akan semakin memperparah kondisi para pasien HIV/AIDS karena akan semakin banyak orang yang tidak peduli kepada mereka.
Sementara untuk petugas kesehatan diharapkan mereka bersikap hati-hati dalam bertugas karena pihak rumah sakit tidak menyediakan dana khusus untuk perawatan dan pengobatan mereka.
HIV / AIDS Di Indonesia
AIDS di Indonesia ditangani oleh Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Nasional dan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dan memiliki Strategi Penanggulangan AIDS Nasional untuk wilayah Indonesia.
Ada 79 daerah prioritas di mana epidemi AIDS sedang meluas. Daerah tersebut menjangkau delapan provinsi: Papua, Papua Barat, Sumatera Utara, Jawa Timur, Jakarta, Kepulauan Riau, Jawa Barat, dan Jawa Tengah.
Program-program penanggulangan AIDS menekankan pada pencegahan melalui perubahan perilaku dan melengkapi upaya pencegahan tersebut dengan layanan pengobatan dan perawatan. Program PEPFAR di Indonesia bekerja sama secara erat dengan saat ini.
Desember 2002: Berdasarkan data yang masuk, terdapat 306 penderita HIV/AIDS yang tersebar di Indonesia hingga Desember 2002. Jumlah ini belum termasuk jumlah korban lain yang tidak terdeteksi.
20 Agustus 2003: Generasi muda Papua lama-kelamaan dirasa akan habis karena kurangnya penanganan masalah HIV/AIDS bagi warga Papua oleh petugas kesehatan. Hal ini dikarenakan penanganan pemerintah terhadap kasus HIV/AIDS di Papua sangat minim, sedangkan penderitanya semakin hari jumlahnya semakin bertambah.
22 Agustus 2003: Sebanyak 27 orang warga Kabupaten Banyuwangi dinyatakan positif terserang AIDS dan 10 orang lainnya masih diduga terkena penyakit yang sama. Ini merupakan Angka terbesar di Jatim setelah Surabaya, Malang, dan Sidoarjo.
Data ini berdasarkan survei Dinas Kesehatan pada 45 unit puskesmas dan 12 lokalisasi di Kota Gandrung itu, sejak awal bulan Agustus 2003. Kesimpulan didapat setelah dilakukan pemeriksaan contoh darah yang diuji di laboratorium kesehatan pada Dinas Kesehatan Propinsi Jatim di Surabaya.
Penderita adalah para pekerja seks komersial (PSK), mahasiswa, ibu rumah tangga, PNS, TKI, dan waria. Dari 27 orang yang dinyatakan positif mengidap virus itu, lima di antaranya meninggal dunia. Sementara sisanya masih dalam pengawasan dan penanganan pihak Diskes Banyuwangi.
26 Januari 2004: Dalam kegiatan Penyuluhan Penanggulangan Penyalahgunaan Narkoba di Balai Kota Bogor, Dr Subagyo Partodiharjo selaku Ketua Yayasan Karya Bhakti mengatakan, selama 2003, Rumah Sakit Karya Bhakti, Bogor menemukan 14 orang pasien pecandu narkoba yang dinyatakan positif terinfeksi virus HIV/AIDS.
Rumah Sakit Karya Bhakti merupakan salah satu tempat di Bogor untuk melakukan rapid detoxivikasi (cara medis membuang ketergantungan narkotika). Pasien narkotika dapat melakukan pencekan untuk mengetahui dirinya terinfeksi virus HIV atau tidak.
Tapi, rumah sakit tidak menerima rehabilitasi bagi pasien yang terinfeksi virus HIV/AIDS. Kebanyakan pasien narkotika yang dilakukan rapid detoxivikasi adalah narapidana dalam kasus narkoba yang ditahan di penjara Paledang, Bogor.
Kegiatan Komite ini melakukan penyuluhan dibeberapa daerah. Hal ini dimaksudkan agar dapat membantu menanggulangi dan memberantas peredaran serta penyalahgunaan narkoba di Indonesia.
14 Februari 2004: I Gusti Dodi, penderita berusia 21 tahun, meninggal di Rumah Sakit Umum Mataram.
11 Maret 2004: Dua orang bekas TKW asal Malang di Singapura, yaitu Syt dan Syn diketahui terserang HIV/AIDS setelah menjalani pemeriksaan di Rumah Sakit Kepanjen. Kedua wanita ini terdeteksi mengidap penyakit ini pada Februari 2004.
Dengan ini, jumlah pengidap HIV/AIDS di Kabupaten Malang menjadi 30 orang, empat diantaranya meninggal dunia. Penderita yang masih hidup terus dipantau kegiatannya. Para penderita HIV/AIDS berasal dari berbagai kalangan, seperti PSK (Pekerja Seks Komersial), Waria, Gay, Sopir, dan Pecandu Narkoba.
18 Maret 2004: Penderita AIDS di Mataram bertambah lagi dengan terindikasikannya Irwan (28 tahun) yang saat ini dirawat di Rumah Sakit Umum (RSU) Mataram, Nusa Tenggara Barat lewat instalasi rawat darurat (IRD).
23 Maret 2004: Irw (28 tahun) seorang sopr taksi yang diindikasikan terkena AIDS, kini hanya terbaring lemah. Kondisi badannya hampir tanpa kekebalan tubuh. Bahkan keadaannya semakin memburuk. AIDS tertular padanya melalui suntikan narkoba yang digunakannya. Hal ini diperkuat dengan ditemukannya beberapa bekas suntikan.
DKI tercatat pada urutan pertama untuk kasus AIDS di Indonesia, dibandingkan dengan Papua, Bali, Riau, Jawa Timur, dan Jawa Barat. Ke enam daerah ini memasuki concentrated level epidemic AIDS.
Penyebab tingginya kasus AIDS di enam provinsi itu adalah tidak sehatnya perilaku seksual. Untuk itu diperlukan penanganan serius penularan AIDS, seperti program abstinensi atau puasa seks, be faithful (setia) pada pasangan dan penggunaan kondom. Kasus AIDS juga banyak ditemukan pada pengguna NAZA, khusunya di DKI Jakarta. Penanganannya, lewat peer group education.
Semula kasus AIDS di Indonesia berada pada low level epidemic. Sejak 2000, kasus AIDS di Indonesia meningkat menjadi concentrated level epidemic. Tapi, belum masuk tahap epidemi meluas yang diindikasikan dengan tingkat persentase kasus AIDS pada Ibu hamil mencapai di atas satu persen.
Sedangkan pada masa kini, sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, Nafsiah Mboi mengatakan jumlah perempuan yang terinfeksi HIV AIDS di Indonesia terus meningkat dengan cepat.
Di Indonesia saat ini terdapat sekitar 40 ribu ibu rumah tangga yang terkena HIV AIDS karena tertular dari suami mereka. Pemicu penularan HIV AIDS terbesar sampai saat ini, menurut data Komisi Penanggulangan AIDS Nasional adalah hubungan seksual yang berisiko bahasa halus dari zina.
Pada masa kini sebanyak 3,1 juta pria merupakan penikmat seks bebas dan pelaku zina, lalu 800 ribu lainnya berhubungan seksual sesama jenis. Sedangkan, 230 ribu pengidap terjangkit melalui jarum suntik yang digunakan secara bergantian.
Dilihat dari usia, pengidap AIDS paling banyak terjadi pada kelompok produktif yaitu dengan rentang usia 20 hingga 29 tahun, disusul kelompok umur 30 hingga 39 tahun.
Tahun 2013: Ada sekitar 170.000 sampai 210.000 dari 220 juta penduduk Indonesia mengidap HIV/AIDS. Perkiraan prevalensi keseluruhan adalah 0,1% di seluruh negeri, dengan pengecualian Provinsi Papua, di mana angka epidemik diperkirakan mencapai 2,4%, dan cara penularan utamanya adalah melalui hubungan seksual tanpa menggunakan pelindung.
Jumlah kasus kematian akibat AIDS di Indonesia diperkirakan mencapai 5.500 jiwa. Epidemi tersebut terutama terkonsentrasi di kalangan pengguna obat terlarang melalui jarum suntik dan pasangan intimnya, orang yang berkecimpung dalam kegiatan prostitusi dan pelanggan mereka, dan pria yang melakukan hubungan seksual dengan sesama pria. Sejak 30 Juni 2007, 42% dari kasus AIDS yang dilaporkan ditularkan melalui hubungan heteroseksual dan 53% melalui penggunaan obat terlarang.
Cara penularan yang paling banyak adalah hubungan seks heteroseksual yaitu sebanyak 51 persen. Komisi Penanggulangan AIDS Nasional mempromosikan kondom untuk perempuan sehingga perempuan dapat terlindungi. Sebuah cara yang salah, bahkan tidak menyelesaikan masalah untuk mencegah meningkatnya HIV/AIDS!
Berdasarkan data perkiraan jumlah penduduk Indonesia 0.009 % dari yang tercatat adalah sebagai korban narkoba. Sedangkan 0,001 % tercatat sebagai sindikat pengedar (bandar, pengedar dan sebagainya).
Dalam peredarannya, narkoba diistilahkan sebagai food suplemen yang berguna untuk pengembali kesegaran tubuh. Sebagai pengenalan, biasanya pengedar memberikan narkoba secara cuma-cuma kepada pemakai pemula, yang nantinya akan ketagihan, namun setelah itu, Pengedar menjualnya dengan harga tinggi.
HIV/AIDS hanya bisa dicegah dengan cara menghentikan perilaku zina, termasuk seks menyimpang dan penyalahgunaan obat terlarang. Mengganti kampanye kondom dengan kampanye anti zina dan penolakan terhadap pornografi yang kian marak di ranah public di Indonesia bisa menjadi langkah awal yang perlu dilakukan dengan segera,
Sel Punca atau Sel Induk bisa Sembuhkan Pasien HIV
Timothy Ray Brown, yang dikenal juga dengan julukan “Berlin Patient” diyakini tim dokter telah sembuh dari derita penyakit HIV setelah sebelumnya menerima transplantasi dari tahun 2007 sebagai bagian dari program pengobatan panjang untuk leukemia.
Dr. Michael Saag, Ketua HIV Medical Associationmengatakan, “ini merupakan bukti – menarik konsep bahwa dengan langkah-langkah cantik luar biasa seorang pasien bisa disembuhkan dari HIV,” tetapi terlalu riskan untuk menjadi terapi standarbahkan jika donor yang cocok dapat ditemukan.”
Pasien berkewarganegaraan Amerika Serikat yang tinggal di Jerman ini sebelumnya telah mengidap HIV selama bertahun-tahun, setelah tim dokter memantau dan yakin hingga menuliskan dalam jurnal laporannya bahwa telah melakukan pencapaian kesembuhan dari pasien HIV setelah melakukan pengujian yang ekstensif. Kini Brown tidak lagi memiliki tanda-tanda HIV atau Leukimia.
Meski perkembangan tidak berarti membuktikan obat untuk virus telah ditemukan, mereka pasti bisa memberi harapan bagi lebih dari 33 juta orang yang hidup dengan HIV di seluruh dunia.
Apa Itu Sel Induk? Dalam bahasa Indonesia, sel induk atau stem cell disebut juga sel punca. Ringkasnya, stem cell adalah sel yang masih belum matang dan belum berdiferensiasi (berubah) menjadi sel atau jaringan tertentu. Nantinya sel ini dapat bereplikasi menjadi sel yang serupa atau menjadi sel lain yang sama sekali berbeda.
Dalam bahasa kedokteran, stem cell dapat berupa sel unipoten (hanya dapat berubah menjadi satu jenis sel), multipoten (dapat berubah menjadi beberapa jenis sel), atautotipoten (dapat berubah menjadi jaringan apapun).
Dengan kemampuan inilah stem cell diyakini dapat menyembuhkan sel-sel tubuh yang rusak atau hilang karena penyakit yang berat, dengan cara beregenerasi menjadi organ atau jaringan yang rusak tersebut.
Bagaimana dengan di Indonesia? Menurut mantan Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB-IDI), Dr. dr. Fachmi Idris, kemampuan individual para dokter Indonesia dalam teknologi sudah sangat mendukung untuk perkembangan sel induk / sel punca (stem cell). Ia juga menambahkan bahwa teknologi dan sarana kesehatan di Indonesia sudah sangat memadai untuk menangani tindakan medis, termasuk untuk melakukan pengobatan dengan terapi stem cell.
Sekitar 2008 lalu, Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PABDI) berhasil mengembangkan penggunaan sel punca yang diambil dari sumsum tulang belakang untuk mengobati pasien serangan jantung. Menurut pakar jantung PABDI Prof. dr. Teguh Santoso, PABDI telah berhasil mengobati 15 pasien penyakit jantung di RSCM dan RS Kanker Dharmais dengan menggunakan stem cell dan menuai keberhasilan.
Pada bulan Februari 2013 lalu telah diresmikan Asosiasi Sel Punca Indonesia di Jakarta. Dengan adanya wadah resmi ini, diharapkan Indonesia akan semakin maju dan terus menerus mengembangkan terapi stem cell serta terus melakukan eksperimen di bidang ini. Meski masih diliputi pro dan kontra, harus diakui bahwa terapi stem cell adalah harapan di masa depan bagi banyak orang Indonesia.
Sel Punca, Masa Depan Dunia Kedokteran
Dunia kedokteran terus berkembang, apa yang tidak dapat dilakukan 10 tahun lalu, dapat kita lakukan sekarang dengan mudah. Pemasangan cincin (ring) di pembuluh darah jantung telah dilakukan secara rutin untuk membuka pembuluh darah yang tersumbat. Prosedur ini telah menyelamatkan banyak nyawa. Namun, prosedur seperti ini hanya impian di masa lalu, dimana saat itu penyebab penyakit jantung pun masih menjadi bahan perdebatan.
Kini, sebuah jendela pengetahuan baru juga mulai terbuka, yaitu sel punca atau stem cell. Sel Punca atau stem cell adalah istilah umum yang digunakan untuk menggambarkan sel yang dapat berkembang menjadi berbagai jenis sel. Sel punca merupakan cikal bakal dari semua sel tubuh kita. Jadi kita bisa merangsang dan menumbuhkan sebuah jaringan tubuh tertentu dengan satu sel ini, misal jaringan kulit, otot atau sel darah.
Bayangkan jika seorang kerabat anda menderita sakit jantung, namun dapat kembali sehat karena diberikan sel punca yang dapat menggantikan sel jantungnya yang rusak. Sel punca juga dapat menggantikan jaringan kulit yang rusak pada penderita luka bakar yang luas. Bahkan baru-baru ini telah ditemukan di Jerman bagaimana transplantasi stem cell dapat menyembuhkan seorang penderita AIDS. Menarik bukan? Pentingnya teknologi sel punca mendorong penyelenggaraan kuliah dengan topik ini.
Pada tanggal 8 November 2013 diadakan sebuah kuliah tamu mengenai potensi dari sel punca yang bertempat di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Kuliah tamu ini dihadiri oleh tiga pembicara yang diundang untuk berbicara seputar sel punca.
Pembicara yang hadir meliputi Profesor Sheng Ding (Amerika Serikat), dr. Stephen E. Epstein (Amerika Serikat), dan dr. Boenjamin Setiawan, PhD (founder and honorary chairman Kalbe group).
Sesi kuliah dibuka oleh dr. Boenjamin Setiawan yang memaparkan pentingnya mengembangkan sel punca untuk masa depan kedokteran Indonesia. Selain itu, dr. Boenjamin juga memaparkan tentang berbagai kegunaan sel punca di dunia kedokteran. “Sel punca adalah sel yang mempunyai kemampuan untuk membelah dan berkembang menjadi berbagai bentuk sel/jaringan lain”, ungkapnya.
Manfaat sel punca banyak sekali diantaranya untuk penyembuhan luka, anti-ageing, patah tulang dan masih banyak lagi. Dr. Boenjamin mengakhiri dengan berpesan bahwa perkembangan sel punca di Indonesia masih tertinggal jika dibandingkan dengan negara lain, namun Indonesia masih bisa mengejar karena Indonesia memiliki sumber daya yang diperlukan untuk perkembangan teknologi sel punca ini.
Profesor Sheng Ding melanjutkan sesi kuliah dengan memaparkan hasil penelitian yang telah dilakukannya. Profesor Sheng Ding telah mengidentifikasi berbagai molekul kimia yang dapat digunakan untuk mengatur nasib dari sel punca. Melalui berbagai molekul ini sel punca dapat diprogram sehingga bisa berkembang menjadi berbagai sel dewasa yang kita inginkan. Melalui wawancara eksklusif dengan redaksi Klikdokter, Prof. Sheng Ding juga memaparkan bahwa dirinya yakin dalam beberapa tahun ke depan kita sudah dapat merasakan manfaat dari teknologi sel punca ini.
Sesi kuliah ditutup oleh dr.Stephen E. Epstein. Beliau adalah seorang dokter spesialis jantung yang mendalami hubungan sel punca dengan penyakit jantung. Beliau memaparkan bahwa berbagai penelitian saat ini masih belum dapat menunjukkan manfaat yang signifikan dari terapi sel punca pada penyakit jantung. Namun dr. Stephen berpendapat bahwa hasil ini disebabkan peneliti masih belum menemukan cara yang tepat untuk menggunakan sel punca dengan maksimal. Jika peneliti sudah menemukan cara yang tepat untuk membuka misteri dari sel punca, maka manusia akan mendapatkan manfaat yang besar dai potensi sel punca yang sangat besar.
Kita baru saja memasuki era perkembangan sel punca, sehingga masih banyak yang perlu kita pelajari tentang sel punca ini. Sel punca memiliki potensi yang sangat besar, sel ini dapat menggantikan sel jantung yang rusak, mengganti tulang yang patah atau kerusakan organ lain yang masih belum ada pengobatannya. Ketika teknologi sel punca sudah berhasil, tentu akan banyak sekali nyawa manusia yang dapat diselamatkan (Oleh dr. Alvin Nursalim).
Dua Orang Sembuh HIV-AIDS
Stem-Cell merupakan jenis sel yang terdapat di dalam tubuh seseorang. Sel ini merupakan jenis sel yang dapat berkembang biak dengan sendirinya dan dapat berdiferesiensi menjadi jenis sel lainnya.
HIV merupakan infeksi yang disebabkan oleh virus HIV yang dapat menyerang ke sistem pertahanan tubuh kita yang membuat seseorang rentan terhadap berbagai macam penyakit.
Sebuah penemuan terbaru yang diutarakan oleh Timothy Henrich seorang dokter dari Harvard Medical School, di Amerika menyebutkan bahwa 2 pasiennya yang menderita AIDS ternyata sembuh setelah mendapat terapi stem cell untuk penyakit kanker kelenjar getah bening (lymphoma) yang diderita mereka. Kedua pasien yang secara rutin harus mengkonsumsi obat anti-HIV, setelah mendapat terapi stem cell berhenti mengkonsumsi obat anti-HIV selama 15 minggu dan setelah diperiksa, ternyata tidak ditemukannya virus HIV lagi di dalam tubuh mereka.
Tidak terdeteksinya virus HIV setelah terapi stem cell juga terjadi pada pasien bernama Ray Brown yang juga dikenal sebagai “the Berlin Patient” dimana virus HIV juga hilang dari tubuh beliau setelah mendapat terapi transplan sumsum tulang belakang untuk penyakit kanker darah (leukemia) yang dideritanya.
Namun, penggunaan stem cell untuk terapi secara global sangat sulit mengingat biaya terapi stem-cell yang sangat mahal, tapi kasus terbaru ini mungkin dapat membantu dalam proses melawan penyakit yang telah menginfeksi 34 juta orang di dunia ini.
“Penemuan dr. Henrich merupakan suatu pengetahuan yang dapat membantu usaha penemuan terapi atau vaksin untuk HIV demi eradikasi HIV,” ujar Kevin Robert seorang chief executive dari Foundation for AIDS Research, melihat saat ini obat anti-HIV yang sudah beredar sejak lama sudah didistribusikan dengan baik namun tidak semua penderita mendapat terapi tepat pada waktunya (Oleh: Dewi Ema Anindia).
Penemuan Baru Vaksin AIDS
Pada bulan April 2013, peneliti melaporkan suatu gebrakan yang dapat mengubah dunia yaitu penemuan terbaru tentang antibodi yang dapat menetralisir AIDS. Infeksi HIV merupakan infeksi molekuler yang intensif bermulai dari saat virus menginfeksi inang baru hingga munculnya penyakit AIDS. Perkembangan AIDS bukan karena tubuh kita tidak dapat melawan HIV, namun akibat pertahanan tubuh yang semakin melemah di saat virus tetap bertahan. Saat ini, penelitian yang dipimpin oleh Barton Haynes, Direktur di Duke University Human Vaccine Institute di Duke University School of Medicine, berpendapat bahwa mereka menemukan jalan untuk membantu sistem imun manusia.
Dimulai saat infeksi, sistem imun kita langsung aktif dan mengeluarkan antibodi untuk menghancurkan virus HIV. Pada minggu-minggu pertama, antibodi ini pada umumnya sukses mengeliminasi hampir semua virus namun tetap ada beberapa virus tersisa yang tidak dapat terdeteksi. Virus-virus yang tidak terdeteksi ini, akan bermutasi dan berkembang biak sampai terbentuk antibodi baru untuk membunuh mereka. Hingga mencapai suatu titik dimana pembunuhan dari virus memicu replikasi yang lebih banyak sampai tubuh tidak sanggup lagi melawan virus.
Bagaimana kerja dari vaksin AIDS ?
Seperti yang diterbitkan dalam jurnal “Nature”, dalam penelitannya Haynes mengumpulkan dan menyimpan sampel darah dari 400 pasien, dimulai dari saat infeksi HIV. Haynes menemukan bahwa “neutralizing antibody” muncul setelah 14 minggu infeksi yang dapat berikatan baik dengan virus HIV. Antibodi ini dapat menjadi senjata perang melawan virus, dan merupakan target kuat untuk pembuatan vaksin. Haynes berkata bahwa mereka sudah menemukan cara kerja antibodinya namun yang sekarang sedang dicari adalah bagaimana cara mempergunakan antibodi ini untuk vaksin.
Dalam penelitiannya, Ia menemukan bahwa semufa individu yang terinfeksi oleh HIV, mengeluarkan antibodi ini, namun virus HIV dapat mengelabui sistem imun tubuh. Haynes berpendapat bahwa setiap individu mempunyai cara sendiri untuk melawan HIV, saat ini Haynes dan kolega sedang melakukan peta jalur dari apa yang memicu keluarnya antibodi pada setiap individu, Ia berharap dapat ditemukan jalur yang sama atau mirip antar individu, dimana kesamaan ini dapat menmberi harapan perkembangan vaksin (Oleh: Dr. Dewi Ema Anindia).
(wikipedia/tempo/klikdokter/icc)
*
Around 380,000 people are living with HIV in Indonesia, which has the fastest growing epidemic in Asia. This number has risen sharply in recent years and is expected to more than double by 2014 if approaches to HIV prevention are not improved. This rise is due to several factors including: the country’s extensive sex industry; limited testing and treatment clinics; a highly mobile population; a rapidly growing population of people who inject drugs; and the challenges created by major economic and natural crises (the Asian financial crisis heavily affected the country in 1997, and the 2004 Tsunami devastated parts of Northern Sumatra, the largest island in Indonesia).
High levels of HIV infection are found amongst high-risk groups, such as injecting drug users, sex workers and their clients and to a lesser extent, men who have sex with men. In 2012, HIV prevalence was reported as high as 36 percent among people who inject drugs. However, local regulations often criminalize high-risk groups and it has been identified that some members of the National AIDS Commission, responsible for tackling HIV/AIDS in Indonesia, are failing to address the issue of HIV/AIDS among high-risk groups.Additionally, campaigns to promote condom use among people who engage in high-risk sex have met resistance from some religious groups, who feel that condoms should only be promoted to married couples.
In 2012, the Indonesian government issued compulsory licenses allowing local drug companies to legally bypass drug patents and make their own, cheaper versions for the treatment of HIV and Hepatitis. This development will hopefully increase access to affordable ARV drugs. Currently only 24 percent of people with HIV in Indonesia have access to treatment, with coverage falling even lower among children; the number of children eligible for treatment who are receiving it is estimated to be as low as 11 percent (avert.org).
0 komentar:
Posting Komentar