Oleh: Hafidz Abdurrahman
Ketua Lajnah Tsaqafiyah DPP Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)
Musim Natal tahun ini muncul beberapa
tokoh Muslim nyeleneh yang membolehkan ucapan Selamat Natal dan
aktivitas Natal lainnya dengan berbagai dalih. Artikel ini ditulis
secara khusus untuk membantah dan meluruskan segala argumen yang
membolehkan umat Islam mengucapkan Selamat Natal dan aktivitas Natal
lainnya.
PERTAMA: Keharaman Merayakan Hari Raya kaum Kafir dan Mengucapkan Selamat “Hari Raya”
Kaum Muslim haram mengikuti Ahli Kitab
(Yahudi dan Nasrani) merayakan Hari Natal atau hari raya mereka, serta
mengucapkan ucapan “Selamat Natal”, karena ini merupakan bagian dari
kegiatan khas keagamaan mereka, atau syiar agama mereka yang batil. Kita
pun dilarang meniru mereka dalam hari raya mereka.
Keharaman itu dinyatakan dalam al-Kitab, as-Sunnah dan Ijma’ Sahabat.
Pertama, dalam al-Qur’an, Allah SWT berfirman:
وَالَّذِينَ لا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَاماً
“Dan orang-orang yang tidak
menyaksikankemaksiatan, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang)
yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berguna, mereka lalui
(saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (Q.s. al-Furqan [25]: 72)
Mujahid, dalam menafsirkan ayat tersebut menyatakan, “az-Zûr
(kemaksiatan) itu adalah hari raya kaum Musyrik. Begitu juga pendapat
yang sama dikemukakan oleh ar-Rabî’ bin Anas, al-Qâdhî Abû Ya’lâ dan
ad-Dhahâk.” Ibn Sirîn berkomentar, “az-Zûr adalah Sya’ânain.
Sedangkan Sya’ânain adalah hari raya kaum Kristen. Mereka
menyelenggarakannya pada hari Ahad sebelumnya untuk Hari Paskah. Mereka
merayakannya dengan membawa pelepah kurma. Mereka mengira itu mengenang
masuknya Isa al-Masih ke Baitul Maqdis.” (Ibn Taimiyyah, Iqtidha’ as-Shirath al-Mustaqim, Juz I/537; Anis, dkk, al-Mu’jam al-Wasith, Juz I/488).
Wajh ad-dalâlah (bentuk penunjukan dalil)-nya adalah, jika Allah memuji orang-orang yang tidak menyaksikan az-Zur
(Hari Raya kaum Kafir), padahal hanya sekedar hadir dengan melihat atau
mendengar, lalu bagaimana dengan tindakan lebih dari itu, yaitu
merayakannya. Bukan sekedar menyaksikan.
Kedua, mengenai as-Sunnah, dalil yang menyatakan keharamannya adalah hadits Anas bin Malik ra, yang menyatakan:
قَدَمَ رَسُوْلُ الله [صلم]
اَلْمَدِيْنَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُوْنَ فِيْهِمَا، فَقَالَ: مَا
هَذَا اْليَوْمَانِ؟ قَالُوْا: كُنَّا نَلْعَبُ فِيْهِمَا فِيْ
الْجَاهِلِيَّةِ، فَقَالَ رَسُوْلُ الله [صلم]: إنَّ اللهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْراً مِنْهُمَا: يَوْمَ الأَضْحَى وَيَوْمَ الْفِطْرِ [رواه أبو داود، وأحمد، والنسائي على شرط مسلم]
“Rasulullah saw. tiba di Madinah,
sementara mereka (penduduk Madinah) mempunyai dua hari, dimana mereka
sedang bermain pada hari-hari tersebut, seraya berkata, ‘Dua hari ini
hari apa?’ Mereka menjawab, ‘Kami sejak zaman Jahiliyyah bermain pada
hari-hari tersebut.’ Rasulullah saw bersabda, ‘Sesungguhnya Allah telah
mengganti keduanya dengan hari yang lebih baik: Hari Raya Idul Adhha dan
Hari Raya Idul Fitri.” (Hr. Abu Dawud, Ahmad dan an-Nasa’i dengan syarat Muslim)
Wajh ad-dalâlah (bentuk
penunjukan dalil)-nya adalah, bahwa kedua hari raya Jahiliyyah tersebut
tidak diakui oleh Rasulullah saw. Nabi juga tidak membiarkan mereka
bermain pada kedua hari yang menjadi tradisi mereka. Sebaliknya, Nabi
bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mengganti keduanya dengan hari yang lebih baik.” Pernyataan Nabi yang menyatakan, “mengganti” mengharuskan
kita untuk meninggalkan apa yang telah diganti. Karena tidak mungkin
antara “pengganti” dan “yang diganti” bisa dikompromikan. Sedangkan
sabda Nabi saw, “Lebih baik dari keduanya.” mengharuskan digantikannya perayaan Jahiliyah tersebut dengan apa yang disyariatkan oleh Allah kepada kita.
Ketiga,
tindakan ‘Umar dengan syarat yang ditetapkannya kepada Ahli Dzimmah
telah disepakati oleh para sahabat, dan para fuqaha’ setelahnya, bahwa
Ahli Dzimmah tidak boleh medemonstrasikan hari raya mereka di wilayah
Islam. Para sahabat sepakat, bahwa mendemonstrasikan hari raya mereka
saja tidak boleh, lalu bagaimana jika kaum Muslim melakukannya, maka
tentu tidak boleh lagi.
‘Umar pun berpesan:
إِيَّاكُمْ وَرِطَانَةَ
الأَعاَجِمِ، وَأَنْ تَدْخُلُوْا عَلَى الْمُشْرِكِيْنَ يَوْمَ عِيْدِهِمْ
فِيْ كَنَائِسِهِمْ فَإِنَّ السُّخْطَةَ تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمْ [رواه أبو البيهقيإسناد صحيح].
“Tinggalkanlah bahasa kaum ajam
(non-Arab). Janganlah kalian memasuki (perkumpulan) kaum Musyrik dalam
hari raya mereka di gereja-gereja mereka. Karena murka Allah akan
diturunkan kepada mereka.” (Hr. al-Baihaqi dengan Isnad yang Shahih)
Ibn Taimiyyah berkomentar, “Umar
melarang belajar bahasa mereka, dan sekedar memasuki gereja mereka pada
Hari Raya mereka. Lalu, bagaimana dengan mengerjakan perbuatan mereka?
Atau mengerjakan apa yang menjadi tuntutan agama mereka. Bukankah
melakukan tindakan mereka jauh lebih berat lagi? Bukanlah merayakan hari
raya mereka lebih berat ketimbang hanya sekedar mengikuti mereka dalam
hari raya mereka? Jika murka Allah akan diturunkan kepada mereka pada
hari raya mereka, akibat tindakan mereka, maka siapa saja yang terlibat
bersama mereka dalam aktivitas tersebut, atau sebagian aktivitas
tersebut pasti mengundang adzab tersebut.” (Ibnu Taimiyyah, Iqtidha’ as-Shirath al-Mustaqim, Juz I/515).
Hal senada juga dikemukakan oleh Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah dalam kitabnya, Ahkam Ahl ad-Dzimmah,
Juz I/161. Beliau menyatakan, para ulama’ sepakat tentang keharaman
mengucapkan “Selamat Hari Raya” kepada mereka, tidak ada perselisihan
pendapat.
KEDUA: Mereka Yang Membolehkan
Dr. Quraisy Shihab menyatakan,
memberikan ucapan selamat Natal sudah diajarkandalam al-Qur’an, seperti
tertuang dalam surah Maryam ayat 34.
“Itu tentang Isa putera Maryam, yang merupakan perkataan yang benar, yang mereka berbantah-bantahan tentang kebenarannya.” (Q.s. Maryam [19]: 34)
Ayat ini sama sekali tidak membahas
tentang hukum kebolehan mengucapkan “Selamat Natal”. Menurut
al-Qurthubi, ayat ini menjelaskan tentang siapa Nabi ‘Isa --‘alaihissalam.
Dia adalah putra Maryam, tidak seperti yang dituduhkan orang Yahudi,
sebagai putra Yûsuf an-Najjâr, atau seperti klaim orang Kristen, bahwa
dia adalah Tuhan (anak), atau putra Tuhan. (Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, Juz XI/105).
Dr. Yusuf al-Qaradhawi mengatakan, bahwa
merayakan hari rayaagama adalah hak masing-masing agama,selama tidak
merugikan agamalain. Termasuk hak tiap agama untuk memberikan ucapan
selamat saatperayaan agama lain. Dia mengatakan, “Sebagai pemeluk Islam,
agama kami tidak melarangkami untuk untuk memberikan ucapan selamat
kepada non-Muslim warga negarakami atau tetangga kami dalam hari besar
agama mereka. Bahkanperbuatan ini termasuk dalam kategori al-birr (perbuatan yangbaik).
Sebagaimana firman Allah SWT:
“Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil kepada
orang-orang yang tiada memerangimu karena agama, dan tidak mengusir
kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
berlaku adil.”(Q.s. al-Mumtahanah: 8)
Kebolehan memberikan mengucapkan selamat
ini terutama bila pemeluk agama lain itujuga telah memberikan ucapan
selamat kepada kita dalam perayaan hari rayakita:
“Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka
balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau
balaslah penghormatan itu. Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala
sesuatu.” (Q.s. an-Nisa’: 86)
Begitu, kata Dr. Yusuf al-Qaradhawi. Padahal, Q.s. al-Mumtahanah: 8 di atas, khususnya frasa “Tabarrûhum wa tuqsithû ilaihim”(berbuat
baik dan berlaku adil kepada mereka) tidak ada kaitannya dengan
mengucapkan “Selamat Hari Raya” kepada kaum Kafir yang tidak memerangi
kita. Karena bersikap baik dan adil kepada mereka dalam hal ini terkait
dengan mu’amalah, bukan ibadah.Sedangkan mengucapkan “Selamat
Hari Raya” kepada mereka bagian dari ibadah. Konteks ayat ini terkait
dengan Bani Khuza’ah, dimana mereka menandatangani perjanjian damai
dengan Nabi untuk tidak memerangi dan menolong siapapun untuk
mengalahkan baginda saw, maka Allah perintahkan kepada baginda saw untuk
berbuat baik, dan menepati janji kepada mereka hingga berakhirnya waktu
perjanjian. (Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, Juz XVIII/59).
Jadi, konteks “berbuat baik” di sini
sama sekali tidak ada kaitannya dengan “Selamat Hari Raya” kepada
mereka, yang merupakan bagian dari “berbuat baik”.
Demikian juga dengan Q.s. an-Nisa’: 86. Ayat ini menjelaskan tentang tahiyyah (ucapan salam) yang disampaikan kepada orang Mukmin. Tahiyyah juga
bisa berarti doa agar diberi kehidupan. Menurut at-Thabari, “Jika
kalian didoakan orang agar diberi panjang umur, maka diperintahkan untuk
mendoakannya dengan doa yang sama.” (At-Thabari, Tafsir at-Thabari, Juz V/119).
Namun, menurut al-Qurthubi, tahiyyah
di sini bisa berarti ucapan salam. Jadi, “Jika kalian diberi salam,
maka jawablah salamnya dengan lebih baik.” Hanya, menurut al-Qurthubi,
balasan lebih baik ini dikhususkan kepada orang Islam, jika mereka yang
mengucapkan salam. Jika yang mengucapkan salam orang Kafir, termasuk
Ahli Dzimmah, maka tidak boleh membalas salam mereka, kecuali dengan
jawaban yang diajarkan oleh Nabi, “Wa ‘alaikum.” (Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, Juz V/297).
Jadi, menggunakan ayat ini untuk
membolehkan kaum Muslim mengucapkan “Selamat Hari Raya” kepada kaum
Kafir jelas tidak tepat. Bahkan, bertentangan dengan sejumlah dalil,
baik al-Qur’an, as-Sunnah maupun Ijma’ Sahabat. Meski begitu, Dr. Yusuf
al-Qaradhawi secara tegas mengatakan, bahwa tidak
halal bagi seorang Muslim untuk ikut dalam ritual dan perayaan khas agama
lain.
Adapun Dr. Mustafa Ahmad Zarqa’
menyatakan bahwa tidak ada dalil yang secarategas melarang seorang
muslim mengucapkan selamat kepada orang Kafir.Beliau mengutip hadits
yang menyebutkan bahwa Rasulullah saw pernah
berdiri menghormati jenazah Yahudi. Penghormatan dengan berdiri ini
tidak ada kaitannya dengan pengakuan atas kebenaran agama yang dianut
jenazah tersebut.
Menurut beliau, ucapan “Selamat Hari
Raya” kepada para pemeluk Kristiani yang sedang merayakan hari besar
mereka, juga tidakterkait dengan pengakuan atas kebenaran keyakinan
mereka, melainkanhanya bagian dari mujamalah (basa-basi) dan muhasanah
seorang Muslimkepada teman dan koleganya yang kebetulan berbeda
agama.Dia juga memfatwakan, bahwa karena ucapan selamat inidibolehkan,
maka pekerjaan yang terkait dengan hal itu seperti membuatkartu ucapan
selamat natal pun hukumnya ikut dengan hukum ucapannatalnya.
Namun dia juga menyatakan, bahwa ucapan selamat ini harus dibedakan
dengan ikut merayakan hari besar secara langsung, seperti dengan
menghadiri perayaan natal yang digelar di berbagai tempat.Menghadiri
perayatan natal dan upacara agama lain hukumnya haram dantermasuk
perbuatan mungkar.
Mengenai berdiri atau duduknya Nabi
ketika jenazah Yahudi lewat, sebenarnya bukan dalil khusus, tetapi ini
merupakan tindakan yang dilakukan Nabi secara umum terhadap jenazah,
baik Muslim maupun non-Muslim. Karena dalam riwayat al-Hasan maupun Ibn
‘Abbas dinyatakan, bahwa Nabi terdakang berdiri dan terkadang duduk,
saat ada jenazah melintas di hadapan baginda saw. Ini juga tidak ada
kaitannya dengan mengucapkan “Selamat Hari Raya” kepada mereka. Karena
konteksnya jelas-jelas berbeda.
Tentang pembuatan kartu Natal atau pernak-pernik Natal jelas haram, karena ini menyangkut madaniyyah khâshash yang terkait dengan peradaban lain, di luar Islam, yang nota bene adalah Kufur. Karena itu, hukum membuat, menjual, memanfaatkan dan mengambil harga dan keuntungan darinya juga haram.
Mengenai pernyataan Menteri agama yang
menyatakan, bahwa ini hanyalah masalah mu'amalah, juga merupakan
pernyataan yang tidak cermat. Karena tidak memilah mana yang ibadah dan
mu’amalah. Merayakan Natal Bersama adalah bagian dari ibadah, yang haram
dilakukan oleh kaum Muslim. Bahkan bisa menjerumuskannya dalam
kemurtadan. Sedangkan memberi ucapan “Selamat Hari Raya” bagian dari
mu’amalah yang haram dilakukan oleh kaum Muslim kepada non-Muslim,
apapun alasannya. Apakah untuk mujamalah(basa-basi), yang nota bene adalah sikap nifaq, maupun tasamuh (toleransi).
Pernyataan yang juga menggelikan adalah
pernyataan MUI, yang menyatakan boleh menghadiri, asal serimonialnya
bukan ritualnya. Pernyataan seperti ini juga batil, yang sama sekali
tidak ada dalilnya. Sebab, siapapun yang menelaah dalil-dalil yang
dikemukakan di atas, pasti paham, bahwa jangankan untuk menghadiri
seremoninya, karena melihatnya saja jelas-jelas tidak boleh.
KESIMPULAN
Dari uraian tersebut bisa disimpulkan:
1. Hukum mengucapkan “Selamat Natal”
atau “Selamat Hari Raya” bagi orang non-Muslim dalam hari raya mereka
jelas haram. Dalam hal ini, menurut Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, tidak
ada perbedaan pendapat di kalangan ulama’.
2.Hukum mengikuti ritual maupun seremoni hari raya orang non-Muslim juga haram, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama’.
3. Membuat kartu atau pernak-pernik natal atau hari raya agama lain juga diharamkan, karena ini menyangkut madaniyyah khashahyang bertentangan dengan Islam.
4. Dalil-dalil yang menyatakan
keharamannya juga jelas, baik dalam al-Qur’an, as-Sunnah maupun Ijma’
Sahabat. Sedangkan dalil-dalil yang digunakan untuk menyatakan
kebolehannya sama sekali tidak ada kaitannya, baik langsung maupun
tidak. Karena itu, tidak layak dijadikan hujah dalam masalah ini. Wallahu a’lam.