Oleh Hartono Ahmad Jaiz
Islam Liberal adalah kemasan baru dari kelompok lama yang orang-orangnya dikenal nyeleneh. Kelompok nyeleneh
itu setelah berhasil memposisikan orang-orangnya dalam jajaran yang
mereka sebut pembaharu atau modernis, kemudian melangkah lagi dengan
kemasan barunya, Islam liberal.
Salah satu dari sekian banyak kelompok liberal di Indonesia ada yang menamakan diri JIL –Jaringan Islam Liberal.
Sebagai gambaran betapa
banyaknya lembaga Islam liberal, ada 44 lembaga yang pernah didanai
lembaga kafir Amerika, TAF -The Asia Foundation. (Lihat buku Hartono
Ahmad Jaiz, Jejak Tokoh Islam dalam Kristenisasi, Darul Falah,
Jakarta, 2004). Kemudian di antara pentolan-pentolannya ada yang
menghalalkan homosex seperti Musdah Mulia, dan membela aliran sesat
Ahmadiyah seperti Azyumardi Azra, namun justru mereka ini kemudian
dimasukkan dalam buku 500 Tokoh Islam yang Berpengaruh di Dunia, terbitan Amman Yordan. (Lihat http://nahimunkar.com/18626/buku-500-muslim-berpengaruh-di-dunia-dari-penghalal-homosex-sampai-pentolan-aliran-sesat/).
Kalau boleh diibaratkan secara
gampangnya, lembaga-lembaga liberal seperti JIL, Paramadina dan
semacamnya itu adalah semacam pedagang kaki lima atau kios-kios kecil
yang jualan Islam liberal. Sedang perguruan tinggi Islam negeri
se-Indonesia di bawah Depag, kini Kemenag (Kementerian Agama) itu telah
difungsikan ibarat toko-toko resmi untuk jualan Islam liberal alias
pemurtadan. Itu setelah mereka “kulakan faham kekafiran” dengan cara
intensif menyekolahkan dosen-dosen IAIN se-Indonesia ke perguruan tinggi
kafir di negeri-negeri Barat, Amerika, Eropa, Australia dan sebagainya.
Mereka belajar atas nama studi Islam tapi ke negeri-negeri kafir.
Kemudian hasil “kulakan faham kekafiran” itu dijual di toko-toko resmi
yang ujudnya IAIN, UIN, STAIN dan semacamnya yakni perguruan tinggi
Islam se-Indonesia. Karena jualannya sudah berganti dengan “faham
kekafiran hasil kulakan dari negeri-negeri kafir”, maka untuk
memuluskannya, diubahlah kurikulum IAIN se-Indonesia oleh Harun
Nasution, dari kulrikulum Ahlus Sunnah diganti jadi kurikulum Mu’tazilah
(aliran sesat) yang dia sebut rasionalis. Itu untuk mengubah dari
metode memahami Islam pakai metode yang sehrusnya yakni ilmu Islam itu
sendiri, diganti dengan memahami Islam pakai sosiologi agama ala Barat,
yang memandang agama hanya sekadar fenomena social. Memang Harun
Nasution kulakan sosiologi ala Barat itu dari Universitas Amerika di
Kairo lulus BA jurusan Sosiologi tahun 1952. Kemudian kulakan ilmu
lainnya dari negeri kafir pula di McGill University di Kanada. (Dia bisa
ke sana karena dimasukkan oleh Prof HM Rasjidi, namun belakangan beliau
sangat menyesali setelah kelakuan Harun Nasution bukan membela Islam
tetapi malah sebaliknya itu).
Ada dua jalur yang ditempuh.
Jalur pertama, Depag (kini Kemenag) mengirimkan secara besar-besaran
dosen-dosen IAIN se-Indonesia untuk “kulakan faham kekafiran atas nama
studi Islam” ke negeri-negeri kafir di Barat sejak 1975, dan paling
intensip zaman Menteri Agama Munawir Sjadzali dua periode 1983-1992).
Jalur kedua, Harun Nasution (ditugasi?) mengubah kurikulum dari Ahlus
Sunnah diubah jadi Mu’tazilah (aliran sesat). Sehingga para dosen yang
sudah pulang dari “kulakan faham kekafiran dari Barat” itu tinggal
jualan “faham kekafirannya” ke seluruh perguruan tinggi Islam
se-Indonesia di mana mereka bertugas kembali. Hingga timbul pendapat
yang aneh-aneh. Misalnya, kata Nurcholish Madjid: Iblis kelak masuk
surga dan surganya tertinggi, karena tidak mau sujud kepada Adam.
Astaghfirullah… Iblis itu
jelas Allah katakan membangkang dan sombong, dan dia termasuk
orang-orang yang kafir. Mana ada orang kafir masuk surga?!
Juga pendapat Atho’ Muzhar,
bahwa masjidil Aqsha yang di dalam Al-Qur’an Surat Al-Israa’ itu bukan
di Baitul Maqdis Palestina tetapi di baitul makmur di langit.
Pendapat itu saya (Hartono
Ahmad Jaiz) kemukakan kepada Syaikh Rajab tahun 1993 dalam Konferensi
Mujamma’ Fiqh Islam di Brunei Darussalam yang didampingi Syaikh Khayyath
mantan Menteri Agama Yordan. Maka Syaikh Rajab terheran-heran dan
berkata: “Saya kan imam Masjidil Aqsha di Palestina.”
Demikianlah di antara
kesesatan mereka. Namun atas rekayasa Depag dan Harun Nasution (dulu
Rektor IAIN Jakarta) itu maka mulus lah penjajaan pluralisme agama alias
kemusyrikan baru di perguruan tinggi Islam se-Indonesia. Maka tidak
mengherankan, kemudian muncul reaksi, di antaranya ada buku yang
menyoroti tajam pemurtadan secara lembaga resmi itu yakni tulisan
Hartono Ahmad Jaiz dengan judul Ada Pemurtadan di IAIN
terbit tahun 2005, maksudnya ya perguruan tinggi Islam seluruh
Indonesia. Juga buku Adian Husaini, berjudul Hegemoni… Bahkan kini
Kemenag disinyalir sudah aktif memurtadkan lewat jalur tingkat sekolah
SD, SMP dan SMA dengan memasukkan pendidikan multikulturalisme
(bahayanya sama dengan pluralisme agama atau Islam liberal) pada PAI
(Pendidikan Agama Islam). Yang cukup mencenangkan, pihak Kementerian
Agama (Kemenag) sendiri justru sudah menerbitkan buku mengenai
multikulturalisme ini. Salah satu judul buku Kemenag ini adalah “Panduan Integrasi Nilai Multikultur Dalam Pendidikan Agama Islam Pada SMA dan SMK.” http://nahimunkar.com/17291/multikulturalisme-sama-bahayanya-dengan-pluralisme/
Jadi jangan sampai Ummat Islam kini menganggap bahwa pemurtadan yang dilancarkan Islam liberal sudah sepi. Bukan sepi, tetapi justru sudah masuk secara intensip lewat jalur-jalur resmi yakni perguruan tinggi Islam se-Indonesia. Di samping itu Kemenag juga mengirimkan misionaris-misionaris yang bermuatan sesatnya dan bekerjasama dengan lembaga lainnya. Seperti yang baru-baru ini diterjunkan, 30 Dai “Rahmatan” Kemenag dinilai mengusung faham bahaya: pluralisme agama http://nahimunkar.com/18387/30-dai-rahmatan-kemenag-dinilai-menguasung-faham-bahaya-pluralisme-agama/
Dan itu tidak kurang berbahayanya dibanding pemurtadan yang telah dikenal yakni kristenisasi.
Cara mereka mengemas kesesatan
Mula-mula yang mereka tempuh
adalah mengacaukan istilah. Mendiang Dr Harun Nasution direktur Pasca
Sarjana IAIN (Institut Agama Islam Negeri) Jakarta berhasil mengelabui
para mahasiswa perguruan tinggi Islam di Indonesia, dengan cara
mengacaukan istilah. Yaitu memposisikan orang-orang yang nyeleneh
sebagai pembaharu. Di antaranya Rifa’at At-Thahthawi (orang Mesir
alumni Paris yang menghalalkan dansa-dansi laki perempuan campur aduk)
oleh Harun Nasution diangkat-angkat sebagai pembaharu dan bahkan
dibilang sebagai pembuka pintu ijtihad. Hingga posisi penyebar faham
menyeleweng itu justru didudukkan sebagai pembaharu atau modernis
(padahal penyeleweng agama). Akibatnya, dikesankanlah bahwa posisi
Rifa’at At-Thahthawi itu sejajar dengan Muhammad bin Abdul Wahab pemurni
ajaran Islam di Saudi Arabia. Padahal hakekatnya adalah dua sosok yang
berlawanan. Yang satu mengotori pemahaman Islam, yang satunya memurnikan
pemahaman Islam. Pemutar balikan fakta dan istilah itu disebarkan Harun
Nasution secara resmi di IAIN dan perguruan tinggi Islam se-Indonesia
lewat buku-bukunya, di antaranya yang berjudud Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, terbit sejak 1975.
Pengacauan istilah itu
dilanjutkan pula oleh tokoh utama liberal yakni Nurcholish Madjid. Dia
menggunakan cara-cara Darmogandul dan Gatoloco, yaitu sosok penentang
dan penolak syari’at Islam di Jawa yang memakai cara: Mengembalikan
istilah kepada bahasa, lalu diselewengkan pengertiannya.
Darmogandul dan Gatoloco itu
menempuh jalan: Mengembalikan istilah kepada bahasa, kemudian bahasa itu
diberi makna semaunya, lalu dari makna bikinannya itu dijadikan hujjah/
argument untuk menolak syari’at Islam.
Coba kita bandingkan dengan yang ditempuh oleh Nurcholish Madjid: Islam dikembalikan kepada al-Din,
kemudian dia beri makna semau dia yaitu hanyalah agama (tidak punya
urusan dengan kehidupan dunia, bernegara), lalu dari pemaknaan yang
semaunya itu untuk menolak diterapkannya syari’at Islam dalam kehidupan.
Kalau dicari bedanya, maka
Darmogandul dan Gatoloco menolak syari’at Islam itu untuk mempertahankan
Kebatinannya, sedang Nurcholish Madjid menolak syari’at Islam itu untuk
mempertahankan dan memasarkan Islam Liberal dan faham Pluralismenya.
Dan perbedaan lainnya, Darmogandul dan Gatoloco adalah orang bukan
Islam, sedang Nurcholish Madjid adalah orang Islam yang belajar Islam di
antaranya di perguruan tinggi Amerika, Chicago, kemudian mengajar pula
di perguruan tinggi Islam negeri di Indonesia. Hanya saja cara-cara
menolak Syari’at Islam adalah sama, hanya beda ungkapan-ungkapannya,
tapi caranya sama.
Untuk lebih jelasnya, mari kita simak kutipan tulisan Nurcholish Madjid sebagai berikut:
Kutipan:
“…sudah jelas, bahwa fikih
itu, meskipun telah ditangani oleh kaum reformis, sudah kehilangan
relevansinya dengan pola kehidupan zaman sekarang. Sedangkan perubahan
secara total, agar sesuai dengan pola kehidupan modern, memerlukan
pengetahuan yang menyeluruh tentang kehidupan modern dalam segala
aspeknya, sehingga tidak hanya menjadi kompetensi dan kepentingan umat
Islam saja, melainkan juga orang-orang lain. Maka, hasilnya pun tidak
perlu hanya merupakan hukum Islam, melainkan hukum yang meliputi semua
orang, untuk mengatur kehidupan bersama.” (Artikel Nurcholish Madjid).
Tanggapan:
Kalau Gatoloco menolak
syari’at dengan cara mengkambing hitamkan kambing curian, maka sekarang
generasi Islam Liberal menolak syari’ah dengan meganggap fiqh sudah
kehilangan relevansinya. Sebenarnya, sekali lagi, sama saja dengan
Gatoloco dan Darmogandul itu tadi.
Tuduhan bahwa fiqh telah kehilangan relevansinya, itu adalah satu pengingkaran yang sejati.
Dalam kenyataan hidup ini, di
masyarakat Islam, baik pemerintahnya memakai hukum Islam (sebut saja
hukum fiqh, karena memang hukum praktek dalam Islam itu tercakup dalam
fiqh) maupun tidak, hukum fiqh tetap berlaku dan relevan. Bagaimana umat
Islam bisa berwudhu, sholat, zakat, puasa, nikah, mendapat bagian
waris, mengetahui yang halal dan yang haram; kalau dia anggap bahwa fiqh
sudah kehilangan relevansinya? Bahkan sampai di zaman modern sekarang
ini pun, manusia yang mengaku dirinya Muslim wajib menjaga dirinya dari
hal-hal yang haram. Untuk itu dia wajib mengetahui mana saja yang haram.
Dan itu perinciannya ada di dalam ilmu fiqh.
Bagaimana fiqh disebut
kehilangan relevansinya, sedangkan kitab-kitab Ayatul Ahkam yang
membahas ayat-ayat Al-Qur’an tentang hukum Islam pun biasanya sang ahli
tafsir yang menyusunnya itu masih menyarankan agar para pembaca merujuk
kepada kitab-kitab fiqh untuk mendapatkan pengetahuan lebih luas lagi.
Tidak cukup hanya dari tafsir ayat ahkam itu.
Faham “Islam liberal”
Secara mudahnya, Islam liberal
itu menyebarkan faham yang menjurus kepada pemurtadan. Yaitu
sekulerisme, inklusifisme, dan pluralisme agama.
Sekulerisme adalah faham yang menganggap bahwa agama itu tidak ada urusan dengan dunia, negara dan sebagainya. Inklusifisme
adalah faham yang menganggap agama kita dan agama orang lain itu
posisinya sama, saling mengisi, mungkin agama kita salah, agama lain
benar, jadi saling mengisi. Tidak boleh mengakui bahwa agama kita saja
yang benar. (Ini saja sudah merupakan faham pemurtadan). Lebih-lebih
lagi faham pluralism agama, yaitu menganggap semua
agama itu sejajar, paralel, prinsipnya sama, hanya beda teknis. Dan kita
tidak boleh memandang agama orang lain dengan memakai agama yang kita
peluk. (Ini sudah lebih jauh lagi pemurtadannya). Jadi faham yang disebarkan oleh Islam liberal itu adalah agama syetan, yaitu menyamakan agama yang syirik dengan yang Tauhid.
Tampaknya orang-orang yang
pikirannya kacau dan membuat kekacauan agama seperti itu adalah yang
telah merasakan celupan dari pendeta, atau Yahudi, atau Barat, atau yang
dari awalnya bergaul di lingkungan faham sesat Ahmadiyah dan sebagainya
atau di lingkungan ahli bid’ah.
Berikut ini contoh nyata,
Ahmad Wahib yang mengaku sekian tahun diasuh oleh pendeta dan Romo.
Kemudian fahamnya yang memurtadkan pun disebarkan oleh Johan Effendi,
tokoh Islam liberal yang jelas-jelas anggota resmi aliran sesat
Ahmadiyah. Di antara fahamnya sebagai berikut:
Ahmad Wahib Menafikan Al-Qur’an dan Hadits sebagai Dasar Islam
Setelah Ahmad Wahib berbicara
tentang Allah dan Rasul-Nya dengan dugaan-dugaan, ”menurut saya” atau
“saya pikir”, tanpa dilandasi dalil sama sekali, lalu di bagian
lain, dalam Catatan Harian Ahmad Wahib ia mencoba menafikan Al-Qur’an dan Hadits sebagai dasar Islam. Dia ungkapkan sebagai berikut:
Kutipan:
” Menurut saya sumber-sumber
pokok untuk mengetahui Islam atau katakanlah bahan-bahan dasar ajaran
Islam, bukanlah Qur’an dan Hadits melainkan Sejarah Muhammad. Bunyi
Qur’an dan Hadits adalah sebagian dari sumber sejarah dari sejarah
Muhammad yang berupa kata-kata yang dikeluarkan Muhammad itu sendiri.
Sumber sejarah yang lain dari Sejarah Muhammad ialah: struktur
masyarakat, pola pemerintahannya, hubungan luar negerinya, adat
istiadatnya, iklimnya, pribadi Muhammad, pribadi sahabat-sahabatnya
dan lain-lainnya.” (Catatan Harian Ahmad Wahib, hal 110, tertanggal 17 April 1970).
Tanggapan:
Ungkapan tersebut mengandung pernyataan yang aneka macam.
- Menduga-duga bahwa bahan-bahan dasar ajaran Islam bukanlah Al-Quran dan Hadits Nabi saw. Ini menafikan Al-Quran dan Hadits sebagai dasar Islam.
- Al-Qur’an dan Hadits adalah kata-kata yang dikeluarkan oleh Muhammad itu sendiri. Ini mengandung makna yang rancu, bisa difahami bahwa itu kata-kata Muhammad belaka. Ini berbahaya dan menyesatkan. Karena Al-Qur’an adalah wahyu dari Allah SWT yang dibawa oleh Malaikat Jibril, disampaikan kepada Nabi Muhammad saw, diturunkan secara berangsur-angsur selama 22 tahun lebih. Jadi Al-Qur’an itu Kalamullah, perkataan Allah, bukan sekadar kata-kata yang dikeluarkan Muhammad itu sendiri seperti yang dituduhkan Ahmad Wahib.
Allah SWT menantang orang yang ragu-ragu:
وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (23)
“Dan jika kamu
(tetap) dalam keraguan tentang Al-Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba
Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al-Qur’an itu
dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang
benar.” (QS Al-Baqarah: 23).
- Al-Qur’an dan Hadits dia anggap hanya sebagian dari sumber sejarah Muhammad, jadi hanya bagian dari sumber ajaran Islam, yaitu Sejarah Muhammad. Ini akal-akalan Ahmad Wahib ataupun Djohan Effendi, tanpa berlandaskan dalil.
- Al-Qur’an dan Hadits disejajarkan dengan iklim Arab, adat istiadat Arab dan lain-lain yang nilainya hanya sebagai bagian dari Sejarah Muhammad. Ini menganggap Kalamullah dan wahyu senilai dengan iklim Arab, adat Arab dan sebagainya. Benar-benar pemikiran yang tak bisa membedakan mana emas dan mana tembaga. Siapapun tidak akan menilai berdosa apabila melanggar adat Arab. Tetapi siapapun yang konsekuen dengan Islam pasti akan menilai berdosa apabila melanggar Al-Qur’an dan As-Sunnah. Jadi tulisan Ahmad Wahib yang disunting Djohan Effendi iitu jelas merusak pemahaman Islam dari akarnya. Ini sangat berbahaya, karena landasan Islam yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah/ Hadits telah dianggap bukan landasan Islam, dan hanya setingkat dengan adat Arab. Mau ke mana arah pemikiran duga-duga tapi sangat merusak Islam semacam ini?
Pandangan-pandangan berbahaya
semacam itulah yang diangkat-angkat orang pluralis (menganggap semua
agama itu paralel, sama, sejalan menuju keselamatan, dan kita tidak
boleh melihat agama orang lain pakai agama yang kita peluk) yang
belakangan menamakan diri sebagai Islam Liberal.
Tokoh-tokoh Islam Liberal
Siapa sajakah yang mereka daftar sebagai Islam Liberal?
Dalam internet milik mereka (tahun 2002), ada sejumlah nama. Kami kutip sebagai berikut:
“Beberapa nama kontributor JIL (Jaringan Islam Liberal, pen) adalah sebagai berikut:
- Nurcholish Madjid, Universitas Paramadina Mulya, Jakarta. (mendiang).
- Charles Kurzman, University of North Carolina.
- Azyumardi Azra, IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
- Abdallah Laroui, Muhammad V University, Maroko.
- Masdar F. Mas’udi, Pusat Pengembangan Pesantren dan Masyarakat, Jakarta.
- Goenawan Mohammad, Majalah Tempo, Jakarta.
- Edward Said (beragama Kristen, tapi oleh situs kelompok liberal th 2002, dimasukkan dalam daftar apa yang disebut kontributor JIL).
- Djohan Effendi, Deakin University, Australia.
- Abdullah Ahmad an-Naim, University of Khartoum, Sudan.
- Jalaludin Rakhmat, Yayasan Muthahhari, Bandung. (kini tulisan-tulisannya mencaci sahabat Nabi shallallahu’alaihi wasallam).
- Asghar Ali Engineer.
- Nasaruddin Umar, IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. (kini Wakil Menteri Agama, pernah memberi kata pengantar buku Anand Krishna terpidana cabul 2,5 tahun penjara, padahal buku itu menyebarkan kemusyrikan tapi dpuji-puji oleh Nasaruddin Umar).
- Mohammed Arkoun, University of Sorbone, Prancis. (mendiang)
- Komaruddin Hidayat, Yayasan Paramadina, Jakarta.
- Sadeq Jalal Azam, Damascus University, Suriah.
- Said Agil Siraj, PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama), Jakarta.
- Denny JA, Universitas Jayabaya, Jakarta.
- Rizal Mallarangeng, CSIS, Jakarta.
- Budi Munawar Rahman, Yayasan Paramadina, Jakarta.
- Ihsan Ali Fauzi, Ohio University, AS.
- Taufiq Adnan Amal, IAIN Alauddin, Ujung Pandang.
- Hamid Basyaib, Yayasan Aksara, Jakarta.
- Ulil Abshar Abdalla, Lakpesdam-NU, Jakarta.
- Luthfi Assyaukanie, Universitas Paramadina Mulya, Jakarta.
- Saiful Mujani, Ohio State University, AS.
- Ade Armando, Universitas Indonesia, Depok –Jakarta.
- Syamsurizal Panggabean, Universitas Gajahmada, Yogyakarta.
Mereka itu diperlukan untuk
mengkampanyekan program penyebaran gagasan keagamaan yang pluralis dan
inklusif. Program itu mereka sebut “Jaringan Islam Liberal” (JIL).
Penyebaran gagasan keagamaan
yang pluralis dan inklusif itu di antaranya disiarkan oleh Kantor Berita
Radio 68H (kini bernama Green Radio?) yang dirilay lebih dari 400
pemancar radio swasta di seluruh Indonesia, semula tahun 2002 baru 4 di
Jabotabek (Jakarta Bogor, Tangerang, Bekasi) dan 6 di daerah.
Itu semua untuk penyebaran
Islam Liberal, yang fahamnya adalah pluralis, semua agama itu sama/
paralel, dan kita tak boleh memandang agama lain dengan pakai agama
kita. Sedang faham inklusif adalah sama dengan pluralis, hanya saja
memandang agama lain dengan agama yang kita peluk. Dan itu masih
dikritik oleh orang pluralis.
Itulah pemurtadan lewat jalur yang menggunakan nama Islam dan orang-orang yang mengaku dirinya Muslim.
Menghadapi Islam Liberal
Untuk menghadapi pemurtadan yang diusung Islam Liberal itu sudah ada tuntunan dari Allah SWT dan Rasul-Nya. Di antaranya ayat:
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
“Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku.” (QS Al-Kaafiruun/ 109: 6).
Ibrahim Al-Khalil dan para pengikutnya berkata kepada kaumnya, orang-orang musyrikin:
إِنَّا بُرَآَءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ
“Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamudan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.” (Al-Mumtahanah/ 60: 4) (Tafsir Ibnu Katsir, jilid 2, Darul Fikr, Beirut, hal 509).
Dalam hadits ditegaskan:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ قَالَ « وَالَّذِى نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَ يَسْمَعُ بِى أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الأُمَّةِ يَهُودِىٌّ وَلاَ نَصْرَانِىٌّ ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِى أُرْسِلْتُ بِهِ إِلاَّ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ ». (رواه مسلم).
Diriwayatkan dari Abu
Hurairah dari Rasulullah saw bahwa beliau bersabda: “Demi Dzat yang jiwa
Muhammad ada di tanganNya, tidaklah seseorang dari Ummat ini yang
mendengar (agama)ku, baik dia itu seorang Yahudi maupun Nasrani,
kemudian dia mati dan belum beriman dengan apa yang aku diutus
dengannya, kecuali dia termasuk penghuni neraka.” (Hadits Riwayat Muslim bab Wujubul
Iimaan birisaalati nabiyyinaa saw ilaa jamii’in naasi wa naskhul milal
bimillatihi, wajibnya beriman kepada risalah nabi kita saw bagi seluruh
manusia dan penghapusan agama-agama dengan agama beliau).
Faham inklusifisme dan
pluralisme agama yang diusung oleh Islam liberal/ JIL jelas bertentangan
dengan firman Allah SWT dan sabda Nabi saw. Berarti faham Islam
liberal/ JIL itu adalah untuk merobohkan ayat dan hadits, maka wajib
diperangi secara ramai-ramai. Kalau tidak maka akan memurtadkan kita,
anak-anak kita, dan bahkan cucu-cicit kita.
(nahimunkar.com)
[1] Untuk lebih lengkapnya, silakan baca buku Bahaya Islam Liberal, oleh Hartono Ahmad Jaiz, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2002. Juga buku-buku Hartono Ahmad Jaiz:
1. Aliran dan Paham Sesat di Indonesia.
2. Menangkal Bahaya JIl dan FLA.
3. Ada Pemurtadan di IAIN.
4. Bunga Rampai Penyimpangan Agama.
5. Nabi-nabi Palsu dan Para Penyesat Umat.
6. Lingkar Pembodohan dan Penyesatan Umat, Pustaka Nahi Munkar.
0 komentar:
Posting Komentar