Oleh Christianto Wibisono (Pendiri Institute Kepresidenan Indonesia)
Belajar dari pengalaman kita memiliki 6 presiden dalam 69 tahun bernegara modern Republik Indonesia, kita tentu tidak ingin mengulangi kesalahan dan kekeliruan masa lalu. Marilah kita melakukan pilihan eklektik, dengan sadar menilai baik-buruk, positif-negatif, kinerja maupun blunder dari presiden pertama hingga keenam. Agar presiden ketujuh dapat bercermin dan belajar arif, bijak dan cerdas untuk mengambil putusan yang positif, proaktif dan kreatif serta bermanfaat bagi bangsa dan Negara ini.
Target utamanya tentu harus mengembalikan harkat dan martabat bangsa ini agar berkualitas nomor 4 sedunia secara substansial. Bukan hanya sekedar nomor 4 secara kuantitas numerik. Karena penyakit dan kekeliruan masa lalu, barangkali target itu memerlukan satu generasi, tiga dasawarsa atau tiga orang presiden yang berkualitas dan sanggup bertahan 2 termin hingga 2044. Sehingga tepat usia seabad dibawah presiden ke-10, Indonesia akan menjadi adidaya nomor 4 sesuai kuantitas penduduknya. Tentu saja semua itu mengisyaratkan presiden ke-7, ke-8 dan ke-9 harus berkualitas prima, berkelas negarawan global yang canggih, cermat dan piawai menakhodai kapal induk RI, menjelajah transformasi geopolitik abad 21 yang secara kualitatif berbeda dari abad 20.
Tugas utama Presiden ketujuh adalah berdamai dengan masa lalu, dengan diri sendiri, dan dengan bangsa sendiri dalam semangat kemanusiaan dan kenegarawanan langka gaya Nelson Mandela. Indonesia harus berdamai dengan keturunan PKI, Masyumi, DI/TII dan segala elemen bangsa yang di masa lampau terlibat kekerasan dan permusuhan politik secara brutal, beringas dan nyaris tak beradab. Tentu saja pada dataran kontemporer kita tetap harus menumpas anarki dan terorisme dengan dalih apapun yang memperlakukan sesama manusia secara sadis, biadab terkadang dengan dalih agama, SARA, pertentangan kelas atau sekedar kriminal kejam tanpa motif politik, yang tetap harus memperoleh hukuman pidana yang setimpal.
Dengan rekonsiliasi nasional ini pemerintah harus berjiwa besar mengakui kesalahan masa lalu , meminta maaf dan berusaha tidak mengulangi democide terhadap rakyatnya sendiri. Maka seluruh potensi bangsa ini dapat mulai membangun, bersatu padu dan percaya diri akan ketangguhan bangsa ini yang sudah terbukti mampu membangun Borobudur di abad 9.
Paralel dengan rekonsiliasi maka prinsip meritokrasi harus memberikan pahala kepada mereka yang berprestasi. Sehingga kinerja bangsa ini secara kualitatif meningkat setara dengan kemajuan bangsa lain, tetangga kita maupun bangsa lain di seluruh muka bumi ini.
Mengingat manusia bukan robot, maka dalam proses persaingan global itu dimana kekuatan sumber daya manusia tercanggih di Indonesia harus mampu bersaing ketat dengan bangsa lain, jelas masih akan ada kelompok manusia yang tercecer dalam proses pembangunan multidimensi abad 2. Disinilah kepemimpinan Indonesia harus mampu menyediakan sistem yang memelihara kebutuhan dasar dan pemeliharaan kesejahteraan minimal bagi elemen yang tidak termasuk kelompok produktif kreatif kelas unggulan.
Inilah yang dimaksud dengan negara menyantuni mereka yang memang tercecer karena pelbagai faktor. Kelas menengah harus diperbanyak, sedang yang miskin ditekan secara alamiah. Harus dijaga penyakit kemanjaan bila orang mengganggur dibiayai negara. Alhasil banyak orang malas tidak mau bekerja, hanya ingin memperoleh bantuan langsung tunai atau subsidi dari negara dan pemerintah. Bangsa yang seperti itu tidak akan maju seperti yang dialami Yunani sekarang ini. Manja, malas dan mengandalkan utang atau subsidi dari Negara lain dan pemerintah yang meninabobokkan rakyat dengan dana gampang hasil pinjaman yang tak terbayar.
Itulah akar krisis Yunani dan krisis derivative AS. Karena kemudahan memberikan kredit dengan alasan semua orang berhak memperoleh kredit perumahan atau mortgage. Maka muncullah kredit ninja, dimana orang dengan no income, no job and no asset diberi kredit perumahan secara murah meriah. Semua bangkrut tidak mampu membayar dan melelehlah raksasa seperti Lehman Brothers. Karena terjebak derivative yang jadi fiktif dari kredit perumahan yang bodong, assetnya tergadai utang lalu lenyap tak berbekas dalam kehancuran bursa.
Bangsa ini harus bersaing dengan bangsa lain yang posisinya sudah jauh leibh maju dalam dunia yang semakin multipolar dan merata sehingga tidak ada lagi hegemoni atau dominasi satu negara adi daya.
Dalam 4 abad terakhir sejak Eropa (Barat) meninggalkan Asia (Timur) maka dunia mengenal dominasi 4 imperium global.
Pertama Pax Hispanica, Spanyol menjadi kaya raya karena menguras harta karun emas perak Amerika Latin yang mengakibatkan inflasi dan pelemahan diri sendiri.
Belanda memonopoli perdagangan rempah-rempah dan sumber daya alam Indonesia sehingga menjadi yang terkaya diabad XVII sebagai Pax Neerlandica.
Inggris melampaui Belanda dengan revolusi industro yang memberi loncatan nilai tambah ekonomi secara eksponensial dan merajai dunia dengan Pax Britannica abad XVIII-XIX. Terakhir Pax Americana menggantikan Pax Britannica setelah Perang Dunia I. Kini dunia berada pada era Pax Consortis G20 karena tidak mungkin lagi hanya satu kekuatan menjadi imperium global. Tidak Pax Sinica ataupun Pax Islamica.
Indonesia beruntung sudah masuk dalam jajaran imperium global multilateral G20. Presiden Indonesia tentu harus memahami posisinya sebagai anggota G20, sebagai jangkar ASEAN dan sebagai nation state terbesar ke-4 sedunia dalam kuantitas.
Belajar dari pengalaman presiden pertama hingga keenam dengan pelbagai jatuh bangun, kinerja dan blunder, perlu diingatkan bahaya kultus individu dan ketertutupan dalam diplomasi internasional. Apalagi bila tersandera oleh kepentingan sektarial, partisan dan malah terbajak oleh preman, kriminal dan teroris anarkis atau kelompok ekstremis radikal sok populis, Xenophobia dan primordial primitif.
http://strategi-militer.blogspot.com/
0 komentar:
Posting Komentar