Kawin silang di lini alutsista tentu bukan sesuatu yang tabu,
sepanjang menghasilkan kinerja yang maksimal, ditambah tidak menuai
komplein dari negara pembuatnya, hal itu bisa dilakukan secara efektif,
bahkan mampu menambah daya gempur ketimbang versi aslinya. Implementasi
kawin silang bisa dituangkan dalam banyak hal, semisal dalam program
retrofit, menggabungkan antara cita rasa teknologi barat dan timur.
Contoh yang paling mudah ‘dicerna’ yakni pemasangan meriam Cockerill 90mm pada tank Amfibi Korps Marinir TNI AL, PT-76.
Cockerill 90mm adalah jenis meriam modern buatan Brazil yang
menggantikan meriam lama yang berkaliber 76mm pada PT-76. Kawin silang
dalam retrofit alutsista membuktikan bahwa tenaga Indonesia cukup
kreatif dalam memperpanjang usia alat tempur yang ada. Selain tank
PT-76, campur sari dalam alutsista eks Uni Soviet bisa juga dilihat pada
retrofit panser amfibi BTR-50, dan meriam anti serangan udara S-60 kaliber 57mm.
Seolah menjadi kebiasaan di alutsista TNI, yang di retrofit adalah
platform senjata/ranpur buatan eks Uni Soviet, dengan upgrade sistem
teknologi barat. Tapi ada yang berbeda di lingkungan armada kapal perang
TNI AL.
Pada 16 Desember 1974, lewat program FMS (foreign military sales),
Amerika Serikat melimpahkan 4 unit kapal destroyer escort (perusak
kawal) kelas Claud Jones kepada TNI AL. Empat kapal tersebut adalah USS
Claud Jones (DE-1033), USS John R Perry (DE-1034), USS Charles Berry
(DE-1035), dan USS McMorris (DE-1036). Dengan program FMS, Indonesia
mendapat kemudahan dalam pengadaan dan proses kedatangan 4 perusak ini.
Buat TNI AL, kedatangan perusak kawal ini menjadi sebuah anugrah,
setelah sebagian besar armada kapal perang eks Uni Soviet yang
dimilikinya lumpuh akibat embargo suku cadang pasca G-30S/PKI di tahun
1965.
Belum lama memperkuat TNI AL, armada perusak kawal ini sudah langsung
dihadapkan pada operasi militer yang sesungguhnya di Tanah Air.
Tepatnya di tahun 1975, terjadi pergolakan di Timor Timur, KRISamadikun –
341 (eks USS John R. Perry), KRI Martadinata – 342 (eks USS Charles
Berry), KRI Monginsidi – 343 (eks USS Claud Jones), dan KRI Ngurah Rai –
344 (eks USS McMorris), dipersiapkan untuk mendukung pelaksanaan
operasi Seroja. Meski punya label yang cukup sangar, destroyer escort
yang dirancang pada era perang dingin ini terbilang rentan pada unsur
pertahanan udara. Dari sinilah kemudian muncul ‘kreatifitas’ untuk
meningkatkan kemampuan daya gempur keluarga perusak kawal ini.
US Claud Jones 1033 – (KRI Monginsidi 343) |
Setelah kapal-kapal ini menjadi milik TNI AL, dilakukan pemasangan
meriam kaliber 37mm dan 25mm, masing-masing adalah meriam berlaras
ganda. Kedua meriam ini mempunyai spesifikasi utama sebagai meriam anti
serangan udara, dan memang elemen senjata anti serangan udara pada versi
default Claud Jones terbilang minim, dan rentan pada aspek pertahananan
udara. Pemasangan kedua meriam ini dilakukan pada KRI Samadikun (341)
dan KRI Martadinata (342).
Yang unik adalah meriam-meriam ini sejatinya dicopot dari kapal-kapal
perang eks Uni Soviet yang sudah di-scrap. Meriam-meriam besutan Uni
Soviet ini dipasang pada sisi buritan, menggantikan posisi meriam
kaliber 76mm yang berada di belakang. Sebagai informasi, perusak kawal
ini memang mengandalkan meriam kaliber 76mm laras tunggal, ada dua
pucuk meriam 76mm, satu di haluan dan satu di buritan. Untuk sisi haluan
(depan), meriam 76mm dilengkapi dengan turret (kubah), sedangkan meriam
76mm di buritan tidak dilengkapi dengan kubah.
USS John R. Perry 1034 – akhirnya menjadi KRI Samadikun 341 |
Elemen senjata anti serangan udara kurang begitu diperhatikan, hanya
terdapat 2 pucuk SMB (senapan mesin berat) kaliber 12,7mm, justru kapal
perang yang punya andil dalam blokade saat krisisi Kuba di tahun 1962
ini, lebih fokus pada unsur kekuatan anti kapal selam dan anti
permukaan. Ini dibuktikan dengan hadirnya 2 peluncur torpedo MK.32 atau
MK.46, dimana masing-masing peluncur dilengkapi 3 tabung torpedo. Lalu
masih ada lagi 2 pucuk mortar anti kapal selam Hedgehog MK11. Tapi tetap
saja, yang menarik adalah keberadaan 2 jenis meriam eks Uni Soviet yang
di implant ke kapal perusak buatan AS.
Meriam 70K 37mm (1.45 inchi)
70K 37mm – versi naval laras ganda V-11 |
Meriam ini sudah tergolong sepuh jika saat ini masih digunakan, mulai
dirancang pada akhir tahun 1930-an, dan digunakan secara aktif oleh Uni
Soviet semasa Perang Dunia Kedua. Ada beberapa versi 70K 37mm yang
dibuat, salah satunya adalah versi naval (angkatan laut). AL Uni Soviet
mulai menggunakannya pada armada kapal penyapu ranjau kelas T301 sebelum
invasi Jerman, dan terus memproduksinya hingga tahun 1955. Menurut
informasi, 70K 37mm versi naval telah diproduksi sebanyak 3.113 pucuk,
dan banyak dipakai oleh negara-negara sekutu Soviet.
Meriam 70K 37mm naval version dibuat dalam dua tipe laras, yakni
laras tunggal dan laras ganda (twin barrel). Dan yang dipasang pada KRI
Samadikun adalah jenis 70K 37mm laras kembar, atau disebut kode V-11-M.
Mau tahu bagaimana kehandalan meriam ini? Untuk jarak tembak, bisa
menjangkau 9.500 meter dengan jarak tembak efektif ke permukaan 4.000
meter. Sedangkan untuk melahap sasaran di udara, jarak tembak
maksimumnya 6.700 meter dengan jarak tembak efektif ke udara sejauh
3.000 meter. Untuk kecepatan luncur proyektil, mencapai 880 meter/detik.
Meriam ini diawaki oleh 3 orang, secara teori dalam satu menit meriam
ini dapat memuntahkan 160 sampai 170 peluru, walau dalam praktek
rata-rata yang bisa dimuntahkan adalah 80 peluru per menit. Berat total
meriam ini adalah 3.405Kg dengan panjang laras 2,3 meter. Sebagai meriam
anti serangan udara V-11-M mempunyai sudut elevasi mulai dari -10
sampai 85 derajat. Ada beragam hulu ledak yang bisa dilepaskan, mulai
dari FRAG-T, AP-T, HVAP, dan HE (high explosive). 50 negara tercatat
menggunakan meriam ini, tak cuma sekutu Soviet, uniknya sekutu AS,
seperti Israel dan Thailand pun ternyata ikut mengoperasikan jenis
senjata ini. Saking larisnya, dikemudian hari Cina ikut memproduksi
meriam ini berdasarkan lisensi, dan diberi kode type 65 (tanpa kubah),
dan type 76 (dengan kubah) pada akhir tahun 1980-an.
Meriam 2M3 25mm Twin
2M3 twin 25mm – meriam ini masih dioperasikan manual |
Meriam ini pertama kali diperkenalkan pada tahun 1953. Dioperasikan
dengan sistem amunisi belt, meriam laras ganda ini terbilang banyak
digunakan oleh negara-negara sekutu Soviet. Untuk membidik target, masih
dilakukan secara manual dengan dukungan iron ring sight. Kehandalan
meriam ini dapat dilihat dari jangkauan tembak permukaan yang bisa
mencapai 3.250 meter, dan jarak tembak obyek udara mencapai 2.770 meter.
Secara teori, jangkauan tembak maksimum bisa mencapai 3.400 meter.
Secara teori, 2M2 25mm dapat memuntahkan 450 peluru per menit, meski
dalam prakteknya hanya 270 peluru per menit.
Berat meriam ini mencapai 1.500Kg, mempunyai sudut elevasi mulai -10
sampai 85 derajat. Umntuk urusan amunisi, tersedia jenis AA, AA tracer,
AP tracer. Untuk soal daya tahan, umur laras dapat digunakan hingga
12.000 tembakan, selanjutnya laras harus diganti. Agar tidak panas
berlebih, laras mengusung pendingan udara. Lagi-lagi meriam ini
diproduksi secara lisensi oleh Cina, dan diberi kode type 61.
Besar kemungkinan, 25mm twin gun yang dipasang untuk KRI Samadikun
dan KRI Martadinata berasal dari meriam yang dulunya berada di armada
kapal cepat kelas Komar. Kapal cepat dengan peluncur rudal anti kapal Styx ini
dilengkapi 1 pucuk meriam 25mm untuk tiap kapalnya. Dan TNI AL memiliki
12 unit kapal cepat kelas Komar. Armada Komar menurut informasi resmi
pensiun pada 1985. Bila suku cadang dinilai masih memadai, dan stock
logistic amunisi lumayan banyak, maka wajar bila meriam ini kembali
diberdayagunakan.
Kapal cepat kelas Komar, tampak pada sisi haluan ditempatkan meriam 25mm twin gun |
Samadikun Class – Sejarah Panjang Penuh Kenangan
Setelah dioperasikan oleh TNI AL, maka destroyer escort kelas Claud Jones berubah identitas menjadi perusak kawal kelas Samadikun, karena KRI Samadikun (341) merupakan kapal pertama di armada perusak ini. Dirunut dari sejarahnya, KRI Samadikun mulai diterima TNI AL pada 20 Februari 1973 dan resmi dipensiunkan TNI AL pada 8 September 2005. KRI Martadinata diterima TNI AL pada 31 Januari 1974 dan resmi pensiun dari TNI AL pada 8 September 2005. KRI Monginsidi diterima TNI AL pada 16 Desember 1974 dan pensiun dari TNI AL pada 2 Januari 2003, dan KRI Ngurah Rai diterima TNIAL pada 16 Desember 1974 dan pensiun di tanggal yang sama dengan KRI Monginsidi.
Sepanjang digunakan oleh TNI AL, kapal perang ini punya sumbangsih
yang tak kecil, semisal dalam operasi Seroja, tepatnya pada 25 November
1975, perusak kawal KRI Martadinata (342) melakukan pemboman dengngan
kanon 76mm (3 inchi) ke Atabae, Tailaco, dan daerah Simpang Tiga. Dalam
penembakkan itu, kolonel Laut (P). Rudolf Kasenda bertindak sebagai spotter untuk memandu tembakan dari helikopter NBO-105 yang diterbangkan oleh Kapten Laut (P). Tony, seorang penerbang TNI AL.
Sebelumnya
Claud Jones dilengkapi dua rak bom laut (depth charges) yang biasa
dilepas di buritan, total 18 bom laut bisa dibawa. Tapi seiring
modernisasi, bom laut disingkirkan dan digantikan roket/mortir anti
kapal selam Hedgehog MK11.
Dikutip dari buku Saksi Mata Perjuangan Integrasi Timor Timur, karya Hendro Subroto,
menurut R. Kasenda, dalam rapat gabungan di Kupang pada tanggal 4
Desember 1975, telah diputuskan bahwa kapal perang TNI AL tidak
melakukan penembakan dari laut. Namun demikian, disebabkan faktor
kerahasiaan dan pendadakan kedatangan Komando Tugas Amfibi diketahui
lawan, akhirnya Birgjen Suweno selaku Pangkogasgab memerintahkan
penembakan ke pantai. Pertimbangan penembakan ini dilakukan untuk
menurunkan moril lawan dan mengangkat moril pasukan di bawah komandonya.
Dalam misi pendaratan ini, KRI Martadinata menembakkan kanon 76mm.
Selain KRI Martadinata, dalam operasi Seroja, KRI Monginsidi juga
banyak berperan, seperti dalam misi-misi awal kehadiran TNI diawal
berkecamuknya konflik horizontal di Timor Timur, “Berangkat secepatnya
ke Surabaya, telah disediakan satu destroyer dengan satu kompi marinir
untuk berangkat ke Dili. Selamatkan dan ungsikan konsul Indonesia
beserta seluruh staf dan keluarganya. Keadaan sangat gawat, pertempuran
telah mencapai ibu kota Timor Timur (Timtim). Tugas supaya dilaksanakan
secara bijaksana dengan mempertimbangkan masalah-masalah diplomatik.
23 Agustus 1975 pukul 15:00 WIB ketua misi sampai di Surabaya,
dijemput Assintel Armada Letkol (P) Moh. Arifin di Bandara Juanda. Ketua
misi langsung menuju ke pangkalan AL. Di sana telah menunggu Panglima
Armada Laksamana Rudi Purwana. Panglima menerangkan, kapal baru saja
selesai mengisi bahan bakar dengan menggunakan mobil-mobil tangki sipil,
karena Armada kekurangan mobil seperti itu. Pasukan marinir juga belum
lengkap, karena para anggota yang bediam di luar kota sedang dijemput.
Pada pukul 17:00 WIB, kompi marinir telah siap dan berbaris dengan
rapi di kade. Setelah laporan kepada Panglima Armada, dengan teratur
mereka menaiki tangga KRI Monginsidi. Pada pukul 18:00 WIB kapal mulai
bergerak berlayar perlahan menuju Laut Jawa. Malam pertama diisi
taklimat mengenai tugas yang diemban kepada para perwira dan komandan
kompi marinir.
26 Agustus 1975 pukul 20:00 WIB, KRI Monginsidi meninggalkan Atapupu
dan berlayar perlahan menuju ke arah timur. Kira-kira pukul 23:30 WIB,
kapal sudah mendekati kota Dili yang semua lampunya terlihat padam.
Tembakan-tembakan mortir sudah mulai terdengar beserta kobaran-kobaran
api di daerah pegunungan yang tadinya terlihat samar-samar sudah mulai
tampak terang.
Pada saat gawat itulah misi Indonesia datang dengan kapal destroyer
Monginsidi dan muncul di depan kota dengan lampu-lampu menyala.
Kapal perusak ini mulai dibangun pada tahun 1955, dan masuk dinas US
Navy pada 1959. Meski tidak dilengkapi rudal, perusak kawal ini banyak
dilengkapi sensor, terutama sensor bawah air untuk memburu kapal selam.
Kapal ini diawaki 171 orang (dengan 12 perwira), punya kemampuan jelajah
7.000 mil laut dengan kecepatan maksimum 22 knot yang dihasilkan dari 4
mesin diesel (Fairbanks-Morse 38ND8 diesels). Saat digunakan oleh TNI
AL, armada Claud Jones sudah pernah dilakukan re-engine untuk mengganti
mesin yang sudah tua.
KRI Samadikun 341 dalam sebuah defile |
KRI Monginsidi 343 |
Perusak kawal ini bukan senjata ‘kelas dua’ dimasanya, buktinya AS
mempercayakan USS Claud Jones pada 1960 untuk menyisir pantai Timur
Karibia lalu menyusur ke wilayah utara Eropa untuk bergabung dengan
armada NATO. Saat krisis misil Kuba pada 1962, Claud Jones berperan
sebagai kapal pemimpin operasi dalam kampanye blokade laut terhadap
Kuba. Keluarga kapal Claud Jones juga aktif mendukung operasi militer di
Vietnam, salah satunya dalam operasi ‘Sea Dragon’ dalam memberi bantuan
tembakan kapal.
Penulis sendiri pernah melihat dari dekat KRI Ngurah Rai dalam defile
Arung Samudra di tahun 1995, dan pernah melihat beberapa Samadikun
class saat menjalani masa docking di dermaga Ujung – Surabaya pada tahun
1997.Saat ini semua perusak kawal ini sudah tak lagi digunakan,
teknologinya pun sudah sangat ketinggalan untuk konteks masa kini, dan
TNI AL memutuskan untuk men-scrap kapal-kapal ini. Besar harapan saya,
agar paling tidak ada satu Claud Jones yang tetap dipertahankan oleh TNI
AL, dan dibangun untuk menjadi museum apung. Mengingat sejarahnya yang
panjang, semoga saja ide ini bisa direalisasi, sehingga generasi muda
dapat mengetahui dan merasakan langsung kebesaran TNI AL di masa lalu,
melengkapi keberadaan monumen kapal selam (monkasel).(Haryo Adjie Nogo Seno)
Spesifikasi Claud Jones Class
Tipe : Destroyer escort
Produksi : Avondale shipyard, AS
Berat (kosong) : 1314 ton
Berat (penuh) : 1916 ton
Tinggi : 11,3 meter
Panjang : 95 meter
Lebar : 5,5 meter
Mesin : 4 Fairbanks-Morse 38ND8 diesels
Jarak jelajah : 7.000 mil laut dengan kecepatan 12 knot
Kecepatan max : 22 knot
Radar : SPS-6E-2D Air Search
Sonar : EDO 786, SQS-45(V), SQS-39(V), SQD-42(V)
Awak : 171 (12 perwira)
Tipe : Destroyer escort
Produksi : Avondale shipyard, AS
Berat (kosong) : 1314 ton
Berat (penuh) : 1916 ton
Tinggi : 11,3 meter
Panjang : 95 meter
Lebar : 5,5 meter
Mesin : 4 Fairbanks-Morse 38ND8 diesels
Jarak jelajah : 7.000 mil laut dengan kecepatan 12 knot
Kecepatan max : 22 knot
Radar : SPS-6E-2D Air Search
Sonar : EDO 786, SQS-45(V), SQS-39(V), SQD-42(V)
Awak : 171 (12 perwira)
0 komentar:
Posting Komentar