Anthony Fokker tinggal di Hindia Belanda hanya sampai umur empat tahun karena keluarganya kemudian memutuskan pulang ke Belanda
Anthony Fokker duduk di atas kursi "the Spider", pesawat pertama buatannya sekitar tahun 1911. (National Archief/wikimedia commons).
Tak ada yang mengira jika Anthony Fokker yang lahir di Indonesia akan menjadi tokoh pembuat pesawat tempur, Fokker D VII yang menjadi andalan Jerman selama Perang Dunia I (PD I).
Para petinggi militer Jerman yang mengagumi Fokker D VII juga bahkan tidak mengira jika perancang pesawat tempur yang mereka kagumi, warga asal Belanda yang selalu diposisikan sebagai outsider. Tapi yang pasti Fokker yang dari sejak kecil sudah menggemari rancangan pesawat terbang sudah diprediksi oleh ayahnya, Herman Fokker, jika kelak akan menjadi tokoh besar dalam dunia penerbangan.
Fokker yang lahir di Blitar pada 6 April 1890 dan Indonesia (Dutch East India) waktu itu masih berada di bawah jajahan Belanda, berasal dari keluarga pengusaha perkebunan. Ayahnya merupakan pemilik perkebunan kopi dan hasil panennya merupakan barang ekspor bernilai tinggi ke sejumlah negara Eropa. Fokker tinggal di Indonesia hanya sampai umur empat tahun karena keluarganya kemudian memutuskan pulang ke Belanda dan menetap di kawasan Haarlem.
Ketika memasuki usia sekolah, dari sekolah dasar hingga sekolah menengah, Fokker selalu membuat pusing guru dan orang tuanya karena kegemarannya menggambar mesin khususnya rancangan mesin kereta api dan pesawat. Ketertarikan Fokker terhadap pesawat terbang makin menggila ketika menyaksikan demo flight yang dilaksanakan perancang pesawat pertama di dunia, Wilbur Wright, pada 1908 di Le Mans, Perancis. Kegemaran membuat rancangan mesin itu membuat Fokker tak bisa fokus terhadap mata pelajaran lainnya sehingga mengakibatkan dirinya drop out dari sekolah menengah.
Ayahnya yang menyadari jika anaknya sangat berminat terhadap rancangan mesin mobil dan pesawat terbang lalu mengirimkan Fokker untuk sekolah teknik mesin mobil di J Bingen Technical School, Jerman. Karena ketertarikan utama Fokker tetap pada mesin pesawat terbang, ia kemudian dipindah ke Erste Deutsche Automobil Fachshule yang berada di kawasan Mainz.
Pendidikan teknik penerbangan yang dijalani Fokker segera menunjukkan hasilnya setelah dirinya sukses membuat pesawat rancangannya sendiri, De Spin. Aksi penerbangan Fokker menggunakan De Spin menjadikan dirinya bak selebriti ketika pada Agustus 1911, ia melaksanakan demo flight di sekeliling menara Sint Bavokerk yang menjulang di Harlem. Fokker bahkan diundang terbang di atas Belanda untuk memperingati hari ulang tahun Ratu Wilhelmina. Tapi karena Fokker juga bermental pengusaha dan melihat pasar potensial untuk mengembangkan bisnis pesawat berada di Jerman, Fokker pun kembali lagi ke negara tempat menimba ilmu itu.
Warga Jerman
Pada tahun 1912, Fokker kembali ke Jerman dan menetap di Johannistal, Berlin dan kemudian mendirikan pabrik pesawat terbang, Fokker Aeroplanbau. Ketika pabriknya terus berkembang dan memproduksi berbagai tipe pesawat, Fokker memindahkan pabriknya ke kawasan Schwerin dan mengubah nama pabriknya menjadi Fokker Werke GmbH. Salah satu pesawat berbahan kayu yang dirancang Fokker dan secara teknis terinspirasi pesawat produksi Perancis, Morane Sauliner, selanjutnya menjadi pesawat tempur andalan Jerman. Atas lisensi dari pabrik pesawat Perancis, Le Rhone, Fokker bahkan berhasil mengembangkan beragam pesawat tipe baru dan memiliki kualitas lebih baik dibandingkan pesawat asli yang ditirunya.
Sebagai perancang pesawat terbaik di Jerman dan masih berkewarganegaraan Belanda, pada awalnya Fokker tetap dianggap orang asing yang tidak perlu dikagumi. Rancangan Fokker kadang masih dianggap kelas dua oleh para perancang asli Jerman. Salah satu rancangan Fokker yang mumpuni adalah sistem rotary engine yang secara kemampuan (power) dan kualitas lebih unggul dibandingkan sistem rotary engine buatan perancang Jerman.
Meskipun mendapat perlakuan diskriminatif, Fokker memilih mengalah. Karena selama tinggal di Jerman dirinya sudah maklum terhadap warga Jerman (ras Germania) yang selalu merasa lebih unggul dibandingkan bangsa lainnya. Namun ketika militer Jerman mulai memikirkan pentingnya pesawat dalam pertempuran, Fokker diterima sebagai warga Jerman (1914) dengan syarat pesawat hasil rancangannya harus bermanfaat bagi militer Jerman.
Seiring dengan pecahnya PD I produksi pesawat rancangan Fokker yang digunakan untuk bertempur makin beragam. Seperti pesawat tempur, Fokker E I yang sengaja dirancang Fokker untuk kepentingan militer Jerman, langsung membuat militer Jerman tertarik karena sistem penembakkan senapan mesinnya sudah bisa sinkron dengan putaran baling-baling pesawat. Meskipun pembuatan Fokker E I merupakan pengembangan Morane Sauliner berkat mesin rancangan terbaru, pada PD I yang berlangsung Juli 1915, Fokker E I yang mendapat julukan Fokker Fodder merajai medan pertempuran udara di kawasan Eropa Barat hingga satu tahun.
Sistem penembakan senapan mesin yang pelurunya melintas di antara putaran baling-baling sebenarnya bukan murni rancangan Fokker sendiri. Melainkan pengembangan dari pesawat sitaan Perancis yang berhasil ditembak jatuh dan disita militer Jerman. Pilot Perancis yang tertawan, Roland Garros yang tertembak jatuh pada April 1915, kebetulan merupakan salah satu perancang alat penembakkan (synchronization device) itu dan memberikan banyak masukan kepada teknisi Jerman saat ditawan. Fokker termasuk teknisi yang paling dominan dalam pengembangansynchronization device itu dan bisa merampungkan karyanya dalam waktu 48 jam.
Memasuki 1916 pertempuran udara di atas Eropa makin mematikan berkat hadirnya pesawat biplane tipe baru Fokker D II dan D III, yang memiliki kemampuan lebih cepat (150 kilometer per jam) dan bersenjata senapan mesin tunggal IMG 08 kaliber 7,92 mm. Tapi keunggulan Fokker D II dan DIII ternyata tersaingi oleh pesaingnya, pesawat tempur biplane Albatros DI dan DII yang menggunakan mesin lebih kuat, Mercedes. Karena kalah performa, Fokker D II dan DIII oleh militer Jerman kemudian ditawarkan kepada Belanda yang selama PD I menyatakan diri sebagai negara netral.
Akibat penurunan kemampuan mesin Fokker itu, bahkan setelah mesin Mercedes dipasang menjadikan tahun 1916 merupakan masa suram bagi Fokker. Lembaga pengawas penerbangan militer Jerman, Inspektion der Fliegertruppen (Idflieg) bahkan memerintahkan agar Fokker bekerja sama dengan industri penerbangan lainnya untuk meningkatkan mutu. Apalagi pada tahun yang sama kepala perancang Fokker, Martin Kreuzer tewas akibat kecelakaan pesawat. Peran Martin kemudian digantikan oleh Franz Moser yang kelak sukses merancang pesawat Fokker, Dr 1 triplane, D VIIbiplane, dan D VIII monoplane.
Di bawah kepemimpinan Martin, Fokker Werke GmbH mengalami kemajuan yang signifikan ketika Menteri Penerbangan Jerman (Air Ministry) turun tangan dan memerintahkan merger antara Fokker serta industri penerbangan Hugo Junker. Tujuan merger itu adalah untuk memenuhi kebutuhan pesawat tempur bagi Imperial German Army Air Service (Luftstreitkraffe) Pesawat yang kemudian berhasil dirancang dan diproduksi adalah triplane Dr I (Dreidecker I) yang kemudian diproduksi secara massal pada musim panas 1917. Ketika diturunkan di medan tempur Eropa Barat, Dr I ternyata mengalami masalah teknis dan harus dibayar dengan gugurnya sejumlah pilot Jerman. Militer Jerman pun segera memerintahkan grounded Dr I dan sekaligus melaksanakan perbaikan (modifikasi).
Untuk kemampuan menanjak dan bermanuver, Dr I tidak mengalami masalah. Tapi untuk kecepatan dan aerodinamika sayap Dr I perlu dilakukan perbaikan. Modifikasi yang dilakukan terhadap Dr I adalah pemasangan sayap model biplane, V-11 dan penggantian mesin baru menggunakan Mercedes DIII. Berkat modifikasi itu, Fokker Dr I pun menjadi pesawat tempur unggulan dan berhasil mencetak pilot ace tersohor Red Baron Manfred von Richthofen.(A. Winardi/angkasa.co.id)
0 komentar:
Posting Komentar