LICIK. Mungkin ini kata yang tepat untuk merefleksikan perilaku China dalam menjalankan ekspansi klaim kedaulatan di Laut China Selatan. Secara sepihak, untuk mengukuhkan klaim kedaulatannya, Beijing mengeluarkan paspor dengan peta daratan China dan sembilan garis putus-putus berbentuk seperti huruf U di Laut China Selatan.
Kelicikan China memanfaatkan paspor dengan gambar peta wilayah sengketa di Laut China Selatan itu disebut Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa sebagai disingenuous (tidak tulus), sekaligus membuktikan bahwa salah satu sifat kebangkitan China adalah ketidaktulusannya. Perilaku ini jelas menghambat dan mencerminkan China akan menggunakan segala cara untuk mengklaim wilayah sengketa.
Protes tidak hanya datang dari Vietnam dan Filipina yang bersengketa dengan China di Laut China Selatan, tetapi juga dengan India, yang menganggap klaim sepihak China atas wilayah Aksai Chin dan Arunachal Pradesh ”tidak bisa diterima”.
Hampir bisa dipastikan tindakan unilateral China ini akan diikuti Jepang yang juga sedang dalam sengketa teritorial dengan China terkait Kepulauan Senkaku di Laut China Timur.
Diharapkan, perilaku agresif China, yang memperlihatkan pengembangan kekuatan armada lautnya dengan keberhasilannya mendaratkan dan menerbangkan pesawat tempur J-15 dari kapal induk Liaoning awal pekan ini, tidak diikuti dengan kelicikannya melakukan manuver politik internasional yang berbahaya. Jelas penerbitan paspor baru berisi peneguhan klaim sepihak itu mengancam stabilitas dan dinamika kawasan.
Ada beberapa faktor yang harus bisa dimengerti bersama, termasuk oleh China, dalam melihat perubahan konstelasi global yang memiliki dampak luas, termasuk di bidang ekonomi dan perdagangan. Faktor pertama, dilema keamanan di beberapa wilayah dunia, khususnya di kawasan Laut China Selatan, harus diperhitungkan untuk tak menjadikan langkah pengamanan kepentingan nasional akan bisa dilihat sebagai ancaman terhadap negara lain yang memerlukan respons memadai dan setimpal.
Kedua, geopolitik di Laut China Selatan sekarang dihadapkan pada kenyataan strategi baru kekuatan trilateral yang melibatkan AS, China, dan India. Perimbangan kekuatan trilateral ini bisa menjadi ancaman serius ketika salah satu pihak beraliansi menghadapi lainnya.
India mengerti kekuatan armada lautnya bukan tandingan armada China yang makin canggih, tetapi juga tak berharap terlalu bertumpu pada aliansi dengan AS. China tak menginginkan India menjadi pesaing kekuatan regional dan juga menahan agar India tak terdorong ke aliansi dengan AS.
Ketiga, ”Dilema Malaka” perlu diproyeksikan secara transparan oleh para pemikir strategi China dalam menyusun pilihan kebijakan di Selat Malaka sebagai jalur laut penting bagi kebutuhan energinya.
Tindakan unilateral China atas klaim tumpang tindih kedaulatan dengan perilaku liciknya bisa menyebabkan insiden yang bisa tanpa disengaja bereskalasi menjadi konflik terbuka yang merugikan siapa saja, termasuk China sendiri.
sumber
0 komentar:
Posting Komentar