Oleh: mediakita
Reformasi Mei 1998 menumbangkan
Presiden Soeharto ternyata didalangi dan dibiayai pemerintah Amerika
Serikat. Siapa tokoh yang menerima dollar itu selain Advokat terkemuka
Adnan Buyung Nasution yang sudah disebut koran The New York Times?
Dosa apa yang telah kita perbuat
sehingga Yang Maha Kuasa menjadikan bangsa ini seakan terkutuk? Coba
lihat apa yang terjadi setiap hari: tawuran massal di mana-mana,
terutama antara polisi atau aparat pemerintah dengan rakyat, atau
kelompok rakyat dengan rakyat.
Korban Narkoba meluas, penyakit
menular AIDS kian tak terkendali. Penyakit yang terutama ditularkan
melalui hubungan seksual bebas itu kini sudah memakan korban sampai ke
desa-desa. Dan kita seakan kehilangan akal untuk mengatasinya. Dulu kita
pikir penyakit itu cuma berkecamuk di Thailand, negeri tetangga dengan
pelacuran yang tersebar luas. Kini dalam soal pelacuran Indonesia lebih
hebat dari Thailand. Wajar wabah AIDS pun berkecamuk.
Dan yang paling mengerikan adalah
wabah korupsi. Pengamat Indonesia dari Northwestern University (Amerika
Serikat), Jeffrey A. Winters menyebutkan bahwa demokrasi berjalan dengan
amat maju di Indonesia. Indonesia adalah negeri paling demokratis di
Asia Tenggara. Tapi menurut Winters kemajuan demokrasi itu tak disertai
dengan tegaknya hukum. Akibatnya korupsi merajalela dan menyebarkan rasa
ketidak-adilan yang meluas di kalangan rakyat.
Tiga belas tahun lalu, ketika tokoh
Muhammadiyah Amin Rais atau pengacara Adnan Buyung Nasution meneriakkan
jargon reformasi di bulan Mei 1998, menuntut turunnya Presiden Soeharto,
yang mereka maki-maki adalah wabah korupsi yang meluas. Waktu itu
sangat populer jargon KKN (Korupsi Kolusi dan Nespotisme).
Semua para tokoh reformasi
berteriak-teriak sampai suaranya parau, bahwa mereka adalah orang yang
paling anti-KKN alias korupsi, kolusi, dan nespotisme. Amin Rais, Adnan
Buyung Nasution, Todung Mulya Lubis, Goenawan Mohammad, Faisal Basri,
Hatta Rajasa, dan yang lain-lain menjadikan Presiden Soeharto sebagai
simbol KKN dan mereka para pemimpin reformasi adalah tokoh anti-KKN.
Maka Soeharto mengundurkan diri sebagai
Presiden, 21 Mei 1998, tepat 13 tahun lampau. Indonesia pun memasuki
era baru yaitu zaman reformasi. Tapi apa yang terjadi? Ternyata
korupsi-kolusi-dan nepotisme (KKN) yang jadi jargon reformasi 1998,
sedikit pun tak berkurang, malah tambah merebak dan meluas ke
daerah-daerah.
Tampaknya reformasi ini memang sudah
salah sejak awal. Betapa tidak? Bukti-bukti menunjukkan reformasi 1998
itu bukan inisiatif dan upaya kita sendiri melainkan hasil dari campur
tangan asing. Reformasi 1998 itu didalangi dan dibiayai pihak asing
dengan 26 juta Dollar Amerika Serikat atau dengan kurs sekarang Rp 200
milyar lebih. Sebuah jumlah yang cukup besar.
Menurut
The New York Times, koran terkemuka Amerika Serikat edisi 20 Mei 1998
yang ditulis wartawannya, Tim Weiner, pemerintahan Presiden Amerika
Serikat Bill Clinton bermain dua muka di Indonesia. Di satu pihak
Clinton terus menyokong pemerintahan Presiden Soeharto. Tapi di pihak
lain mereka diam-diam mendukung kelompok oposisi dengan harapan akan
terjadi transisi menuju masyarakat demokratis di Indonesia.
Melalui badan bantuan resmi pemerintah
Amerika Serikat, United State’s Agency for International Development
(US-AID), pemerintah Amerika Serikat mencurahkan duit kepada
kelompok-kelompok oposisi di Indonesia sejak 1995, yang jumlahnya
mencapai 26 juta dollar.
Jumlah itu, menurut The New York Times,
bagi pemerintah Amerika Serikat adalah kecil. Tapi ia merupakan jumlah
yang penting untuk menghidupkan gerakan penegakan hak asasi manusia dan
demokrasi di Indonesia. Sebagian dari uang 26 juta dollar itu, misalnya,
merupakan sumber utama untuk mendukung Yayasan Lembaga Bantuan Hukum
Indonesia (YLBHI) yang dipimpin Adnan Buyung Nasution, tokoh utama dalam
gerakan menegakkan demokrasi dan hak-hak sipil pada waktu itu.
Atau seperti ditegaskan Sharon Cromer,
Deputi Direktur US-AID, Amerika Serikat membantu pembela hak-hak sipil
untuk memonitor isu-isu hak asasi manusia (HAM), memobilisasi pendapat
umum (opini publik), dan memonitor pelanggaran hukum dan korupsi (KKN).
Untuk itu duit 26 juta dollar dibagi-bagikan kepada sekitar 30 LSM
Indonesia.
Sampai sekarang, misalnya, isu bantuan
US-AID sebesar 26 juta dollar kepada para tokoh LSM di Indonesia lebih
banyak dipergunjingkan dengan bisik-bisik. Siapa saja para tokoh LSM
atau kelompok oposisi yang menerima dollar itu dan berapa jumlahnya tak
pernah jelas.
Dan satu lagi, bantuan itu tak pernah
dilaporkan kepada pemerintah. Padahal sesuai undang-undang, mestinya
semua bantuan luar negeri kepada pihak swasta di Indonesia harus
dilaporkan kepada Kementerian Dalam Negeri. Bila tak dilaporkan, itu
merupakan pelanggaran hukum.
Jadi
sebetulnya bila hendak diusut dengan serius siapa saja para tokoh kita
yang mendapat dollar dari Amerika Serikat untuk menjatuhkan Presiden
Soeharto, bukan persoalan yang terlalu sulit. Soalnya sudah terbuka
melalui pemberitaan koran The New York Times itu.
Kabarnya kasus ini menjadi masalah dan
muncul ke permukaan karena gerakan yang dilakukan Freeport Mc-Moran
Copper and Gold of New Orleans, perusahaan tambang emas dan perak milik
Amerika Serikat di Papua. Perusahaan ini merasa terus-menerus
‘’dihantam’’ LSM dari Indonesia Walhi. Serangan terutama ditujukan
terhadap masalah pencemaran lingkungan yang dilakukan perusahaan modal
asing terbesar di Indonesia ini dalam pembuangan limbah tambang.
Sebagai
perusahaan pembayar pajak di Amerika Serikat, Freeport merasa Walhi
yang juga dapat bantuan dari US-AID (dananya berasal dari pajak rakyat
Amerika Serikat) tak layak untuk berusaha menutup PT Freeport. Karena
itu mereka meributkannya di Amerika Serikat. ‘’Walhi mau menutup
perusahaan kami. Itu rencana mereka yang sangat jelas,’’ kata Garland
Rubinette, juru bicara perusahaan itu seperti ditulis The New York Times
waktu itu. Dari ribut-ribut itulah kisah bantuan US-AID 26 juta dollar
itu merebak keluar dan kemudian menjadi berita The New York Times dan
media lainnya.
Sekarang, setelah 13 tahun, sudah cukup
jauh jaraknya peristiwa itu dengan kita sehingga mestinya sudah tiba
saatnya bagi kita untuk mencoba obyektif terhadap peristiwa yang terjadi
pada waktu itu. Yaitu peristiwa terbunuhnya 4 mahasiswa Trisakti di
kampusnya oleh peluru yang ditembakkan sejumlah polisi pada 12 Mei 1998,
dan reaksi yang mengikutinya, yaitu gerakan demostrasi massa menuntut
mundurnya Presiden Soeharto, yang kemudian berkembang menjadi gerakan
huru-hara dan kerusuhan 13 dan 14 Mei 1998.
Apa yang terjadi pada waktu itu semua
harus dibuat jelas dan dia akan menjadi fakta sejarah yang akan menjadi
pelajaran bagi anak dan cucu kita. Oleh karena itulah betapa pentingnya
membuat jelas dana 26 juta dollar yang diambur-amburkan US-AID untuk 30
LSM di negeri ini guna menjatuhkan Presiden Soeharto.
Kita harus memperjelas dari mana
sebenarnya datang ide tentang reformasi 1998? Kalau ternyata ide itu
berasal dari para aparat US-AID, apalagi dari agen CIA, tentu itu
merupakan catatan kelam bagi sejarah kita. Juga perlu diperjelas: siapa
saja tokoh 30 LSM yang menerima dollar dari US-AID? Kenapa duit 26 juta
dollar ini tak pernah diungkap secara transparan? Apakah karena telah
terjadi korupsi?
Berbagai survei menunjukkan memang
korupsi begitu meluas di negeri ini. Setiap hari kita membaca koran atau
memirsa televisi selalu muncul perkara korupsi baru. Para menteri,
gubernur, bupati, anggota DPRD, DPR, atau para pejabat lainnya, sudah
tak sedikit yang menghuni penjara Cipinang atau penjara lain di
Indonesia.
Komisi Pemberantasan Korupsi tak
henti-hentinya menjebak para koruptor dan penerima suap, tapi suap dan
korupsi tak pernah berkurang. Kita seakan sudah panik, tak tahu apa lagi
yang dilakukan untuk melawan korupsi.
Belakangan KPK menangkap basah Wafid
Muharam, Sekretaris Menteri Pemuda dan Olahraga, bersama Mindo Rosalina
Manulang, Direktur Marketing PT Anak Negeri, dan Mohamad El Idris,
Manajer PT Duta Graha Indah (DGI).
Perusahaan yang disebut belakangan
adalah pemenang tender pengerjaan Wisma Atlet di Palembang yang
dipersiapkan untuk SEA Games akhir tahun ini. Perusahaan ini juga
disebut sebagai calon kuat untuk mengerjakan pembangunan gedung baru
DPR-RI yang ditantang rakyat itu.
Ketika ketiganya ditangkap basah di
kantor Wafid Muharam, kompleks kantor Menteri Pemuda dan Olahraga,
ditemukan cek senilai Rp 3,2 milyar beserta duit kontan dalam berbagai
mata uang asing dan rupiah. Yang memalukan ada duit yang ditemukan di
keranjang sampah. Rupanya uang itu sempat dibuang ketika tahu petugas
KPK datang untuk menggeranyangi kantor Muharam.
Tapi yang paling parah bukan itu.
Pertama, kasus ini bisa merebak sampai ke Menteri Pemuda dan Olahraga
Andi Mallarangeng. Adalah kurang masuk akal, Wafid Muharram selaku
Sekretaris Menteri punya wewenang menentukan sehingga dia harus disogok
duit milyaran rupiah. Selain itu, keterlibatan Mindo, wanita muda asal
Batak itu, adalah sebagai penghubung antara perusahaan tadi dengan
aparat pemerintah.
Nama Mindo kemudian terhubung kepada
Nazaruddin yang tak lain adalah Bendahara DPP Partai Demokrat, partai
penguasa yang dipimpin Presiden SBY. Selain itu terhubung pula dengan
anggota DPR Angelina Sondakh yang juga salah satu Bendahara Partai
Demokrat. Dengan terkaitnya nama Menteri Andi Mallarangeng yang juga
tokoh partai itu, boleh dikata inilah pertama kali sebuah kasus korupsi
melibatkan langsung begitu banyak tokoh partai yang sedang berkuasa.
Dengan peristiwa ini – dan banyak
peristiwa korupsi lainnya – tekad Presiden SBY untuk memberantas korupsi
hanya tinggal slogan kosong. Apalagi sebelumnya Presidenn SBY sendiri
dituduh dua koran Australia, The Age dan The Sydney Morning Herald
terlibat korupsi, antara lain karena hubungannya dengan pengusaha Tomy
Winata.
Sumber berita kedua koran itu tak
main-main: laporan Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta yang bocor
kepada situs pembobol Wikileaks. Jadi mungkin benar bahwa negara ini
sekarang memang sedang menerima azab yang besar.
0 komentar:
Posting Komentar