Tokoh bangsa yang memiliki segudang kontradiksi di dalam dirinya. Soekarno adalah seorang yang besar, siapa pun tidak akan menyanggah hal itu. Demi menggapai impian memerdekakan negeri dan bangsanya, Soekarno rela menghabiskan 25 tahun kehidupannya di dalam penjara kaum penjajah. Dia juga bukan tipe pemimpin yang korup, sesuatu yang membuatnya sangat berbeda dengan sosok Jenderal Suharto. Walau demikian, sebagai seorang manusia biasa, Soekarno juga memiliki sejumlah catatan buruk yang tidak boleh diulang oleh generasi penerus bangsa ini.
Diakui atau tidak, di mata rakyat kecil,
nama Soekarno masihlah harum. Sebab itu, walau Soekarno telah wafat
puluhan tahun silam, namun sampai sekarang masih saja banyak orang yang
‘memperalat atau menunggangi' kebesarannya demi menggapai ambisi pribadi
dan juga kelompoknya. Dari yang mengaku sebagai titisan Soekarno,
seperti yang dilakukan oleh pemimpin aliran sesat Satrio Piningit yang
menyita perhatian publik nasional awal Februari lalu, sampai dengan
‘tradisi' seorang Megawati Soekarnoputeri yang selalu memajang foto atau
gambar Bung Karno sebagai latar belakang foto dirinya.
Apa yang diperbuat Megawati adalah suatu
hal yang sesungguhnya wajar, karena secara biologis, Megawati memang
adalah anak kandung Soekarno dari isterinya yang bernama Fatmawati.
Namun fakta sejarah telah menunjukkan jika klaim tersebut hanya cukup
sampai di situ, karena secara prinsip politik dan ekonomi, kebijakan
yang diambil Megawati ternyata malah bertolak-belakang dengan
prinsip-prinsip politik dari seorang Soekarno.
Untuk memaparkan apa adanya tentang
Soekarno, kesamaan dan perbedaan antara Soekarno dengan Megawati, juga
kaitannya dengan Islam dan umat Islam Indonesia dalam perjalanan sejarah
bangsa ini, maka tulisan ini dibuat berseri. Mudah-mudahan, hal ini
bisa dijadikan ibrah bagi kita semua.
HOS Tjokroaminoto, Awal Pergerakan
Soekarno dilahirkan di Lawang
Seketeng-Surabaya, 6 Juni 1901, dari pasangan Ida Ayu Noman Rai-seorang
perempuan berdarah bangsawan Bali-dan Raden Soekemi Sosrodihardjo, juga
seorang ningrat dari Jawa Timur. Walau demikian, kehidupan keduanya
tidak bisa dibilang makmur, malah serba berkekurangan. Sebab itu,
Soekarno kecil yang bernama Kusno Sosrodihardjo mengaku jika masa
kecilnya lebih banyak dihabiskan untuk membaca buku ketimbang bermain
dengan teman sebaya yang mampu membeli petasan dan sebagainya.
DI masa kecil, keluarga Kusno pindah
dari Surabaya ke Sidoardjo sebentar dan kemudian menetap di Mojokerto,
Jawa Timur. Usia 14 tahun , Kusno masuk ke Hoogere Burger School (HBS),
setingkat SLTP, dan menumpang (bahasa Jawa: Ngengger) di rumah HOS
Tjokroaminoto, Ketua Syarikat Islam (SI). Saat ngengger di rumah itulah,
Soekarno berkenalan dengan arus pergerakan nasionalisme Indonesia. HOS
Tjokroaminoto banyak kedatangan tamu-tamu sesama aktivis pergerakan
nasional di rumahnya, berdiskusi tentang berbagai perkembangan politik
dan ekonomi bangsanya, berkeluh-kesah tentang kian rakusnya imperialis
Belanda dan juga Barat menghisap kekayaan alam Nusantara, membahas
kehidupan rakyat kecil yang kian sengsara, semua itu didengar oleh
Soekarno remaja.
Soekarno juga melihat dengan mata kepala
sendiri kesewenang-wenangan penjajah Belanda terhadap HOS
Tjokroaminoto. Di tahun 1915, tersiar berita jika HOS Tjokroaminoto
menerima sejumlah uang dari kaki-tangan Jerman untuk menggulingkan
pemerintahan kolonial Belanda. Polisi rahasia Belanda (PID) mengirim
salah seorang agennya bernama Agus Salim untuk mencari tahu kebenaran
berita tersebut dengan mengutusnya untuk mendekati HOS Tjokroaminoto.
Agus Salim pun masuk Syarikat Islam.
Dari berbagai informasi yang masuk ke
telinga PID inilah, HOS Tjokroaminoto yang dijuluki Raja Jawa Tanpa
Mahkota ini dipanggil berkali-kali ke kantor PID untuk diinterogasi.
Namun disebabkan bukti yang ada sangat kurang, maka kasus ini pun
berakhir begitu saja. Lain halnya dengan Agus Salim. Pemuda Minangkabau
yang cerdas ini malah tertarik untuk benar-benar bergabung dengan
Syarikat Islam yang memperjuangkan Indonesia Merdeka dan keluar dari
PID. Kisah tentang Agus Salim ini bisa dibaca di memoar Agus Salim
sendiri berjudul "Benarkah Saya Seorang Spion?".
Di antara murid-murid politik HOS
Tjokroaminoto, terdapat tiga orang yang menonjol. Mereka adalah
Soekarno, Muso, dan Kartosuwiryo. Kelak, ketiganya merupakan pelopor
bagi ideologi pergerakan di Indonesia. Muso menjadi pemimpin gerakan
komunisme (PKI), Kartosuwiryo menjadi pemimpin pergerakan Islam (DI),
dan Soekarno memimpin pergerakan nasionalisme, dengan mencoba merangkum
tiga aliran pergerakan besar di Indonesia menjadi Nasakom (Nasionalisme,
Agama, dan Komunisme).
Setelah melahap banyak buku dan
berdiskusi dengan banyak aktivis pergerakan, Soekarno menyimpulkan jika
musuh besar bagi bangsa Indonesia adalah imperialisme dan kolonialisme,
yang dilakukan negara-negara utara terhadap negara-negara selatan.
Dengan pisau bedah Materialisme Dialektis dan Materialisme Historis,
yang memang sangat tajam mengurai tentang kejahatan kapitalisme,
Soekarno merumuskan paham gerakan politiknya sendiri yang kemudian
dikenal sebagai "Marhaenisme". Dalam suatu kesempatan, Soekarno
menyatakan jika Marhaenisme adalah Marxisme yang di-Indonesiakan.(1)
Ma
rhaenisme, diakui sendiri oleh Soekarno
adalah sintesa daripada filsafat Marxisme (Materialisme-Historis dan
Materialisme-Dialektis), Islam, dan Nasionalisme. Soekarno sangat teguh
memegang prinsipnya ini hingga berpuluh tahun kemudian menyodorkan
konsep Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis) bagi pola
pemerintahannya.
Abad di mana Soekarno lahir dan tumbuh
adalah abadnya bangsa-bangsa selatan bangkit melawan penghisapan yang
dilakukan imperialisme negara-negara utara. Sebab itu, salah satu obsesi
seorang Soekarno adalah menghapuskan penindasan yang dilakukan oleh
manusia terhadap manusia lainnya. Exploitation de l'homme par l'homme.
Untuk mampu mengusir penjajah Belanda yang telah menghisap kekayaan
negeri ini sejak abad ke-16 M, maka seluruh komponen bangsa ini harus
bersatu-padu melawan penjajahan. Sebab itu, sejak muda Soekarno
terobsesi untuk bisa menggalang persatuan dan kesatuan bangsa ini di
atas segalanya. Prinsip ini terus dipegangnya hingga ke liang lahat.
Salah satu episode dalam sejarah bangsa
ini telah membuktikan betapa persatuan dan kesatuan dipegang teguh oleh
seorang Soekarno. Saat itu, menyusul tragedi subuh 1 Oktober 1965,
kekuasaan Soekarno sedikit demi sedikit dilucuti oleh Jenderal Suharto.
Lewat berbagai intrik dan konspirasi dengan CIA, sejumlah perwira
angkatan darat di bawah Suharto secara terselubung maupun
terang-terangan telah bersikap membangkang terhadap Soekarno yang saat
itu masih sah sebagai Presiden dan Panglima Tertinggi Angkatan Perang.
Hal ini membuat geram sejumlah kesatuan lain yang masih loyal pada
Soekarno. Salah satu kesatuan yang dikenal sangat loyal pada Panglima
Tertingginya adalah Marinir. "Putih kata Bung Karno, putih kata marinir.
Hitam kata Bung Karno, hitam pula kata marinir!", demikian tegas
Panglima Marinir Mayjen (Mar) Hartono.
Pertengahan Maret 1966, Jenderal Marinir
Hartono ini menghadap Bung Karno dan meminta izin agar pasukannya
diperbolehkan memukul habis kekuatan Jenderal Suharto. Beberapa Batalyon
dikatakan juga bersedia membantu seperti Kodam Brawijaya dan beberapa
kesatuan dari AURI dan Kepolisian.
Namun permintaan ini ditentang Soekarno
dengan mengatakan antara lain jika Soekarno tahu jika dirinya tengah
dihabisi. "Biarlah Soekarno tenggelam sendirian asal bangsa dan negara
Indonesia tetap hidup. Saya tidak mau terjadi peperangan saudara yang
merobek-robek persatuan yang saya bangun selama ini," tegasnya.
Dan sejarah pun mencatat bahwa Soekarno
meninggal dalam status tahanan rumah dalam rezim fasis Jenderal Suharto.
Mayjen (Mar) Hartono sendiri dibuang dengan mendubeskan dia ke
Pyongyang, Korea Utara. Tokoh Marinir yang sangat pemberani dan loyal
kepada Bung Karno ini ditemukan tewas ditembak kepalanya pada pagi hari,
awal Januari 1971, di Jakarta. Banyak kalangan menganggap keterangan
pemerintah Suharto yang menyatakan Hartono bunuh diri adalah bohong
belaka. Rekannya sesama tokoh Marinir saat itu, Ali Sadikin, menegaskan
jika kematian Hartono diliputi kemisteriusan. Banyak yang menduga
Jenderal (Mar) Hartono menjadi korban konspirasi jahat rezim Jenderal
Suharto.
Pokok-Pokok Soekarnoisme
Sejak kecil Soekarno telah berkenalan
dengan ide-ide besar dari orang-orang besar di seluruh dunia dari
kerakusannya membaca buku. Di usia 25 tahun, dalam Suluh Indonesia Muda
(1926), terbit sebuah artikelnya yang berjudul "Nasionalistis,
Islamistis, dan Marxistis". Di dalam artikelnya ini, Soekarno
menyatakan, "Bukannya kita mengharap, yang Nasionalis itu supaya berobah
paham menjadi Islamis atau Marxis, bukannya maksud kita menyuruh yang
Marxis dan Islamis itu berbalik menjadi Nasionalis, akan tetapi impian
kita ialah kerukunan, persatuan antara ketiga golongan itu."
Artikel tersebut ditulis Soekarno
sebagai bentuk keprihatinannya melihat pecahnya Syarikat Islam "Putih"
pimpinan Agus Salim dengan Syarikat Islam "Merah" yang dipimpin Semaun
yang kemudian bekerjasama dengan tokoh-tokoh ISDV-partai sosialis
Belanda-seperti Snevliet dan Baars. Syarikat Islam Merah ini kemudian
menjadi "Syarikat Rakyat", lalu berubah menjadi Partai Komunis
Indonesia.
Di tahun 1926-1927, saat berjalan-jalan
di wilayah Bandung selatan, di pematang-pematang sawahdi Cigareleng,
Soekarno bertemu dengan seorang petani penggarap bernama Marhaen.
Keduanya kemudian terlibat tanya jawab sederhana.
"Pak Marhaen, cangkul yang bapak pegang itu punya siapa," tanya Soekarno.
"Milik saya," jawab Marhaen.
"Lalu sawah yang bapak kerjakan itu milik siapa?"
"Milik orang lain," jawabnya lagi.
Dalog singkat ini telah memahat kesan
yang sangat mendalam di otaknya. Dalam ilmu teori Materialisme Historis,
orang seperti Marhaen tidak bisa dikategorikan sebagai proletar, karena
masih menguasai alat produksi walau itu hanya sepotong cangkul. Dalam
teori Marxisme, seorang proletar adalah seseorang yang bekerja
semata-mata mengandalkan tenaga. Sedang alat-alat produksinya dan juga
tempatnya bekerja dikuasai oleh pemilik modal. Sebab itu, Pak Marhaen
tidak bisa dikategorikan sebagai proletar. Maxisme malah memandang Pak
Marhane sebagai petite borguise atau Borjuis kecil, walau Pak Marhaen
hidupnya pas-pasan.
Walau menguasai alat produksi, namun
Marhaen ternyata hidupnya juga miskin dan tertindas. Sebab itu, Soekarno
merasa Marxisme dalam bentuk yang murni tidaklah tepat untuk menilai
kondisi riil di Indonesia saat itu. (2)
Sebab itulah, Soekarno merumuskan
doktrin perjuangan politiknya sebagai Marhaenisme, yakni Marxisme yang
telah di-Indonesiakan, suatu prinsip perjuangan yang mencita-citakan
sosialisme Indonesia. Tujuan dari prinsip ini adalah mensejahterakan
seluruh rakyat Indonesia yang berkeadilan dan mandiri, lepas dari campur
tangan kaum imperialisme. Marhaenisme jelas bertentangan dengan salah
satu pokok Marxisme yaitu pertentangan kelas. Dalam Marhaenisme, semua
kekuatan dan komponen bangsa harus bersatu untuk mewujudkan cita-cita
sosialisme Indonesia. Inilah cikal bakal dari Nasakom.
Pokok ajaran Soekarnoisme yang kedua
adalah Revolusi Indonesia yang memiliki dua tahapan: Pertama, tahapan
revolusi borjuis nasional dan kemudian tahapan revolusi sosialisme
Indonesia.
Dalam tahapan pertama, kaum Marhaen
bersama kaum proletar harus bisa bersatu-padu dengan kaum borjuis
nasional-sisa-sisa feodalis lama-untuk berjuang bersama-sama
menghancurkan kekuasaan kolonialisme dan imperialisme asing yang telah
menjajah Indonesia demi memerdekakan negara dan bangsa Indonesia dahulu.
Sebab itulah, tahap pertama revolusi nasional mencapai kemerdekaan
disebut sebagai "Jembatan emas menuju kemerdekaan."
Tahap kedua, setelah merdeka, maka
barulah tahap kedua dari revolusi Indonesia dilakukan yakni memerdekakan
seluruh anak bangsa dari kemiskinan dan kebodohan. Tahap ini dikenal
dengan istilah "Nation and Character Building".
Pokok-pokok Soekarnoisme bisa diringkas menjadi beberapa point, yakni:
Persatuan dan kesatuan seluruh elemen bangsa,
Prinsip berdikari dalam mengelola kekayaan alam bangsa yang berarti tidak tergantung pada kekuatan asing (Kekuatan kolonialisme dan imperialisme Barat),
Pembangunan karakter bangsa guna menghapus perasaan minder (minderwaardigheid-complex) yang telah ditanamkan ratusan tahun oleh penjajah asing sehingga bangsa Indonesia memiliki kebanggaan sebagai orang Indonesia dan setara sebagai warga dunia.
Prinsip berdikari dalam mengelola kekayaan alam bangsa yang berarti tidak tergantung pada kekuatan asing (Kekuatan kolonialisme dan imperialisme Barat),
Pembangunan karakter bangsa guna menghapus perasaan minder (minderwaardigheid-complex) yang telah ditanamkan ratusan tahun oleh penjajah asing sehingga bangsa Indonesia memiliki kebanggaan sebagai orang Indonesia dan setara sebagai warga dunia.
Hubungan dengan Islam
Soekarno merupakan satu-satunya presiden
sebuah negara di dunia yang menyatakan jika dirinya meninggal maka
jenazahnya ditutupi dengan bendera Muhammadiyah, bukan bendera negara.
Seperti yang dikatakannya dalam "Soekarno, Penyambung Lidah Rakyat
Indonesia" (Cindy Adams).
Walau demikian, hubungan antara Soekarno dengan tokoh-tokoh Islam mengalami putus-sambung yang cukup sering intensitasnya.
Soekarno muda mendapat gemblengan
prinsip-prinsip politik dari seorang tokoh Syarikat Islam bernama H. O.
S. Tjokroaminoto. Buku Tjokroaminoto yang ditulis pada tahun 1924
berjudul "Islam dan Sosialisme" (Diterbitkan oleh PN. Bulan Bintang,
1951), merupakan salah satu inspirator bagi Soekarno dan titik awal bagi
pandangan Islam Sosialistiknya. Menurut Soekarno, Islam merupakan
sebuah ideologi perjuangan yang sama sekali tidak akan pernah akur
dengan kapitalisme, sebab kapitalisme hanya bisa hidup jika berjalan di
atas rel penindasan manusia terhadap sesama manusia lainnya dalam bentuk
"The Surplus Value" dalam sistem kerjanya atau bisa disamakan dengan
Riba. Kapitalisme hanya bisa hidup jika kaum Pemodal (Kaum Pengusaha)
menghisap kaum pekerja (Buruh) dan juga kaum Marhaen lainnya (Wong
Cilik).
Pada 29 Desember 1929, Soekarno bersama
sejumlah tokoh PNI (Partai Nasional Indonesia) ditangkap dan dijebloskan
ke penjara Banceuy, Bandung. Oleh Belanda, mereka dianggap teroris yang
tengah merencanakan makar untuk menggulingkan pemerintahan Belanda.
Dalam pengadilannya, Agustus 1930, Soekarno menyampaikan pembelaannya
(Pledoi) yang amat terkenal berjudul "Indonesia Menggugat".
Pokok dari pledoi Soekarno adalah
membongkar habis-habisan Anggaran Pembelian dan Belanja pemerintahan
kolonial Belanda yang dikecamnya sangat pro investor asing dan kian
memiskinkan rakyat. Soekarno dibebaskan pada 31 Desember 1931.
Pada Agustus 1933, Soekarno ditangkap
untuk kedua kalinya, kemudian dibuang ke Ende, Flores. Di sinilah
periode kehidupan Soekarno yang sarat persinggungannya dengan Islam. Di
Ende, Soekarno melahap banyak buku-buku keislaman dan banyak berdiskusi
dengan tokoh-tokoh setempat maupun surat-menyurat dengan sejumlah tokoh
Islam nasional seperti HM. Natsir. Pemikiran Soekarno tambah terasah
dengan Islam dan kian meneguhkan pandangan Soekarno jika Islam sangat
anti terhadap kapitalisme karena sifat penindasan dan penghisapannya.
Dari Ende, Soekarno diasingkan ke
Bengkulu, 1938. Di Bengkulu ini Soekarno kembali berjumpa dengan
tokoh-tokoh Islam setempat dan berdiskusi dengan mereka. Salah satu
tokoh Muhammadiyah di Bengkulu yang sering diajak berdiskusi mengenai
Islam adalah H. Hasan, ayah dari Siti Fatimah, yang kemudian anaknya
diperisteri Soekarno dan berganti nama menjadi Fatmawati. Saat itu,
Inggit Ganarsih yang telah diperisteri Soekarno ketika di Bandung
menolak untuk dimadu dan akhirnya cerai.
Pada tahun 1942 Soekarno kembali ke
Pulau Jawa dan disambut rakyat sebagai pemimpin pergerakan nasional
Indonesia. Di zaman pendudukan Jepang, Soekarno dengan dukungan dari
para pemimpin Islam seperti H. Agus Salim dan tokoh nasionalis Jawa
seperti Ki Hadjar Dewantara, memilih bersimbiosis-mutualisme dengan
Jepang. Pilihan ini pilihan sangat sulit. Namun kondisi riil politik
internasional, dimana Fasisme Jepang (dibantu oleh Fasisme Italia dan
Nazi Jerman) tengah berperang melawan Imperialisme Sekutu (termasuk
Belanda) dalam Perang Dunia II, menyebabkan Soekarno mengambil langkah
ini. Sikap kooperatif Soekarno terhadap Jepang menimbulkan
antipaatta.jpg" />
Sejak pertama kali penjajah kolonial
mendarat di Nusantara, umat Islam telah melakukan perlawanan dengan
gagah berani guna mengusir imperialis Barat tersebut yang datang dengan
tiga miti banyak kalangan. Sutan Syahrir yang lebih dekat dengan Amerika
Serikat menuding Bung Karno sebagai Kolaborator Jepang.(3)
"Tonggak
pertama pengkhianatan yang dilakukan elit negara, dalam hal ini
Soekarno Hatta dan tokoh-tokoh sekuler lainnya terhadap umat Islam
terjadi pada hari Kamis malam, 16 Agustus 1945," ujar (alm) KH. Firdaus
AN kepada Eramuslim di tahun 1999 saat bertemu di kediaman beliau di
daerah Pejompongan, Jakarta Pusat.
Tokoh Persatuan Pelajar Islam Indonesia
(PII), Abdul Qadir Djaelani, dalam bukunya "Peta Sejarah Perjuangan
Politik Umat Islam di Indonesia" (1996) juga menceritakan hal ini.
Seperti yang telah diketahui bersama, rakyat Indonesia sekarang hanya
mengetahui jika teks proklamasi kemerdekaan, 17 Agustus 1945, yang
dibacakan Soekarno itu hanya berupa naskah singkat. Padahal, seperti
diakui oleh Mohammad Hatta dalam memoirnya, sesuai rencana yang
disepakati dalam rapat PPKI, seharusnya pernyataan yang dibacakan pada
saat proklamasi itu adalah naskah Piagam Jakarta yang dibuat pada 22
Juni 1945. Namun pada malam 16 Agustus 1945, di rumah Laksamana Maeda
jalan Imam Bonjol No 1 (dahulu Myako Dori), Soekarno, Hatta,
bersama-sama dengan Subardjo, Soekarni dan Sayuti Melik menggelar rapat
dadakan dan menulis teks ringkas proklamasi kemerdekaan yang akan
dibacakan keesokan paginya.
Mengapa bukan Piagam Jakarta yang
dibacakan sebagai teks proklamasi? Alasannya sangat naif. Bung Hatta di
dalam Memoirnya menulis, "(Malam itu) Tidak seorang di antara kami yang
membawa dalam sakunya teks proklamasi, yang dibuat pada 22 Juni 1945,
yang sekarang disebut Piagam Jakarta." Malam itu, lanjut Hatta, seluruh
anggota PPKI, pemimpin-pemimpin pemuda, beberapa orang pemimpin
pergerakan, dan para anggota Cuo Sangi In telah hadir di rumah Maeda.
"Semuanya ada kira-kira 40 atau 50 orang-orang terkemuka. Di jalan
banyak pemuda yang menonton atau menunggu hasil pembicaraan."
Seperti pengakuan Hatta, begitu banyak
tokoh yang hadir. Namun terlalu naif jika tidak ada seorang pun yang
mengantungi naskah Piagam Jakarta untuk dibacakan sebagai teks
proklamasi, sesuai dengan kesepakatan sebelumnya. Jika hal ini benar,
walau tidak masuk akal, bukankah proklamasi baru akan dilakukan esok
harinya? Berarti, jika memang "tidak ada apa-apanya" maka sebenarnya
sangatlah mudah untuk mengambil kembali naskah Piagam Jakarta yang ada
di rumah Soekarno atau rumah Hatta yang dekat letaknya dengan kediaman
Maeda.
Jika pun proklamasi harus dilakukan
malam itu, maka rumah Hatta yang letaknya cuma satu kilometer dari rumah
Maeda pun bisa dijangkau. Bermobil ke rumah Hatta tidak sampai memakan
waktu lima menit. Jika mereka semua memang punya niat baik dan berpegang
pada kesepakatan awal, maka mengambil Piagam Jakarta untuk dibacakan
sebagai teks proklamasi adalah hal yang sangat mudah.
Abdul Qadir Djaelani menyatakan jika
Piagam Jakarta sesungguhnya sengaja disingkirkan dalam peristiwa malam
itu. Biang keladinya menurut Kang Jel-demikian sapaan akrab Abdul Qadir
Djaelani, adalah kaum Nasionalis Sekuler, termasuk Soekarno-Hatta di
dalamnya. "Alasannya sangat strategis. Sebab jika Piagam Jakarta
dijadikan teks proklamasi, sesuai keputusan pleno BPUPKI tanggal 14 Juli
1945, maka secara historis yuridis negara Indonesia merdeka terikat
dengan Piagam Jakarta," tulis Kang Jel.
Sejarah telah mencatat, teks proklamasi
yang dibacakan ternyata naskah yang ditulis terburu-buru, dan tanpa
persiapan. Keesokan harinya, Sabtu, 18 Agustus 1945, sebuah konspirasi
yang juga aneh malah menghapus tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Dalam
tempo 24 jam, Soekarno-Hatta telah melakukan dua kali "tusukan" pada
umat Islam. Dua tragedi yang menyakitkan tokoh-tokoh Islam dan juga umat
Islam secara keseluruhan.
"Tusukan ketiga" yang dilakukan Soekarno
adalah terhadap Muslim Aceh. Dari seluruh daerah di Nusantara,
perlawanan Muslim Aceh merupakan perlawanan terhebat dan terdahsyat yang
pernah dihadapi kolonialis Belanda saat hendak menguasai seluruh
wilayah Nusantara. Nanggroe Aceh Darussalam adalah Kerajaan Islam Besar
yang telah berdaulat berabad-abad sebelum Negara Kesatuan Republik
Indonesia terbentuk. Bahkan wilayah ini bersama dengan kerajaan-kerajaan
Islam di Jazirah Al-Mulk (Maluku) masuk di dalam wilayah perlindungan
Kekhalifahan Islam Turki Utsmaniyah. Berabad-abad sebelum UUD 1945
lahir, Aceh telah memiliki Qanun Meukuta Alam, sebuah konstitusi yang
sangat lengkap sehingga kerajaan-kerajaan Islam tetangga pun
mengcopy-pastenya seperti yang dilakukan Kerajaan Islam Brunei
Darussalam. Qanun Meukuta alam ini sangat lengkap dan detil, jauh
lengkap ketimbang UUD 1945 bahkan yang sudah "dibongkar" (amandemen)
seperti sekarang ini.(4)
Jasa rakyat Aceh terhadap negeri ini
sungguh amat besar. Ketika pemerintah pusat di Yogya ditangkap Belanda
dalam perang mempertahankan kemerdekaan, dibentuklah PDRI (Pemerintahan
Darurat RI) yang berpusat di Bukittingi, Sumatera Barat. Yang tidak
diketahui khalayak banyak, semua pengeluaran dan dana operasionil PDRI
ini dibiayai oleh rakyat Aceh.
Dari dana operasionil Staf Angkatan
Laut, dan Staf Angkatan Udara, misi diplomasi Dr. Soedarsono ke India
dan L. N. Palar di markas besar PBB di New York, AS, dana operasional
perwakilan RI di Penang dan Singapura, ongkos pengeluaran duta keliling
RI Haji Agus Salim dan biaya konferensi Asia di New Delhi, India,
seluruhnya juga ditanggung oleh rakyat Aceh.
Semua itu dilakukan rakyat Aceh dengan
ikhlas karena tahu bahwa perjuangan mempertahankan kemerdekaan termasuk
amalan jihad fisabililah yang sangat tinggi nilai pahalanya.
Belum cukup dengan segala pengorbanan
itu semua, rakyat Aceh juga dengan ikhlas membeli dua buah pesawat
terbang untuk dihibahkan kepada pemerintah pusat. Pembelian pesawat ini
memakai mata uang dollar yang diperoleh dari hasil sumbangan rakyat
Aceh.
Para perempuan Aceh melepas cincin,
kalung, anting, dan segala perhiasan emas peraknya yang kemudian
dikumpulkan untuk ditukar dengan uang. Uang itulah yang digunakan untuk
membeli pesawat yang diberi nama Seulawah yang berarti "Gunung Emas".
Latar belakang pembelian dua pesawat ini
sungguh-sungguh mengharukan: Bulan Juni 1948, Soekarno berkunjung ke
Aceh. Dalam suatu pertemuan di Hotel Aceh, 16 Juni 1948, Bung Karno
berkata, "Alangkah baiknya jika Indonesia mempunyai kapal udara untuk
memperkuat pertahanan negara dan mempererat hubungan antara pulau dan
pulau." Hanya dalam hitungan jam setelah Bung Karno menyatakan hal itu,
pengusaha-pengusaha Aceh yang tergabung dalam Gabungan Saudagar
Indonesia Daerah Aceh (Gasida) menggelar pertemuan khusus. Mereka
sepakat rakyat Aceh akan bersatu mengumpulkan uang dan segala perhiasan
emas perak untuk membeli pesawat.
Dalam waktu dua hari terkumpul dana
sekitar 130.000 Straits Dollar (Dollar Singapura). Ketua Gasida,
Muhammad Juned Yusuf, beserta beberapa anggota Panitia Dana Dakota pada
tanggal 1 Agustus 1948 segera berangkat ke Singapura dengan membawa dana
tersebut dan emas seberat dua kilogram.
Semua itu diserahkan kepada Ketua Komisi
Pembelian Pesawat Opsir Udara II Wiweko. Setelah memakan waktu sekitar
tiga bulan, sebuah pesawat Dakota tiba ke tanah air pada Oktober 1948.
Pesawat tersebut diberi nomor registrasi RI-001 sebagai nomor pesawat
khusus VIP. Inilah yang kemudian diberi nama Seulawah alias Gunung Emas.
Sedang pesawat yang satunya tidak diketahui apa dan bagaimana
keberadaannya hingga kini.
Bulan November 1948, Bung Hatta
berkeliling Sumatera setelah melalui Magelang, Yogyakarta, Jambi,
Payakumbuh, dan Banda Aceh, lalu pulang kembali ke Yogya. Setelah
melakukan penerbangan selama 50 jam terbang, maka pada 6 Desember 1948
Seulawah diterbangkan ke Calcuta, India, untuk menjalani pemeriksaan dan
perawatan.
Tanggal 20 Januari 1949, Seulawah
selesai dirawat. Namun karena situasi di tanah air tidak memungkinkan,
maka atas seizin pemerintah Burma, Seulawah diizinkan mendarat di
Rangoon dan di negeri ini Seulawah melayani penerbangan sipil lebih
kurang satu setengah tahun lamanya untuk menghimpun dana perjuangan bagi
Republik Indonesia. Pada 2 Agustus 1950 Seulawah tiba kembali ke tanah
air melewati rute Rangoon, Bangkok, Medan, dan mendarat di Bandung
sehari setelahnya. Seulawah inilah cikal bakal perusahaan penerbangan
niaga Indonesia pertama yang kemudian menjelma menjadi Garuda Indonesian
Airways.
Saat Yogyakarta dikembalikan kepada
republik, pemerintah RI sama sekali tidak punya uang untuk menggerakkan
roda pemerintahannya. Dari Aceh, lagi-lagi, rakyatnya menggalang dana
yang segera dialirkan ke Yogyakarta. Berbagai sumbangan berupa uang,
alat tulis, alat-alat kantor seperti mesin tik dan sebagainya, serta
obat-obatan, mengalir dari Aceh ke Yogya.
Bahkan rakyat Aceh kala itu
menyumbangkan emas batangan seberat 5 kilogram kepada pemerintah pusat.
Yang terakhir ini pun menguap entah kemana. Rakyat Aceh juga sangat
prihatin dengan kondisi kesehatan Panglima Besar Jenderal Sudirman yang
dikenal sebagai panglima yang sholih dan taat agama, sebab itu dari Aceh
dikirimkan 40 botol obat suntik streptomisin guna mengobati penyakit
paru-paru beliau.
Inilah wujud nasionalisme rakyat Aceh
yang sangat tinggi dalam mempertahankan keberadaan Republik Indonesia
yang kala itu masih berusia sangat muda dan sangat lemah. Tidak
berlebihan kiranya, tanpa solidaritas Muslim Aceh, pemerintah Republik
Indonesia akan sangat sulit mempertahankan dirinya, bahkan tidak mungkin
akan lenyap ditelan keganasan Belanda.
Bung Karno pun saat itu menjuluki Aceh
sebagai daerah modal bagi perjuangan Republik Indonesia. Bahkan dalam
kunjungan pertamanya ke Aceh tahun 1948, kepada tokoh Aceh Teungku
Muhammad Daud Beureueh, Bung Karno berjanji akan mendukung penerapan
syariat Islam di seluruh wilayah Aceh. Sesuatu yang tidak lama kemudian
dikhianati Bung Karno sendiri.
Pengorbanan seluruh rakyat Aceh kepada
Republik Indonesia sangatlah besar dan vital. Aceh sungguh-sungguh
menjadi daerah modal, menjadi semacam gudang uang bagi pemerintahan
pusat dalam menjalankan roda pemerintahannya dan mempertahankan diri
dari gempuran Belanda.
Nasionalisme rakyat Aceh sangat tinggi.
Jasa rakyat Aceh bagi Republik Indonesia tak ternilai harganya. Tapi
bagaimana balasan dari pemerintahan pusat kepada rakyat Aceh ketika
Republik Indonesia sudah tegak berdiri di bawah pemerintah Presiden
Soekarno? (5)
J
auh sebelum NKRI berdiri, Nanggroe Aceh
Darussalam telah berdaulat sebagai sebuah kerajaan merdeka dan bahkan
menjadi bagian dari kekhalifahan Turki Utsmaniyah.
Hal ini sungguh-sungguh disadari
Soekarno sehingga dia mengajak dan membujuk Muslim Aceh untuk mau
bergabung dengan rakyat Indonesia guna melawan penjajah Belanda.
Saat berkunjung ke Aceh tahun 1948, Bung
Karno dengan sengaja menemui tokoh Aceh, Daud Beureueh. Bung Karno
selaku Presiden RI menyapa Daud Beureueh dengan sebutan "Kakak" dan
terjadilah dialog yang sampai saat ini tersimpan dengan baik dalam
catatan sejarah:
Presiden Soekarno : "Saya minta bantuan
Kakak agar rakyat Aceh turut mengambil bagian dalam perjuangan
bersenjata yang sekarang sedang berkobar antara Indonesia dan Belanda
untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah kita proklamirkan pada
tanggal 17 Agustus 1945."
Daud Beureueh : "Saudara Presiden! Kami
rakyat Aceh dengan segala senang hati dapat memenuhi permintaan Presiden
asal saja perang yang akan kami kobarkan itu berupa perang sabil atau
perang fisabilillah, perang untuk menegakkan agama Allah sehingga kalau
ada di antara kami yang terbunuh dalam perang itu maka berarti mati
syahid."
Presiden Soekarno : "Kakak! Memang yang
saya maksudkan adalah perang yang seperti telah dikobarkan oleh
pahlawan-pahlawan Aceh yang terkenal seperti Teungku Cik Di Tiro dan
lain-lain, yaitu perang yang tidak kenal mundur, perang yang bersemboyan
merdeka atau syahid."
Daud Beureueh : "Kalau begitu kedua
pendapat kita telah bertemu Saudara Presiden. Dengan demikian bolehlah
saya mohon kepada Saudara Presiden, bahwa apabila perang telah usai
nanti, kepada rakyat Aceh diberikan kebebasan untuk menjalankan Syariat
Islam di dalam daerahnya."
Presiden Soekarno : "Mengenai hal itu Kakak tak usah khawatir. Sebab 90% rakyat Indonesia beragama Islam."
Daud Beureueh : "Maafkan saya Saudara
Presiden, kalau saya terpaksa mengatakan bahwa hal itu tidak menjadi
jaminan bagi kami. Kami menginginkan suatu kata ketentuan dari Saudara
Presiden."
Presiden Soekarno : "Kalau demikian baiklah, saya setujui permintaan Kakak itu."
Daud Beureueh : "Alhamdulillah. Atas
nama rakyat Aceh saya mengucapkan terima kasih banyak atas kebaikan hati
Saudara Presiden. Kami mohon (sambil menyodorkan secarik kertas kepada
presiden) sudi kiranya Saudara Presiden menulis sedikit di atas kertas
ini."
Mendengar ucapan Daud Beureueh itu Bung
Karno langsung menangis terisak-isak. Airmata yang mengalir telah
membasahi bajunya. Dalam keadaan sesenggukan, Soekarno berkata, "Kakak!
Kalau begitu tidak ada gunanya aku menjadi presiden. Apa gunanya menjadi
presiden kalau tidak dipercaya." Dengan tetap tenang, Daud Beureueh
menjawab, "Bukan kami tidak percaya, Saudara Presiden. Akan tetapi
sekadar menjadi tanda yang akan kami perlihatkan kepada rakyat Aceh yang
akan kami ajak untuk berperang."
Sambil menyeka airmatanya, Bung Karno
berjanji, "Wallah, Billah, kepada daerah Aceh nanti akan diberi hak
untuk menyusun rumah tangganya sendiri sesuai dengan Syariat Islam. Dan
Wallah, saya akan pergunakan pengaruh saya agar rakyat Aceh benar-benar
dapat melaksanakan Syariat Islam di dalam daerahnya. Nah, apakah Kakak
masih ragu-ragu juga?" Daud Beureueh menjawab, "Saya tidak ragu Saudara
Presiden. Sekali lagi, atas nama rakyat Aceh saya mengucapkan banyak
terima kasih atas kebaikan hati Saudara Presiden."
Dalam suatu wawancara yang dilakukan M.
Nur El Ibrahimy dengan Daud Beureueh, Daud Beureueh menyatakan bahwa
melihat Bung Karno menangis terisak-isak, dirinya tidak sampai hati lagi
untuk bersikeras meminta jaminan hitam di atas putih atas janji-janji
presiden itu.
Soekarno mengucapkan janji tersebut pada
tahun 1948. Setahun kemudian Aceh bersedia dijadikan satu provinsi
sebagai bagian dari NKRI. Namun pada tahun 1951, belum kering bibir
mengucap, Provinsi Aceh dibubarkan pemerintah pusat dan disatukan dengan
Provinsi Sumatera Utara.
Jelas, ini menimbulkan sakit hati rakyat
Aceh. Aceh yang porak-poranda setelah berperang cukup lama melawan
Belanda dan kemudian Jepang, lalu menguras dan menghibahkan seluruh
kekayaannya demi mempertahankan keberadaan Republik Indonesia tanpa
pamrih, oleh pemerintah pusat bukannya dibangun dan ditata kembali malah
dibiarkan terbengkalai.
Bukan itu saja, hak untuk mengurus diri
sendiri pun akhirnya dicabut. Rumah-rumah rakyat, dayah-dayah,
meunasah-meunasah, dan sebagainya yang hancur karena peperangan melawan
penjajah dibiarkan porak-poranda. Bung Karno telah menjilat ludahnya
sendiri dan mengkhianati janji yang telah diucapkannya atas nama Allah.
Kenyataan ini oleh rakyat Aceh dianggap sebagai kesalahan yang tidak
termaafkan.
Pengkhianatan Soekarno terhadap Muslim
Aceh merupakan awal dari rentetan pengkhianatan-jika tidak mau dikatakan
sebagai konspirasi-yang dilakukan negara terhadap Aceh dan rakyatnya,
juga terhadap tokoh-tokoh Islam setelahnya.
Sejarah telah mencatat bagaimana rezim
Soekarno juga telah melakukan penindasan terhadap umat Islam, terutama
di tahun 1959-1965, di saat Soekarno bersedia dijadikan presiden seumur
hidup dan demokrasi terpimpin.
Salah satunya adalah pembubaran Partai
Masyumi dan penahanan tokoh-tokohnya. M. Natsir ditahan pada tahun 1961
dan 1966, juga Boerhanoeddin Harahap yang berada dalam tahanan dari
tahun 1961 hingga 1967, Prawoto Mangkusasmito, Mohammad Roem, M.Yunan
Nasution, E.Z. Muttaqin dan KH Isa Anshary, ditahan pula di Madiun pada
tahun 1962. Ghazali Sjahlan, Jusuf Wibisono, Mr. dan Kasman Singodimejo
di tahan di Sukabumi.
Demikian pula yang menimpa Soemarso
Soemarsono, A. Mukti, Djanamar Adjam, KH.M. Syaaf dan lainnya. Mereka
adalah tokoh-tokoh Masyumi. Selain ditangkap dan ditahan tanpa proses
pengadilan yang benar, siksaan juga ditimpakan pada mereka.
Salah satu contoh, ini dipaparkan Ridwan
Saidi, jika rezim Soekarno menyiksa Ustadz Ghazali Sjahlan hingga dia
hanya diberi "makanan" berupa tetesan air pisang busuk selama di
penjara. 6)
Kita sudah membahas tentang Soekarno
dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Lantas, bagaimana
kesesuaiannya dengan Megawati Soekarnoputeri?
Benarkah Megawati sungguh-sungguh
mengikuti "garis Soekarno", seperti yang diklaimnya selama ini? Di bawah
ini terdapat beberapa fakta yang menegasikannya:
Soekarno adalah orang yang anti
kapitalisme dan kolonialisme. Soekarno sangat menjunjung tinggi
kedaulatan, harga diri, dan martabat negara. Dia berani berkata "Go to
Hell" kepada AS dengan Bank Dunia dan IMF-nya. Bahkan mengancam akan
menasionalisasikan sejumlah perusahaan asing jika tidak mau tunduk pada
kontrak karya yang adil. Bagaimana dengan Megawati saat dia menjadi
Presiden RI?
Bertolak-belakang dengan Soekarno.
Megawati malah sangat tunduk pada kekuatan imperialisme dan kolonialisme
Barat. Tim ekonominya terdiri dari "orang-orang IMF dan Bank Dunia",
sama sebangun dengan yang dilakukan SBY-JK sejak tahun 2004 hingga
sekarang.
Pemerintahan di bawah Megawati
menerbitkan UU No.19/2003 tentang BUMN yang sangat pro liberalisme dan
imperialisme. Salah satu agenda utama kubu imperialisme dan kolonialisme
dunia seperti AS, IMF, dan Bank Dunia, adalah privatisasi BUMN. Dan
Megawati dengan UU No.19/2003-nya telah memberikan landasan legal-formal
yang sangat lengkap bagi upaya-upaya privatisasi BUMN ini.
Amien Rais menggambarkan jika upaya
privatisasi yang dilakukan selama ini bisa diibaratkan dengan tindakan
petani dengan menjual sawahnya karena terlilit hutang. Akibatnya si
petani kian miskin dan kehilangan harga diri karena kehilangan modal
utamanya.
Lagi pula, "Karena menjual dalam kondisi
kepepet, seringkali harganya pun sangat murah, dan tidak jarang dibeli
oleh rentenir. Hal yang sama terjadi pada BUMN yang diprivatisasi karena
untuk menutup defisit, di mana rentenirnya adalah investor, kreditor,
dan pelaku keuangan asing." (M. Amien Rais; Agenda Mendesak Bangsa,
Selamatkan Indonesia!; 2008)
Dalam masa kekuasaan Megawati inilah,
banyak aset bangsa yang sesungguhnya menguntungkan malah digadaikan ke
pihak asing, seperti yang terjadi pada penjualan Indosat, dan
sebagainya. Siapa saja yang ingi mengetahui tentang kasus Indosat bisa
membacanya dalam buku "Divestasi Indosat: Kebusukan Sebuah Rezim, sebuah
catatan publik Actio-Notaris" (Marwan Batubara; Iluni Jakarta).
Selain itu, kasus penjualan obral
besar-besaran LNG Tangguh ke Cina juga telah merugikan negara ratusan
triliun rupiah. Kasus ini terjadi di masa Megawati. Tim negosiasi
Tangguh dipimpin Taufik Kiemas, suami Megawati. Kontrak LNG Tangguh
disetujui pemerintah Megawati pada 2002.
Saat itu pemerintah setuju dengan
tawaran kontrak seharga 2,4 dolar AS per mmbtu dan merupakan nilai
kontrak terendah sedunia. Parahnya, harga itu ditetapkan tetap atau flat
selama 25 tahun! Sedangkan saat ini harga LNG dipasaran international
berkisar 20 dolar AS per mmbtu. Negara jelas merugi ratusan triliun
akibat ulah rezim Mega dari kasus LNG tangguh saja, belum yang lain.
Selain kasus Indosat dan penjualan aset
negara lainnya, juga kasus LNG Tangguh, rezim Megawati juga telah
mencederai perasaan keadilan bangsa ini dengan mengeluarkan kebijakan
Release Dischard yang membebasan para konglomerat perampok uang negara
dalam kasus BLBI.
Amien Rais menulis, "Pada era Megawati
ada korupsi yang bersifat state-capture atau state-hijack dalam bentuk
pemberian RD... dilihat dari sisi lain, RD , sebuah penyelesaian di luar
hukum itu, hakikatnya merupakan penyanderaan lembaga-lembaga
pemerintahan oleh sejumlah konglomerat bermasalah." (h.191)
Kebijakan RD ini merugikan negara
triliunan rupiah. Amien mencontohkan, "Group Salim mempunyai utang
sebesar 52 triliun rupiah, kemudian menyerahkan set yang dinilai oleh
penilai aset seharga sekitar 50 triliun rupiah. (Padahal) Nilai
sesungguhnya aset it hanya 29,5 triliun rupiah sehingga mengalami
marked-up secara kelewatan. Dengan proses simlabim, Group Salim
dihadiahi RD. Bayangkan, 'tengkuk' negara dpegang leh para konglomerat
bermasalah untuk melindungi korupsi mereka." (h.191)
Di negara lain, kasus RD ini sangat bisa
menjadi kasus hukum dengan diseretnya para pejabat negara-termasuk
presiden dan menteri terkait-ke depan pengadilan. Namun di Indonesia hal
itu teramat sulit, bahkan mungkin mustahil, karena Gedung Bank
Indonesia yang menyimpan dokumen-dokumen skandal BLBI dan RD telah
"terbakar" (baca: dibakar) oleh tangan-tangan yang tidak kelihatan.
Selain kejahatan tersebut, di masa
kepemimpinannya ini kasus korupsi naik dengan tajam, mewarisi tradisi
korup rezim Suharto. Kasus-kasus kemanusiaan seperti kasus pembantaian
umat Islam Maluku dan telantarnya ribuan TKW di Nunukan-Kalimantan,
tidak mendapat perhatian pemerintah. Umat Islam di masa rezim ini
menjadi pesakitan setelah meledaknya Bom Bali.
Terkait dengan Islam, sosok Megawati
juga diketahui telah bersembahyang di salah satu Pura di Bali, mengikuti
cara sembahyang orang Hindu. Hal ini terekam oleh banyak kamera di saat
Megawati tengah mempersiapkan pencalonannya sebagai presiden yang
akhirnya kalah oleh Abdurrahman Wahid.
Banyak fakta telah memperlihatkan jika
kebijakan Megawati sangat beda, bahkan bertentangan, dengan Soekarno.
Kebijakan yang diambilnya ternyata lebih dekat kepada kebijakan Suharto
yang pro Imperialisme (Kapitalisme Internasional), bukan pro rakyat,
walau mungkin dalam pidato sering mengklaim sebagai pembela "wong
Cilik".
Dan yang harus juga diberi catatan
penting, bahwa rezim-rezim yang bermunculan dari masa rezim fasis
Suharto sampai ke rezim SBY-JK sekarang ini, pemerintah masih saja
menjadi pelayan yang baik bagi kepentingan Imperialis Barat dengan
mengorbankan kepentingan rakyat banyak.
Sebab itu, semoga rakyat kian sadar jika
negeri ini memerlukan kepemimpinan yang baru, bukan orang-orang lama
yang terbukti gagal membawa bangsa ini keluar dari krisis, atau
orang-orang baru yang plintat-plintut tidak punya prinsip dalam
memperjuangan Islam. Mereka semua tidak dibutuhkan oleh bangsa dan
negara ini. (tamat/rd)
0 komentar:
Posting Komentar