Dikecam keras, sikap Kepala SMAN 2 Denpasar, Bali, yang melarang siswinya mengenakan jilbab di sekolah. Pelarangan itu menunjukkan rendahnya pemahaman tentang kebebasan menjalankan keyakinan suatu agama, selain dapat dipandang sikap ataupun bentuk intoleransi dalam beragama.
Anggota Komisi VIII DPR RI Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Raihan Iskandar mengatakan, mengenakan jilbab termasuk di sekolah sudah dijamin oleh konstitusi negara. “Dengan demikian, tidak boleh ada larangan berjilbab di negeri ini,” tegasnya di Jakarta, Kamis (9/1/2014).
Ia kemudian merujuk Surat Edaran Dikdasmen (Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah) Nomor 1174/C/PP/2002, tentang diperkenankannya siswi mengenakan jilbab ketika sekolah.
Karena itu, Raihan sangat menyayangkan keputusan Kepala SMA N 2 Denpasar terhadap salau satu siswinya, Anita Wardhana untuk pindah ke sekolah lain jika mau berjilbab.
“Seharusnya, pihak sekolah menumbuhkan pemahaman dan kesadaran yang baik untuk memberi kebebasan menjalankan agama di lingkungan siswa, karena sejatinya para pendidiklah yang menjadi teladan dalam hal menciptakan kerukunan antarumat beragama,” jelasnya.
Raihan menandaskan, pemakaian jilbab tidak terkait dengan kredibilitas sekolah ataupun prestasi siswa. “Justru dengan berjilbab para siswa menjadi terhormat dan merasa nyaman, sekaligus dapat menunjang prestasi belajarnya akibat diberi keleluasaan untuk mewujudkan keyakinannya,” tambahnya.
Lebih lanjut, Raihan meminta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan membenahi persoalan ini dengan mensosialisasikan pentingnya saling menghargai dan membangun kerukunan beragama. Ia juga mengingatkan perlunya pembinaan kepada pimpinan sekolah yang melarang siswinya berjilbab. (Mirza)www.edisinews.comKamis, 09 Januari 2014 – 23:50 WIB
***
Wamenag: AS dan Eropa Saja Membolehkan Jilbab
Berjilbab bagian dari hak asasi manusia yang harus dihormati semua pihak.
Wakil Menteri Agama, Nasaruddin Umar, mengaku prihatin masih adanya kasus pelarangan jilbab di Indonesia. Pernyataan Nasaruddin ini menanggapi kasus pelarangan jilbab yang menimpa beberapa siswi SMA di Bali.
Menurut Nasaruddin, pilihan berjilbab merupakan bagian dari hak asasi manusia yang harus dihormati pihak lain. Menghalangi seseorang untuk berjilbab, maka sama dengan melanggar hak asasi manusia.
“Saya setuju kalau penggunaan atribut-atribut agama termasuk jilbab, dianggap HAM,” kata Nasaruddin kepada hidayatullah.com, Jumat (10/01/2014) sore.
Nasaruddin berharap, bangsa Indonesia mau mencontoh apa yang terjadi di Amerika Serikat dan Eropa. Jika semua orang menganggap berjilbab bagian dari HAM, maka kasus pelarangan jilbab tidak terulang lagi.
“AS dan Eropa saja menggunakannya (jilbab),” ucapnya.*
Rep: Ibnu Syafaat
Editor: Syaiful Irwan/ Hidayatullah.com–
***
Kemendikbud Ancam Beri Sanksi Sekolah yang Larang Jilbab
JAKARTA — Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyatakan sekolah tidak boleh melarang siswanya mengenakan jilbab.
Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Musliar Kasim mengancam akan menjatuhkan sanksi kepada SMA Negeri 2 Denpasar yang melarang siswinya mengenakan jilbab.
Menurut Musliar, tindakan akan diambil bila pihak sekolah tak mengoreksi kebijakan pelarangan berjilbab bagi siswi Muslim. ”Kalau tidak mau mengikuti arahan Kemendikbud, sekolah tersebut akan kami beri sanksi,” kata Musliar, Selasa (7/1).
Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kota Denpasar I Gusti Ngurah Edy Mulya mengatakan, tidak ada larangan siswi mengenakan pakaian khas di sekolah-sekolah Kota Denpasar, termasuk yang ingin berjilbab.
Sebab, hal itu sudah diatur dalam Keputusan Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdikbud. Kami juga tidak pernah mengeluarkan surat larangan. Jadi, mengenakan jilbab di sekolah tidak ada masalah, kata Edy.
Edy meminta pihak-pihak tertentu tak menyebarkan isu Denpasar melakukan diskriminasi atau bersikap tidak toleran terhadap penganut agama tertentu.
Dia berjanji segera mengecek mengenai adanya sekolah yang melarang siswa mengenakan jilbab, seperti yang terjadi di SMAN 2 Denpasar.
Siswi SMAN 2 Denpasar Anita Wardhana belum diperkenankan mengenakan jilbab saat bersekolah. Sesuai kebiasaan di sekolah ini, seragam yang digunakan para siswi adalah baju berlengan pendek dan rok.
Keinginan Anita mengenakan jilbab dijembatani dengan pihak sekolah dua tahun lalu. Siswi Kelas XII IPA 1 itu boleh berjilbab saat mengikuti ekstrakurikuler pelajaran bahasa Inggris.
Bagi Anita dan keluarga, sikap sekolah itu merupakan kebijakan yang lebih longgar. ”Tapi, saya memang ingin mengenakan jilbab secara sempurna. Yang saya pikirkan adalah juga foto di ijazah agar berjilbab,” kata Anita.
Kepala SMAN 2 Denpasar Ketut Sunarta mengatakan, pihaknya tak melarang siswi yang ingin mengenakan jilbab ke sekolah. Hanya saja, peraturan sekolah yang disepakati siswa dan wali murid tidak mengatur soal pakaian khas.
Sunarta mengaku butuh waktu dan kesempatan khusus untuk mengubah peraturan. ”Tapi, saya akan perhatikan keinginan Anita itu, saya akan bahas dan konsultasikan dulu,” kata Sunarta.
Saat ini, Anita dan siswi Muslim lainnya bisa mengenakan jilbab setiap Sabtu. Sekolah sudah mengeluarkan kebijakan murid mengenakan pakaian bebas setiap Sabtu. Kebijakan itu mulai diberlakukan Sabtu (11/1), kata Sunarta.
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ahmad Baraas,
***
Kasus Larangan Jilbab di Bali
Sudah Tiga Tahun Aktivis PII ini Perjuangkan Hak Berjilbab
Menyedihkan, seorang pelajar masih harus memperjuangkan hak nya memakai jilbab di negeri yang mayoritas penduduknya justru beragama Islam
Melaksanakan perintah agama merupakan bagian tak terpisahkan dari hak asasi seseorang. Tapi nurani siapa tidak resah jika keyakinannya itu terhambat?
Itulah yang kini sedang dialami Anita Whardani, seorang siswi SMA Negeri 2 Denpasar Bali.
Anita Whardani merasakan tidak bebasa dalam melaksakan keyakinan agamanya karena adanya larangan penggunakan jilbab pihak sekolah.
“Ketika berangkat sekolah saya berjilbab, namum setelah masuk lingkungan sekolah jilbab saya lepas, karena di sekolah dilarang memakai jilbab ketika proses belajar mengajar,” demikian disampaikan Anita saat di temui hidayatullah.combelum lama ini.
Siswi SMA Negeri 2 kelahiran Denpasar 04 April 1996 mengaku telah berjuang mendapatkan haknya memakai jilbab sejak tahun pertama ia masuk sekolah, yakni Tahun 2011.
Namun hingga berganti tahun, 2014 , Anita yang aktif di Pelajar Islam Indonesia (PII) Denpasar ini, belum juga mendapatkan haknya untuk berjilbab saat sekolah.
“Saya sudah ijin kepala sekolah untuk bisa memakai jilbab saat sekolah, tetapi tidak diizinkan. Alasannya bila pakai jilbab atribut sekolah tidak terlihat,” tutur Anita lagi.
Hanya saja menurutnya, pelarangan memakai jilbab saat di sekolah tidak tertuang pada aturan seragam sekolah.
“Dalam aturan seragam tidak tertulis pelarangan berjilbab saat sekolah, jadi ini hanya larangan verbal dari kepala sekolah,” ucap Anita.
Anita kerapkali menghadap ke kepala sekolah meminta izin agar dirinya memakai jilbab saat sekolah tapi hal itu tidak digubris.
Bahkan yang cukup menyedihkan, pernah kepala sekolah menasehatinya jika tetap ingin berjilbab, sebaiknya Anita pindah sekolah.
“Saya sudah beberapa kali menghadap kepala sekolah, beliau menyarankan jika ingin tetap berjilabab sebaiknya pindah sekolah saja,”ungkap Anita.
Anita bukan satu-satunya siswa Muslim yang bersekolah di SMA Negeri 2 Denpasar. Menurut beberapa sumber, banyak teman-temannya pada saat masa orientasi terlihat berjilbab. Namun ketika aktivitas sekolah sudah dimulai secara resmi, banyak di antara mereka menaggalkan jilbabnya setelah adanya larangan.
Hingga hari ini, hanya Anita yang masih terus berjuang untuk mendapatkan haknya bisa berjilbab tanpa adanya tekanan.
Cukup menyedihkan, seorang pelajar Muslim masih harus memperjuangkan hak nya memakai jilbab di negeri yang mayoritas penduduknya justru beragama Islam.*
Rep: Samsul Bahri
Editor: Cholis Akbar/ Hidayatullah.com— Senin, 6 Januari 2014 – 14:58 WIB
***
Kasus Larangan Jilbab di Bali
MUI Bali Dukung Gerakan Hak Pelajar Muslim Berjilbab
Isi khutbah MUI tentu saja membuat jama’ah tergugah atas peristiwa larangan siswi berjilbab di sekolah negeri Bali
Hidayatullah.com—Setelah hampir sepuluh hari Tim Advokasi Pembelaan Hak Pelajar Muslim Bali menggalang dukungan umat, akhirnya membuahkan hasil.
Dukungan para ulama di Bali dan masyarakat yang menyeru persatuan umat untuk mendukung gerakan Tim Advokasi memperjuangkan hak pelajar Muslimah menggunakan jilbab di Pulau Dewata makin meluas.
“Jama’ah rahimakumullah, kini ada sekelompok pemuda yang sedang berjuang di Bali, memperjuangkan pelajar Muslimah untuk bisa memakai jilbab secara bebas di lingkungan sekolah, kita selaku masyarakat Muslim Bali harus mendukungnya,” demikian disampaikan oleh KH. Taufiq, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Bali dalam Khotbah Jum’atnya di masjid Baitul Makmur (10/01/2014).
Isi khutbah MUI tentu saja membuat jama’ah tergugah atas peristiwa larangan siswi berjilbab di sekolah negeri Bali.
MUI mengajak masyarakat membuka matanya atas persoalan yang sedang dihadapi umat Muslim khususnya generasi muda.
“Saya terharu atas seruan khotib, telah menyadarkan saya sebagai warga yang seharusnya lebih bertanggung jawab menyelesaikan permasalahan ummat yang terjadi di Bali,” ungkap Muhammad Dimaz salah seorang jama’ah usai sholat Jum’at.
Di daerah yang berbeda, telah beredar buletin al-Muhajirin yang mengangkat permasalahan larangan jilbab di sekolah.
Hal itu terungkap ketika Ustad Harun salah satu jam’ah ketika masuk masjid untuk sholat Jum’at.
“Banyak masyarakat di Tabanan yang kini tersadarkan atas permasalahan larangan jilbab tersebut,” ujar Harun yang juga selaku anggota Jami’atul Quro wal Hufadz Kabupaten Tabanan melalui pesan singkatnya kepada Musollin anggota Tim Advokasi Pembelaan Hak Pelajar Muslim Bali.
Seperti diketahui, sebelumnya telah terjadi larangan berjilbab oleh Kepala Sekolah SMAN 2 Denpasar kepada Anita Wardhani siswi kelas XII IPA 1.
Di lain tempat, Tim Advokasi menemui Ustad Royhan Sekretaris FKUB Provinsi Bali.
Dalam diskusinya bahwa FKUB tidak memiliki wewenang dalam perkara larangan jilbab di sekolah, karena FKUB lebih mengurusi persoalan sosial kemasyarakatan.
“Urusan pengaturan jilbab itu bisa dimusyawarahkan oleh Kepala Sekolah dan Komite Sekolah, dan para orangtua beserta murid harus mengajukan pemberitahuan kepada pihak sekolah jika ingin menggunakan seragam khas,” tegas Ustad Royhan yang juga menjabat sebagai Sekretaris MUI Provinsi Bali ketika ditemui di kantor MUI.*/Helmi
Rep: Administrator
Editor: Cholis Akbar/hdytllhcom
(nahimunkar.com)
0 komentar:
Posting Komentar