Sebuah laporan baru Departemen Pertahanan AS memperingatkan bahwa masalah keandalan perangkat lunak yang digunakan saat ini pada pesawat tempur siluman F-35 dapat menunda rencana Korps Marinir untuk menggunakannya pada pertengahan 2015 nanti.
Laporan yang diterima oleh Reuters ini diterbitkan oleh Kepala Pengujian Senjata Pentagon, Michael Gilmore, yang secara rinci mengkritisi kemampuan teknis F-35. Gilmore mengatakan bahwa kinerja perangkat lunak F-35 tidak dapat diterima.
Laporan itu memperkirakan kemungkinan penundaan selama 13 bulan untuk menyelesaikan masalah pada perangkat lunak Block 2B yang sejatinya pada awal tahun depan akan digunakan oleh Korps Marinir untuk menggantikan jet tempur lamanya. Pengoperasian F-35 menjadi prioritas mengingat tingginya biaya pemeliharaan pesawat-pesawat tempur tua milik Korps Marinir saat ini.
Gilmore sudah sejak lama mengkritisi program F-35 Joint Strike Fighter yang senilai USD 392 miliar, program senjata termahal dalam sejarah Pentagon.
Laporan tersebut akan dikirimkan ke Kongres pada pekan ini, berisi tentang pernyataan bahwa F-35 terbukti kurang bisa diandalkan dan lebih sulit dalam hal pemeliharan seperti yang diharapkan, dan rentan terhadap kebakaran propelan yang dipicu oleh serangan rudal.
Program F-35 JSF dimulai pada tahun 2001 dan biayanya sudah melebihi 70 persen dari perkiraan awal dan diluar dari jadwal.
Letnan Jenderal Chris Bogdan, Kepala Program F-35 Pentagon, mengatakan dalam sebuah pernyatannya kepada Reuters bahwa laporan Gilmore memang faktual dan akurat, tapi Bogdan menilai Gilmore hanya mengkritisi, tidak berusaha mencari solusinya bersama pengembang untuk mengatasi masalah perangkat lunak, keandalan dan pemeliharaannya.
"Desain F-35 sudah bagus, dan hasil uji coba menggarisbawahi keyakinan kami untuk performa terbaiknya," kata Bogdan. "Tentu saja, kami menyadari masih ada risiko dalam program ini, tapi itu bisa dipahami."
Bogdan mengatakan bahwa ia tetap yakin bahwa kemampuan tempur F-35 akan siap pada waktunya untuk Korps Marinir pada tahun depan, sembari menyebutkan serangkaian keberhasilan uji coba yang dilakukan pada akhir tahun lalu. Dia mengatakan bahwa program ini sudah menuju ke arah yang lebih baik dengan telah menyelesaikan 1.153 uji penerbangan dan total seluruh pengujian (terbang, dll) mencapai 9.000 kali pada tahun 2013.
Lockheed Martin mengembangkan F-35 untuk Korps Marinir, Angkatan Udara dan Angkatan Laut, dan juga untuk delapan negara yang mendanai pengembangannya: Inggris, Kanada, Australia, Italia, Turki, Denmark dan Belanda. Diluar negara itu, Israel dan Jepang juga telah memesan jet tempur ini.
Program F-35 JSF dimulai pada tahun 2001 dan biayanya sudah melebihi 70 persen dari perkiraan awal dan diluar dari jadwal, namun pejabat tinggi AS mengatakan bahwa program F-35 telah mengalami banyak kemajuan.
Kritik Lain
Pada awal pekan ini, Center for International Policy mengatakan Lockheed Martin terlalu membesar-besarkan estimasi program F-35 yang diklaim telah menciptakan 125.000 lapangan kerja langsung dan tidak langsung di 46 negara.
Laporan-laporan semacam itu akan menjadi angin segar bagi pengkritik program F-35 lainnya, termasuk yang mendukung kritik ini adalah Boeing, yang lebih mengharapkan Angkatan Laut AS membeli jet tempur F/A-18 Super Hornet-nya.
Tapi Chief Executive Lockheed Martin, Marillyn Hewson, pada hari Kamis mengatakan kepada wartawan bahwa ia melihat dukungan yang baik dari pemerintah AS, Kongres dan sekutu asing untuk program F-35.
"Tidak ada yang perlu dipertanyakan... bahwa kita butuh dengan F-35. Ini sangat penting, kemampuan (tempur) yang unik bagi bangsa kita," katanya.
Peningkatan penggunaan sistem listrik pada F-35 akan membuatnya rentan terhadap sambaran petir dan tembakan rudal.
Terkait laporan Gilmore, juru bicara Lockheed Martin, Michael Rein, menegaskan bahwa F-35 sudah memenuhi dan melampaui uji terbang, dan Lockheed Martin akan terus mengatasi masalah-masalah yang muncul. Mengatakan bahwa tantangan-tantangan semacam itu adalah normal untuk sebuah proyek sebesar F-35.
Laporan Gilmore memang mengakui kemajuan dalam uji penerbangan yang dicapai F-35 pada tahun 2013. Namun dikatakan bahwa program F-35 masih belum klop dalam mengintegrasikan sistem misi, sensor, senjata dan perlengkapan lainnya yang diperlukan operasi militer.
Perangkat lunak yang digunakan saat ini terlalu banyak peringatan gangguan dan mengakibatkan kinerja sensor menjadi buruk. Pemecahan masalah pada perangkat lunak ini sendiri telah diperlambat oleh uji coba penerbangan yang terus menerus.
Menurut laporan Gilmore, masalah pada perangkat lunak Blok 2B antara lain masih terdapat kekurangan di fusion, radar, sistem peperangan elektronik, navigasi, sistem target elektro-optik,distributed aperture system, helmet-mounted display system dan datalink. Memperingatkan bahwa Korps Marinir mungkin akan belum bisa menggunakannya pada 2015. Disebutkan juga bahwa ada sedikit margin untuk setiap penambahan bobot F-35, dan peningkatan penggunaan sistem listrik pada F-35 akan membuatnya rentan terhadap sambaran petir dan tembakan rudal.
(Kredit foto: Paul Weatherman/U.S. Air Force)
artileri.org
0 komentar:
Posting Komentar