Oleh: Yanuardi Syukur,
Alumnus Politik dan Hubungan Internasional di Timur Tengah UI dan Aktivis Kajian Zionsime Internasional
“At Basle I founded the Jewish State…
Perhaps in five years, and certainty in fifty, everyone will know it.”
Perhaps in five years, and certainty in fifty, everyone will know it.”
(Di Basel saya mendirikan negara Yahudi…
Barangkali dalam waktu lima tahun, dalam lima puluh tahun, tiap orang akan mengetahui itu)
THEODOR HERZL, Pendiri Zionisme (1860-1904)
Barangkali dalam waktu lima tahun, dalam lima puluh tahun, tiap orang akan mengetahui itu)
THEODOR HERZL, Pendiri Zionisme (1860-1904)
“Kita harus melakukan segala upaya untuk menjamin agar mereka (pengungsi Arab-Palestina)
tidak akan pernah kembali (ke Palestina).”
BEN GURION, Mantan Perdana Menteri Israel
tidak akan pernah kembali (ke Palestina).”
BEN GURION, Mantan Perdana Menteri Israel
A. Klaim Teologis dan Historis atas Palestina
Pemerintah
Israel dalam sumber resminya mencatat bahwa sejarah bangsa Yahudi (The
Jewish People) dimulai sejak sekitar 4000 tahun lalu dengan tokoh utama
Ibrahim (Abraham), Ishak (Isaac), dan Ya’kub (Jacob), yang juga dikenal
dengan nama Israel. Dalam tulisan Ellen Hirsch, Facts about Israel, yang
diterbitkan oleh Israel Information Center, menyatakan bahwa berdirinya
negara Israel telah menghapus 2000 tahun impian bangsa Yahudi untuk
kembali ke tanah leluhur mereka: ”The Establishment of Israel (1948)
grew out their 2.000 year-old to return to their ancestral homeland its
national life and sovereignty.”
Sumber
ini juga membagi perjalanan bangsa Israel ke dalam 15 periode, yaitu:
Pertama, masa Ibrahim (Abraham), Ishak (Isaac), dan Ya’kub (Jacob),
sekitar abad ke-17 SM. Kedua, masa eksodus dari Mesir di bawah pimpinan
Musa dan menetap di ”Tanah Israel” yang dikatakan sebagai Land of
Israel/Eretz Israel (sekitar abad ke-13 sd. 12 SM). Ketiga, masa
kerajaan Saul, Daud (David), dan Sulaiman (Solomon) sekitar tahun
1020-930 SM. Di masa Sulaiman inilah didirikan ”Kuil Sulaiman” (The
Solomon Temple) yang menjadi pusat kehidupan keagamaan masyarakat
Yahudi. Keempat, masa terpecah-belahnya kerajaan Daud-Sulaiman menjadi
sekitar 40 kerajaan. Di masa inilah kerajaan Babilonia menaklukkan
Kerajaan Judah dan mengusir sebagian besar penduduknya serta
menghancurkan ”Kuil Sulaiman” (586 SM). Kelima, masa pengusiran pertama
oleh Babilonia (585-538 SM). Pengusiran ini menandai dimulai diaspora
kaum Yahudi (The Jewish Diaspora). Keenam, masa pendudukan Persia dan
masa Hellenisme (538-142 SM). Ketujuh, masa dinasti Hasmonean (142-63
SM). Kedelapan, masa kekuasaan Romawi (63 SM-313 M). Kesembilan, masa
pemerintahan Bizantine (313-636 M). Kesepuluh, masa pemerintahan Arab
(636-1099 M). Kesebelas, masa pemerintahan Tentara Salib (1099-1291 M).
Keduabelas, masa pemerintahan Mamluk (1291-1516 M). Ketigabelas, masa
pemerintahan Ottoman (1517-1917 M). Keempatbelas, masa pemerintahan
Inggris (1918-1948 M). Kelimabelas, berdirinya negara Israel (14 Mei
1948).
Dari
sumber resmi pemerintah Israel ini kita melihat bahwa Israel berusaha
agar eksistensinya dikaitkan dengan klaim-klaim yang ada dalam teologi,
sekaligus dalam sejarah. Klaim teologis ini berawal dari kisah Abraham
yang diklaim sebagai leluhur Israel. Cerita-cerita tentang leluhur ini,
yang terdapat dalam Perjanjian Lama menurut David F. Hinson, bukanlah
suatu cerita sejarah, tetapi hanya suatu legenda. Cerita-cerita ini
bukanlah laporan-laporan yang ditulis segera setelah peristiwa itu
terjadi, tetapi baru ditulis beberapa abad kemudian setelah Abraham
meninggal.
Kisah
tentang Abraham terdapat dalam Kejadian 12-25. Kisah itu dimulai dengan
perintah dan janji Allah kepada Abraham dan terus berlangsung sampai
penggenapannya. Allah memerintahkan Abraham, “Pergilah ke negeri yang
akan Kutunjukkan kepadamu” (Kejadian 12: 1). Allah juga berjanji kepada
Abraham, “Aku akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar.” (Kejadian
12: 2). Abraham kemudian diperintahkan pergi ke tanah Palestina dan
Tuhan menyakinkannya bahwa negara itu akan menjadi milik turunannya.
Tanah Palestina itulah yang disebut sebagai “tanah yang dijanjikan” (The
Promised Land) atau Israel Raya (Eretz Israel).
Klaim
teologis ini kemudian dijadikan alasan oleh tokoh zionis untuk
mendirikan negara di Palestina. Dalam deklarasi negara Israel tahun 1948
tertulis,
“By
virtue of our natural and historic right…(we) do hereby proclaim the
establishment of a Jewish State in the Land of Israel—The State of
Israel (Atas dasar hak alamiah dan hak historis kita…dengan ini (kami)
memproklamasikan berdirinya sebuah negara Yahudi di Tanah Israel—Negara
Israel).
Selain
itu, permasalahan batas wilayah negara Israel, juga tidak ditentukan
secara jelas. Mengikuti klaim teologis, tokoh-tokoh zionis menggariskan
bahwa wilayah Israel Raya membentang dari “Hulu Mesir sampai ke Eufrat.”
Klaim
teologis di atas oleh Paul Findley dan Roger Garaudy kemudian dibongkar
kepalsuannya. Dalam catatan sejarah, ternyata bangsa Yahudi bukanlah
penduduk pertama di tanah Palestina. Mereka juga tidak memerintah di
sana selama masa pemerintahan bangsa-bangsa lain. Pada ahli arkeologi
modern kini secara umum sepakat bahwa bangsa Mesir dan Kanaan telah
mendiami tanah Palestina sejak masa-masa paling kuno sekitar 3000 SM
hingga 1700 SM. Selanjutnya, datang penguasa-penguasa lain seperti
bangsa Hyokos, Hittite, dan Filistin.
Mengutip
Charles Foster Kent, sejarawan Mesir Ahmad Syalabi mencatat bahwa
bangsa Phoenix adalah yang pertama kali mendatangi kawasan Palestina,
sekitar 3000 SM. Kedatangan mereka disusul oleh kabilah Kanaan (2500
SM), kemudian datang kabilah Palestin dari Pulau Kreta (1200 SM). Hasil
pencampuran antara kabilah Palestin dan kabilah Kanaan itu kemudian
melahirkan generasi baru yang berketurunan darah Arab dengan menggunakan
dialeg bangsa Semit. Sementara tempat kediaman mereka dikenal dengan
nama “Negeri Palestina.”
Periode
pemerintahan Yahudi baru dimulai pada 1020 SM dan berlangsung hingga
587 SM. Bangsa-bangsa Asyiria, Babylonia, Yunani dan Mesir menyerbu
bangsa Yahudi. Pada tahun 587 SM, penguasa Babylonia Nebukadnezzar
menyerbu Palestina dan memaksa bangsa Yahudi menyerah dan menjalani
persebaran (diaspora). Yahudi Maccabean berhasil mengambil alih sebagian
kekuasaan pada 164 SM. Tetapi, pada 63 SM, penguasa Romawi berhasil
menaklukkan Jerussalem dan pada 70 M menghancurkan Kuil Kedua—dibangun
pada 517 SM oleh Zerubbabel—dan kembali menimbulkan diáspora bangsa
Yahudi. Jadi, bangsa Yahudi pernah menguasai Palestina atau sebagian
besar darinya kurang dari 600 tahun dalam kurun waktu 5000 tahun sejarah
Palestina. Dengan kata lain, bangsa Yahudi kini lebih singkat mendiami
wilayah Palestina dibandingkan dengan bangsa Kanaan, Mesir, Muslim atau
Romawi.
Klaim-klaim
di atas itulah yang kemudian dijadikan alasan oleh kaum Zionis untuk
kembali ke Palestina dengan berbagai cara, termasuk terorisme bagi orang
Yahudi yang enggan kembali, dan bangsa Palestina sendiri.
B. Gerakan Zionisme Internasional
Zionisme
berasal dari bahasa Ibrani ‘Zion’ yang berarti batu karang. Maksudnya
adalah merujuk kepada batu bangunan Haykal Sulaiman yang didirikan di
atas sebuah bukit karang bernama ‘Zion’, terletak di sebelah barat daya
Al-Quds (Jerusalem). Bukit itu menempati kedudukan penting dalam agama
Yahudi, karena menurut Taurat, “Al-Masih yang dijanjikan akan menuntun
kaum Yahudi memasuki tanah yang dijanjikan. Dan Al-Masih akan memerintah
dari atas puncak bukit Zion.” Kata Zion sendiri dikemudian hari
diidentikkan dengan kota suci Jerusalem itu sendiri.
“Zionism
is the Jewish national movement,“ (Zionisme adalah gerakan nasional
kaum Yahudi), begitu ditulis dalam situs zionismonthweb. Tapi, menurut
Roger Garaudy, Zionisme sering didefinisikan oleh dirinya sendiri dalam
tiga hal—bukan persoalan ‘national movement’ saja. Pertama, Doktrin
Politik, seperti yang ditulis dalam Encyclopaedia of Zionisme and
Israel, “Sejak tahun 1896, Zionisme berhubungan dengan gerakan politik
yang didirikan oleh Theodor Herzl .” Kedua, Doktrin nasionalis tidak
dilahirkan oleh Yudaisme, melaikan diambil dari nasionalisme Eropa abad
ke-19. Herzl tidak menggalinya dari agama, seperti yang dikatakannya,
”Saya tidak patuh terhadap impulsi agama.” Atau di halaman 54 dalam
Diaries-nya ia menulis, ”Saya seorang agnostik.” Ketiga, Doktrin
kolonial. Herzl memulai dengan mendirikan sebuah badan yang mempunyai
statuta di bawah perlindungan Inggris atau semua kekuatan politik
lainnya, sambil menunggu penciptaan negara Yahudi. Olehnya, ia pun
menyurati Cecil Rhodes yang berhasil memisahkan satu wilayah di Afrika
Selatan untuk dijadikan negara dengan namanya sendiri: Rhodesia. Ketiga doktrin ini, menurut Garaudy merupakan ciri dari Zionisme politik.
Saat
ini gerakan Zionisme bukan lagi berkutat pada ranah keagamaan, akan
tetapi telah beralih ke makna politik. Maksudnya adalah “Suatu gerakan
pulangnya ‘diaspora’ (terbuangnya) kaum Yahudi yang tersebar di seluruh
dunia untuk kembali bersatu sebagai sebuah bangsa dengan Palestina
sebagai tanah air bangsa Yahudi, dengan Jerusalem sebagai ibukota
negaranya.” Istilah Zionisme dalam makna politik ini dicetuskan oleh
Nathan Bernbaum pada 1890, namun sebelum ini Zionisme Internasional
telah berdiri di New York pada 1 Mei 1776, dua bulan sebelum deklarasi
kemerdekaan Amerika Serikat di Philadelphia.
Gagasan
ini kemudian mendapatkan dukungan dari Kaisar Napoleon Bonaparte ketika
ia merebut dan menduduki Mesir. Untuk memperoleh bantuan keuangan dari
kaum Yahudi, Napoleon pada 20 April 1799 mengambil hati dengan
menyerukan, ”Wahai kaum Yahudi, mari membangun kembali Jerusalem lama.”
Sejak itu, gerakan untuk kembali ke Jerusalem menjadi marak dan meluas.
Yahuda Al-Kalai (1798-1878), adalah tokoh Yahudi pertama yang
melontarkan gagasan pendirian sebuah negara Yahudi di Palestina. Gagasan
kemudian didukung oleh Izvi Hirsch Kalischer (1795-1874) melalui
bukunya yang ditulis dalam bahasa Ibrani ’Derishat Zion’ (1826) yang
berisi studi tentang kemungkinan mendirikan negara Yahudi di Palestina.
Selanjutnya
Moses Hess juga menulis buku dalam bahasa Jerman, berjudul ’Roma und
Jerusalem’ (1862), yang berisi pemikiran tentang solusi ’masalah Yahudi’
di Eropa dengan cara mendorong migrasi orang Yahudi ke Palestina.
Menurut Hess, kehadiran bangsa Yahudi di Palestina akan turut membantu
memikul ”Missi suci orang kulit putih untuk mengadabkan bangsa-bangsa
Asia yang masih primitif dan memperkenalkan peradaban Barat kepada
mereka.” Buku ini memuat pemikiran awal kerjasama dan konspirasi Yahudi
dengan Barat-Kristen menghadapi bangsa-bangsa Asia pada umumnya dan
dunia Islam pada khususnya.
Untuk
mendukung gagasan itu, tulis Z.A Maulani, sebuah organisasi mahasiswa
Yahudi militan bernama ’Ahavat Zion’ berdiri di St. Petersburg, Rusia,
pada 1818, yang menyatakan bahwa,”Setiap anak Israel mengakui bahwa
tidak akan ada penyelamatan bagi Israel, kecuali mendirikan pemerintahan
sendiri di Tanah Israel (’Erzt Israel’)”.
Untuk
menopang pendanaannya, kaum Zionis juga mendapatkan bantuan dari Mayer
Amschel Rotschild (1743-1812) dari Frankfurt, Jerman. Rotschild adalah
keluarga Yahudi terkaya di dunia ketika itu. Selain, politisi Eropa juga
mendukung gerakan ini, seperti Lloyd George (Perdana Menteri Inggris),
Arthur Balfour (Menteri Luar Negeri Inggris), Herbert Sidebotham (tokoh
Militer Inggris), Mark Sykes, Alfred Milner, Ormsby-Gore, Robert Cecil,
J.S Smuts, dan Richard Meinerzhagen.
Sejak
tahun 1882, Sultan Abdul Hamid II telah mengeluarkan dekrit bahwa orang
Yahudi diizinkan untuk beremigrasi ke dalam wilayah kekuasaannya namun
tidak mengizinkan untuk menetap di Palestina. Keputusan ini diambil
karena menurut sultan, emigrasi kaum Yahudi di masa depan akan dapat
membuahkan sebuah negara Yahudi. Walau ada titah dari Sultan, arus
emigrasi itu tetap berhasil masuk ke Palesitna bahkan dengan cara sogok.
Pada 1891, beberapa pengusaha Palestina mengungkapkan keprihatinannya
atas masalah ini, kemudian mengirimkan telegram ke Istambul. Ini
dilakukan karena para pengusaha merasa perdagangan akan bisa dimonopoli
oleh kaum Yahudi, yang kelak akan menjadi ancaman dalam bidang politik.
Gagasan
untuk menjadi gerakan politik ini secara sistematis dibuat oleh Theodor
Herzl (1860-1904) dalam bukunya ’der Judenstaat’ (Negara Yahudi)
(1896). Buku ini dibuat setelah terjadinya Peristiwa Dreyfus (1894) di
Prancis yang mana rakyat banyak meneriakkan ”Matilah Yahudi.” Herzl
merasa perlu agar kaum Yahudi memiliki negara sendiri, maka dibuatkan
buku tersebut. Ketika buku itu terbit, di dalam internal Yahudi sendiri
ada yang mengejek ide Herzl itu. Program yang dikemukakannya ketika itu
adalah pengumpulan dana dari orang Yahudi untuk menuju pembentukan
negara Yahudi. Ia meminta bantuan kepada beberapa orang kaya Yahudi,
namun tidak membuahkan. Tak berapa lama, sekira satu tahun, ia
menyelenggarakan Kongres Zionis I di Basel, Swiss (1897) yang
mengukuhkan dirinya sebagai pemimpin. Kendati Herzl meninggal pada 1904,
44 tahun sebelum negara Yahudi Israel berdiri pada 1948—ia adalah tokoh
besar dan disebut sebagai ”Bapak Pendiri Zionisme Modern” dan ”Filosof
Yahudi yang memiliki pandangan paling jauh ke depan”.
C. Definisi Terorisme
Tidak
mudah untuk membuat pengertian terorisme yang dapat diterima secara
universal, begitu kata ahli hukum pidana internasional, M.Cherif
Bassiouni. Brian Jenkins, mengatakan, “Terorisme merupakan pandangan
yang subjektif.” Karena tidak mudah untuk membuat sebuah definisi yang
paten, maka definisi terorisme lebih banyak diambil dari subjektifitas
orang yang mendefinisikannya. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sendiri
pernah membentuk Ad Hoc Committee on Terrorism tahun 1972 yang bersidang
selama tujuh tahun, namun tak membuahkan hasil definisi yang paten.
Dalam tulisan ini, kami mengambil beberapa definisi terorisme yang diungkapkan oleh kamus dan para ahli.
Menurut
Black’s Law Dictionary, “Terorisme adalah kegiatan yang melibatkan
unsur kekerasan atau yang menimbulkan efek bahaya bagi kehidupan manusia
yang melanggar hukum pidana (Amerika atau negara bagian Amerika), yang
jelas dimaksudkan untuk: a). mengintimidasi penduduk sipil. b).
mempengaruhi kebijakan pemerintah. c). mempengaruhi penyelenggaraan
negara dengan cara penculikan atau pembunuhan.”
Laqueur
(1999), setelah mengkaji lebih dari seratus definisi terorisme,
menyimpulkan adanya unsur yang paling menonjol dari definisi-definisi
tersebut, yaitu bahwa ciri utama dari terorisme adalah dipergunakannya
kekerasan atau ancaman kekerasan. Sementara motivasi politis dalam
terorisme sangat bervariasi, karena selain bermotif politis, terorisme
seringkali dilakukan karena adanya dorongan fanatisme agama.
AC.
Manullang mendefinisikan, “Terorisme adalah suatu cara untuk merebut
kekuasaan dari kelompok lain, dipicu antara lain karena adanya
pertentangan agama, ideologi, dan etnis serta kesenjangan ekonomi, serta
tersumbatnya komunikasi rakyat dengan pemerintah, atau karena adanya
paham separatisme dan ideologi fanatisme.”
Jika
dilihat dari tiga definisi ini, maka tindakan kaum Zionis dalam upaya
merebut tanah Palestina dengan mengusir, menyiksa, hingga membantai
warga sipil di Palestina, maka hal itu termasuk dalam kategori
terorisme. Namun, tetap yang perlu dibedakan antara terorisme dengan
perjuangan perlawanan atas penjajahan bangsa lain. Dalam Resolusi PBB
Nomor 3103, salah satu point penting yang ditekankan disitu adalah,
“Setiap bentuk perjuangan bangsa yang berada di bawah jajahan kekuatan
imperialis, kekuatan asing, dan pemerintahan rasis untuk mewujudkan
kemerdekaan dan mempertahankan hak menentukan nasib sendiri adalah
perjuangan yang sah dan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum
internasional.” Dari resolusi ini bisa dipahami bahwa perjuangan bangsa
Palestina yang ingin memerdekakan dirinya dari imperialisme Zionisme
Israel, tidak termasuk dalam kategori terorisme.
D. Motivasi Terorisme
Sebuah
pertanyaan ditujukan kepada Theodor Herzl, ”Apakah wilayah yang
diperlukan mencapai Beirut atau melewatinya?” Herzl menjawab, ”Kami
meminta sesuai kebutuhan kami. Luas wilayah akan terus bertambah seiring
dengan pertambahan jumlah pendatang.” Jawaban Herzl dalam pertanyaan
ini menandakan bahwa gerakan Zionisme termasuk dalam kategori
ekspansionisme, memperlebar daerah kolonialnya.
Di bawah ini akan dijelaskan beberapa motif dari gerakan terorisme yang dilakukan oleh Zionisme Israel.
Di bawah ini akan dijelaskan beberapa motif dari gerakan terorisme yang dilakukan oleh Zionisme Israel.
1. Penjajahan
Untuk
kembali ke tanah yang dijanjikan, menurut keyakinan Yahudi tidak dapat
dilaksanakan kecuali dipimpin oleh Al-Masih sang juru selamat, bukan
dengan gerakan politik seperti Zionisme internasional. Inilah
penentangan dari golongan Yahudi sendiri ketika ada gerakan untuk
kembali ke tanah Palestina lewat organisasi Zionis. Akan tetapi, gerakan
Zionisme tetap bersikukuh untuk kembali ke tanah yang menurut mereka
dijanjikan Tuhan kepada mereka. Untuk kembali, berarti perlu kerjasama
dengan unsur lain. Di sinilah motif penjajahan kaum Zionis.
Pengamat
zionisme, Dr. Haitsam Al-Kailani menyebut gerakan imperialisme ini
dengan kata ”Imperialisme Pendudukan.” Ia kemudian mendefinisikannya
sebagai, ”Memindahkan penduduk negara imperialis ke wilayah jajahan
mereka dan membangun koloni-koloni di tempat baru tersebut tanpa
memperhatikan hak-hak penduduk asli.” Rencana ini, membuat penduduk asli
akan rentan terhadap tindakan terorisme, terutama pengusiran dan
pembantaian. Dan, jika mereka tetap tinggal di koloni tersebut, maka
mereka akan menerima perlakuan diskriminatif dan rasis tanpa
memperdulikan hak-hak menentukan nasib sendiri. Inilah yang terjadi di
Palestina ketika Zionisme menyerang dan merampas tanah-tanah mereka.
Motivasi
imperialisme ini juga didukung oleh Perancis ketika Napoleon Bonaparte
melancarkan serangannya ke Mesir dan Syiria (20 April 1799), sekitar 118
tahun sebelum adanya Deklarasi Balfour. Bonaparte berkata, ”Wahai Bani
Israel, wahai bangsa yang terpilih, yang tidak ada kekuatan manapun yang
mampu menghapus nama dan keberadaan kalian di muka bumi. Kalian hanya
kehilangan tanah leluhur…Perancis menawarkan kepada kalian warisan
Israel saat ini juga, di luar berbagai perkiraan yang ada. Wahai para
pewaris sah Palestina, kami bangsa yang tidak pernah memperjualbelikan
manusia dan negeri…menyeru kalian bukan dengan tujuan menguasai warisan
kalian tetapi untuk mengembalikan warisan kalian dengan jaminan,
dukungan dan perlindungan penuh kami dari setiap penyusup.”
Motivasi
imperialisme kaum Zionis ini juga ditegaskan oleh Maxim Roudson dengan
ucapannya, ”Pembentukan negara Israel di Palestina adalah salah satu
rangkaian gerakan ekspansi besar-besaran yang dilakukan Eropa dan
Amerika pada abad ke-19 dan 20 untuk menduduki dan menguasai aspek
ekonomi dan politik bangsa-bangsa lain.”
Motivasi
ini semakin dikuatkan lagi dengan pernyataan dari tokoh gerakan
Zionisme sendiri, yaitu Theodor Herzl yang berkata, ”Kita akan membangun
benteng untuk melindungi kepentingan Eropa di Asia yang menjadi benteng
peradaban yang kokoh menghadapi barbarisme.” Dari kalimat ini
menandakan bahwa Zionisme sebagai perpanjangan tangan dari imperialisme,
untuk menghadapi bangsa-bangsa Timur adalah sebuah fakta nyata.
2. Rasisme
Mempercayai
bahwa ras-nya lebih unggul dari bangsa-bangsa lain di dunia ini adalah
salah satu karakter dari gerakan Zionis. Ini kita kenal dengan nama
rasisme. Hal ini didasarkan pada paham bahwa bangsa lain, selain
Yahudi—termasuk orang Arab-Palestina—adalah tergolong kaum ’goyyim’ yang
lebih rendah derajatnya dari manusia, dan karenanya menurut kaum
Yahudi, kaum ’goyyim’ tidak boleh dan tidak dapat diperlakukan sebagai
manusia.
Berdasarkan
prinsip rasis ini, menurut Z.A. Maulani (2002), dalam bukunya Zionisme:
Gerakan Menaklukkan Dunia, kaum Yahudi menghalalkan segala cara,
termasuk teorisme sebagai modus operandi utama untuk membangun negara
Yahudi. Perihal rasisme ini, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bahkan
pernah mengeluarkan Resolusi No. 3379-D/10/11/75
menyatakan bahwa ”Zionisme adalah Gerakan Rasisme.” Resolusi ini dalam
perjalanan sejarahnya hanya bisa bertahan selama 15 tahun. Setelah Perang Teluk berakhir pada tahun 1991, atas desakan Amerika Serikat, resolusi tersebut dicabut.
Motivasi
keunggulan Yahudi juga diambil dari teori seleksi alam-nya Darwin. Ini
dilakukan agar rasisme ini dapat diterima oleh banyak kalangan. Dalam
buku Roma dan Jerussalem karya Moses Hess, salah seorang pakar ilmu ras
menulis bahwa ras Yahudi adalah ras yang murni dan suci. Dalam buku ini,
Hess juga menjelaskan dengan pendekatan ”ilmu tentang manusia dan
kebudayaannya” atau antropologi.
Jadi, rencana kembalinya bangsa Yahudi ke tanah Palestina, salah satu motifnya adalah untuk menjaga kemurnian ras Yahudi dalam sebuah tanah yang memang menurut kaum Yahudi telah dijanjikan Tuhan kepada mereka.
Jadi, rencana kembalinya bangsa Yahudi ke tanah Palestina, salah satu motifnya adalah untuk menjaga kemurnian ras Yahudi dalam sebuah tanah yang memang menurut kaum Yahudi telah dijanjikan Tuhan kepada mereka.
E. Metode Terorisme
Terorisme
negara Zionisme Israel banyak metodenya. Dari penyiksaan fisik,
pengusiran, diskriminasi dalam perundang-undangan, hingga pembunuhan dan
pembantaian. Agresi demi agresi dilancarkan oleh tentara Zionis Israel
tanpa pandang bulu. Orang tua, tokoh politik, pejabat pemerintah
Palestina, hingga anak-anak juga menjadi korban dari agresi negara
Israel.
Setidaknya, ada beberapa metode terorisme yang dilakukan oleh negara Israel sejak berdiri pada 1948 hingga saat ini.
1. Diskriminasi Ras
Dari
berbagai kebijakaan Israel, perihal diskriminasi ras begitu nyata di
lapangan. Dalam Undang-Undang Kembali (Law of Return) tahun 1950 pada
pasal pertama tertulis, ”Setiap warga Yahudi berhak untuk pindah ke
Israel.” Ini berarti bahwa semua orang Yahudi dimanapun berada memiliki
hak untuk datang ke Palestina dan menjadi penduduk resmi. Sedangkan bagi
empat juta warga Arab asli yang dilahirkan di tanah Palestina yang
beragama Islam atau Kristen, tidak memiliki hak untuk pulang ke tanah
airnya.
Menurut
Daud Abdullah, dalam artikelnya di Palestine Times (2001), ini jelas
bertentangan dengan article dan 56 Piagam PBB. Bahkan menurut article 80
(1), setiap orang dijamin haknya untuk kembali ke tanah airnya. Olehnya
itu maka Komisi HAM PBB dalam resolusi 3379 menyamakan Zionisme dengan
rasisme.
Dalam
Undang-Undang Kewarganegaraan yang disahkan pada 1952 untuk melengkapi
undang-undang sebelumnya. Dalam UU ini dijelaskan bahwa penduduk asli
Palestina tidak memiliki hak kewarganegaraan, kecuali setelah melalui
persyaratan yang panjang, terutama syarat: terbukti tinggal di Israel
dari mulai deklarasi Negara Israel hingga tanggal dikeluarkannya UU
Kewarganegaraan. Selain itu, juga harus mendapatkan persetujuan Menteri Dalam Negeri serta berbagai persyaratan administratif lainnya.
Dalam
Undang-Undang Darurat yang dikeluarkan oleh pemerintah Inggris di
Palestina, dijelaskan bahwa tentara Inggris memiliki jangkauan yang
sangat luas untuk menahan, menutup kawasan tertentu, menyita
barang-barang, memberlakukan jam malam, membatasi perjalanan, mengusir
dan mengasingkan ke luar negeri, melarang untuk kembali ke tanah air,
membatasi perkumpulan, pembatasan pers, pendidikan, perumahan, pelayanan
sosial, pekerjaan, pembuangan kotoran, sarana jalan dan juga air yang
diberikan cuma-cuma kepada warga Israel sedangkan Palestina tidak
mendapatkan pelayanan yang memadai. Ini dikeluarkan Inggris untuk
menghadapi perlawanan Palestina. Kelak, ketika berdiri Negara Israel
pada 1948, UU ini diberlakukan kembali.
Selain
itu, diskriminasi juga terlihat dari Undang-Undang Pertanahan. Sejak
1948, pemerintah Israel telah melaksanakan penyitaan tanah. Menurut
Prof. Israel Shahak, undang-undang ini dibuat untuk memindahkan hak
milik atas tanah bukan demi kepentingan penduduk Israel semata, akan
tetapi untuk kepentingan seluruh Yahudi yang ada di dunia. Ini
dimungkinkan, karena kaum Yahudi di Palestina tetap membutuhkan banyak
orang Yahudi menetap di sana, agar kemurnian ras Yahudi tidak bercampur
dengan ras lainnya.
2. Pembantaian
Pembantaian
pengungsi Palestina di Shabra dan Shatilla adalah salah satu contoh
peristiwa tragis dalam sejarah hubungan Israel-Palestina. Dalam
peristiwa ini, kurang lebih 3297 orang Palestina tewas. Kebanyakan yang
tewas adalah wanita, anak-anak dan orang tua. Pembantaian ini dipimpin
oleh Menteri Pertahanan Israel Ariel Sharon pada 1982.
Pembantaian
adalah salah satu metode terorisme yang berupaya untuk memberikan efek
jera kepada bangsa Palestina. Selain Shabra dan Shatilla, tragedi
pembantaian juga telah dilakukan Israel sejak berdiri negara Israel.
Pembantaian Balad Al-Syaikh dan Hawasa (1 Januari 1948) terjadi setelah
seratusan tentara Zionis mengepung dan menyerbu perkampungan Palestina
dengan melemparkan bom diringi dengan tembakan.
Secara sistematis, pembantaian yang dilakukan oleh tentara zionis atas penduduk Palestina bisa dilihat dibawah ini:
Tahun Peristiwa Pembantaian
1948 Pembantaian Balad Al-Syaikh dan Hawasa. Dier Yasin, Nashir El-Din, dan Beit Daras
1951 Syarafat
1953 Desa Falma, Qibya.
1954 Nahalin, Dier Ayyub
1955 Gaza, Khan Yunus
1956 Qalqayliya
1982 Shabra dan Shatilla
1994 Haram Al-Ibrahimi
2006 Beit Hanun
1951 Syarafat
1953 Desa Falma, Qibya.
1954 Nahalin, Dier Ayyub
1955 Gaza, Khan Yunus
1956 Qalqayliya
1982 Shabra dan Shatilla
1994 Haram Al-Ibrahimi
2006 Beit Hanun
3. Pembunuhan
Surat
Kabar Israel Haaretz (6 Juni 2006), mengungkapkan bahwa kebijakan
pembunuhan oleh bangsa Israel mendampingi kelahiran Negara Israel.
Mengutip dari Haaretz, Guru Besar Emiritus dari Binghamton University
USA, James Petras dalam bukunya The Power of Israel in USA (hal.147-149)
menulis: Pada 27 Desember 1947, Haganah (Tentara Pra-Negara Israel),
mengeluarkan satu perintah yang disebut dengan Operasi Zarzir (Burung
Jalak). Dalam operasi kita dapat melihat rencana operasional untuk
beberapa dekade yang disebut dengan ”pembunuhan bertarget.”
Di
sini telah ditentukan siapa saja target yang akan dilenyapkan dalam
operasi ini. Haganah sendiri adalah organisasi Zionis yang berdiri pada
1921 di Al-Quds di bawah pengawasan Hestedrot (Asosiasi Pekerja Yahudi).
Khalid
Meshal, salah seorang pimpinan Hamas, juga pernah diracun oleh
Intelijen Israel, Mossad. Perintah ini dikeluarkan langsung oleh PM.
Israel Benyamin Netanyahu. Walau pada akhirnya, Meshal selamat setelah
mendapatkan penawar racun dari Raja Hussein dari Jordania yang
didapatnya dari Israel, setidaknya operasi pembunuhan bertarget adalah
salah satu strategi kaum Zionis Yahudi untuk mempertahankan
eksistensinya di Palestina. Para tokoh perlawanan Palestina memang kerap
mendapatkan ”jatah” seperti ini oleh Israel.
Pembunuhan
ini juga telah dijalankan kepada para pemimpin besar Palestina seperti
Syekh Ahmad Yasin dan Abdul Aziz Rantisi. Keduanya adalah tokoh elit
dalam gerakan perlawanan Palestina, Hamas (Harakah al-Muqawwamah
al-Islamiyyah). Keduanya dibunuh pada tahun yang sama, Yasin pada Maret
sedangkan Rantisi pada April 2004.
Sumber Buku:
Al-Kailani, Haitsam. Siapa Teroris Dunia? Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001
As-Sya’rani, Abu Nasir. Gerbang Kehancuran Yahudi. Jakarta: Al-Jannah, 2002
Comes. Palestina Merdeka atau Intifadah Jilid III, Jakarta, 2007
Garaudy, Roger. Mitos dan Politik Israel. Jakarta: Gema Insani Press (GIP), 2000
Husaini, Adian. Pragmatisme Dalam Politik Zionis Israel. Jakarta: Penerbit Khairul Bayan, 2004
Maulani, ZA. Zionisme Gerakan Menaklukkan Dunia. Jakarta: Penerbit Daseta, 2002
Nurdi, Herry. Mossad Behind Every Conspiracy. Jakarta: Cakrawala Publishing, 2007
Osman, Ahmad. Israel, Siapa Mereka? Fima Rodheta, 2008
Petras, James. The Power of Israel in USA. Jakarta: Zahra, 2008
Prior, Michael. Zionism and The State of Israel. London & New York: Routledge, 1999
Sihbudi, Riza. Profil Negara-Negara Timur Tengah: Buku Satu. Jakarta: Pustaka Jaya, 1995
Sihbudi, Riza. Menyandera Timur Tengah. Jakarta: Mizan, 2007
Zainuddin, AR. Pemikiran Politik Islam: Islam, Timur Tengah dan Benturan Ideologi. Jakarta: Pensil 324, 2004
As-Sya’rani, Abu Nasir. Gerbang Kehancuran Yahudi. Jakarta: Al-Jannah, 2002
Comes. Palestina Merdeka atau Intifadah Jilid III, Jakarta, 2007
Garaudy, Roger. Mitos dan Politik Israel. Jakarta: Gema Insani Press (GIP), 2000
Husaini, Adian. Pragmatisme Dalam Politik Zionis Israel. Jakarta: Penerbit Khairul Bayan, 2004
Maulani, ZA. Zionisme Gerakan Menaklukkan Dunia. Jakarta: Penerbit Daseta, 2002
Nurdi, Herry. Mossad Behind Every Conspiracy. Jakarta: Cakrawala Publishing, 2007
Osman, Ahmad. Israel, Siapa Mereka? Fima Rodheta, 2008
Petras, James. The Power of Israel in USA. Jakarta: Zahra, 2008
Prior, Michael. Zionism and The State of Israel. London & New York: Routledge, 1999
Sihbudi, Riza. Profil Negara-Negara Timur Tengah: Buku Satu. Jakarta: Pustaka Jaya, 1995
Sihbudi, Riza. Menyandera Timur Tengah. Jakarta: Mizan, 2007
Zainuddin, AR. Pemikiran Politik Islam: Islam, Timur Tengah dan Benturan Ideologi. Jakarta: Pensil 324, 2004
0 komentar:
Posting Komentar