ANALISIS : Adakah yang salah dengan semboyan kesatuan Hiu Indonesia ini. Jawabnya tentu tidak. Bahkan jika kita melihat perjalanan pasukan dan alutsista kapal selam kita itu sepanjang setengah abad ini maka sebutan Tabah Sampai Akhir (Wira Ananta Rudira) itu memang layak disandang. Karena sepanjang setengah abad itu, sejak tahun 70 an hanya 2 kapal selam yang menjaga laut luas republik ini dengan satu pergantian generasi.
Serah terima jabatan pergantian generasi kapal selam itu dilakukan tahun 80 an. KRI Bramastra dan KRI Pasopati buatan Rusia tak mampu lagi meneruskan langkahnya lalu diganti dengan kapal selam dengan teknologi bagus pada dekade itu yakni KRI Cakra dan KRI Nanggala buatan Jerman. Khusus untuk KRI Pasopati agar tidak terkubur bersama jaman maka jasadnya diabadikan sebagai monumen kapal selam di Surabaya.
Hampir 40 tahun perjalanan Cakra Class malang melintang. Selama kurun itu tak pernah ada pertambahan kekuatan. Dan selama itu pula tidak pernah ada keluhan dari awak Hiu Kencana dalam menjalankan tugas mulianya mengawal tanah air tercinta. Karena dalam menjalankan tugas semboyan itu melekat di hati mereka, tabah sampai akhir.
Perairan luas yang dimiliki negara ini sangat layak jika dikawal dengan armada kapal selam minimal 12 unit. Statemen ini sudah dihapal luar kepala oleh siapapun. Tetapi meski sudah dihapal luar kepala tetap saja perolehan kuantitas kapal selam tidak pernah beranjak dari angka dua. Kok jadi tertular program Keluarga Berencana, 2 anak cukup.
Dalam sejarah pertempuran laut dan era teknologi sekarang ini kekuatan armada bawah air merupakan penggentar utama karena kekuatan ini merupakan pemukul strategis yang sangat mematikan. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia sangat pantas punya kekuatan armada permukaan laut dan bawah laut. Oleh karena itu kepemilikan hanya 2 kapal selam merupakan ketidakpantasan yang tidak perlu dipelihara.
Ada berita bagus, tanggal 6 Desember 2013. Lewat pengumuman lugas, Menhan di markas Kemhan bersama KSAL menyatakan dengan jelas bahwa RI akan membangun armada kapal selam secara besar-besaran dengan kapal selam buatan Rusia. Tetapi tiga bulan kemudian KSAL mengumumkan dengan jelas pula bahwa TNI AL tidak jadi membeli 2 kapal selam Kilo bekas dari Rusia. Semakin jelas makna tabah sampai akhir itu, tak tahu akhirnya sampai dimana.
Memang RI dan Korsel saat ini sedang membangun kapal selam Changbogo sebanyak 3 unit dengan 1 unit terakhir akan dibuat di Indonesia. Inilah harapan terakhir itu, terutama 1 unit yang terakhir itu apakah akan menjadi titik lompat atau titik umpat, waktu yang akan menjawabnya. Bukannya kita tidak optimis dengan program pengadaan Changbogo tetapi “kejutan demi kejutan” dalam bingkai perjalanan perkuatan kapal selam selama ini justru yang selalu membuat kita terkejut, kaget dan kecewa.
Kita telusuri perjalanan ke kalender enam tahun lalu dari sekarang. Rusia membuka pintu untuk perolehan dua kapal selam Kilo lewat pinjaman US$ 1 milyar. Sebanyak US $ 700 juta untuk 2 kilo. Kemudian sudah dirancang ini rancang itu, kirim ini kirim itu, proses ini proses itu, meeting ini meeting itu, semuanya memakan waktu lima tahun. Dan selama waktu itu tentu ganti komandan segala strata pasti terjadi. Dan yang pasti terjadi atau produk yang kemudian keluar ternyata bernama Changbogo buatan Korsel. Maka duit US $ 700 juta itu tidak jadi dimanfaatkan alias dicuekin.
Dalam perjalanan “kelok sembilan” itu itu tetangga sebelah rumah sudah mendapatkan alutsista kapal selam yang sangar. Vietnam sudah mendapat 2 kapal selam Kilo, Malaysia dengan 2 Scorpene, Singapura memperoleh 5 kapal selam dan mau nambah lagi. Bukan hanya karena tetangga sudah dapat alutsista bawah air, lebih penting dari itu adalah situasi kawasan khususnya Laut Cina Selatan yang mengharuskan kita untuk tidak plintat plintut dalam upaya meperkuat satuan kapal selam.
Kalau pun dalam empat tahun ke depan kita sudah mulai mendapat 3 kapal selam Changbogo, jangan dilupakan bahwa 2 kapal selam kelas Cakra sudah sepuh. Artinya sampai tahun 2020 kuantitas kapal selam kita tidak akan lebih dari 3 unit saja yang beroperasi. Makanya menjaga interval waktu 6-8 tahun itu kita perlu perolehan kapal selam tambahan. Itulah kerangka berpikirnya.
Oleh sebab itu ketika ada kabar menggelegar tentang pembangunan armada kapal selam Desember lalu, sambutan luar biasa diperlihatkan anak negeri pecinta hulubalang sambil ikut membusungkan dada membanggakan dan membungakan harapan. Dan ternyata tiga bulan kemudian menjadi harapan palsu. Bayangkan saudaraku, harapan saja bisa dipalsukan, betapa ketabahan itu memang sampai akhir.
Kepemilikan armada kapal selam dengan jumlah yang memadai untuk negara kepulauan ini bukan untuk gagah-gagahan. Tetapi merupakan sebuah kewajiban bagi “pengurus republik” agar negara kepulauan ini layang pandang dan layak sandang dari sudut pandang militer. Mengapa tetangga selatan kita itu selalu petintang petinting, karena dalam sudut pandang mereka kita tidak dipandang meski pun hanya untuk menjaga kandang teritori. Duh Gusti, memang benar kalimat itu, tabah sampai akhir.
Serah terima jabatan pergantian generasi kapal selam itu dilakukan tahun 80 an. KRI Bramastra dan KRI Pasopati buatan Rusia tak mampu lagi meneruskan langkahnya lalu diganti dengan kapal selam dengan teknologi bagus pada dekade itu yakni KRI Cakra dan KRI Nanggala buatan Jerman. Khusus untuk KRI Pasopati agar tidak terkubur bersama jaman maka jasadnya diabadikan sebagai monumen kapal selam di Surabaya.
Hampir 40 tahun perjalanan Cakra Class malang melintang. Selama kurun itu tak pernah ada pertambahan kekuatan. Dan selama itu pula tidak pernah ada keluhan dari awak Hiu Kencana dalam menjalankan tugas mulianya mengawal tanah air tercinta. Karena dalam menjalankan tugas semboyan itu melekat di hati mereka, tabah sampai akhir.
Perairan luas yang dimiliki negara ini sangat layak jika dikawal dengan armada kapal selam minimal 12 unit. Statemen ini sudah dihapal luar kepala oleh siapapun. Tetapi meski sudah dihapal luar kepala tetap saja perolehan kuantitas kapal selam tidak pernah beranjak dari angka dua. Kok jadi tertular program Keluarga Berencana, 2 anak cukup.
Dalam sejarah pertempuran laut dan era teknologi sekarang ini kekuatan armada bawah air merupakan penggentar utama karena kekuatan ini merupakan pemukul strategis yang sangat mematikan. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia sangat pantas punya kekuatan armada permukaan laut dan bawah laut. Oleh karena itu kepemilikan hanya 2 kapal selam merupakan ketidakpantasan yang tidak perlu dipelihara.
Ada berita bagus, tanggal 6 Desember 2013. Lewat pengumuman lugas, Menhan di markas Kemhan bersama KSAL menyatakan dengan jelas bahwa RI akan membangun armada kapal selam secara besar-besaran dengan kapal selam buatan Rusia. Tetapi tiga bulan kemudian KSAL mengumumkan dengan jelas pula bahwa TNI AL tidak jadi membeli 2 kapal selam Kilo bekas dari Rusia. Semakin jelas makna tabah sampai akhir itu, tak tahu akhirnya sampai dimana.
Memang RI dan Korsel saat ini sedang membangun kapal selam Changbogo sebanyak 3 unit dengan 1 unit terakhir akan dibuat di Indonesia. Inilah harapan terakhir itu, terutama 1 unit yang terakhir itu apakah akan menjadi titik lompat atau titik umpat, waktu yang akan menjawabnya. Bukannya kita tidak optimis dengan program pengadaan Changbogo tetapi “kejutan demi kejutan” dalam bingkai perjalanan perkuatan kapal selam selama ini justru yang selalu membuat kita terkejut, kaget dan kecewa.
Kita telusuri perjalanan ke kalender enam tahun lalu dari sekarang. Rusia membuka pintu untuk perolehan dua kapal selam Kilo lewat pinjaman US$ 1 milyar. Sebanyak US $ 700 juta untuk 2 kilo. Kemudian sudah dirancang ini rancang itu, kirim ini kirim itu, proses ini proses itu, meeting ini meeting itu, semuanya memakan waktu lima tahun. Dan selama waktu itu tentu ganti komandan segala strata pasti terjadi. Dan yang pasti terjadi atau produk yang kemudian keluar ternyata bernama Changbogo buatan Korsel. Maka duit US $ 700 juta itu tidak jadi dimanfaatkan alias dicuekin.
Dalam perjalanan “kelok sembilan” itu itu tetangga sebelah rumah sudah mendapatkan alutsista kapal selam yang sangar. Vietnam sudah mendapat 2 kapal selam Kilo, Malaysia dengan 2 Scorpene, Singapura memperoleh 5 kapal selam dan mau nambah lagi. Bukan hanya karena tetangga sudah dapat alutsista bawah air, lebih penting dari itu adalah situasi kawasan khususnya Laut Cina Selatan yang mengharuskan kita untuk tidak plintat plintut dalam upaya meperkuat satuan kapal selam.
Kalau pun dalam empat tahun ke depan kita sudah mulai mendapat 3 kapal selam Changbogo, jangan dilupakan bahwa 2 kapal selam kelas Cakra sudah sepuh. Artinya sampai tahun 2020 kuantitas kapal selam kita tidak akan lebih dari 3 unit saja yang beroperasi. Makanya menjaga interval waktu 6-8 tahun itu kita perlu perolehan kapal selam tambahan. Itulah kerangka berpikirnya.
Oleh sebab itu ketika ada kabar menggelegar tentang pembangunan armada kapal selam Desember lalu, sambutan luar biasa diperlihatkan anak negeri pecinta hulubalang sambil ikut membusungkan dada membanggakan dan membungakan harapan. Dan ternyata tiga bulan kemudian menjadi harapan palsu. Bayangkan saudaraku, harapan saja bisa dipalsukan, betapa ketabahan itu memang sampai akhir.
Kepemilikan armada kapal selam dengan jumlah yang memadai untuk negara kepulauan ini bukan untuk gagah-gagahan. Tetapi merupakan sebuah kewajiban bagi “pengurus republik” agar negara kepulauan ini layang pandang dan layak sandang dari sudut pandang militer. Mengapa tetangga selatan kita itu selalu petintang petinting, karena dalam sudut pandang mereka kita tidak dipandang meski pun hanya untuk menjaga kandang teritori. Duh Gusti, memang benar kalimat itu, tabah sampai akhir.
0 komentar:
Posting Komentar