All hands - Seperti sudah diduga sebelumnya, pada akhirnya kekuatan laut Indonesia memilih menolak tawaran kapal selam kelas 877EKM dari Rusia. Untuk tawaran kapal selam bekas, alasan penolakan yang dikemukakan adalah kapal itu mengalami kerusakan pada sistem pendorong dan butuh biaya besar untuk memperbaikinya. Sedangkan terhadap tawaran kapal selam baru, Indonesia beralasan lebih memprioritaskan produksi kapal selam di dalam negeri. Tentu saja untuk alasan yang terakhir terkait dengan kapal selam versi fotokopi dari Negeri Ginseng.
Sejak semula sudah muncul pesimisme soal tawaran kapal selam Rusia, walaupun Angkatan Laut Indonesia mempertimbangkan tawaran itu. Pesimisme muncul dari pengalaman di masa lalu ketika Jakarta gagal memboyong kapal selam kelas Kilo dari Moskow. Banyak faktor x yang mempengaruhi pengambilan keputusan terkait kapal selam paling senyap di kelasnya itu. Kini pesimisme itu terbukti kebenarannya.
Apabila mau jujur, dua alasan resmi yang dikemukakan terkait penolakan kapal selam Kilo dapat dipatahkan dengan mudah. Untuk alasan pertama, Indonesia bisa menempuh hal yang mirip pada domain Angkatan Udara, yaitu pengadaan pesawat bekas F-16. Tak ada perbedaan antara kondisi F-16 di Booneyard dengan kapal selam kelas 877EKM di pangkalan Armada Utara Rusia. Yang membedakannya adalah Jakarta bersedia merogoh kocek guna membeli mesin baru, paket avionik baru, rudal dan bom baru dan berbagai perlengkapan lainnya agar F-16 itu bisa terbang lagi. Sedangkan untuk kasus kapal selam eks Rusia, Indonesia tidak mau mengeluarkan uang dari kantongnya untuk perbaikan agar siap operasional kembali.
Sedangkan untuk alasan kedua, pembangunan kapal selam di dalam negeri setidaknya hingga 20 tahun mendatang masih dalam fase trial and error. Sedangkan alasan yang dikemukakan yaitu lebih memprioritaskan produksi kapal selam di dalam negeri seolah-olah berangkat dari asumsi bahwa penguasaan teknologi kapal selam Indonesia saat ini sudah matang alias mature. Padahal di sisi lain, kebutuhan kapal selam baru bagi Angkatan Laut hingga 20 tahun mendatang bersifat mendesak. Dengan kondisi Indonesia baru mau akan belajar membuat kapal selam, dapat dipastikan ada kesenjangan antara kapabilitas industri pertahanan nasional dengan kebutuhan operasional Angkatan Laut.
Kalau di negara-negara lain, kesenjangan alias gap itu akan ditutupi agar tak merugikan kepentingan nasional. Namun di Indonesia nampaknya kesenjangan itu tak menjadi prioritas untuk ditutupi. Bila kemudian terjadi kerugian terhadap kepentingan nasional, lalu siapa yang bertanggungjawab nantinya? Bisa saja kerugian itu tak terjadi saat ini, tetapi lima atau sepuluh tahun mendatang.
Sejak semula sudah muncul pesimisme soal tawaran kapal selam Rusia, walaupun Angkatan Laut Indonesia mempertimbangkan tawaran itu. Pesimisme muncul dari pengalaman di masa lalu ketika Jakarta gagal memboyong kapal selam kelas Kilo dari Moskow. Banyak faktor x yang mempengaruhi pengambilan keputusan terkait kapal selam paling senyap di kelasnya itu. Kini pesimisme itu terbukti kebenarannya.
Apabila mau jujur, dua alasan resmi yang dikemukakan terkait penolakan kapal selam Kilo dapat dipatahkan dengan mudah. Untuk alasan pertama, Indonesia bisa menempuh hal yang mirip pada domain Angkatan Udara, yaitu pengadaan pesawat bekas F-16. Tak ada perbedaan antara kondisi F-16 di Booneyard dengan kapal selam kelas 877EKM di pangkalan Armada Utara Rusia. Yang membedakannya adalah Jakarta bersedia merogoh kocek guna membeli mesin baru, paket avionik baru, rudal dan bom baru dan berbagai perlengkapan lainnya agar F-16 itu bisa terbang lagi. Sedangkan untuk kasus kapal selam eks Rusia, Indonesia tidak mau mengeluarkan uang dari kantongnya untuk perbaikan agar siap operasional kembali.
Sedangkan untuk alasan kedua, pembangunan kapal selam di dalam negeri setidaknya hingga 20 tahun mendatang masih dalam fase trial and error. Sedangkan alasan yang dikemukakan yaitu lebih memprioritaskan produksi kapal selam di dalam negeri seolah-olah berangkat dari asumsi bahwa penguasaan teknologi kapal selam Indonesia saat ini sudah matang alias mature. Padahal di sisi lain, kebutuhan kapal selam baru bagi Angkatan Laut hingga 20 tahun mendatang bersifat mendesak. Dengan kondisi Indonesia baru mau akan belajar membuat kapal selam, dapat dipastikan ada kesenjangan antara kapabilitas industri pertahanan nasional dengan kebutuhan operasional Angkatan Laut.
Kalau di negara-negara lain, kesenjangan alias gap itu akan ditutupi agar tak merugikan kepentingan nasional. Namun di Indonesia nampaknya kesenjangan itu tak menjadi prioritas untuk ditutupi. Bila kemudian terjadi kerugian terhadap kepentingan nasional, lalu siapa yang bertanggungjawab nantinya? Bisa saja kerugian itu tak terjadi saat ini, tetapi lima atau sepuluh tahun mendatang.
0 komentar:
Posting Komentar