Persiapan Tahun 2020:
Penempatan 60% Militer AS di Australia di Fokuskan ke Asia, “Zona Perang” AS di Timur Tengah Kini Beralih ke Asia
Worst Case Scenario: Sudah Siap Perangkah Indonesia?
Peneliti:
AS Fokus ke Asia, Beban Indonesia Kian Berat?
“Belum ada negara ASEAN yang punya kemampuan seperti Indonesia.!” (Professor Ann Marie Murphy, peneliti senior di Weatherhead East Asia Institute, Columbia University)
Langkah
pemerintah Amerika Serikat mengubah fokus mereka ke Asia akan semakin
membebani Indonesia sebagai negara berpengaruh di ASEAN. Indonesia
dituntut memainkan peranan pendorong dan penyeimbang berbagai konflik di
Asia.
Hal ini disampaikan oleh Professor Ann Marie Murphy, peneliti senior di Weatherhead East Asia Institute, Columbia University.
Menurut Murphy, Indonesia akan memiliki peran penting dalam menyokong ASEAN dari belakang.
“Amerika Serikat menganggap Indonesia
adalah perekat yang menjaga persatuan Asia Tenggara. Sejak zaman
Soeharto memiliki kepentingan untuk menjaga stabilitas regional dan
menjaga kesatuan antar negara Asia,” kata Murphy pada Forum Terbuka
USINDO, Jakarta, 24 Juni 2013.
Keterlibatan AS di Asia yang mendukung
negara-negara sekutunya akan membuat konflik semakin panas. Penambahan
pasukan AS di Asia juga membuat ketegangan meningkat.
“AS menurunkan 60 persen kekuatan Angkatan Lautnya ke Asia. Sebanyak 500 tentara AL AS akan tugas bergilir di Darwin, totalnya akan berjumlah 2.500 tentara dalam beberapa tahun ke depan,” jelas Murphy.
Adu kepentingan kemudian terjadi di tubuh
ASEAN. Salah satu contohnya adalah dengan tidak tercapai komunike dalam
KTT ASEAN tahun 2012 lalu.
Saat itu, Kamboja yang menjadi ketua ASEAN menolak komunike yang mendesak China menyelesaikan konflik perairan tersebut.
Seperti telah diketahui bahwa Kamboja adalah salah satu sekutu China di Asia Tenggara.
Dalam buntunya situasi ini, kata Murphy, Indonesia menunjukkan peran pentingnya.
Peran Indonesia terpenting adalah menjembatani antara kepentingan China dan ASEAN dalam konflik Laut China Selatan.
“Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa melakukan shuttle diplomacy,” jelas Murphy.
Kala itu, Natalegawa secara maraton mengunjungi negara-negara ASEAN untuk menyatukan suara.
“Berkat kerja keras
Indonesia, ASEAN akhirnya satu suara dengan menelurkan beberapa poin
kesepakatan soal Laut China Selatan. Hal ini membuktikan bahwa Indonesia
masih punya pengaruh kendati tidak menjabat ketua ASEAN,” Murphy menegaskan.
Peran inilah yang diharapkan dapat
dimainkan Indonesia saat AS masuk ke Asia. Murphy mengatakan,
ketua-ketua ASEAN berikutnya belum bisa menyamai kepemimpinan Indonesia,
terlebih di tengah adu kepentingan negara-negara besar di Asia.
“Kepemimpinan ASEAN berikutnya, yaitu
Brunei, Laos dan Myanmar, masih perlu bantuan Indonesia. Mereka belum
bisa menyatukan negara-negara yang adu kepentingan di Asia, seperti
India, China dan Jepang. Ini bukan tugas yang mudah bagi Indonesia,”
tegas Murphy. (sumber: Denny Armandhanu / vivanews)
*
AS Tempatkan Pasukan di Australia, Indonesia Meradang
Sebanyak 200 pasukan Amerika Serikat
telah tiba di Australia sejak April 2012 lalu sebagai gelombang pertama
dari 2.500 pasukan yang direncanakan sampai tahun 2017 mendatang.
Personil awal sebanyak 200 pasukan
marinir AS yang telah tiba langsung berlatih bersama militer Australia.
Kedatangan pasukan AS ini disambut hangat oleh Menteri Pertahanan
Australia Stephen Smith.
“Penempatan pasukan AS di Australia ini
merupakan evolusi dari berbagai kegiatan dan pelatihan angkatan
bersenjata kedua negara dalam kerja sama militer yang sudah dibuat
sebelumnya,” jelas Smith.
Hal tersebut juga ditegaskan dan didukung
oleh Perdana Menteri Australia Julia Gillard dan Menteri Utama Wilayah
Utara Australia Paul Henderson.
Penempatan pasukan AS ini menjadi babak
baru dalam 60 tahun kerja sama pertahanan antara Australia dengan AS.
Rencananya AS akan menempatkan sebanyak 2.500 prajuritnya di Australia
pada 2017 nanti.
Penempatan ribuan pasukan AS di Darwin
ini menunjukkan pergeseran strategi global yang sangat signifikan.
Terkait dengan penempatan ribuan pasukan AS ini, Smith menyatakan bahwa
kemungkinan besar AS akan menggunakan Pulau Cocos yang terpencil
sebagai pangkalan militer AS.
Salah satu media Amerika Serikat Washington Post melaporkan bahwa rencananya militer AS akan menempatkan pesawat tempur berawak dan tidak berawak yang dikenal dengan nama Global Hawk.
Menanggapi pernyataan dan situasi
tersebut, pemerintah Indonesia bereaksi dengan mengirim nota protes
kepada Pemerintah Australia dan AS dan meminta penjelasan terkait
rencana pembangunan pangkalan militer AS tersebut.
Juru Bicara Kementerian Pertahanan
Indonesia Brigadir Jenderal Hartind Asrin berpendapat bahwa sebaiknya
pemerintah Australia dan AS menjelaskan apa tujuan pembangunan pangkalan
tersebut untuk menghindari kesalahpahaman.
“Secara prinsip Indonesia tidak memiliki
wewenang untuk ikut campur dalam rencana mereka. Namun, kami meminta
mereka menjelaskan tujuan menempatkan pesawat tak berawak dekat wilayah
Indonesia,” ungkap Asrin seperti dikutip Reuters, pada bulan Maret 2012.
Dalam acara menyambut kedatangan tentara AS di Australia tersebut, tiga pejabat Australia, yaitu: Perdana Menteri Australia Julia Gillard, Menteri Pertahanan Australia Stephen Smith, dan Menteri Utama Wilayah Utara Australia Paul Henderson, juga menegaskan bahwa tidak akan pernah ada pangkalan militer AS di Australia.
Ternyata bukan hanya pemerintah Indonesia
saja yang bereaksi, China juga merasa terganggu dengan rencana AS ini
dan menilai hal ini sebagai upaya mengimbangi kekuatan dan pengaruh
China di Asia-Pasifik.
China juga menuduh Australia dan AS
memperkuat sekutunya dalam sengketa Laut China Selatan. Pasalnya,
akhir-akhir ini China, Filipina, Vietnam, Malaysia, Brunei dan Taiwan
saling berebut wilayah di Laut China Selatan yang diyakini mengandung
persediaan minyak dan gas yang melimpah. (Bft/Deb/jaringnews)
*
Pangkalan AS di Darwin, China Kecam Australia
“Masa-masa persekutuan ‘Perang Dingin’ telah lama berakhir.”
China menunjukkan kejengkelan atas
meningkatnya hubungan kerja sama pertahanan antara Australia dan Amerika
Serikat, terutama setelah Negeri Paman Sam itu mengirimkan kontingen
pertama dari total 2.500 tentara yang akan berbasis di Darwin sejak
April 2012.
Kecaman itu dialamatkan kepada Menteri
Luar Negeri Australia, Bob Carr, ketika tengah melakukan lawatan
kenegaraan untuk kali pertama ke Beijing pada awal Mei 2012 lalu.
“Saya kira saya bisa meminjam kata-kata
dari salah satu pejabat yang saya temui, dan saya yakin ia adalah sang
menteri luar negeri: masa-masa persekutuan ‘Perang Dingin’ telah lama
berakhir,” ujar Carr, yang menggantikan Kevin Rudd, seperti dicuplik
dari laman BBC.
China merupakan mitra dagang utama Australia. Sekitar seperempat volume ekspor Negeri Kangguru itu diarahkan ke China.
Hanya saja, Australia memilih merekatkan
kerja sama militer dengan Amerika Serikat, hal yang dikritik pengamat
militer China, Song Xiaojun. Menurutnya, Australia tidak mungkin bisa
sekaligus menjaga hubungan dengan China dan Amerika Serikat.
“Cepat atau lambat, Australia harus
memilih siapa yang akan menjadi ‘godfather’ baginya. Semuanya bergantung
dari seberapa kuat calonnya, dan seberapa strategis lingkungannya,”
kata Song dari sumber The Telegraph.
Tak hanya memperkuat tali kerjasama
dengan Australia, Amerika Serikat pun mempererat hubungan luar negerinya
dengan beberapa negara Asia Tenggara. China menganggap strategi itu
sebagai upaya ‘pengepungan.’
Menurut Carr, kehadiran AS di wilayah
Asia-Pasifik dapat meningkatkan kestabilan di kawasan. Namun, ia
menekankan pemerintah kedua negara menginginkan terwujudnya kerja sama
militer yang lebih baik di masa mendatang.
“Kerja sama pertahanan adalah sebuah misi
membangun kepercayaan. Semakin kita mengerti bagaimana mitra kita
menerapkan pendekatannya atas masalah pertahanan, kemungkinan muncul
kesalahpahaman akan kian kecil,” ujarnya. (adi/vivanews)
*
Persiapan Militer Indonesia di Tahun 2020:
8 Tahun Lagi, Perang Beralih ke Asia Pasifik!?
“Pergeseran kekuatan militer AS ke Asia Pasifik bukanlah hal sederhana. Bisa jadi, pada 8 tahun ke depan, “perang” perebutan sumber daya alam dan jalur perdagangan akan beralih ke kawasan ini. Indonesia harus menyiapkan diri untuk menghadapinya.” (Connie Rahakundini Bakrie, Pengamat Pertahanan dan Militer dari Universitas Indonesia)
Rencana Amerika Serikat (AS) menggeser 60
persen kekuatan militernya ke kawasan Asia Pasifik hingga tahun 2020
mendatang, membawa implikasi besar bagi kawasan ini, termasuk Indonesia.
Tahun 2020 itu tidak lama. Dalam 8 tahun
ke depan, Indonesia sudah terkurung oleh pangkalan-pangkalan militer AS.
Apakah kita sudah sepakat sebagai bangsa untuk menyadari dan memahami
persepsi ancaman yang sebenarnya sedang dihadapi?
Menurut
pengamat Pertahanan dan Militer dari Universitas Indonesia Connie
Rahakundini Bakrie, dengan kondisi seperti ini, jelas sekali, tidak
tersedia waktu banyak bagi elite kita untuk segera mereposisi arah
kebijakan luar negeri dan pertahanan Indonesia yang lebih tegas,
strategis dalam menyikapi perubahan konstalasi politik di kawasan.
Connie menilai, pergeseran kekuatan
militer AS ke Asia Pasifik bukanlah hal sederhana. Bisa jadi, pada 8
tahun ke depan, “perang” perebutan sumber daya alam dan jalur
perdagangan akan beralih ke kawasan ini.
Indonesia harus menyiapkan diri untuk menghadapinya. Berikut petikannya:
Bagaimana anda melihat dinamika perkembangan militer AS saat ini?
Kebanyakan dari kita, atau bangsa AS
sendiri, tidak ingin mengakui, bahwa, AS telah mendominasi dunia melalui
kekuasaan militernya. Dengan alasan kerahasiaan negara, warga AS
sendiri sering tidak menyadari bahwa pendudukan pasukan-pasukan AS
sesungguhnya telah mengepung planet bumi ini. Kecuali kawasan Antartika.
Mudah
dan banyak cara dalam melacak jejaknya, seperti dengan menghitung
seberapa banyak jumlah koloni milter yang ada di berbagai belahan dunia.
Pada Abad-20 ini, yang dimaksud dengan
koloni bisa terjelma dalam berbagai gaya, salah satunya melalui
pangkalan militer yang berada di negara lain. Dengan cara ini, kita bisa
ikuti koloni yang terbentuk dan menyebar ke seantero dunia dan
melahirkan “kekaisaran militer” AS.
Pada perspektif dinamika politik global,
kita bisa menyimak bagaimana kekaisaran militer AS semakin tumbuh menuju
wujudnya tahun 2020 nanti. Saat ini tengah berproses, sejak Presiden
Goerge Walker Bush menetapkannya pada 14 Januari 2004 lalu.
Bisa digambarkan seperti apa ‘Kekaisaran Militer AS’ itu?
Salah satu cara memahaminya, dengan
memahami jumlah dan ukuran dari aspirasi “kekaisaran militer” AS
tersebut. Lebih dari setengah juta tentara formal plus mata-mata yang
terselimuti melalui jejaring lembaga donor, teknisi, guru, serta badan
usaha sudah tersebar membentuk koloni di negara-negara lain.
Bukan hanya di darat, juga mendominasi
lautan hingga samudera. Mereka membangun kekuatan Angkatan Laut yang
hebat dengan mencantumkan nama-nama pahlawan mereka pada kapal induknya,
seperti: Kitty Hawk, Constellation, Enterprise, John F. Kennedy,
Nimitz, Dwight D. Eisenhower, Carl Vinson, Theodore Roosevelt, Abraham
Lincoln, George Washington, John C. Stennis, Harry S. Truman, dan Ronald
Reagan.
Selain itu, begitu banyak pangkalan
rahasia dibangun dan difungsikan hanya sekedar untuk memonitor apa yang
dikerjakan masyarakat dunia.
Mereka mampu memonitor apa yang isi
percakapan, surat menyurat baik lewat fax atau pun email antara satu
sama lainnya, termasuk atas warga negara AS sendiri.
Di Okinawa, pulau paling selatan Jepang
yang telah menjadi koloni militer AS selama 58 tahun, terdapat 10
pangkalan korps marinir, termasuk korps marinir Futenma dan stasiun
udara yang menduduki 1,186 Ha di pusat kota.
Selain itu, di Inggris terdapat senilai
US$5 miliar instalasi miliiter dan mata-mata AS yang disamarkan sebagai
pangkalan Royal Air Force.
Sebenarnya berapa jumlah pangkalan militer AS di luar negaranya?Diyakini jumlah pangkalan militer AS di luar negaranya jumlahnya telah mencapai lebih dari 1,000 pangkalan di negara berbeda. Bahkan, Pentagon sekalipun mungkin tidak tahu secara pasti jumlah setiap penghuninya.
Data resmi dari Departement of Defence
(DoD) pada laporan struktur tahun fiskal 2003 menyebut, Pentagon
memiliki 702 pangkalan di luar negeri di 130 negara. Jumlah itu, belum
termasuk 6.000 pangkalan di wilayah AS sendiri.
Pada pangkalannya di luar negeri, jumlah
tentara AS yang tak berseragam mencapai 253,288 personel. Mereka juga
mempekerjakan 44,446 orang lainnya sebagai staff tambahan lokal yang
disewa.
Pentagon mengklaim, pangkalannya mencakup 44,870 barracks, hangars, rumah sakit, dan bangunan lain yang dibeli atau disewa sebanyak lebih dari 4,844 bangunan.
Lantas bagaimana?
Gambaran itu membawa kita pada kesadaran
bahwa sebenarnya hanya sedikit sekali ruang yang ditinggalkan di planet
bumi ini yang tidak terisi oleh kekuatan militer AS. Dan ruang kosong
itu, adalah kawasan kita, wilayah Indonesia terus menuju arah bawah
melalui Samudera Hindia ke arah Antartika.
Bagaimana anda melihat kaitan kondisi ini dengan reformasi TNI?
Sejak reformasi 1998, pembangunan
profesionalisme TNI masih menemui banyak hambatan. Tekad kuat TNI untuk
menjadi militer profesional yang berfungsi sebagai alat pertahanan
negara, tidak serta-merta bisa diwujudkan.
Memprofesionalkan
militer, bagaimana pun juga menimbulkan konsekuensi yang harus dipenuhi
oleh kedua pihak, yakni sipil dan militer itu sendiri.
Militer perlu dukungan sipil atas persoalan alokasi “anggaran” dalam rangka mengatasi berbagai ancaman yang timbul.
Yang perlu kita ingat, kabinet
pemerintahan bisa saja silih berganti, tetapi road map pertahanan jangka
panjang adalah sesuatu yang harus diisi dengan komitmen tinggi seluruh
elemen bangsa untuk memenuhinya.
Apakah penyebab hambatan pembangunan profesionalisme TNI?
Bila kita realistis dan berpikir kritis,
sampai hari ini, ketidaksepakatan di kalangan pemimpin sipil mengenai
beberapa konsep kebijakan pertahanan keamanan negara menjadi penyebab
inkonsistensi dan terhambatnya muncul regulasi yang diperlukan.
Persoalan bertambah kompleks, ketika munculnya wacana bahwa demokrasi dan militer adalah 2 hal yang tak dapat disatukan.
Disadari atau tidak, jika virus berpikir bahwa demokrasi dan militer adalah 2 hal yang tak dapat disatukan, dan sengaja disebarkan secara sistematis. Akhirnya akan membuat sipil semakin tidak memahami fungsi militer untuk kepentingan eksistensi negara.
Seolah-olah, militer tidak dibutuhkan
lagi dalam negara berdemokrasi. Padahal, pembangunan demokrasi sebuah
negara sangat butuh “pengawal”. Peran militer dalam menjaga
demokratisasi di sebuah negara yang berdaulat, sangat penting.
Pandangan anda soal pertentangan militer dan demokrasi itu?
Militer dan demokrasi bukanlah sesuatu
yang bertentangan. Lihat saja AS. Sebagai negara yang mengklaim paling
berdemokrasi di muka bumi, faktanya memiliki militer yang paling kuat di
dunia.
Bukan hanya di dalam negeri, tapi tumbuh
berkembang, bak kecambah di musim hujan menjadi koloni-koloni di
berbagai belahan bumi. Militer hadir sebagai komponen inti untuk menjaga
kedaulatan negara.
Tak terbayangkan apa yang akan terjadi di masa datang jika Indonesia tidak segera memperkuat TNI untuk menghadapi “perang” perebutan sumber daya alam dan jalur perdagangan.
Ingat, Indonesia adalah jantung maritim Asia dan bisa menghindar dari dampak langsung dan tidak langsung serta harus dihadapi.
Mengapa militer AS bisa begitu mendominasi dunia?
Karena instalasi pangkalan militernya di
luar negeri membawa keuntungan tak terkirakan untuk kemajuan industri
usaha dan ekonomi sipil mereka. Mulai dari desain pembuatan senjata
untuk angkatan bersenjata, pakaian untuk tentara berseragam dan pasukan
tidak berseragam yang tercatat ada 253,288 personil berikut keluarganya
yang belum termasuk didalamnya, stok makanan dan bisnis fasilitas
liburan bagi tentara.
Hampir sebagian besar sektor ekonomi AS sebenarnya mengandalkan militer untuk target penjualannya.
Satu contoh kecil, misalnya terhadap pangkalan militer AS di Irak. Untuk pangkalan itu, DoD harus memesan extra ration of cruise missiles dan depleted-uranium armor-piercing tank shells.
Selain itu, DoD juga mengakuisisi sebanyak 273,000 botol sunblock yang dianggap sama pentingnya seperti rudal bagi para tentaranya disana.
Belum lagi DoD harus menyediakan biaya binatu, dapur, surat menyurat dan pengiriman barang, serta cleaning services
yang telah dikontrak militer dari perusahaan swasta, juga menjadi
bagian dari kegiatan membangun dan mengembangkan sektor ekonomi AS.
Diketahui, sepertiga dari dana US$ 30
miliar tambahan yang dianggarkan untuk perang Irak, habis untuk service
layananan bagi kenyamanan tentara AS.
Dengan begitu, keberadaan mereka di
front-front perang tampak sama seperti kehidupan di rumah ala Hollywood.
Selain itu pengamanan juga dilakukan melalui sub-kontrak pada private military companies seperti Brown & Root, DynCorp, dan the Vinnell Corporation.
Artinya, AS memberikan tingkat kesejahteraan yang tinggi bagi prajurit militernya?
The Washington Post pernah
mengkritisi kondisi yang terjadi di Fallujah, bagian barat Baghdad.
Bagaimana pelayan-pelayan berkemeja putih bercelana hitam dan berdasi
kupu-kupu bertugas setiap malamnya melayani makan malam untuk petugas
dari 82nd Airborne Division.
Beberapa
dari pangkalan ini, karena sangat luasnya, membutuhkan 9 trayek bus
internal untuk tentara dan kontraktor sipil di dalam area berkawat
tersebut.
Pangkalan Anaconda, kantor pusat divisi
brigade ke-3 dan infanteri ke-4 yang bertugas menjadi ‘polisi’ sepanjang
1.500 mil persegi di wilayah Irak, ke Utara Bagdad, hingga Samarra,
menempati area besar seluas 25 kilometer persegi dan penyediaan
perumahan untuk sebanyak 20.000 pasukan.
Untuk keperluan spritual, misionaris bagi
militer AS, mereka dilayani perusahaan penerbangan sendiri. Tentara AS
juga dilayani perusahaan penerbangan dengan armada untuk penerbangan
jarak jauh sehingga mampu menyambungkan langsung post dari Greenland
hingga Australia.
Bagaimana dengan kita?
Wah, anda bisa bayangkan sendiri. Betapa
jauhnya dengan cara kita memperlakukan personil militer. Untuk
melaksanakan tugas negara pun kadang harus berutang hanya sekadar untuk
membeli obat nyamuk di warung setempat.
Atau harus terdampar di pulau terluar menjaga perbatasan dengan segala fasilitas yang sangat terbatas dan minim.
Asia Pasifik jadi target ekspansi AS selanjutnya, bagaimana anda melihatnya?
Perkembangan terkini kekaisaran militer AS, bisa disimak dari pernyataan Menteri Pertahanan, Panetta yang menyatakan bahwa 60 persen kekuatan militer AS akan pindah ke kawasan Asia Pasifik mulai 2012 hingga 2020.
Reposisi pangkalan tersebut ada dibawah kendali dan tanggung jawab Andy Hoehn, Wakil Menhan AS untuk bidang strategi.
Hoen dan dan rekan-rekannya mengatur
tahapan implementasi akan apa yang disebut Goerge Bush dulu sebagai
strategi perang pencegahan terhadap “persatuan negara-negara merah dan orang-orang jahat”.
Negara-negara “persatuan orang-orang jahat” ini oleh AS telah diidentifikasikan sebagai “busur ketidakstabilan” yang tersebar dari mulai daerah Andes di Colombia terus ke arah Afrika Utara dan kemudian menyapu negeri negeri seberang Timur Tengah, hingga termasuk Filipina dan Indonesia.
Jadi, perang terhadap terorisme adalah
sebagian kecil dari alasan untuk semua strategisasi militer AS di
belahan dunia. Yang sebenarnya adalah untuk membangun cincin baru dari
Pangkalan militer sepanjang khatulistiwa guna memperluas kekaisaran
militer AS dalam mendominasi dunia.
Kebijakan pertahanan yang seperti apa, bagi Indonesia menyikapi kondisi ini?
Arah kebijakan pertahanan negara Indonesia saat ini telah berubah dari threat based planing ke capabilities based planning.
Itu sudah ditetapkan. Soalnya kemudian, apakah kita sudah sepakat
sebagai bangsa untuk memahami persepsi ancaman yang sebenarnya sedang
dihadapi dalam waktu dekat, sebagai dampak tersebarnya 60 persen
kekuatan militer AS ke kawasan ini.
Persis sama seperti saat Irak akan digempur melalui persiapan Operation of Enduring Freedom, dimana saat ini Indonesia sama juga “sudah terkurung” seperti Irak, oleh pangkalan-pangkalan AS sejak titik di Diego Garcia, Christmas Island, Cocos Island, Darwin, Guam, Philippina, terus berputar hingga ke Malaysia, Singapore, Vietnam hingga kepulauan Andaman dan Nicobar beserta sejumlah tempat lainnya.
Dengan kondisi ini, jelas sekali, tidak
tersedia waktu banyak bagi elite Indonesia untuk segera mereposisi arah
kebijakan luar negeri dan pertahanan Indonesia yang lebih tegas,
strategis dalam menyikapi perubahan konstalasi politik di kawasan.
Indonesia juga harus memperkuat TNI
sebagai aktor pertahanan yang tugas utamanya adalah untuk melindungi
segenap wilayah kedaulatan termasuk kekayaan dan kesejahteraan
penduduknya.
Apa yang paling mendesak untuk dilakukan?
Persoalan yang paling mendesak dan
menjadi kewajiban sipil adalah perumusan dan penyusunan landasan serta
kerangka hukum yang mengatur peran dan posisi TNI dalam konteks tugasnya
sebagai garda terdepan bangsa untuk menjalankan misi pertahanannya.
Kondisi hari ini, TNI terbentuk menjadi
tentara yang ditekankan hanya pada kemampuan stabilisasi dan
rekonstruksi, tetapi tidak sebagai tentara profesional yang memiliki
kemampuan outward looking defences seperti bagaimana seharusnya.
Keberhasilan pembangunan landasan hukum
ini, sebenarnya sangat terkait dengan visi politik dan visi transformasi
militer untuk membangun kekuatan berdasarkan threat dan capabilities yang seharusnya dimiliki oleh kalangan sipil penentu kebijakan pertahanan.
Konstalasi politik keamanan kawasan telah berubah signifikan dan ancaman telah muncul mengikuti trend geopolitik yang berjalan. Kebijakan luar negeri Indonesia harus di re-shaping dalam cita-cita kita membangun keseimbangan regional yang merupakan tugas terbesar kita.
Semakin cepat terjawab, semakin baik. Sehingga kita tahu TNI seperti apa yang harus dipersiapkan untuk mengantisipasinya.
Pendapat anda, apa yang paling penting dalam membangun profesionalitas TNI?
Hal yang terpenting bukan semata
persoalan mana Alutsista yang perlu diganti dan mana yang masih layak
pakai. Lebih dari itu, dalam membangun TNI yang profesional dan
berwibawa di mata internasional, diperlukan sebuah grand strategy and design
atas postur TNI. Postur TNI yang ideal untuk menghadapi segala bentuk
ancaman yang segera akan terbentang di kawasan ini dalam 8 tahun
mendatang.
Meski dengan kemampuan Indonesia saat ini, komposisi ideal sulit diwujudkan dalam kenyataan. Namun tanpa standar ideal, kita tidak akan pernah tahu kemana tujuan negara ini 100 atau 200 tahun yang akan datang. Bagaimana TNI yang kita cintai harus dibangun untuk itu.
Bagaimanapun juga, standar ideal sangat
dibutuhkan sebagai panduan dalam mencapai cita-cita pembangunan akan
postur TNI yang kuat, berwibawa, mumpuni dan profesional dalam
menghadapi ancaman-ancaman atas kedaulatan kita sebagai bangsa yang kaya
dan besar. (berbagai sumber)
indocropcricles.wordpress.com
0 komentar:
Posting Komentar