Dulu, Jamal Abu Muhsin menyangka, riwayat pendidikannya bakal tamat saat ia divonis seumur hidup karena menusuk seorang pria Israel berusia 76 tahun hingga tewas pada 1991. Perbuatan itu dilakukannya sebagai balas dendam atas kematian 5 warga Palestina pelaku pelemparan batu oleh tentara Israel.
Padahal, kala itu, dia baru menjadi mahasiswa tahun pertama di sebuah universitas di Palestina.
Namun, takdir berkata lain. Jamal tak harus menghabiskan masa hidupnya di balik jeruji besi. Baru-baru ini ia dibebaskan di tengah upaya pembicaraan damai Israel-Palestina yang diprakarsai Amerika Serikat. Setelah 23 tahun terpenjara.
Jamal kini memasuki babak baru dalam hidupnya. Tidak dengan tangan kosong. Ia punya 2 gelar akademik yang kesemuanya ia dapatkan di balik bui.
Jamal adalah satu dari ratusan warga Palestina yang kuliah di balik sel -- sebuah program yang didukung sistem lembaga pemasyarakatan Israel selama 2 dekade sebelum dihapuskan para 2011.
Pendidikan membantunya mengatasi kejenuhan dalam masa tahanannya. "Saat mengetahui divonis seumur hidup, aku menghadapi 2 pilihan: membuat hidupku berarti atau menyia-nyiakan hidup dan pikiran di balik jeruji besi," kata Jamal yang kini berusia 42 tahun di rumahnya di Kota Tubas, Tepi Barat, seperti dimuat Al Arabiya, 28 Januari 2014.
Ia memilih yang pertama. Dengan tekun, ia belajar banyak hal. Mulai sejarah, lalu bahasa dan menulis, kemudian ilmu pasti dan ekonomi sebelum akhirnya berlabuh dan mendapat gelar sarjana dalam ilmu politik lewat kuliah jarak jauh dari Hebrew University Yerusalem.
Tak lantas puas, Jamal melanjutkan pendidikannya hingga mendapat gelar master dari Al-Quds University, Palestina.
Bagaimana rasanya kuliah di universitas Israel? "Aku belajar tentang gerakan zionis dari perspektif zionis, dan aku merasa tak mengalami diskriminasi sebagai mahasiswa. Aku menulis paper di mana aku mengritik zionisme dan mereka menerima argumenku," kata dia.
"Aku ingin belajar dan memahami banyak hal dalam hidup, membuat masa-masa tahananku berarti. Jika itu tak kulakukan, niscaya jiwaku sudah mati," kata dia.
Setelah bebas, Jamal kini sedang mencari pekerjaan. Meski menolak menjawab apakah ia menyesali kekerasan yang ia lakukan di masa lalu, ia mengaku, pendidikan yang diperoleh di penjara telah membantu mengubah sudut pandangnya.
"Konflik bisa diselesaikan tidak hanya oleh kekuatan militer. Kami berjuang selama beberapa dekade, dan sekarang kami harus memikirkan cara lain untuk membebaskan tanah kami," kata dia.
"PBB menciptakan Israel dan harus melakukan hal yang sama terhadap Palestina. Kita mewarisi pengalaman Gandhi di India dan Mandela di Afrika Selatan . Kami di Palestina harus mencoba cara mereka," tutur Jamal.
Kuliah Diam-diam
Israel mulai menawarkan program pendidikan di balik sel kepada para tahanan di awal 1990-an. Orit Adato, yang pernah menjabat komisaris di Badan Penjara Israel dari tahun 2000 hingga 2003 mengatakan Israel cukup lunak terhadap tahanan dan membolehkan tahanan kriminal belajar -- seperti halnya yang berlaku di seluruh dunia.
Ia menyebutnya sebagai pendekatan manusiawi Israel. Meski aktivis hak narapidana menyebut, kondisi di penjara-penjara Israel sangat berat, para napi melakukan aksi mogok makan massal sebagai protes .
Di bawah pengawasannya, Adato mengatakan tahanan dibatasi hanya boleh belajar dalam Bahasa Ibrani sehingga materi pembelajaran dapat dimonitor.
Tahanan juga dilarang mempelajari mata pelajaran yang dianggap berbahaya: seperti fisika, kimia, dan politik nasionalisme.
Ia mengatakan, tujuan program tersebut adalah agar para tahanan Palestina, yang akan memiliki posisi kuat dalam dunia politik Palestina, menjadi fasih berbahasa Ibrani dan akrab dengan masyarakat Israel. Ke depan, mereka diharap bisa membantu memfasilitasi perundingan perdamaian.
Di sisi lain, Almagor, asosiasi keluarga korban Israel dalam serangan militan mengatakan, para pembunuh yang dihukum seharusnya tidak diperbolehkan untuk belajar.
Pada tahun 2011, Israel menghentikan program kuliah di balik penjara, menanggapi penahanan tentara Israel, Gilad Schali selama 5 tahun di Gaza. Meski, Schalit telah dibebaskan, program itu belum dipulihkan.
Namun, para tahanan tak kehilangan cara. Mereka menemukan cara untuk mendapatkan gelar akademis. Issa Karake, menteri Palestina untuk urusan tahanan mengatakan, para tahanan kini "kuliah diam-diam" dengan berkoordinasi dengan universitas Palestina di Tepi Barat dan Gaza.
"Pendidikan merupakan salah satu hak dasar para tahanan. Dan ketika Israel tak memenuhinya, kita harus menemukan cara untuk memberikan warga kami pendidikan yang layak yang mereka butuhkan," kata dia. "Dengan pendidikan, tahanan merasa mereka adalah manusia. Mereka merasa masih ada harapan dan mendapatkan keuntungan dari waktu tak berujung di penjara. Untuk mengubah sesuatu yang negatif menjadi positif."
Kuliah diam-diam, lalu bagaimana dengan para dosen? Ada pemimpin pemberontakan, Marwan Barghouti, tahanan Palestina paling terkenal mendapat gelar master dalam Studi Israel. Ia juga menerima gelar doktor dari sebuah universitas Mesir pada tahun 2010 -- membuatnya memenuhi syarat untuk menjadi dosen di penjara.
Barghouti dipenjara 12 tahun yang lalu. Ia divonis 5 hukuman seumur hidup setelah dinyatakan bersalah terlibat dalam pembunuhan 4 warga Israel dan seorang biarawan Yunani.
Dalam masyarakat Palestina, narapidana yang ditahan oleh Israel dihormati sebagai pahlawan dan pejuang kemerdekaan. Kebebasan mereka disambut dengan bentangan poster, parade dan pesta besar. (*liput6/dailymail)