Kamis, 20 Februari 2014

Dinamika Politik di TNI Warnai Pemilihan Presiden 2014 (Bag II)


Penulis : Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)


Untuk membaca tren perpolitikan Indonesia pada pemilu 2014 mendatang, termasuk siapa-siapa saja yang akan mencuat ke arena politik sebagai calon presiden, baiknya kita telaah terlebih dahulu formasi politik seperti apa yang kemudian menjelma pasca kejatuhan Presiden Suharto dari tampuk kekuasaan.


The Matzuzaki Club Perekat Formasi Politik Pasca Suharto 

Tahukah anda kalau ikatan politik Indonesia sejak reformasi 1998 dibangun atas dasar nasab ketimbang mahzab (ideologi)? Mari kita bongkar kembali tumpukan berita lama pada 24 Maret 2012. 

Ketika itu, Matzuzaki Hio, seorang suhu karate Jepang berkunjung ke Indonesia. Resminya, untuk menghadiri hari ulang tahunnya Tapi agenda sesungguhnya sangat lah politis. Mengapa?

Sebab dia lah suhu karate yang melatih Sarwo Edhi Wibowo, SBY, Arifin Panigoro, Fahmi Idris, Osman Sapta, Marzuki Darusman, dan Aburizal Bakrie. Ihwal cerita seputar peran Matzuzaki Hio sebagai mentor Sarwo Edhi Wibowo beserta enam anak muda tersebut, sudah lama penulis ketahui melalui informasi mantan staf diplomatik Kedutaan Besar Jepang di Indonesia ketika itu. 

Namun informasi kedatangan Matzuzaki pada Maret 2012 penulis peroleh secara tidak sengaja. Ketika itu ada seorang kawan dekat, Dokter Zulkifli yang kebetulan diajak makan siang di sebuah restoran di kawasan Kebayoran Baru. Kalau tidak salah namanya Merah Delima. Dokter Zul, begitu sapaan akrab teman-teman dekatnya, kemudian duduk dan memesan makanan, tiba tiba ada serombongan orang Jepang yang juga makan di resto tersebut.

"Siapa orang Jepang itu, anda kenal,?" tanya Zul kepada rekannya yang menraktir makan. "Oh itu Mr. Matzuzaki. Dia orang dekat SBY sejak presiden kita ini masih perwira muda."

Informasi ini sesuatu banget. 

Berarti kalau sang suhu sudah datang ke Indoensia, berarti ada sesuatu yang gawat di barisan para konglomerat Kartel Politik Indonesia, yang notabene merupakan mantan murid-muridnya yang dulu dia bina. Yang mengherankan, tak satupun media massa, termasuk yang katanya oposisi, mengungkap agenda di balik kunjungan Matzuzaki ini. 

Padahal ini sebuah berita yang amat penting. Betapa tidak. Keenam anggota klub Matzuzaki tersebut, pada perkembangannya telah menguasai dan mendominasi pengaruh politik Indonesia. 

Marzuki Darusman dan Fahmi Idris, bermain di Partai Golkar. Arifin Panigoro sempat bergabung sebagai pemain kunci di Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), pada fase-fase awal reformasi pada masa kepresidenan Abdurrahman Wahid dan Megawati Sukarnoputri. Pun ketika akhirnya harus hengkang dari PDIP karena perseteruannya dengan suami Mega alm Taufik Kiemas, setidaknya punya dua satelit politiknya melalui Hatta Rajasa di Partai Amanat Nasional, dan Pramono Anung di Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). 

Osman Sapta, lain lagi corak peran dan sepakterjangnya. Yaitu bermain di ranah premanisme politik dan utusan daerah. Sedangkan Aburizal Bakrie, bermain di jaringan pebisnis lokal melalui KADIN dan HIPMI. Dan sekarang menjadi pemain sentral dalam kapasitasnya sebagai Ketua Umum Partai Golkar. 

Bagaimana dengan SBY sendiri? sejak 1980-an semakin mendapat posisi yang bagus dan strategis di jajaran Angkatan Darat dan TNI pada umumnya. 

Apa agenda sesungguhnya di balik kedatangan Matzuzaki tahun lalu yang berkedok untuk menghadiri acara hari ulangtahunnya, memang tidak sempat terdeteksi. Tapi nampaknya the Matzuzaki Club sudah berhasil mengonsolidasikan kekuatan politiknya menjelang Pemilu 2014. 

Bukan satu hal yang kebetulan jika tiga partai politik yang terkait langsung denganthe Matzuzaki Connection ini, berhasil memegang tampuk kekuasaan tertinggi di partainya masing-masing. 

SBY April lalu mengambil-alih langsung posisi Ketua Umum Partai Demokrat menyusul kasus suap korupsi Proyek Hambalang yang melibatkan incumben Ketua Umum Anas Urbaningrum.

Sedangkan Aburizal Bakrie yang sejak saat itu bergelut di dunia usaha sebagai pebinis pribumi di bidang tambang dan Migas, saat ini juga sudah mengonsolidasikan kekuatannya dengan memegang jabatan sebagai Ketua Umum Partai Golkar. 

Pengusaha minyak Arifin Panigoro, meski sejak Munas PDIP di Bali pasca pemilu 2004 tidak lagi bergabung di partai berlambang banteng sehingga mundur dari kegiatan politik, tetap memasang satelit politiknya melalui Pramono Anung yang seusai Munas PDIP di Bali, terpilih sebagai Sekretaris Jenderal mendampingi Megawati. 

Melalui Partai Amanat Nasional (PAN), Arifin juga mempunyai jangkauan pengaruh yang cukup kuat melalui kerjasama strategis dengan Amien Rais yang dirajut melalui pertemuan di Hotel Rodison Yogyakarta sebelum berlangsungnya Sidang Umum MPR pada 1998. Benih-benih persekutuan strategis Arifin Panigoro-Amien Rais tersebut baru berbuah menjelma sebagai formasi kekuatan politik ketika PAN dideklarasikan pada 23 Agustus 1998. 

Di sinilah skenario tersembunyi Arifin Panigoro berhasil dimainkan dengan amat cantik. Kelahiran Partai Amanat Nasional (PAN) dibidani oleh Majelis Amanat Rakyat (MARA), salah satu organ gerakan reformasi pada era pemerintahan Soeharto; PPSK Yogyakarta, tokoh-tokoh Muhamadiyah, dan Kelompok Tebet.

PAN dideklarasikan oleh 50 tokoh nasional, di antaranya Prof. Dr. H. Amien Rais, Faisal Basri MA, Ir. M. Hatta Rajasa, Goenawan Mohammad, Dr. Rizal Ramli, Dr. Albert Hasibuan, Toety Heraty, Prof. Dr. Emil Salim, A.M. Fatwa, Zoemrotin, dan lainnya.

Namun dari perjalanan waktu jelas lah sudah. Bahwa Amien Rais dan Arifin Panigoro sedang menyiapkan seorang “Satrio Piningit” di dalam tubuh PAN yaitu dengan menyelipkan Hatta Rajasa, seorang kader muda dan mantan CEO Medco pada 1980, di jajaran 50 deklarator PAN. Buktinya, sejak bergabung di staf kepengurusan PAN sejak menjadi salah seorang ketua departemen, kemudian melesat menjadi Sekjen lantas kemudian Ketua Umum hingga sekarang. 

Sedangkan Osman Sapta, lepas aktifitasnya di dunia bisnis, saat ini mengawal Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), yang sepertinya sedang ditugasi menjalankan misi khusus melumpuhkan kekuatan dan pengaruh Prabowo Subianto di organ yang sejak zaman Orde Baru mempunyai jaringan yang mengakar di kalangan kaum tani. 

Lantas apa kabar dengan Fahmi Idris dan Marzuki Darusman? Fahmi, yang dikenal memiliki grup bisnis Kodel Grup, sejak tidak lagi menjabat Menteri Perindustrian, kemudian aktif kembali di ranah bisnis, termasuk sektor Migas. Marzuki Darusman meski tidak aktif secara langsung di dunia politik, namun tetap berkiprah di lingkar dalam kekuasaan pemerintahan SBY. Bahkan sempat terungkap jika Marzuki ternyata tercatat sebagai salah seorang anggota komisaris PT Freeport Indonesia bersama Amien Rais. 

Dengan demikian, sejak pemilu 2004 yang kemudian dikembangkan pada pemilu 2009, kartel politik ini menjelma dalam setidaknya koalisi 5 Partai yaitu: Golkar, PDIP, PAN, Partai Demokrat dan PKS. Tunggu dulu. Gimana ceritanya kok PKS bisa masuk dalam mata-rantai jaringan the Matzuzaki Club ini? Hanya satu jawaban singkat: Suripto. 

Sejak 1986, Suripto bergabung sebagai staf non-organik Badan Koordinaasi Intelijen Negara (BAKIN) dan berguru pada setidaknya tiga orang suhu intelijen yaitu Ali Murtopo, Yoga Sugama dan Nicklani. Terutama di divisi penggalangan. Melalui divisi inilah, Suripto yang sejak masa mahasiswanya sudah bergiat sebagai aktivis pergerakan mahasiswa, kemudian tercatat pernah bergabung dalam Ikatan Mahasiswa Bandung (IMB). 

Intensitas pergerakannya di kalangan Serikat Mahasiswa Lokal (SOMAL) seperti IMB inilah, Suripto tentunya menjalin kontak yang cukup erat dan solid dengan Arifin Panigooro, Aburizal Bakrie, Hatta Rajasa, yang notabene selain juga para aktivis mahasiswa kala itu, juga merupakan para mahasiswa lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB). 

Suripto, yang oleh karena penugasannya untuk menjinakkkan elemen-elemen Islam radikal eksponen Darul Islam dan Tentara Islam Indonesia(DII/TII) sejak era 1980-an, barang tentu punya basis dan akses yang kuat dengan jaringan ini ketika pada pemilu 1999 kemudian mendirikan Partai Keadilan, yang kemudian pada 2004 bermetamorfose menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). 

Maka sejak 1999 yang kemudian semakin dimantapkan pada pasca pemilu 2004 dan 2009, PKS menjadi bagian integral koalisi 5 partai yang dimotori oleh 6 tokoh mantan murid Matzuzaki dan satelit politiknya Ginandjar Kartasasmita.

Menyimak sekelumit kisah tadi, bisa lah kita simpulkan the Matzuzaki Club telah berhasil mengonsolidasikan kekuatan politiknya. Benarkah Matzuzaki satu-satunya faktor perajut dan pemersatu mantan murid-muridnya ini sehingga menjadi sebuah kartel politik Indonesia pasca reformasi? 

Pada tataran ini, kita tidak lagi berbicara tentang The Matzuzaki Club, melainkan sudah meluas dan mengembang menjadi The Matzuzaki Connection. Di sinilah peran dua orang dekat mantan Presiden Suharto: Sudharmono dan Ginandjar Kartasasmita. 

Jaringan Politik Ginandjar Kartasasmita

Pengaruh Sudharmono dan Ginandjar ketika keduanya menguasai jaringan birokrasi di kantor sekretariat negara sejak fase awal pemerintahan Suharto, pada perkembangannya kemudian atas prakarsa mereka berdua, mengeluarkan Peraturan Pemerintah yang dikenal sebagai Kepres 10 tahun 1980 untuk memberi proteksi dan lisensi kepada beberapa pengusaha nasional pribumi. 

Ginandjar pada fase-fase menjelang keluarnya PP 10, antara 1968-1972-1 pernah menjadi Kepala Bagian Penelitian Biro Analisis dan Perundang-Undangan Sekretariat Kabinet. Pada 1971-1972, Kepala Bagian Evaluasi Biro Kerjasama Teknik Luar Negeri Sekretariat Kabinete. Pada 1972-1976, Kepala bagian Antarnegara Biro Kerjasama Teknik Luar Negeri Sekretariat Kabinet. Dan pada 1976-1978, sisten Sekretaris Negara Urusan Administrasi Pemerintahan. 

Skema dari Kepres 10 tahun 1980 sejatinya merupakan gagasan Ginandjar untuk membesarkan pengusaha pribumi, untuk menandingi pengusaha-pengusaha Cina yang kelak populer dengan sebutan Kelompok Jimbaran seperti Liem Soe Liong, Eka Cipta, Mochtar Riyadi, Ciputra, dan William Suryajaya. Kebijakan pemerintahan Suharto untuk membina pengusaha lokal pribumi tersebut berada dalam naungan Tim Pengendalian Lintas Departemen yang diketuai oleh Menteri Sekretaris Negara Sudharmono, orang dekat Suharto sejak masa-masa awal pemerintahan Orde Baru. 

Tim Pengendalian Lintas Departemen ini terdiri dari : Menteri/ Sekretaris Negara (Ketua), Menteri Negara Penertiban Aparatur Negara/Wakil Ketua Bappenas (Wakil Ketua), Gubernur Bank Indonesia, Dirjen Anggaran, Dirjen Industri Logam Dasar, Asisten Menteri/Sekretaris Negara Urusan Administrasi Pemerintahan dan Administrasi Lembaga Pemerintah Non Departemen, dan Deputi Ketua Bappenas bidang ekonomi.

Sudharmono, Menteri Sekretaris Negara duduk sebagai ketuanya. Ginandjar, kala itu menjadi asisten Sudharmono untuk urusan Administrasi Pemerintahan dan Administrasi Lembaga Pemerintahan Non-departemen (1978-1983). Itu berarti, segala macam urusan teknis kelayakan administratif siapa saja pengusaha pribumi yang layak masuk daftar pembinaan ada di tangan Ginandjar.

Begitulah. Meski hanya sebagai anggota tim, Ginandjar tergolong paling aktif memasukan pengusaha pribumi ke dalam proyek-proyek yang dikerjakan pemerintah, atau proyek yang dibiayai asing.

Tiga tahun berselang, tugas tim pengendali bertambah. Presiden Soeharto menugaskan tim ini juga turut mengendalikan aneka proyek BUMN dan Pertamina, sejalan dengan oil boom masa itu. Sekretariat Negara berinisiatif membangun kilang minyak—dan itu otomatis ada tambahan anggaran.

Maka, bermunculanlah sederet pengusaha pribumi yang kemudian bukan saja merupakan para pemain kunci dari kalangan konglomerasi pribumi Indonesia, namun pada perkembangannya juga menjadi para pemain politik kunci sejak pasca kejatuhan Suharto pada 1998. Seperti Arifin Panigoro, Aburizal Bakrie, Fahmi Idris, Sugeng Sarjadi, dan Fadel Muhammad. 

Melalui penguasaannya terhadap jaringan birokrasi dan jantung pengambilan keputusan-keputusan strategis di kantor secretariat negara inilah, Ginandjar dengan dukungan dari Sudharmono, mulai membangun nuklius politik(kelompok inti politik) berbasis pelaku usaha untuk mengimbangi pengaruh yang semakin menguat dari para konglomerat Cina seperti Liem Soe Liong, Eka Cipta, Mochtar dan James Riyadi, Bob Hassan, Prayogo Pangestu dan sebagainya.

Melalui Kepres 10 tahun 1980 inilah, Sudharmono dan Ginanjar kemudian memberi fasilitas dan perlindungan bisnis kepada Arifin Panigoro, Aburizal Bakrie, Fahmi Idris, Jusuf Kalla, Fadel Muhammad, Imam Taufik, dan lain-lain. Singkat cerita, karena hutang budi para pengusaha inilah, sehingga kemudian mereka memandang Sudharmono dan Ginnandjar sebagai Patron Politik mereka. 

Khususnya Ginandjar Kartasasmita, malah kemudian dipandang oleh mereka sebagai Soko Guru politik juga. Bukan sekadar Soko Guru para pengusaha besar lokal tersebut di atas.

Ginandjar, yang pernah berkesempatan mengenyam pendidikan tingkat lanjutan pada Universitas Tokyo bidang studi Pertanian dan Teknologi pada 19601965, nampaknya sangat terisnpirasi oleh formasi politik di Jepang yang berbasis pada aliansi strategis antara Politisi Partai, Pengusaha (Zaibatsu) dan aparat birokrasi. Bukan satu hal yang kebetulan, jika mentor keenam tokoh tadi selain Matzuzaki yang memang asli orang Jepang, juga Ginandjar yang sangat mendalami dan menjiwai falasafah dan budaya politik Jepang. 

Inilah kartel politik yang semula dirajut oleh enam anak muda rekrutan Sarwo Edhy yang kemudian menjelma sebagai sebuah nuklius politik dan menemukan formatnya ketika reformasi politik pasca Suharto kemudian menghasilkan sebuah formasi politik hasil Pemilu Juni 1999. Yang kemudian semakin dimantapkan pada Pemilu 2004 dan 2009. 

Dimana Posisi Prabowo dalam Pandangan The Matzuzaki Club?

Di sinilah salah satu kerumitan terkait dukungan kalangan perwira tinggi TNI terkait pencalonan Prabowo sebagai presiden. Meskipun Prabowo tidak bersinggungan secara langsung dengan jaringan the Matzuzaki Club secara aspirasi politik dan ekonomi, namun ada dua hal yang menyatukan Prabowo dengan skema politik-ekonomi the Matzuzaki Club. 

Pertama, kenyataan bahwa beberapa anggota Matzuzaki Club yang kemudian berkiprah di dunia bisnis seperti Arifin Panigoro dan Aburizal Bakrie merupakan hasil pembinaan Ginanjar berdasarkan Keppres 10/1980 yang didasari gagasan untuk me ngimbangi pengaruh dan kekuatan jaringan konglomerasi Cina (Jimbaran Group), setidaknya di agenda strategis ekonomi Prabowo bisa sehaluan dan ada titik temu dengan kubu Matzuzaki Club. Apalagi adik Prabowo, Hasyim Djojohadikusumo juga termasuk dalam jajaran pengusaha pribumi yang juga berada dalam proteksi dan fasilitas pemerintahan Suharto melalui Sudharmono dan Ginandjar. 

Kedua, dalam kaitan dengan faksi kemiliteran, seperti sudah saya uraikan pada bagian pertama artikel ini, secara faksional (peer group) faksi militer SBY dan Prabowo sejatinya berada dalam satu kelompok yang solid. Yaitu sama-sama alumni AKABRI 1973. Meski Prabowo termasuk alumni 1974 karena tidak naik kelas setahun. 

Jadi, kalau berbicara skenario pencalonan presiden 2014, meskipun Partai Gerindra dan Partai Demokrat berseberangan, namun sebagai nuklius politik SBY dan Prabowo nantinya sangat berpotensi untuk menjalin aliansi strategis namun secara tersamar dan bersifat tidak langsung. 

Bagaimana caranya? Mari kita mulai dengan konvensi Partai Demokrat yang saat ini masih berlangsung. Siapapun yang nantinya akan muncul sebagai calon presiden partai Demokrat, gagasannya adalah bahwa partai Demokrat akan memunculkan calonnya sendiri baik calon presiden atau calon wakil presiden. Tergantung dinamika maupun peluang yang ada. Namun sampai sejauh ini, partai demokrat sama sekali belum punya gambaran siapa sosok yang cukup kuat untuk diusung sebagai calon presiden andalan. 

Pertanyaannya adalah, apakah partai Demokrat memang sedang krisis sosok pemimpin atau memang dengan sengaja direkayasa seperti itu? Satu fakta penting adalah bahwa SBY saat ini pegang kendali penuh sebagai Ketua Umum partai Demokrat. 

Andaikata demokrat memang direkayasa untuk tidak memunculkan sosok calon presiden yang handal untuk dimajukan pada pemilihan presiden 2014, maka di sinilah skenario tersembunyi SBY sebagai mata-rantai penting dari Matzuzaki Club kiranya layak untuk kita cermati bersama-sama. 

Skenario tersamar dari aliansi strategis Prabowo-SBY kemungkinan besar akan diwujudkan dalam bentuk duet Prabowo-Hatta. Tidak dalam kerangka koalisi partai antara Gerindra dan Demokrat, melainkan antara Gerindra dan PAN. 

Mengapa aliansi strategis Prabowo-Hatta dijabarkan dalam koalisi Gerindra-PAN dan bukannya Gerindra-Demokrat? Pada fase ini, kita harus cerita sedikit siapa Hatta Rajasa. Seperti dalam uraian terdahulu, Hatta sejatinya merupakan kader binaan Arifin Panigoro sejak Hatta jadi senior CEO di Medco pada 1980-an. Kiprahnya sebagai Ketua Umum PAN harus kita pandang sebagai bagian integral dari penguatan mata-rantai jaringan The Matzuzaki Club yang saat ini tercermin melalui koalisi lintas partai-partai besar di DPR. 

Setidaknya tiga partai besar pucuk pimpinannya langsung dipegang oleh alumni Matzuzaki Club. Aburizal Bakrie pegang Ketua Umum Golkar, SBY pegang Ketua Umum Demokrat, dan Hatta Rajasa (satelit politiknya Arifin Panigoro) pegang PAN. Adapun PDIP memang hingga kini masih dipegang oleh Megawati Sukarnoputri. Namun, contact person jaringan Matzuzaki Club di PDIP saat ini adalah Pramono Anung. Mantan Sekretaris Jenderal PDIP yang saat ini memegang jabatan Wakil Ketua DPR dari PDIP. 

Jadi, saat nantinya terjadi situasi politik yang cukup krusial jelang pemilihan presiden, Pramono merupakan contact person Megawati untuk menjalin komunikasi politik dengan jaringan the Matzuzaki Club meskipun di permukaan seakan-akan merupakan komunikasi politik lintas partai untuk berbagi porsi kekuasaan (Power Sharing). 

Pada tataran inilah, Pramono akan memainkan peran penting dalam skenario menduetkan Prabowo-Hatta dengan dirajut melalui kesepakatan strategis antara Megawati dan the Matzuzaki Club. Apalagi kalau merujuk kembali pada kesepakatan batu tulis antara Mega dan Prabowo sewaktu mereka bersepakat berduet pada pemilihan presiden 2009 lalu, pada 2014 Mega menjamin bahwa Prabowo akan diusung oleh PDIP dalam pencalonan presiden. 

Namun, mungkinkah hal tersebut bisa berjalan secara mulus? Lagi lagi, dinamika politik di internal TNI baik di Mabes TNI Cilangkap maupun sayap militer SBY di Cikeas akan ikut mewarnai proses politik yang berlangsung. Untuk membahas secara lebih rinci soal ini, ikuti tulisan berikut di bagian III. 


0 komentar:

Posting Komentar

Form Kritik & Saran

Nama

Email *

Pesan *