Selasa, 25 Februari 2014

Dinamika Politik di TNI Warnai Pemilihan Presiden 2014 (Bag III Habis)


Analisis


Penulis : Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)




Konglomerasi Cina Jimbaran Group

Dalam tulisan terdahulu, telah dikemukakan bahwa Megawati sebagai pemutus kata akhir di PDIP untuk pencalonan presiden, belum memberikan sinyal dukungan terhadap Prabowo, Jokowi maupun dirinya sendiri. Apalagi memberi isyarat dukungan pada calon presiden yang didukung oleh partai-partai lain di luar PDIP. Dinamika politik internal di TNI memang salah satu faktor yang mendasari keputusan Mega untuk wait and see.



Namun yang membuat krusial pencalonan presiden melalui PDIP dan sikap politik Mega yang sepertinya menunggu arah angin bukan semata-mata karena dinamika internal di TNI antara kubu Cilangkap dan Cikeas.

Masalahnya karena di tengah dinamika internal antara Cilangkap versus Cikieas tersebut, telah melibatkan perseteruan lama antara dua kubu konglomerasi yang sama-sama dibesarkan oleh pemerintahan Orde Baru pimpinan mantan Presiden Suharto. Yaitu antara konglomerasi bisnis binaan Ginandjar Kartasasmita buah dari Keppres no 10 tahun 1980 versus kubu konglomerasi Cina yang kelak lebih dikenal dengan sebutan Kelompok Jimbaran. Termasuk di dalamnya Liem Soe Liong (SALIM GROUP), Eka Cipta (SINAR MAS), Prayogo Pangestu, Mochtar dan James Riyadi (LIPPO GROUP), William Soeryajaya dan Ciputra.

Jaringan konglomerasi Cina Jimbaran Group ini dirajut melalui Yayasan Prasetya Mulya yang pada perkembangannya secara politis sangat dekat dengan CSISI (Center Strategic for International Studies), sebuah think-thank binaan Jenderal Ali Murtopo, yang kelak diteruskan oleh Benny Moerdani, di era pemerintahan Suharto.

Setelah rejim Suharto jatuh pada Mei 1998, dan munculnya Wakil Presiden BJ Habibie sebagai presiden transisi menuju pemilu Juni 1999, maka inisiatif politik berada di tangan Ginandjar Kartasasmita yang dengan dukungan 14 menteri yang mundur dari pemerintahan Suharto, kemudian menjalin aliansi politik baru bersama Habibie. Sedangkan faksi militer Benny Moerdani yang sebenarnya juga ikut terlibat dalam mematangkan situasi untuk menjatuhkan Suharto, pada perkembangannya kalah dalam power game melawan kubu Ginandjar. Sehingga membawa konsekwensi, melemahnya Jimbaran Group yang sejak orde baru bersekutu dengan CSIS dan faksi militer Benny Moerdani.

Patahnya kekuatan dan pengaruh Jimbaran Group, ditandai dengan bermigrasinya Liem Soe Liong ke Singapore, sebagai basis operasinya yang baru dalam mengendalikan bisnisnya yang sudah berskala global. Dan Liem praktis bermukim terus di Singapore hingga akhir hayatnya.

Jimbaran Group di era Pasca Suharto

Tak heran jika dalam mengatur konstalasi politik di Indonesia, termasuk terkait pemilu 2014 mendatang, agenda-agenda strategis para konglomerat Cina yang dulunya tergabung dalam Jimbaran Group maupun sekutu-sekutu bisnisnya yang muncul belakangan, praktis diatur dan dikendalikan dari Singapore.

Menurut seorang sumber dari Global Future Institute, di Singapore ada uang berjumlah 400 triliun rupiah yang masih “diparkir” di Singapore hingga sekarang, dan besar kemungkinan akibat bunga-berbunga., jumlah tersebut sudah meningkat beberapa kali lipat sejak pemilu 2009 lalu. Berkembang informasi bahwa uang berjumlah 400 triliun rupiah yang berada dalam kendali para konglomerat Cina yang berbasis di Singapore tersebut baru akan dikembalikan ke Indonesia jika presiden Indonesia mendatang sesuai dengan aspirasi dan keinginan mereka.

Dengan kata lain, para konglomerat Cina eksponen Jimbaran Group yang sekarang berbasis di Singapore, nampaknya akan ikut mewarnai pencalonan presiden melalui partai-partai politik yang bertarung pada Pemilu 2014 mendatang. Pertanyaannya adalah, siapakah yang mereka jagokan?

Nah di sinilah pangkal kerumitan yang mereka hadapi. Ketika faksi militer Benny Moerdani kalah dalam power game pasca kejatuhan Suharto pada Mei 1998, salah satu harapan mereka tumpukan pada Megawati Sukarnoputri. Selain karena tercatat sebagai lawan politik utama mantan Presiden Suharto, semasa Mega masih dalam penindasan rejim Suharto, beberapa jenderal yang dekat dengan Moerdani memberi dukungan pada Mega baik secara terbuka maupun diam-diam. Seperti Agum Gumilar, Hendropriyono, Theo Syafei, Tyasno Sudarto, Dadang Ruchiatna, dan lain sebagainya.

Sehingga ketika Mega menang pemilu 1999 yang untuk pertama kalinya dilakukan secara demokratis di era pasca Suharto, tak heran jika seluruh elemen masyarakat pendukung Jaringan Jimbaran Group, termasuk harian Kompas, menyatakan dukungan terbuka terhadap Mega untuk menduduki jabatan presiden menggantikan BJ Habibie.

Namun sayangnya, meski Mega menang pemilu produk pemilu 1999, namun keputusan untuk menetapkan seseorang jadi presiden tetap melalui mekanisme Sidang Umum MPR karena masih merujuk pada UUD 1945 versi pra amandemen. Alhasil, dalam Sidang Umum MPR 1999 tersebut, Abdurrahman Wahid lah yang justru menjadi presiden RI ke-4 berdasarkan hasil voting di Sidang Umum MPR. Meskipun dalam voting Sidang Umum MPR keesokan harinya, Mega berhasil menjadi wakil presiden mendampingi Gus Dur .

Kunci kemenangan Gus Dur maupun Mega sebagai Wakil Presiden, berkat suara dukungan Golkar yang hakekatnya berada sepenuhnya dalam kendali Ginandjar Kartasasmita, sang patron politik paling berpengaruh di Golkar. Meskipun pada voting pemilihan presiden, Golkar sempat terpecah antara faksi Akbar Tanjung yang memberi suara dukungan kepada Gus Dur, dan kubu Ginandjar yang memberi dukungan suara kepada Mega. Namun karena faksi Golkar Akbar Tanjung mendapat dukungan solid dari beberapa partai Islam yang berada dalam payung POROS TENGAH yang dimotori oleh Amien Rais, Gus Dur akkhirnya menang.

Namun dalam voting memilih Wapres pada keesokan harinya, Mega berhasil memenangkan pencalonan jadi wakil presiden berkat dukungan solid seluruh faksi di Golkar maupun Poros Tengah.

Hasil Sidang Umum MPR yang sebenarnya tidak memuaskan Mega karena bagaimanapun dia lah pemenang pemilu, namun peta politik nasional membawa implikasi lumpuhnya kekuatan politik Jimbaran Group dan Faksi militer Moerdani yang dari awal merapat ke kubu Megawati.

Dari Gus Dur beralih ke Mega

Sehingga bagi Jimbaran Group, tidak ada pilihan lain saat itu kecuali bergabung ke kubu Gus Dur dan mendukung pemerintahan yang dibentuknya. Salah satu sosok yang menjadi tumpuan aspirasi kubu Jimbaran di kabinet pemerintahan Gus Dur adalah Letnan Jenderal (purn) Luhut Panjaitan dan Agum Gumilar. Itulah sebabnya mengapa Luhut Panjaitan didudukkan di pos kementerian perdagangan. Lalu kemudian Agum Gumelar sempat dipasang Gus Dur sebagai Menteri Koordinator Politik dan Keamanan menggantikan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Luhut selain punya jalinan kontak dengan Singapore, dia juga cukup dekat dengan jaringan Jimbaran Group. Maka kepadanyalah para konglomerasi Cina yang bermarkas di Singapore ini menitipkan agenda-agenda strategisnya. Namun karena watak Gus Dur yang sering berobah-robah arah dan sulit diprediksi langkah-langkah politiknya, manuver Konglomerasi Cina melalui Luhut Panjaitan tidak berjalan sesuai yang diharapkan.

Apalagi ketika kemudian Gus Dur sendiri sering melakukan blunder-blunder politik yang pada akhirnya bermuara pada kejatuhan dirinya dari kursi kepresidenan, berkat koalisi lintas partai yang sejatinya dimotori oleh kubu Ginandjar yang mana melalui rajutan dari Jaringan Matzuzaki Club, mulai menancapkan pengaruh politiknya di partai-partai lima besar seperti PDIP (Arifin Panigoro), Marzuki Darusman dan Fahmi Idris (Golkar), Hatta Rajasa dan Amien Rais (PAN) dan Hamzah Haz (PPP).

Maka ketika Gus Dur jatuh, dan Mega sebagai Wakil Presiden mengambil-alih kekuasaan, maka kubu Ginandjar inilah yang memegang kendali politik dari belakang layar. Lagi-lagi, kubu Jimbaran Group kalah bermain. Sehingga dalam formasi politik di kabinet Mega, aspirasi Jimbaran secara terbatas hanya diwakili oleh Laksamana Sukardi sebagai Menteri Negara BUMN.

Sedangkan di kementerian perdagangan, Mega memilih Rini Suwandi yang meskipun sangat dekat dengan kalangan pebisnis Cina, namun karena secara historis kedekatan Bung Karno dan mantan Gubernur DKI Jakarta Soemarno di masa lalu, Mega mempunyai trust yang tinggi terhadap Rini. Sehingga dalam melayani aspirasi kubu Jimbaran, Rini hanya difungsikan Mega sebatas sebagai contact person atau arrangerpolitik semata. Namun para konglomerat Cina tidak bisa mengendalikan Skema Ekonomi-Bisnis Rini Suwandi.

Lepasnya mayoritas saham Indosat ke tangan Temasek Holding-Singapore melalui Menteri BUMN Laksamana Sukardi, boleh jadi merupakan kerusakan terbatas yang terjadi di pemerintahan Mega, sebagai konsekwensi didudukkannya Laksamana Sukardi yang di era Suharto pernah menjadi Managing Director LIPPO Bank.

SBY dan Menguatnya Formasi Politik Matzuzaki Club

Seiring dengan kemenangan SBY sebagai presiden pada pemilu 2004 yang semakin diperkuat melalui pemilu 2009 pada periode pemerintahannya yang kedua, maka formasi politik Matzuzaki Club dengan disutradarai oleh Ginandjar Kartasasmita semakin menguat, karena SBY merupakan mata-rantai penting dari jaringan politik ini yang kebetulan pula berasal dari sayap militer.

Maka dengan kemunculan SBY, Jimbaran Group praktis dipatahkan dari dua fron sekaligus. Fron ekonomi-bisnis, berhadapan dengan konglomerasi pribumi yang sebagian besar kroni-kroni politik Ginandjar di Golkar maupun yang bergabung dengan partai-partai lainnya, sedangkan di fron militer seiring dengan tampilnya SBY, maka faksi militer di angkatan darat praktis dikusai oleh faksi militer Akabri 1973, 1975 dan 1977, melalui Pramono Edhi Wibowo dan Erwin Sujono yang segera melakukan pembersihan di jajaran Kopassus dan Kostrad.

Dalam situasi yang demikian, jaringan Jimbaran Group kemudian secara taktis mempengaruhi beberapa elemen angkatan darat khususnya dari faksi AKABRI 1970 yang di dalamnya Luhut Panjaitan dan mantan KSAD Soebagyo HS masihn dihormati sebagai sesepuh TNI di markas besar Cilangkap. Namun itupun hanya sebatas mencoba merebut Sphere of influence, yang tentunya termasuk juga mencoba membangun opini terkait calon presiden yang kiranya diterima oleh Jimbaran Group.

Di Balik Gerakan Mendukung Jokowi Sebagai Calon Presiden

Idealnya, Jimbaran Group coba mengandalkan harapan dan dukungannya pada pasangan Wiranto (mantan Panglima TNI) dan pengusaha Cina Hari Tanu Sudibyo yang kebetulan diduetkan sebagai calon presiden dan wakil presiden oleh Partai Hati Nurani Rakyat (HANURA). Selain itu, Wiranto juga merupakan perwira tinggi TNI yang sempat terlibat persaingan politik sewaktu Suharto masih berkuasa, hingga mencapi puncaknya pada kejatuhan Suharto pada Mei 1998. Sehingga ketika Wiranto diperhadapkan dengan Prabowo pada pemilihan presiden mendatang, sebenarnya cukup pas dari segi aspirasi kubu Jimbaran.

Namun Wiranto sebagai alumni AKABRI 1968 yang sebenarnya sehaluan dengan para alumni AKABRI 1970 dan 1972, bukan merupakan sosok yang cukup populer dan punya elektabilitas tinggi di mata calon pemilih pada pemilu 2014 mendatang. Sehingga Jimbaran Group meskipun memandang Wiranto sebagai sekutu, namun tidak terlalu berharap pada Wiranto karena dinilai sudah jadi “Kartu Mati.”

Dengan demikian, konglomerasi Cina Jimbaran Group sejauh ini bersekutu dengan beberapa perwira tinggi TNI AKABRI 1970 yang masih punya pengaruh, sejauh ini baru sebatas menyatakan keberatan terhadap kemungkinan Prabowo menjadi presiden. Namun mereka belum punya preferensi politik yang jelas untuk mendukung seorang figur sebagai calon presiden.

Pada tataran ini, karena tidak ada figur militer yang ideal menurut pandangan Jimbaran Group, maka Jokowi yang kebetulan juga merupakan kader PDIP Megawati, masuk dalam pertimbangan mereka untuk didukung kemunculannya melalui PDIP. Yang itu artinya, mendorong Mega baik secara persuasif maupun melalui tekanan politik, untuk didukung sebagai calon presiden oleh PDIP.

Nah di sinilah masalah krusial yang dihadapi Mega. Selain harus mengantisipasi kemungkinan jaringan Matzuzaki Club meminta dukungan Mega terhadap calon presiden yang kelak mereka jagokan, pada sisi lain Mega harus menghadapi tekanan dan deskan Kubu Jimbaran untuk mencalonkan Jokowi sebagai presiden lewat PDIP. Atau mungkin juga nantinya lewat partai-partai lain.

Dalam situasi yang krusial seperti ini, Megawati dan SBY nampaknya akan menunda dulu keputusan untuk memunculkan calon presidennya lewat partai mereka masing-masing, karena menunggu konstalasi politik yang berkembang sesudah hasi pemilu legislatif April mendatang diumumkan secara final.

Andaikata PDIP, Golkar dan Gerindra nantinya akan muncul sebagai pemenang tiga besar pemilu legislatif, maka bagi Mega maupun SBY akan lebih mudah menetapkan formasi politiknya, termasuk siapa yang paling tepat dimunculkan sebagai calon presiden.

Jika PDIP, Golkar dan Gerindra muncul dengan perolehan suara yang signifikan pada pemilu legislatif, maka Mega besar kemungkinan akan membuat keputusan strategisnya di PDIP dengan dasar untuk mendukung skema politik Matzuzaki Club. Sehingga Pramono Anung, sebagai mata-rantai dari jaringan Ginandjar Kartasasmita ini, dipersilahkan untuk memainkan perannya sebagai arranger politik.

Dalam skenario seperti ini, ada beberapa kombinasi dengan berbagai kemungkinan:
1. Mendukung Pencalonan Prabowo dengan dasar pertimbangan untuk menaati komitmen Batu Tulis-Bogor pada 2009 lalu, dengan konsesi Mega mengajukan calon wakil presiden pendamping.
2. Dengan didahului oleh kemungkinan rujuk politik Mega-SBY, maka skenario ini akan bermuara pada dukungan Prabowo-Hatta Rajasa. Yang berarti akan tercipta aliansi strategis antara PDIP-Gerindra-Demokrat dan PAN.
3. Jika resistensi kubu Jimbaran semakin kuat agar PDIP mencalonkan sosok yang mereka bisa terima, maka Mega akan mengambil opsi yang pastinya tidak populer, yaitu dengan mencalonkan dirinya sebagai presiden. Yang secara de fakto akan menguntungkan Prabowo, namun pada saat yang sama Mega akan membendung para pendukung tradisional PDIP yang berkisar 15 persen suara itu agar tidak menjadi swing voters untuk calon presiden yang akan membahayakan kemenangan Prabowo.

Skenario lain yang patut dicermati adalah ketika perolehan suara PDIP, Golkar dan Gerindra kemudian tidak terlalu signifikan karena diimbangi dengan perolehan suara oleh Partai Nasdem (Surya Paloh) dan Hanura (Wiranto) yang notabene sebenarnya sehaluan dalam skema politiknya, di sini Mega kemungkinan akan mengambil keputusan yang berbeda, dengan kemungkinan membuka komunikasi politik dengan jaringan Jimbaran Group.

Yang itu artinya Rini Suwandi, Hendripriyono maupun Sekjen PDIP Tjahyo Kumolo yang sejak era Orde Baru merupakan dekat dengan faksi TNI di Cilangkap, akan diberi peran-peran penting sebagai arranger politik untuk membuka komunikasi politik dengan Jimbaran Group maupun faksi TNI Cilangkap yang bertumpu pada beberapa perwira tinggi angkatan darat AKABRI 1968, 1970 dan beberapa dari 1972.

Dari sini, berbagai formasi politik yang dimunculkan bisa melalui beberapa kemungkinan:
1. Mega akan memutuskan mencalonkan diri sebagai presiden dengan didampingi oleh calon wakil presiden yang dia dukung.
2. Mencalonkan Jokowi dengan memunculkan figur pendamping Jokowi dari baik dari keluaga besar Bung Karno maupun figur dari luar PDIP yang kiranya disukai atau populer di mata masyarakat.
3. Atau bisa juga Mega memunculkan calon presiden yang selama ini di luar dugaan masyarakat, dengan dasar untuk menciptakan sebuah formasi politik baru yang di luar pengaruh orbit Matzuzaki Club maupun Jimbaran Group.











0 komentar:

Posting Komentar

Form Kritik & Saran

Nama

Email *

Pesan *