Rabu, 05 Maret 2014

Membaca Skenario Besar di Balik Penggulingan Presiden Yanukovich

Penulis : Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)




Keputusan Majelis Federasi Rusia untuk mengerahkan angkatan bersenjatanya di Semenanjung Cremea yang masuk kedaulatan Ukraina, memang tidak bisa dipandang semata-mata sebagai tindakan agresi militer sepihak. Karena sebelumnya telah didahului dengan campur-tangan Amerika Serikat dalam urusan dalam negeri Ukraina dengan mendukung kelompok oposisi yang menentang kepemipinan Presiden Yanukovich yang kebetulan cukup dengan dekat dengan Rusia.



Jika kita menelisik kembali proses kejatuhan Yanukovich yang didahului dengan gelombang demonstrasi dan kerusuhan yang berlangsung 3 bulan penuh, maka tak pelak lagi tangan-tangan Amerika dan Uni Eropa ikut bermain dari balik layar. Hal ini bisa kita lihat ketika Yulia Tymoshenko, pesaing utama Yanukovich yang sudah dipenjara selama lebih dari 5 tahun, kemudian dibebaskan sehingga ketika demonstrasi dan kerusuhan yang kabarnya telah menewaskan 80-an orang tersebut, kemudian dijadikan simbol perlawanan terhadap rezim pemerintahan Yanukovich yang dalam garis politiknya sejalan dengan Pemerintahan Rusia di bawah Presiden Vladimir Putin.

Maka kiranya tidak terlampau berlebihan jika sebuah harian di Cina, Xinhua Comentary, mengecam manuver Amerika dan Uni Eropa dalam memediasi antara kubu Yanukovich dan kelompok oposisi, pada perkembangannya justru telah menciptakan polarisasi di dalam negeri Ukraina. Poin menarik dari Xinhua Comentary adalah, dalam mengatasi krisis di Ukraina, pihak barat (AS dan Uni Eropa) sebaiknya melibatkan Rusia dalam proses mediasi tersebut.

Dari ulasan Xinhua Commentary, yang tentunya mencerminkan juga sikap tidak resmi dari Cina, bisa disimpulkan bahwa mediasi yang diprakarsai oleh Amerika dan Uni Eropa yang seolah-olah memediasi kubu pemerintahan Yanukovich dan kelompok oposisi, sejatinya merupakan aksi sepihak untuk melumpuhkan dan pada akhirnya menjatuhkan pemerintahan Yanukovich.

Sikap politik tajuk rencana Xinhua Commentary nampaknya harus dibaca sebagai refleksi pendirian politik pemerintah Cina yang sejatinya mendukung langkah yang diambil oleh Putin maupun Majelis Federasi Rusia. Meskipun di atas permukaan, pihak kementerian luar negeri Cina secara resmi menyatakan keprihatinannya atas situasi yang terjadi di Ukraina, dan menyerukan kepada semua pihak untuk menyelesaikan konflik internal Ukraina sesuai prosedur hukum yang berlaku. Seraya menegaskan bahwa Cina menghormati kedaulatan dan integritas territorial Ukraina.

Namun menariknya, juru bicara kementerian luar negeri Cina Qin Gang kemudian mengakhiri pernyataan resminya dengan sebuah kalimat bersayap: “Ada beberapa alasan mengapa timbul situasi sebagaimana yang terjadi di Ukraina saat ini.”

Di sini, Qin Gang tidak merinci lebih lanjut pernyataannya tersebut. Namun sebagaimana ulasana harian Xinhua Commentary di atas, Global Future Institute memandang kejatuhan Yanukovich paralel dengan terjadinya Revolusi berwarna di Ukraina pada 2004. Yang sejatinya skema revolusi berwarna merupakan skema negara-negara AS dan Uni Eropa untuk menjatuhkan pemerintahan suatu negara yang dipandang tidak bersahabat atau musuh.

Pemicu Kejatuhan Yanukovich

Kemarahan AS dan Uni Eropa mencapai puncaknya setelah Presiden Yanukovich menolak beberapa tekanan ekonomi politik yang dilakukan AS dan kelompok negara Uni Eropa. Yanukovich lebih memilih bersekutu dengan Cina, Rusia dan Iran.

Masih ingat apa yang terjadi pada 2011? Ketika itu, International Monetary Fund (IMF) gagal menjebol perekonomian Ukraina ketika pemerintah saat itu menolak mentah-mentah rekomendasi IMF untuk menghentikan subsidi harga gas yang dikonsumsi sebagian besar rakyat Ukraina. Padahal Ukraina sudah menyetujui pinjaman untuk Ukraina sebesar 15 miliar dolar AS.

Jerman, juga menekan Ukraina untuk bergabung dengan jaringan politik dan bisnisnya lewat kekuatan kelompok negara Uni Eropa. Sekadar informasi, Jerman sebenarnya sedang memulai proyek geopolitik besarnya melawan Rusia dengan memperluas jaringan European Union Eastern Partnership-nya. Proyek itu ternyata mampu merangkul negara Georgia dan Moldova. Sedangkan negara Belarus dan Armenia yang sudah dalam radar Jerman ternyata memilih bergabung ke kelompok negara Eurosian Customs Union yang dipimpin Rusia.

Sekarang, Ukraina yang kaya sumber energy itu juga menolak mentah-mentah keinginan Uni Eropa. Sangat logis jika kemudian Jerman meradang dengan penolakan Ukraina. Karena secara geopolitik, Ukraina dipandang oleh Jerman sebagai negara kunci untuk memenangkan perang pasar energy global Uni Eropa melawan kelompok negara-negara yang pro Rusia dan Cina.

Dalam prediksi Jerman, jika Ukraina bisa diajak bergabung dalam Uni Eropa, maka Uni Eropa akan mampu mengatur pasar energy global, minimal di tingkat negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa.

Manuver Uni Eropa dan Anatomi Kelompok Oposisi

Bebeapa langkah strategis Uni Eropa untuk menguasai Ukraina sebenarnya sudah dilakukan jauh-jauh hari. Beberapa perusahaan besar Jerman sudah membangun pipa gas yang cukup besar di Ukraina. Pipa gas tersebut dibangun melintasi Polandia, Hongaria dan Slovakia. Yang menjadi dasar pertimbangan Jerman, dengan membangun pipa-pipa gas tersebut, pada perkembangannya akan menyelesaikan ketergantungan Ukraina terhadap pasokan gas yang selama ini disalurkan dari Rusia.

Maka Jerman ingin agar proyek besar tersebut dibayar oleh Presiden Yanukovich dengan menandatangani kesepakatan untuk bergabung dengan Uni Eropa. Namun dengan keputusan Yanukovich untuk lebih memilih bersekutu dengan Cina, Rusia dan Iran, maka rencana Jerman untuk membangun infrastruktur pipa gas tadi akhirnya hancur berantakan. Gagal total.

Nampaknya inilah skenario besar AS dan Uni Eropa di balik dukungan terhadap ribuan demonstrasi dengan berlindung pada simbol gerakan “Pro Demokrasi” dan gerakan “anti Presiden Yanukovich.”

Lantas, bagaimana gambaran konstalasi politik Ukraina pasca kejatuhan Yanukovich? Mari kita telisik profil kelompok-kelompok yang berada di balik gerakan “Pro Demokrasi” Ukraina ini. Ternyata ada 3 kelompok besar di balik penggulingan Yanukovich.

Pertama, adalah partai Batkivschyna yang dipimpin oleh Yulia Tymoshenko. Partai ini dibiayai dan didukung secara langsung atau tidak langsung oleh Jerman.

Yang kedua, adalah Partai Svoboda yang mengusung ideology Neo Nazi. Partai ini adalah kelompok yang paling kuat menentang Yanukovich. Partai yang anti Yahudi (termasuk Yahudi Rusia) ini dibiayai oleh Washignton. Partai ini dipimpin oleh Tiahnybok. Dia mengembangkan partai neo nazi-nya dengan merujuk pada gerakan neo nazi yang berkembang di Eropa. Dalam konstalasi politik parlemen di Ukraina, Svoboda merupakan partai terbesar di Ukraina saat ini.

Kalau melihat betapa kisruhnya situasi politik di Ukraian beberapa bulan jelang jatuhnya Yanukovich, nampaknya Partai Svoboda berperan cukup aktif untuk memanaskan keadaan dan dalam menciptakan aksi destabilisasi politik.

Partai ketiga adalah partai Udar yang dipimpin langsung oleh Vitally Klitschko, mantan juara tinju kelas berat dunia. Klitschko merupakan salah satu calon presiden yang akan maju pada pemilu Ukraina 2015 mendatang. Partai Jerman Christian Democrat Union memastikan Klitschko merupakan salah satu orang penting untuk menjembatani semangat pro Uni Eropa di Ukraina.

Yang mengherankan kami di Global Future Institute, beberapa media arus utama, termasuk beberapa harian terkemuka di Indonesia, justru lebih menyorot dan menjadikan headlinenya ke arah kemunculan semangat neo nazi di Ukraina. Bahkan ada yang mengembangkan wacana bahwa Ukraina akan menjadi negara neo fasis baru. Sehingga Partai Svoboda dan gerakan neo nazi-lah yang justru jadi headline berbagai media massa di dalam maupun di luar negeri.

Padahal, isu besar di balik jatuhnya Presiden Yanukovich adalah pertarungan penguasaan energy global antara kelompok negara Trans Pacific Partnership (TPP) yang dimotori oleh Amerika dan Uni Eropa yang dimotori oleh Jerman. Melawan negara-negara yang tergabung dalam BRICS berdasarkan skema kerjasama strategis Rusia dan Cina melalui Shanghai Cooperation Organization (SCO).

Menyimak dan memonitor secara intensif dan terus-menerus perkembangan situasi di Ukraina atas dalam sudut pandang ini, berarti mendorong berbagai elemen strategis di Indonesia untuk mewaspadai skema serupa akan dipagelarkan di Indonesia sewaktu-waktu. Apalagi dalam jelang pemilu April 2014 mendatang diprediksi akan cukup krusial dan berpotensi untuk terjadinya instabilitas politik.





0 komentar:

Posting Komentar

Form Kritik & Saran

Nama

Email *

Pesan *