Sabtu, 08 Maret 2014

Titik Balik Amerika di Ukraina



Ketika Presiden Ukraina Victor Yanukovych meninggalkan negerinya karena ancaman jiwa yang dihadapinya pada tgl 21 Februari lalu, sebagai orang yang membenci arogansi kekuasaan Amerika dan sekutu-sekutunya, saya (Redaktur) merasa seolah-olah sebagian langit telah runtuh.



Betapa tidak, selama ini saya melihat Rusia sebagai salah satu palang pintu yang bisa menjadi hambatan serius bagi perkembangan kekuatan arogan jahat Amerika, dan hal itu sudah dibuktikannya di Suriah.

Namun dengan jatuhnya Yanukovych, sekutu Rusia yang secara emosional mestinya lebih dekat dengan Rusia ketimbang Bashar al Assad di Suriah, tanpa adanya perlawanan berarti dari Rusia, kepercayaan saya pada Rusia pun runtuh. Jika Yanukovych saja tidak bisa dibela, bagaimana dengan Bashar al Assad?

Namun Vladimir Putin kembali menunjukkan kebijaksanaannya. Tanpa banyak retorika yang berapi-api, ia melakukan langkah-langkah taktis yang strategis: di lapangan ia menggerakkan pasukan Rusia di perbatasan Ukraina dan di dalam wilayah otonomi Krimea, dan itu sudah cukup untuk mengembalikan kepercayaan diri pendukung Rusia di tidak saja di Krimea, Ukraina, dan Rusia sendiri, namun juga Bashar al Assad, dan Iran.

Pada saat yang sama para pemimpin Rusia: Presiden Putin, Perdana Menteri Medvedev dan Menlu Sergei Lavrov, serta para politisi Rusia terus menyatakan ketegasan sikap Rusia tentang Ukraina, dengan menyebut rezim baru yang menggantikan Yanukovych sebagai “pemerintahan para brandalan” yang telah “merampok kekuasaan Yanukovych yang terpilih secara demokratis”.

Namun tidak bisa dipungkiri adalah peran “pasukan cyber” Rusia, yang mampu membongkar konspirasi jahat di balik kudeta terhadap Yanukovych dan menyajikannya bulat-bulat ke hadapan publik global. Dimulai dari bocornya rekaman pembicaraan Asisten Menlu Amerika Victoria Nuland dengan Dubes Amerika untuk Ukraina Geoffrey Pyatt, tentang figur-figur oposan Ukraina yang akan didukung menjadi pemimpin Ukraina setelah Yanukovych tumbang.

Kemudian bocornya isi e-mail pribadi pemimpin oposisi Vitali Klinsko yang menunjukkan dirinya tidak lebih dari agen bayaran kepentingan asing yang ditugaskan untuk menumbangkan pemerintahan yang syah. Dan terakhir adalah bocornya pembicaraan antara Menlu Estonia Urmas Paet dengan kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa Catherine Ashton di mana Paet menginformasikan Ashton bahwa kubu oposisi telah membayar penembak-penembak jitu untuk menembaki demostran dan polisi untuk memancing kerusuhan.

Semua itu, ditambah informasi-informasi yang beredar di media-media independen yang menguliti secara detil konspirasi jahat di Ukraina, membuat opini publik pun secara pelan namun pasti berubah.

Maka tidaklan terlalu mengherankan jika Menlu Perancis Laurent Fabius, pada hari Rabu (5/3) mengatakan bahwa pihaknya dan Jerman tengah merancang upaya penyelesaian krisis Ukraina.

“Rencana itu mensyaratkan penarikan pasukan-pasukan, pelucutan senjata kelompok-kelompok militan, pemenuhan ketentuan-ketentuan konstitusi, dan pemilu yang dipercepat,” kata Fabius hari Rabu (5/2).

Pernyataan Fabius tersebut seolah menjadi justifikasi atas anggapan lemahnya legitimasi rezim interima Ukraina saat ini. Pada saat yang sama Fabius dianggap masih mengakui regim Yanukovych sebagai pemerintah yang syah. Sebagaimana diketahui, Yanukovych terpilih melalui proses pemilihan umum yang demokratis yang diawasi juga oleh Uni Eropa.

Pernyataan Fabius tersebut menyusul sikap negara-negara Uni Eropa yang enggan memberikan sanksi terhadap Rusia, yang merupakan mitra bisnis mereka yang tidak bisa diremehkan begitu saja.

Pada saat yang sama Presiden Amerika Barack Obama pun kurang menampakkan ketegasannya atas situasi yang berkembang di Ukraina, selain ancaman-ancaman yang tidak pernah terealisir, hingga mengundang kecaman di antara politisi Amerika sendiri. Padahal Amerika lah yang telah membawa Ukraina menjadi porak poranda seperti sekarang. Sebagaimana diungkap Paul Craig Roberts, mantan Asisten Menkeu Amerika editor Wall Street Journal, dalam satu artikelnya di Counterpunch baru lalu, Amerika telah mengeluarkan $5 miliar untuk mengorganisir kelompok-kelompok oposisi pro-Amerika dengan tujuan menumbangkan pemerintahan Yanukovych dan menggantinya dengan rezim baru yang pro-Amerika.

“Setiap saat presiden berpidato di televisi dan mengancam-ancam Rusia, semua orang mengantuk, termasuk saya,” kata Senator Lindsey Graham.

“Tidak ada sesuatupun yang disentuhnya yang tidak berubah menjadi kotoran!” kata Mark Levin, seorang penulis dan host radio terkenal Amerika.

Dan berikut ini adalah fakta-fakta yang membuktikan bahwa petualangan Amerika di Ukraina telah menjadi titik balik:

- Parlemen Republik Otonomi Krimea memecat perdana menteri yang pro regim interim Ukraina, mengangkat perdana menteri baru yang pro-Rusia dan menetapkan referendum untuk bergabung dengan Federasi Rusia.

- Kastaf AL Ukraina dan sejumlah besar pejabat militer serta sejumlah besar pasukan Ukraina di Krimea menyatakan membelot ke Rusia.

- Kapal perang frigat Ukraina, Hetman Sahaidachny menolak kembali ke pangkalannya di Ukraina dan memilih bergabung dengan Rusia.

- Revolusi pro-Rusia di Krimea menyebar ke wilayah Ukraina Timur dan Selatan. Setelah ribuan massa pro-Rusia menduduki gedung pemerintahan lokal kota Donetz, Dewan Kota tersebut mengeluarkan pernyataan tuntutan referendum untuk menentukan masa depan kota industri tersebut. Aksi-aksi serupa juga terjadi di Odessa, Kharkiv dan kota-kota lainnya.

Tidak heran jika PM Rusia Dmitry Medvedev dalam wawancara dengan NBC News mengatakan bahwa penguasa baru Ukraina telah mendapatkan kekuasaannya secara ilegal, dan akan berakhir oleh revolusi baru yang menentang mereka.

Dan keberadaan ribuan pasukan Rusia di Krimea dan di perbatasan Ukraina tentu akan bisa menjamin revolusi baru itu akan berhasil mengembalikan pengaruh Rusia di Ukraina. Apalagi Rusia telah memiliki legitimasi kuat untuk bertindak: surat permintaan bantuan militer yang dikeluarkan Presiden terpilih Yanunovych kepada Rusia, perjanjian Rusia-Ukraina yang mengijinkan Rusia mengerahkan pasukannya hingga sebanyak 25 ribu personil di Krimea, serta keberadaan ratusan ribu warga keturunan Rusia di Ukraina yang terancam.

Tidak bisa dipungkiri, kemenangan Amerika di Ukraina tgl 21 Februari lalu kini telah berbalik arah menjadi kekalahan.



0 komentar:

Posting Komentar

Form Kritik & Saran

Nama

Email *

Pesan *