Ukraina Pusaran Perang Dingin Ke II Awalnya hanya benih-benih demonstrasi akibat ketidakpuasan terhadap pemerintah lalu bola makin bergulir liar menjadi bibit bencana global.
Setelah presiden berkuasa Viktor Yanukovych di-impeach oleh parlemen, saya pikir gejolak di Ukraina akan segera berakhir. Ternyata keadaan bertambah runyam. Yanukovych menghilang. Ia tak terima dipecat begitu saja. Kelompok pro-Rusia yang mendukungnya akhirnya unjuk gigi. Bentrokan dengan kelompok masyarakat yang pro-Uni Eropa pun terus meluas.
Puncaknya penduduk Crimea di kawasan tImur Ukraina yang pro-Rusia mendeklarasikan pembangkangan. Mereka menolak pemerintahan sementara bentukan Kiev. Perdana Menteri Republik Otonomi Crimea lalu meminta bantuan Rusia untuk menstabilkan keadaan.
Rusia bergerak. Presiden Putin memerintahkan penyiagaan 150 ribu tentara untuk dikirim ke Crimea. Perintah ini dikeluarkan setelah Majelis TInggi, lembaga yang berwenang member ijin pengerahan pasukan untuk perang, memberikan lampu hijau. Keadaan makin genting.
Pemerintahan sementara Ukraina langsung langsung mendesak Dewan Keamanan PBB untuk mengambil tindakan. Tetapi cara ini diyakini juga tak akan banyak membantu. Rusia adalah satu dari lima anggota yang mempunyai hak veto. Apapun keputusan DK PBB yang akan merugikan Rusia pasti akan diveto. Situasi makin jauh dari kata selesai.
Konflik di Ukraina mengingatkan kita pada polarisasi dunia di era perang dingin. Aktor utamanya Uni Soviet dan Amerika Serikat pada sisi yang saling berhadapan. Rebutan pengaruh antar keduanya menjalar jauh ke hampir seluruh belahan dunia. Mengakibatkan banyak kerugian bagi kemanusiaan. Kini Uni Soviet sudah habis namun sisa-sisa kedigdayaan itu tampak jelas telah diwariskan kepada Rusia.
Ragam peristiwa global setahun terkahir ini sebenarnya sudah banyak menggambarkan persaingan nyata antara keduanya. Mulai dari yang tak kasat mata hingga yang terang benderang seperti peristiwa di Suriah, Iran, dan Mesir.
Suriah sementara masih kokoh dalam cengkeraman Kremlin. Tetapi perlawanan kubu oposisi dukungan Eropa dan Amerika sudah tentu membuat Rusia ketar-ketir. Di lain pihak, Iran menampakkan gelagat menjauh dari Rusia setelah sukses merapat ke Barat lewat konferensi P5+1. Sementara itu, Rencana aliansi Rusia-Mesir, yang lahir karena kekecewaan pemerintahan hasil kudeta militer pada Obama, masih belum memberikan prospek yang menggembirkakan.
Perkembangan negatif di Timur Tengah ini pasti membuat kesal Kremlin. Superioritas Rusia sebagai negara berpengaruh kini di ambang kemunduran. Mereka pasti tak mau lagi kehilangan muka di percaturan politik global.
Jadi, ketika krisis Ukraina mengangkat ke permukaan, Rusia sudah pasti tidak akan mau mengulangi kekalahannya. Indikasinya jelas, sejak Arab spring bergolak Rusia tidak pernah senekat kali ini sampai mengirimkan pasukannya untuk menginvasi negara lain. Ukraina adalah jalan terakhir pembuktian bahwa Rusia masih layak diperhitungkan sebagai salah satu kutub kekuatan utama dunia.
Akhir krisis di Ukraina masih panjang. Cerita ini tak akan berakhir sampai ada pihak yang mau berkompromi. Dan bola kini sepenuhnya dikuasai Rusia. Pilihannya hanya kalah atau mengalah. Dan apapun akhir yang dipilih Kremlin, Ukraina akan tetap menjadi korban yang menanggung derita.
Rusia Siagakan Militer Dekat Ukraina, Amerika Gerah
Presiden Rusia Vladimir Putin memerintahkan kesiagaan tempur militer mereka di tengah situasi Ukraina yang semakin memanas. Tindakan Putin ini membuat Amerika Serikat khawatir militer Rusia akan ikut campur di urusan dalam negeri Ukraina.
Diberitakan Reuters, Rabu 26 Februari 2014, Putin memerintahkan 150.000 pasukan Rusia di dekat perbatasan dengan Ukraina untuk siaga penuh berperang. Menyusul perintah ini, pemerintah AS mengeluarkan peringatannya pada Rusia.
Menteri Luar Negeri AS John Kerry mengatakan bahwa campur tangan militer asing di Ukraina akan menjadi sebuah "kesalahan besar". Apalagi Rusia selama ini meneriakkan anti campur tangan asing di Libya, Suriah dan beberapa negara lainnya.
"Saya kira tidak ada keraguan lagi bahwa setiap bentuk intervensi militer yang merusak kedaulatan Ukraina akan menjadi sebuah kesalahan besar. Jika memang ada keputusan seperti itu, saya kita itu bukan keputusan yang murah. Itu adalah keputusan yang sangat mahal," kata Kerry.
Awal bulan ini, pejabat pemerintah Kremlin memperingatkan bahwa Moskow bisa ikut campur dalam konflik di Ukraina. Reuters menuliskan, kemungkinan konfrontasi militer antara Rusia dan AS dengan sekutunya di NATO sangat kecil sekali. Namun ketegangan antara kedua negara saat ini membawa kembali kenangan Perang Dingin, kali ini memperebutkan pengaruh di Ukraina.
Obama Minta Rusia Tarik Militernya dari Ukraina
Barack Obama, Presiden Amerika Serikat mendesak Rusia untuk menarik pasukan dari Krimea, Ukraina. Obama juga meminta Moskow memindahkan kembali pasukan Rusia ke markas Armada Laut Hitam Rusia di semenanjung.
Rencana yang dibicarakan Obama dengan Presiden Putin hari Sabtu tersebut juga meminta dikirimkannya sekelompok pengawas internasional ke Ukraina untuk memastikan terlindunginya hak kelompok etnis Rusia.
Usulan ini dibicarakan secara rinci lewat telepon oleh Obama dan Kanselir Jerman Angela Merkel hari Selasa.
Sampai sejauh ini pemerintah Rusia belum mengomentari usulan tersebut secara terbuka.
sumber: forum.viva.co.id
0 komentar:
Posting Komentar